بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
اللهُم َّصلِّ علٰى سَيِّدنا مُحَمّدٍ عبدِكَ وَنبيِّكَ ورسولِكَ النَّبيِّ الاُمِيّ وَعلٰى اٰلهِ وَصَحْبِهِ وسَلِّم تسليماً بقدرِ عظمةِ ذاَتِكَ في كـُلِّ وَقتٍ وَحيـنٍ
Mbah Salman, Mursyid Bersahaja nan
Kharismatik
Duka
masih menggelayuti lingkungan Pesantren Al-Manshur Popongan Tegalgondo Wonosari
Klaten. Pengasuh pesantren tersebut, KH M Salman Dahlawi wafat, Selasa (27/8)
pukul 17.45 WIB, dalam usia 78 tahun. Kepergiannya membawa duka yang mendalam
bagi banyak pihak, khususnya bagi kalangan Jam’iyyah Thariqah
Mbah
Salman, begitu dia biasa dipanggil oleh para santrinya, merupakan mursyid
Thariqah Naqsabandiyyah-Khalidiyyah. Saat ini, dia juga tercatat menjadi
anggota Majelis Ifta’ (Majelis Fatwa) di Jam’iyyah Ahlit Thariqah Al-Mu’tabarah
An-Nahdliyah (JATMAN). Selama hidup beliau juga pernah menjabat sebagai
Mustasyar di Nahdlatul Ulama (NU).
Yang
membuat banyak kalangan nahdliyin semakin hormat kepada sosok ini adalah
kesediaannya untuk tetap mengaji kepada kiai, dengan cara antri sebagaimana
santri kebanyakan, meskipun beliau sendiri sudah memimpin pesantren dan
diangkat sebagai Mursyid Tarekat. Keaktifannya di NU tidak menghalangi
sosok ini untuk akrab kepada semua pihak dari beragam latar belakang.
Figur
yang amat bersahaja, ramah serta tawadlu’ adalah kesan yang akan didapati oleh
siapapun yang bertamu ke rumah kiai. Ketika berbicara dengan para tamunya Kiai
Salman lebih sering menundukkan kepala sebagai wujud sikap rendah hatinya.
Bahkan tidak jarang, beliau sendiri yang membawa baki berisi air minum dari
dalam rumahnya untuk disuguhkan kepada para tamu.
Menjadi Mursyid Usia 19 tahun
Mbah
Salman adalah anak laki-laki tertua dari KH M Mukri bin KH Kafrawi. Dan dia
merupakan cucu laki-laki tertua dari KH M Manshur, pendiri pesantren Al
Manshur. Kiai Manshur sendiri adalah putra dari Syaikh Muhammad Hadi Girikusumo,
salah seorang khalifah Syaikh Sulaiman Zuhdi, guru besar Naqsyabandiyah
Khalidiyyah di Jabal Abi Qubais Makkah.
Sebagai
cucu laki-laki tertua, Salman muda memang dipersiapkan oleh sang kakek, KH M
Manshur yang di kalangan pesantren Jawa Tengah termasyhur sebagai wali, untuk
melanjutkan tugas sebagai pengasuh pesantren sekaligus mursyid Thariqah
Naqsyabandiyah.
Tahun
1953, ketika Salman berusia 19 tahun, sang kakek, yang wafat dua tahun
kemudian, membai’atnya sebagai mursyid, guru pembimbing tarekat. Maka, ketika
pemuda-pemuda lain seusianya tengah menikmati puncak masa remajanya, Gus Salman
harus memangku jabatan pengasuh pesantren sekaligus mursyid.
Untuk
menambah bekal pengetahuannya sebagai pengasuh, Gus Salman nyantri lagi ke
pesantrennya K.H. Khozin di Bendo, Pare, Kediri selama kurang lebih empat tahun
(1956 – 1960). Sebulan sekali, ia nyambangi pesantren yang diasuhnya di
Popongan, yang selama Salman mondok di Kediri, diasuh oleh ayahnya sendiri, KH
M Mukri.
Sebelum
diangkat menjadi mursyid, Salman mengenyam pendidikan di Madrasah Mamba’ul
Ulum, Solo dan beberapa kali nyantri pasan (pengajian bulan Ramadhan) kepada
K.H.Ahmad Dalhar, Watu Congol, Magelang,Seiring dengan perkembangan jaman,
pesantren yang diasuh oleh Kiai Salman juga mengalami perkembangan. Jika semula
santri hanya ngaji dengan sistem sorogan dan bandongan, mulai tahun 1963
didirikan lembaga pendidikan formal mulai Madrasah Tsanawiyah (MTs), Madrasah
Diniyah (1964), Madrasah Aliyah (1966) dan yang terakhir TK Al-Manshur (1980).
Popongan Setelah Kepergiannya
Belakangan,
seiring dengan kian lanjutnya usia beliau, Kiai Salman tampaknya juga
menyiapkan kader pribadinya, baik sebagai pengasuh pesantren maupun mursyid
thariqah, yaitu Gus Multazam (35 th). Kondisi fisik Kiai yang sangat tawadhu
ini, belakangan, memang agak melemah dan intonasi suaranya tidak lagi sekeras
dulu. Maka putra ketujuhnya yang lahir di Makkah inilah yang menjadi badalnya
(pengganti) untuk memberikan pengajian-pengajian.
Saat
ini pesantren Al-Manshur Popongan terdiri tiga bagian : pesantren putra,
pesantren putri dan pesantren sepuh yang diikuti oleh orang-orang tua yang
menjalani suluk, lelaku tarekat. Berbagai bentuk kegiatan pesantren juga ditata
ulang, sekaligus dengan penunjukkan penanggung jawabnya. Kiai Salman sendiri,
selain sebagai sesepuh pesantren, juga mengasuh santri putra dan santri sepuh
(santri thariqah) yang datang untuk suluk dan tawajuhhan pada bulan-bulan
tertentu.
Sampai
hari-hari terakhir menjelang masuk ke rumah sakit beliau tetap mengajar, meskipun
santri yang ada di hadapan beliau hanya satu orang. Demikianlah sosok yang di
dalam buku Tarekat
Naqsyabandiyah karya Martin van Bruinessen, termasuk tokoh tarekat
yang disebut dalam mata rantai KH M Manshur dari KH Muhammad Hadi Girikusumo,
Mranggen, Demak ini, dia tidak membedakan sedikit banyaknya santri yang
belajar.
Santri
mukim yang belajar kepada kiai sepuh ini jumlahnya ratusan orang setiap
angkatan. Dan jika dihitung sudah mencapai lebih dari 100 ribu orang yang
pernah nyantri
kepada Almarhum.
Almarhum
meninggalkan seorang isteri, Hj Siti Aliyah dan delapan anak, yaitu
Musta’anatussaniyah, Umi Muktamirah, Munifatul Barroh, Murtafiah Mubarokah,
Muhammad Maftuhun Ni’am, Muhammad Miftahul Hasan, Multazam Al-Makki, dan
Marzuqoh Maliya Silmi. Yang tidak menyertai suami di luar Klaten juga membantu
mengasuh di pesantren yang Almarhum pimpin. Para menantunya juga mengasuh
pesantren di Krapyak Yogyakarta (KHM Najib Abdul Qodir); Al-Ishlah Kediri (KH
Zubaduz Zaman), Al-Muayad Windan (KHM Dian Nafi’).
http://www.nu.or.id/
Silahkan Bagikan Artikel ini
Mohon Maaf, Atas Ketidak Nyamanannya, Dengan adanya Shortener Di Link Download. Mohon Keridhoannya. Terima Kasih. Apabila kesulitan Download Silahkan buka/klik gambar (Cara Download) dibawah postingan. apabila masih kesulitan, silahkan copy paste link download yang ada kebrowser anda.*** Apabila ada link Download yg rusak/mati, mohon beritahu kami lewat komentar dibawah ini.
Related Posts :