بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
اللهُم َّصلِّ علٰى سَيِّدنا مُحَمّدٍ عبدِكَ وَنبيِّكَ ورسولِكَ النَّبيِّ الاُمِيّ وَعلٰى اٰلهِ وَصَحْبِهِ وسَلِّم تسليماً بقدرِ عظمةِ ذاَتِكَ في كـُلِّ وَقتٍ وَحيـنٍ
Mbah Liem, Ulama Nasionalis Sejati
Akhir
Mei 2012 seorang ulama asal Klaten yang kharismatik nan nyentrik, KH Moeslim
Rifa’i Imampuro atau yang biasa dikenal dengan nama Mbah Liem. Mbah Liem
dikenal sebagai ulama besar sekaligus nasionalis sejati wafat. Ia meninggal
pada usia 91 tahun.
Mbah
Liem lahir di lingkungan Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Pada 1959, ia
mengasingkan diri ke gubuk kecil di pinggiran kali di Desa Troso Kecamatan
Karanganom Klaten.
”Tempat
itulah yang kini jadi pesantren dengan ribuan alumnus,” papar Jazuli A Kasmani,
menantu Mbah Liem, ketika itu.
Mbah
Liem meninggalkan sembilan anak dan 18 cucu. Dia dikenal sebagai kiai
nasionalis sekaligus nyentrik. Nama Pesanteran Al Muttaqien Pancasila Sakti dan
Kampus Kader Bangsa (KKB) yang didirikannya adalah bentuk kecintaannya kepada
Ibu Pertiwi.
Kepada
para santrinya, Mbah Liem selalu mewajibkan menyanyikan Indonesia Raya sebagai
lagu pembuka setiap kegiatan. Dia juga peduli terhadap kerukunan antarumat
beragama. Dia merintis Joglo Perdamaian Umat Manusia Sedunia di kompleks
pesantren.
Dia
juga dikenal sebagai pribadi yang sederhana, ia senang memakai topi saja atau
topi dikalung sorban macam petani di desa-desa, gayanya mirip petani dan rakyat
biasa, ia senang berjalan-jalan dengan sepedanya. Namun, jangan salah di dalam
kesederhanaannya itu, Mbah Liem merupakan tokoh yang disegani. Bahkan, setiap
keruwetan politik penting, banyak pejabat yang datang ke pesantrennya untuk
minta pencerahan dari Mbah Liem.
Weruh Sakdurunge Winarah
Sebagai
seorang tokoh ulama, ia juga dikenal sedikit ‘nyentrik’. Perilaku nyentrik
ditunjukkan dengan banyak hal. Beberapa kali Mbah Liem menyambut tamu dengan
sarung dan baju lengan panjang murahan. Kadang dia mengenakan topi usang
kebanggaannya. Pernah pula dia dengan sepeda motor tuanya memboncengkan musisi
kondang Iwan Fals. Saat bersama Iwan Fals di panggung, Mbah Liem berbaju koko,
bersarung dan bersepatu boot.
Namun
kenyentrikannya itu juga diimbangi dengan sikap beliau yang terkadang disebut
orang sebagai weruh
sakdurunge winarah (tahu sebelum terjadi). Seperti halnya ketika
menjelang Muktamar NU ke-28 tahun 1989 di Yogyakarta, saat itu Mbah Kiyai Hamid
Kajoran tengah sakit. Mbah Lim mengajak Gus Dur menengok ke kediaman
beliau.
“Aku tak mati yo, Lim…
(Aku mau mati nih, Lim),” kata Mbah Hamid.
“Ndak bisa ndak bisa ndak bisa….”,
Mbah Lim dengan gayanya yang khas, “mau Muktamar kok mati… enak aja…”
“Lha
gimana…?”
“Mati
ya mati tapi nunggu Muktamar dulu!”
Tepat
empat puluh hari sesudah hari itu, beberapa minggu sesudah Muktamar, Mbah Hamid
Kajoran wafat.
Maut
pula yang kemudian juga mempertemukannya kembali dengan Mbah Hamid Kajoran.
Mbah Liem wafat Kamis 24 Mei 2012. Jenazah Mbah Liem dikebumikan di Joglo
Perdamaian Umat Manusia Sedunia di kompleks pesantren pada Kamis pukul 20.00
WIB. Jenazah dikebumikan berdampingan dengan makam istrinya Umi As’adah.
http://www.nu.or.id/
Silahkan Bagikan Artikel ini
Mohon Maaf, Atas Ketidak Nyamanannya, Dengan adanya Shortener Di Link Download. Mohon Keridhoannya. Terima Kasih. Apabila kesulitan Download Silahkan buka/klik gambar (Cara Download) dibawah postingan. apabila masih kesulitan, silahkan copy paste link download yang ada kebrowser anda.*** Apabila ada link Download yg rusak/mati, mohon beritahu kami lewat komentar dibawah ini.
Related Posts :