بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
اللهُم َّصلِّ علٰى سَيِّدنا مُحَمّدٍ عبدِكَ وَنبيِّكَ ورسولِكَ النَّبيِّ الاُمِيّ وَعلٰى اٰلهِ وَصَحْبِهِ وسَلِّم تسليماً بقدرِ عظمةِ ذاَتِكَ في كـُلِّ وَقتٍ وَحيـنٍ
BAB 2
:
Pengetahuan Tentang Tuhan
Sebuah
hadits Nabi (SAW) yang terkenal berbunyi "Dia yang mengenal dirinya,
mengenal Allah." Artinya, dengan merenungkan wujud dan sifat-sifatnya,
manusia sampai pada sebagian pengetahuan tentang Tuhan.
Tetapi karena banyak
orang yang merenungkan dirinya tidak juga
menemui Tuhan, berarti bahwa tentulah ada
cara-cara tersendiri untuk melakukan hal tersebut.
Kenyataannya,
ada dua metode untuk bisa sampai pada pengetahuan ini. Salah satu di antaranya
sedemikian musykil sehingga tidak bisa dicerna dengan kecerdasan biasa dan
karenanya lebih baik tidak dijelaskan. Metode yang lain adalah sebagai berikut.
Jika seorang manusia merenungkan
dirinya,
ia akan tahu bahwa sebelumnya ia tidak ada, sebagaimana tertulis di dalam
al-Qur'an: "Tidakkah manusia tahu bahwa sebelumnya ia bukan apa-apa?"
Selanjutnya ia ketahui bahwa ia terbuat dari satu tetes air yang tidak
mengandung intelek, pendengaran, kepala, tangan, kaki
dan
sebagainya.
Dari sini jelaslah bahwa, setinggi apa pun tingkat kesempurnaannya,
ia tidak
menciptakan
dirinya dan tidak pula ia mampu mencipta seutas rambut sekalipun.
Betapa
sangat tak berdayanya ia pada waktu ia baru han
ya
berupa setetes air itu! Jadi, sebagaimana telah kita lihat pada bab pertama
(Pengetahuan
Tentang
Diri - pen.), dia dapati pada wujudnya sendiri terpantulkan sebagai,
katakanlah, suatu miniatur kekuasaan, kebijakan dan cinta Sang Pencipta. Jika
semu orang pandai dari seluruh dunia dikumpulkan dan hidup mereka diperpanjang
sampai waktu yang tidak terbatas, tidak akan bisa mereka hasilkan perbaikan apa
pun atas bangun satu bagian saja d
ari
jasad manusia. Misalnya, pada penyesuaian geligi depan dan samping pada
pengunyahan
makanan,
serta pada bangun lidah, kelenjar-kelenjar air liur dan kerongkongan untuk
penelanannya, kita dapati peralatan-peralatan yang tidak bisa dibuat lebih baik
lagi.
Demikian pula seseorang yang merenungkan tangan dengan lima jari-jarinya
yang tidak sama panjang - empat di antaranya
dengan
tiga persendian dan jempol yang hanya mempunyai dua - serta dengan cara
bagaimana ia bisa dipergunakan untuk mencekal, menjinjing atau memukul, secara
terus terang akan mengakui bahwa tidak akan mungkin kebijakan manusia bisa
membuatnya lebih baik lagi dengan mengubah jumlah dan aturan jari-jari
tersebut, atau dengan jalan lain apa pun. Jika seorang manusia lebih lanjut
memikirkan bagaimana beragam keinginannya akan makanan, penginapan dan lain
sebagainya, pemenuhannya begitu banyak disodorkan dari gudang penciptaan, ia
pun menjadi sadar bahwa rahmat Allah adalah sebesar kekuasaan dan
kebijakan-Nya, sebagaimaan Ia sendiri berkata: "Rahmat-Ku lebih luas dari kutukan-Ku."
Dan menurut hadits Nabi (SAW), allah lebih lembut penciptaan dirinya
sendiri,
manusia menjadi tahu akan kemaujudan Tuhan. Dari kerangka tubuhnya yang
menakjubkan ia mengetahui kekuasaan dan kebijakkan Allah.
Dan lewat karunia
yang berlimpah untuk memenuhi berbagai kebutuhannya, ia mengetahui kecintaan
Allah. Dengan cara ini pengetahuan tentang diri menjadi kunci bagi pengetahuan
tentang Allah.
Bukan saja sifat-sifat manusia merupakan suatu pantulan
sifat-sifat Tuhan, tetapi bentuk kemaujudan jiwa manusia pun menghasilkan suatu
wawasan tentang bentuk kemaujudan Allah. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa
Allah dan jiwa kedua-duanya tidak terbatasi oleh ruang dan waktu, serta berada
di luar pengelompokan-pengelompokan jumlah dan kualitas. Demikian pula
gagasan-gagasan tentang bentuk, warna atau ukuran tidak bisa pula dihubungkan
dengan keduanya. Orang mengalami kesulitan untuk membentuk suatu konsepsi
tentang hakikat semacam itu yang hampa
kualitas,
jumlah, dan sebagainya, padahal kesulitan yang sama terkaitkan pula dengan
konsepsi tentang perasaan kita sehari-hari, seperti marah, sakit, senang atau
cinta. Semuanya itu adalah konsep-konsep pikiran dan tidak bisa dimengerti oleh
indera, sementara kualitas, jumlah dan
lain
sebagainya adalah konsep-konsep indera. Sebagaimana telinga tidak bisa
mengenali
warna,
tidak pula mata bisa mengenali suara; dalam ketidakmampuan kita membayangkan
hakikat-hakikat puncak, yaitu Allah dan ruh, kita dapati diri kita berada di
dalam suatu wilayah di mana konsep-konsep indera tidak bisa ambil bagian.
Meskipun demikian, sebagaimana bisa kita lihat, Allah adalah pengatur jagat dan
Ia - yang berada di luar ruang dan waktu, kuantitas dan
kualitas
- mengatur apa-apa yang sedemikian terkondisikan. Begitu pulalah ruh mengatur
jasad dan anggota-anggotanya dalam keadaan ia sendiri tidak kasat-mata, tidak
terbagi-bagi dan tidak tertempatkan di suatu bagian khusus mana pun. Karena,
bagaimana bisa sesuatu yang tidak terbagi-bagi tertempatkan di dalam sesuatu
yang bisa tergagi-bagi. Dari semuanya ini bisa
kita
lihat betapa benarnya hadits Nabi (SAW): "Allah menciptakan manusia di
dalam kemiripan dengan diri-Nya sendiri." Dan setelah kita sampai pada
sebagian pengetahuan tentang esensi dari
sifat-sifat
Allah lewat perenungan akan esensi dan sifat
-sifat
ruh, maka akan bisa kita pahami metode kerja, pengaturan dan pendelegasian
kekuasaan
Allah
kepada kekuatan-kekuatan kemalaikatan dan sebagainya, yaitu dengan
jalan
mengamati bagaimana masing-masing kita mengatur kerajaan-kerajaan
kecilnya
sendiri. Sebagai contoh sederhana, misalkan seorang manusia ingin menulis nama
Allah. Pertama sekali keinginan ini terbetik di dalam hati, baru kemudian
dibawa ke otak oleh ruh-ruh vital. Bentuk kata "Allah" tergambar di
dalam relung-relung otak, kemudian berjalan sepanjang
saluran
syaraf dan menggerakkan jari-jari yang pada gilirannya menggerakkan pena.
Dengan demikian nama "Allah" terguratkan di atas kertas tepat
sebagaimana dibayangkan di dalam otak penulisnya. Demikian pula, jika Allah
menghendaki sesuatu, maka sesuatu itu tampil di dalam dataran ruhaniah yang di
dalam al-Qur'an disebut sebagai "Singgasana" (al-'arsy). Dari
singgasana
itu ia berlalu lewat suatu arus spiritual ke arah suatu dataran yang lebih
rendah yang disebut kursi (al-kursiy), kemudian bentuknya tampil dalam al-lauh
'al-mahfuzh yang, dengan perantaraan kekuatan-kekuatan yang disebut sebagai
"malaikat-malaikat", mewujud dan tampil
di atas
bumi dalam bentuk tetanaman, pepohonan dan hewan-hewan, sebagai pencerminan
keinginan
dan pikiran Allah, sebagaimana huruf-huruf yang tertulis mencerminkan keinginan
yang terbetik di dalam hati dan bentuk yang hadir di dalam otak sang penulis.
Tidak
seorang pun bisa memahami seorang raja kecuali seorang raja. Karena
itu
Tuhan telah menjadikan masing-masing kita sebagai, katakanlah, seorang
raja
dalam miniatur, atas suatu kerajaan yang merupakan tiruan dari
kerajaan-Nya
yang telah disusutkan secara tidak terbatas. Di dalam kerajaan
manusia,
singgasana Allah dicerminkan oleh ruh, malaikat (Jibril) oleh hati, kursy oleh
otak dan lauhul-mahfuzh oleh ruang-gudang pikiran. Jiwa - yang ia sendiri tak
tertempatkan dan tak terbagibagi - mengatur jasad sebagaimana Allah mengatur
jagad. Pendeknya, kepada kita diamanatkan suatu kerajaan kecil, dan kita
diwajibkan untuk tidak ceroboh dalam mengaturnya.
Mengenai
pengenalan tentang bagaimana Allah memelihara, ada banyak tingkatan
pengetahuan. Ahli fisika biasa, seperti seekor semut yang merangkak di atas
selembar kertas dan mengamati huruf-huruf hitam yang tersebar di atasnya, akan
menunjukkan "sebab" hanya kepada pena saja.
Seorang
astronom, seperti seekor semut dengan pandangan agak lebih luas, bisa melihat
jari-jari yang menggerakkan pena. Maksudnya, ia mengetahui bahwa
bintang-bintang berada di bawah kekuasaan malaikat-malaikat. Jadi, sehubungan
dengan berbagai tingkat persepsi orang, per
debatan
mesti timbul dalam melacak sebab dari akibat. Orang-orang yang matanya tidak
pernah
melihat
ke balik dunia-gejala, adalah seperti orang-orang yang salah menempatkan
hamba-hamba dari tingkatan yang paling rendah ke tingkatan raja. Hukum-hukum
tentang gejala mesti tetap atau, jika tidak, tak akan ada sains dan sebagainya;
tetapi untuk menempatkan hamba-hamba sebagai
majikan
adalah suatu kesalahan besar. Selama perbedaan di dalam fakultas perseptif para
pen
gamat
ini masih ada, perdebatan memang mesti perlu berlanjut. Bagaikan beberapa orang
buta
yang
mendengar bahwa seekor gajah telah datang ke kotanya, lantas pergi
menyelidikinya.
Pengetahuan yang bisa mereka peroleh hanyalah lewat
indera
perasaan, sehingga ketika seorang memegang kaki sang binatang, yang satu lagi
memegang gadingnya dan yang lain telinganya, dan, sesuai
dengan
persepsi mereka masing-masing, mereka menyatakannya sebagai
suatu batangan,
suatu tabung yang tebal dan suatu lapisan kapas, masing-
masing
mengambil sebagian untuk menyatakan keseluruhannya. Jadi, sang ahli fisika dan
astronomi mengacaukan hukum-hukum yang mereka tangkap dengan Sang Penetap
hukum-hukum. Kesalahan yang sama dilemparkan kepada Ibrahim di dalam al-Qur'an
yang meriwayatkan
bahwa ia
berturut-turut berpaling kepada bintang-bintahg, bulan dan matahari sebagai
obyek-obyek
penyembahan,
sampai kemudian menjadi sadar tentang Dia yang membuat segala sesuatu, Ibrahim
pun berseru: "Saya tidak menyukai segala sesuatu yang terbenam." (QS
6:76).
Kita
memiliki sebuah contoh yang sudah umum tentang pengacuan kepada
sebab-sebab
kedua apa-apa yang seharusnya diacu kepada Sebab Pertama,
yaitu
dalam persoalan apa yang disebut sebagai penyakit. Misalnya jika seseorang
kehilangan rasa tertariknya apda urusan duniawi, memiliki rasa benci terhadap
kesenangan-kesenangan umum, dan tampak tenggelam dalam depresi, dokter akan
berkata: "Ini adalah kasus melankoli yang
membutuhkan
resep ini dan itu." Seorang ahli fisika akan berkata: "Ini adalah
persoalan kekeringan otak yang disebabkan oleh cuaca panas dan tidak bisa
disembuhkan sampai udara menjadilembab kembali." Sang ahli astrologi akan
mengaitkan hal ini dengan konjungsi atau oposisi tertentu planet-planet.
"Sejauh jangkauan kebijakan mereka," kata al-Qur'an. Tidak
terbayangkan
oleh
mereka bahwa yang sesungguhnya terjadi adalah seperti demikian: bahwa Yang Maha
Kuasa berkehendak mengurus kesejahteraan orang itu, dan oleh karenanya telah
memerintahkan hamba-hamba-Nya, yakni planet-planet atau unsur-unsur, agar
menciptakan keadaan seperti itu di dalam diri orang tersebut, sehingga ia bisa
berpaling dari dunia ke arah Penciptanya. Pengetahuan tentang kenyataan ini
merupakan suatu mutiara yang berkilauan dari lautan pengetahuankeilhaman, yang
dibandingkan dengannya, semua bentuk pengetahuan lain menjadi bagaikan
pulau-pulau di
tengah
laut. Dokter, ahli fisika dan ahli astrologi tersebut, tak syak lagi memang
benar dalam cabang pengetahuan-khususnya masing-masing, tetapi mereka tidak
bisa melihat bahwa penyakit itu adalah, katakanlah, suatu tali cinta yang
digunakanoleh Allah untuk menarik para wali mendekat
kepada
diri-Nya. Tentang para wali ini Allah berfirman: "Aku sakit dan kamu tidak
menjenguk-Ku." (ini hanya kiasan-pen). Penyakit itu sendiri adalah salah
satu di antara bentuk-bentuk pengalaman yang menjadi sarana bagi manusia untuk
sampai pada pengetahuan tentang Allah, sebagaimana Ia lewat mulut nabi-Nya
(SAW): "Penyakit-penyakit itu sendiri adalah hamba-hamba-Ku, dan
dikenakan
atas pilihan-Ku." Catatan-catatan di atas memungkinkan kita memasuki lebih
dalam makna seruan-seruan yang melekat di bibir orang-orang mukmin:
"Subhanallah,
alhamdulillah,
la ilaha illallah, allahu akbar." Mengenai yang terakhir, kita bisa
berkata
bahwa hal itu tidaklah berarti bahwa Allah lebih besar dari penciptaan,
karena
penciptaan adalah pengejawantahan-Nya, sebagaimana cahaya
adalah
pengejawantahan matahari. Dan akan tidak benar kalau dikatakan bahwa matahari
lebih besar dari cahayanya sendiri. Hal itu lebih berarti bahwa kebesaran Allah
sama sekali melampaui kemampuan kognitif dan bahwa kita hanya bisa membentuk
suatu gagasan yang amat kabur dan tidak sempurna tentang-Nya. Jika seorang anak
meminta kita untuk menerangkan padanya kesenangan-kesenangan yang ada di dalam
pemilikan kedaulatan, kita bisa berkata bahwa hal itu adalah seperti
kesenangan-kesenangan yang ia rasakan di dalam bermain-main dengan alat pemukul
dan bola, meskipun pada hakikatnya keduanya tidak memiliki sesuatu yang sama
kecuali bahwa keduanya termasuk ke dalam katagori kesenangan. Jadi, seruan
Allahu akbar
berarti
bahwa kebesaran-Nya jauh melampaui kemampuan pemahaman kita.
Lagi pula,
pengetahuan tentang Allah yang tidak sempurna seperti itu - sebagaimana yang
bisa kita peroleh - bukanlah sekadar suatu pengetahuan spekulatif belaka,
tetapi mesti dibarengi dengan penyerahan dan ibadah. Jika seseorang meninggal
dunia, dia berurusan hanya dengan Allah saja. Dan jika kita harus hidup bersama
seseorang, kebahagiaan kita sama sekali tergantung pada tingkat kecintaan yang
kita rasakan kepadanya. Cinta adalah benih kebahagiaan, dan cinta kepada Allah
ditumbuhkan dan dikembangkan oleh ibadah.
Ibadan dan zikir yang terus-menerus seperti itu mengisyaratkan suatu tingkat
tertentu dari keprihatinan dan pengekangan nafsu-nafsu badaniah. Hal ini tidak
berarti bahwa seseorang diharapkan untuk sama sekali memusnahkan nafsu-nafsu
badaniah itu, karena jika demikian halnya, maka ras manusia akan musnah. Tetapi
batasan batasan yang ketat mesti dikenakan pada usaha pemuasannya. Dan karena
manusia bukan hakim
yang
terbaik dalam kasusnya sendiri, maka untuk menetapkan batasan-
batasan
apa yang harus dikenakan itu sebaiknya ia konsultasikan masalah tersebut kepada
pembimbing-pembimbing ruhaniah. Pembimbing-pembimbing ruhaniah seperti itu
adalah para nabi. Hukum-hukum yang telah mereka tetapkan berdasar wahyu Tuhan
menentukan batasan-batasan yang mesti ditaati dalam persoalan-persoalan ini.
Orang yang melanggar batas-batas ini berarti "telah menganiaya dirinya
sendiri", sebagaimana tertulis di dalam al-Qur'an. Meskipun pernyataan
al-Qur'an ini telah jelas, masih ada juga orang-orang yang, karena kejahilannya
tentang Allah, melanggar batas-batas tersebut. Kejahilan ini bisa disebabkan
karena berbagai sebab. Pertama, ada orang yang gagal menemukan Allah lewat
pengamatan, lantas menyimpulkan bahwa Allah itu tidak ada dan bahwa dunia yang
penuh keajaiban-keajaiban ini menciptakan dirinya sendiri atau ada dari
keabadian. Mereka bagaikan seseoran gyang melihat suatu huruf yang tertulis
dengan
indah
kemudian menduga bahwa tulisan itu tertulis dengan sendirinya tanpa ada
penulisnya, atau memang sudah selalu ada. Orang-orang dengan cara berpikir
seamcam ini sudah terlalu jauh tersesat sehingga berdebat dengan mereka akan
sedikit sekali manfaatnya. Orang-orang seperti itu mirip seorang ahli fisika
dan astronomi yang kita sebut di atas. Kedua, sejumlah orang yang, akibat kejahilan
tentang sifat jiwa yang sebenarnya, menolak doktrin kehidupan akhrat, tempat
manusia akan diminta pertanggungjawabannya dan diberi balasan baik atau
dihukum. Mereka anggap diri mereka sendiri sebagai tidak lebih baik daripada
hewan-hewan atau sayur-sayuran, dan sama sama bisa musnah.
Ketiga,
di lain pihak, ada orang yang percaya pada Allah dan kehidupan
akhirat,
tapi hanya dengan iman yang lemah. Mereka berkata kepada diri mereka sendiri.
"Allah itu Maha Besar dan tidak tergantung pada kita; kita beribadah atau
tidak merupakan masalah yang sama sekali tidak penting bagi Dia." Mereka
berpikir seperti orang sakit yang ketika oleh dokter diberi peraturan
pengobatan tertentu kemudian berkata: "Yah, saya ikuti atau tidak,
apa
urusannya dengan dokter itu." Tentunya hal ini tidak berakibat apa-apa
terhadap dokter tersebut, tetapi pasien itu bisa merusak dirinya sendiri akibat
ketidaktaatannya. Sebagaimana pastinya penyakit jasad yang tak terobati
berakhir dengan kematian jasad, begitu pula penyakit
jiwa yang tak tersembuhkan akan berakhir
dengan kepedihan di masa datang. Sesuai dengan kata-kata al-Qur'an:
"Orang-orang yang akan diselamatkan hanyalah yang datang kepada Allah
dengan hati yang bersih."
Keempat,
adalah orang-orang kafir yang berkata: "Syariah mengajarkan kepada kita
untuk menahan amarah, nafsu dan kemunafikan. Hal ini jelas tidak mungkin
dilaksanakan, mengingat manusia diciptakan dengan kualitas-kualitas bawaan
seperti ini di dalam dirinya. Sama saja dengan kamu meminta agar kami jelmakan
yang hitam menjadi putih.
"
Orang-orang jahil itu sama sekali buta akan kenyataan bawha syariah tidak
mengajarkan kita untuk mencerabut nafsu-nafsu ini, melainkan untuk meletakkan
mereka di dalam batas-batasnya. Sehingga, dengan menghindar dari dosa-dosa besar,
kita bisa mendapatkan ampunan atas dosa-dosa kita yang lebih kecil. Bahkan,
Nabi saw. berkata: "Saya adalah manusia seperti kamu juga, dan marah
seperti yang lain-lain." Dan di dalam al-Qur'an tertulis: "Allah
mencintai orang-orang yang menahan amarahnya," bukan orang-orang yang
tidak punya marah sama sekali.
Kelima,
adalah kelompok yang menonjol-nonjolkan kemurahan Allah seraya mengabaikan
keadilanNya, kemudian berkata kepada dirinya sendiri: "Ya, apa pun yang
kita kerjakan, Allah Maha Pemaaf." Mereka tidak berpikir bahwa meskipun
Allah itu bersifat pemaaf, beribu-ribu
manusia hancur secara menyedihkan karena
kelaparan dan penyakit. Mereka mengetahui bahwa
siapa
saja yang menginginkan suatu kehidupan, kemakmuran atau kepintaran, tidak boleh
sekadar berkata, "Tuhan Maha Pemaaf," tetapi mesti berusaha sendiri
dengan keras. Meskipun al-Qur'an berkata: "Semua makhluk hidup rizkinya
datang dari Allah," di sana tertulis pula: "Manusia tidak
mendapatkan
sesuatu kecuali dengan berusaha." Kenyataannya adalah: ajaran semacam itu
berasal dari setan, dan orang-orang seperti itu hanya berbicara dengan
bibirnya, tidak dengan hatinya.
Keenam,
adalah kelompok yang mengklaim sebagai telah mencapai suatu tingkat kesucian
tertentu sehingga dosa tidak dapat lagi mempengaruhi mereka. Meski demikian,
jika anda perlakukan salah seorang di antara mereka dengan tidak hormat, dia
akan menaruh dendam
terhadap
anda selama bertahun-tahun. Dan jika salah seorang di antara mereka tidak
mendapatkan sebutir makanan yang dia pikir merupakan haknya, seluruh dunia akan
tampak gelap dan sempit baginya. Bahkan, jika ada di antara mereka benar-benar
bisa menaklukkan nafsu-nafsunya, mereka tidak punya hak untuk membuat klaim
semacam itu, mengingat para nabi - jenis manusia yang tertinggi - terus-menerus
mengakui dan meratapi dosa-dosa mereka. Beberapa di antara mereka mempunyai
dosa yang sedemikian besar, sehingga mereka bahkan menjauhkan diri dari hal-hal
yang halal. Pernah diriwayatkan dari Nabi saw. bahwa suatu hari ketika sebutir
korma dibawa
kepadanya,
beliau tidak mau memakannya hanya lantaran tidak yakin bahwa korma tersebut
diperoleh secara halal. Sementara orang-orang yang berkehidupan bebas ini mau
meneguk berliter-liter anggur dan mengklaim (saya menggigil pada saat menulis
ini) sebagai lebih unggul dari Nabi yang kesuciannya diancam oleh sebutir
kurma, sementara mereka tidak
terpengaruh
oleh anggur sebanyak itu. Patutlah jika setan membenamkan mereka ke dalam
kehancuran total. Orang-orang suci sejati mengetahui bahwa orang yang tidak
bisa menguasai nafsu-nafsunya tidak pantas disebut sebagai seorang manusia. Dan
bahwa seorang muslim sejati
adalah orang yang dengan senang hati mau
mengakui batas-batas yang ditetapkan oleh
syariah.
Orang yang berupaya dengan dalih apa pun untuk mengabaikan
kewajiban-kewajibannya, sudah jelas berada dalam pengaruh setan dan pura telah
tenggelam di dalam lautan ketakjuban. Tet
kepada
mereka tentang apa yang mereka takjubkan, mereka
Mereka
mesti disuruh agar takjub semau mereka, tetapi
agar
mengingat bahwa Yang Maha Kuasa adalah penciptan
mereka
adalah abdi-abdi-Nya.
Silahkan Bagikan Artikel ini
Mohon Maaf, Kepada Semua Sahabat, Atas Ketidak Nyamanannya, Dengan adanya Shortener Di Link Download. Mohon Keridhoannya. Terima Kasih.**** Apabila kesulitan Download Silahkan buka/klik gambar(Cara Download) dibawah postingan. Apabila masih kesulitan, silahkan copy paste link download yang ada, kebrowser anda.*** Apabila ada link Download yg rusak/mati, mohon beritahu kami lewat komentar dibawah ini.