Pendahuluan
Muhyiddin ibn
Arabi, yang dikenal dengan al-Syaikh al-Akbar (Maha Guru) adalah
seorang jenius yang unik di dunia ajaran mistik. Ia lahir di Murcia, Spanyol
Muslim 1165 M. dan wafat di Damaskus 1240 M. Ibn Arabi telah dihormati oleh
para mistikus sufi sejajk ia menghebohkan dunia Islam pada peralihan abad ketiga
belas. Ia mewariskan lebih dari 350 buku dan risalah, karya-karya bermutu
tinggi yang layak disebut sebagai karya klasik dalam spiritualitas dunia
modern (Hirtenstein, 2001: 6).
Karyanya al-Futuhat
al-Makiyyah
yang mencapai ratusan halaman memancarkan cahaya atau kilauan dari ilmu-ilmu
cahaya yang ia peroleh ketika “Tuhan” membukakan baginya pintu-pintu menuju
“perbendaharaan pengetahuan batini” . Fushus al-Hikam (mutiara-mutiara
cincin kebijakan) merupakan ringkasan ajaran-ajarannya yang mensintesakan
hukum syari’at (fiqh), teologi, filsafat, tasawuf, kosmologi, psikologi, dan
ilmu-ilmu keislaman lainnya.
Signifikansi
pengaruh Ibn Arabi terhadap pemikiran Islam didasarkan pada kisah
pertemuannya sebagai seorang pemuda yang baru menginjak usia 16 -an tahun
dengan filosof terkenal Avverus (Ibn Rusyd) yang saat itu telah berumur 55
tahun. Ibn Rusyd melihat dalam diri Ibn Arabi muda terkandung
kebijaksanaan yang selama ini ia cari. Dengan bahasa yang samar anak muda itu
telah memberitahukan pengertian kepadanya bahwa penyellidikan rasional
belumlah memadai untuk menggapai pengetahuan sempurna tentang Tuhan dan alam
semesta (Corbin, 1969: 41).
Kejeniusan Ibn Arabi terletak pada penyingkapan dalam arena kesatuan
kosmos dan yang berdasarkan petunjuk Ilahi. Wawasannya tentang human experience sangat luas dan menyeluruh (komprehensiph). Ia mendeskripsikan pemikiran
sebagai “tamu dari langit yang melintasi ladang hati” di mana hati tersebut
menggambarkan landasan paling dalam dari kesadaran manusia (Hussen, 1964: 4).
Dalam pengertian ini pemikiran tidak hanya mengacu pada proses otak, atau
sesuatu yang dapat dipikirkan, atau direnungkan, tetapi mengindikasikan
sesuatu yang dapat muncul setiap saat di dalam diri, di dalam kesadaran diri
manusia.
Ibn Arabi membagi pemikiran menjadi pemikiran yang positif dan
bermanfaat, dan pemikiran yang negatif dan sia-sia. Masing-masing tamu ini memerlukan
eksistensi seseorang untuk mengolah lalu membawanya ke sebuah tempat di mana
mereka nanti dapat mewujud dan eksis dalam tatanan sosial yang praktis.
Pada sajian ini penulis hanya akan mengetengahkan hasil eksplorasi
terhadap sebagian kecil karya-karya Ibn Arabi secara deskriptif tanpa
analisis njlimet menghubungkan teori ini dan itu. Demikian juga sajian ini tidak
dimaksudkan untuk menunjukkan seberapa ortodoks ajaranya tentang Islam.
Pembahasan semakin tampak sederhana karena hanya dibatasi pada persoalan inti
kemanusiaan tentang cinta dan keindahan.
Tulisan ini bermaksud untuk menyampaikan sesuatu dari “aroma Ibn Arabi”,
yaitu suatu pemahaman akan kebesaran dan kejeniusannya terkait dengan
humanisme –yang penulis pahami.
Sekilas Biografi Ibn Arabi
Dia adalah Abu Abdillah Muhyiddin Muhammad ibn Ali ibn Muhammad ibn
al-Arabi al-Hatimi, lahir Senin pada 17 Ramadhan 560 H. atau 27 Juli 1165 M.
di kota Murcia, Andalus, Spanyol. Lahir sebagai anak pertama dari tiga
bersaudara dan ia satu-satunya yang laki-laki. Tujuh tahun pertama kehidupan
Ibn Arabi tampaknya dihabiskan di tengah-tengah konflik dan ketegangan
sosial. Ayah Ibn Arabi adalah anggota kelompok tentara pengawal pribadi
sultan dari dinasti Almohad (al-Muwahidin). Posisi ini merupakan kedudukan
prestisius dan kuat, yang memberinya akses kepada semua orang yang memiliki
pengaruh besar, seperti filosof dan hakim terkenal dari Kordoba Ibn Rusyd.
Meskipun bukan dari keluarga aristokrat, Ibn Arabi tampaknya lahir dari
keluarga yang beruntung.
Jalur yang terkakit langsung dengan pedahulunya yang termasyhur adalah
Hatim dari suku Toyy, suku Arab penting dari Yaman. Hatim al-To’i adalah
penyair pra-Islam yang hidup paruh kedua abad keenam masehi dan diakui secara
luas sebaai contoh terbagus dari kesatriaan di dunia Arab sebelum datangnya
Nabi Muhammad. Lebih dari itu, nama Hatim bahkan menjadi pameo untuk
kejujuran dan keluhuran budi. Tidak diragukan, teladan ketidak- egoisan dan
kemurahan hati ini dipegang teguh oleh keluarga Ibn Arabi.
Pada tahun 1172 M. karena peralihan kekuasaan, ayah Ibn Arabi bersama
keluarganya pindah ke Sevilla, pusat kosmopolit yang ramai dan makmur, dan
menjadi ibu kota kerajaan Almohad di Spanyol. Kota ini menjadi titik temu
antar berbagai ras dan kultur, di mana penyanyi dan penyair kumpul dan dialog
dengan filosof dan teolog, dan para wali berdampingan dengan para pendosa.
Jadi, sejak usia 7 tahunan Ibn Arabi tumbuh di lingkungan yang penuh dengan
ide-ide penting pada masa itu –ilmu pengetahuan, agama, dan filsafat.
Sebagian besar dari kehidupan awalnya dihabiskan seperti lazimnya
anak-anak muda yang baru tumbuh. Pendidikannya adalah pendidikan standar untuk
keluarga muslim yang baik. Dia belajar al-Qur’an pada salah seorang
tetangganya, ibn Abdillah Muhammad al-Khayyat, yang kemudian sangat ia cintai
dan tetap menjadi sahabat dekatnya selama bertahun-tahun. Ibn Arabi muda
tampaknya adalah seorang yang suka berburu, dan peristiwa berikut
mengungkapkan sensivitas dan kebijaksanaannya :
“Suatu ketika, pada masa kejahiliaanku (sebelum
pencerahan spiritualnya), aku dalam perjalanan bersama ayahku dikawal
beberapa personil tentara. Aku melihat sekawanan keledai liar sedang
merumput, dan pembantuku berada cukup jauh dariku. Aku berpikir lalu
memutusakan dalam hati bahwa aku semestinya tidak boleh melukai salah satu
dari mereka dengan memburunya. Ketika kuda yang kutunggangi melihat mereka
dan berlari ke sana, aku mengendalikannya dan sampailah aku ke sana dan
bergerak di tengah mereka. Ujung tombak yang aku pegang bisa saja menusuk
salah satu punggung dari hewan itu, tetapi demi Allah, hewan-hewan itu bahkan
tidak mengangkat kepalanya sedikitpun. Kemudian para pengawal melihatku, dan
saat mereka tiba, keledai-keledai itu berlarian. Aku tidak tahu bagaimana
menjelaskan hal ini, sampai aku kembali ke jalan (spiritual), yaitu jalan
Allah. Kemudian melalui pengamatan interaksi sosial, aku mengetahui
penyebabnya, yaitu perasaan ketenangan dan keamanan yang kurasakan terhadap
mereka (hewan-hewan itu) telah mengkomunikasikan dirinya sendiri.”
Tampaknya Ibn Arabi muda diharapkan untuk mengikuti jejak ayahnya,
bertugas dalam pasukan tentara sultan selama beberapa waktu, dan juga
dijanjikan kedudukan sebagai asisten gubernur Sevilla. Dia sendiri menyebut
periode kehidupan ini periode jahiliyyah. Jahiliyyah Ibn Arabi ini bukanlah
masa ketika ia melakukan maksiat atau tindakan yang kurang terpuji, melainkan
hanya ketidak peduliannya terhadap Tuhan dan terbujuk oleh daya tarik
duniawi.
Sejak tahun 620 H./1223 M. Ibn Arabi tinggal di Damaskus, di mana dia
dengan sejumlah murid-muridnya tetap tinggal di sana hingga akhir hayat. Dia
memanfaatkan waktunya untuk belajar, menulis dan mengajar. Pada saat yang
bersamaan dia juga melibatkan diri dalam kehidupan sosial-politik di
tengah-tengah masyarakatnya dan menjalin hubungan baik dengan setidaknya,
tiga raja lokal. Salah seorang dari mereka mendapat perhatian khusus dalam
tulisan-tulisannya. Dalam sebuah dokumen yang ditulis tahun 632 H./1240 M.
dia meminta idzin kepada Ayyubid Mudzaffar al-Din Musa (memerintah di
Damaskus antara tahun 627–632 H.) untuk mengajarkan seluruh ajarannya yang ia
tuangkan dalam 290 tulisan. Dalam dokumen tersebut dia menyebutkan 99 nama
gurunya.
Kapan dia meninggal? Untuk menjawab pertanyaan ini tidak ada sumber yang
menyebutkan dengan jelas. Namun ada yang mengatakan bahwa Ibn Arabi suatu
hari sedang berjalan di tengah kerumunan massa yang sedang menghadiri
"halaqah", tiba-tiba ada yang bertanya padanya,"Di manakah
Tuhan berada?" Dengan tenang dia menjawab, "Tuhan kalian berada di
bawah kakiku." Sontak massa meneror Ibn Arabi dan konon, teror itu salah
satu penyebab meninggalnya Ibn Arabi.
Setelah beberapa lama, di bekas Ibn Arabi berdiri ada penggalian dan
ditemukanlah di situ emas-emas yang menjadi incaran banyak orang. Maka
menjadi jelaslah kini kebenaran yang dikatakan Ibn Arabi.
Sufisme Ibn Arabi
Berikut kutipan terjemahan bait syair Ibn Arabi:
“Sungguh hatiku
telah menerima segala bentuk
Ia bagai padang
rumput bagi sekawanan rusa
Biara bagi
rahib-rahib kristen
Kuil bagi
penyembah berhala, Ka’bah bagi peziarah
Hatiku adalah
lembaran Taurat dan kitab al-Qur’an
Kuanut agama
cinta, jalan yang ditempuh onta-onta cinta
Cinta adalah
agama dan jalan (keyakinan)-ku”
Bait syair tersebut dihadirkan di sini karena sesuai sekali dengan jalan
pikiran Ibn Arabi tentang humanisme dan –lebih spiksifik dan trend saat ini-
kesatuan agama-agama (the unity of religions). Ini mengingatkan
kita pada sebuah teori emanasi dalam filsafat; segala rupa muncul dari Yang
Satu, tetap Satu dan akan kembali pada Yang Satu. Agama pada dasarnya juga
satu, kepunyaan Allah Yang Maha Satu, apapun wadah dan namanya. Manusia
mempunyai kepercayaan yang berbeda-beda tentang Tuhan, namun mereka mempunyai
keyakinan yang sama “Tuhan itu ada”.
Ibn Arabi, sepanjang pada persoalan yang dibahas tentang ketasawufannya
dalam tulisan ini, konsisten mengembalikan segala hal pada satu tema dasar
“segala sesuatu saling berhubungan melalui akar kesamaan dalam realitas
ketuhanan”. Keanekaragaman alam semesta yang tak terbatas, tidak lain adalah
manifestasi lahir belaka dari nama-nama Tuhan, dan wajah Tuhan tercermin
pada segala ciptaan-Nya. Nama-nama Tuhan dalam wahyu bagi Ibn Arabi menjadi
kunci untuk pintu yang akan membukakannya pada dunia yang tidak nampak oleh
mata lahir (Hamid, 2004: 209).
Agama –dalam hal ini juga sufisme-, memang persoalan batin, i’tikad dan
olah rasa/emosi, oleh karena itu sangat mementingkan kemampuan memenej jiwa,
dan substansi agama memang terletak di wilayah itu. Sungguhpun tempat di mana
keyakinan bersemayam bukan pada nalar-intelektual, akan tetapi agama juga
mengajak para pengikutnya untuk menggunakan (mengolah ) akal, dan hanya
orang-orang yang berakal sajalah yang (sempurna-dalam) beragama (Hamid, 2004:
209).
Dalam pandangan Ibn Arabi, ada tiga mode validitas dasar untuk memperoleh
pengetahuan; penyelidikan rasional, wahyu kenabian, dan penyingkapan (kasyf) atau pembukaan
pengetahuan untuk menuju pengetahuan Tuhan. Dalam konteks dua model pertama,
dia mengikuti aturan yang dirumuskan oleh para ahli yang relevan dalam ilmu
pengetahuan tersebut, seperti logika dan yurisprudensi (ushul al-fiqh), dan
dia secara jelas memisahkan antara yang sesaui dengan ketentuan-ketentuan
yang rasional dan yang tidak, antara yang benar menurut aturan yurisprudensi
ataupun yang tidak. Pada saat yang sama, di dalam perspektif mode pengetahuan
ketiga, dia menerima keabsahan setiap perspektif yang ada. Karena itu, dalam Futuhat, seperti dikutip
William C. dia menulis:
“Agama wahyu mempunyai kekuasaan di mana realitas yang
tidak mengikutinya akan terperosok, hanya kemampuan nalarlah yang mempunyai
kekuasaan semacam itu. Saya hidup di saat ini, dengan nalar saya menolak apa
yang ditolak akal, dan kemudian sejak itu kehadiran saya adalah akal. Namun
saya bisa menolaknya dengan penyingkapan (kasyf) atau dengan wahyu. Dengan
agama wahyu saya menolak apa yang ditolak agama tersebut, sejak itu kehadiran
saya adalah agama wahyu. Saya tidak bisa menolaknya dengan kasyf atau nalar.
Berkenaan dengan penyingkapan, akal tak menolak apapun. Sebaliknya dia
meneguhkan segala sesuatu menuju tingkat yang lebih baik. (William C, 2001: 27)
Di dalam naskah-naskah klasik ataupun modern Ibn Arabi sangat sering
dikenal sebagai pencetus pertama doktrin wahdat al-wujud “kesatuan wujud atau kesatuan eksistensi”. Namun ekspresi ini tidak
ditemukan dalam karya-karyanya. Kalaupun al-Syaikh al-Akbar ini tidak pernah
mengekspresikan wahdat al-wujud, dia seringkali membuat pernyataan-pernyataan
yang semakna dengannya, karena itu, sah saja bila diklaim bahwa dia mendukung
ide wahdat al-wujud (Chittick, 2001: 27).
Diantara bait-bait puisi yang mendeskripsikan aspek tasawwuf Ibn Arabi
seperti berikut ini (Ibn Arabi, 1964: 83):
فيحمدنى
وأحمـــده #
ويعبـدنى وأعبـده
ففى
حال أقربـــه # وفى الآعيان أجحده
فيعرفنى
وأنكـــره #
وأعرفـه فـأشهده
فأنى
بالغنى وأنـــا # أساعده فأسعـده
لذلك
الحق أوجدني #
فأعلمه فأوجــده
بذا
جاء الحديث لنا # وحقق فى مقصـده
“Maka Ia memujiku aku memuji-Nya, dan Ia menyembahku akupun
menyembah-Nya
Dalam hal (lahir) aku mengakui-nya, dan dalam hal lain
(hakiki) aku menolaknya
Maka Ia mengenalku aku tak mengenal-Nya, lalu aku
mengenal-Nya akupun menyaksikannya
Maka bagaimana mungkin Ia bisa cukup, padahal aku
menolong dan membahagiakan-Nya
Untuk itulah al-Haqq mewujudkan aku, maka akupun
mengetahui dan mewujudkan-Nya
Demikianlah, sebuah perisiwa datang pada kita dan di
dalam diriku terealisasi tujuan-Nya”
Bila bait puisi di atas dipahami secara literal, kesimpulan yang
diperoleh ialah bahwa Ibn Arabi telah mengabaikan arti ketuhanan, ia telah
memperlakukakan Tuhan setara dengan dirinya (makhluk), hingga ia dihukumi
kafir karena dianggap menghina Tuhan. Akan tetapi, bila hal ini dikembalikan
pada doktrin wahdat al-wujudnya, yang merupakan landasan bertolaknya dalam memandang segala sesuatu,
maka apa yang diucapkan adalah benar-benar saja.
Sekalipun Syaikh menggunakan kata wujud dalam pengertian yang beragam, ia
memahami istilah tersebut dengan satu pengertian fundamental, kemudian
menyajikan fakta bahwa wujud adalah satu. Perbedaan pengertian pada saat
istilah tersebut digunakan harus dapat dipahami dengan mengandaikan perbedaan
realitas tunggal dari pemahaman wujud itu sendiri. Pada tingkat tertinggi,
wujud adalah realitas Tuhan yang absolut dan tak terbatas, yakni “Wujud
Niscaya” (wajib al-wujud ). Dalam pengertian ini, wujud menandakan esensi
Tuhan atau al-Haq, satu-satunya realitas yang wujudnya ada di setiap sisi.
Sedang pada tingkat terbawah, wujud berupa substansi yang meliputi segala
sesuatu selain Tuhan (ma siwa Allah). Dengan cara inilah Ibn Arabi
mendefinisikan kosmos atau jagad raya denan konsep wahdat al-wujud nya
(Hamid, 2004: 185-186).
Wal-hasil, menisbatkan asal doktrin wahdat al-wujud kepada Ibn Arabi
tidaklah salah, karena dia menegaskan bahwa wujud dalam pengertian yang
sebenarnya adalah realitas tunggal dan tidak dapat menjadi dua wujud. Dalam
hal ini, ungkapan tauhid “tidak ada tuhan (t-kecil) selain Tuhan (T-besar)” berarti “tidak ada
wujud selain Tuhan (Allah)”. Namun demikian, ia menekankan untuk menjelaskan
realitas jamak (katsroh) di dalam konteks kesatuan Tuhan.
Dalam pandangan Ibn Arabi keragaman nyaris tampak tunggal ketika ia juga
berakar dari Tuhan (al-Haqq), sebagai wujud yang tunggal dan satu-satunya
eksistensi yang sejati. Kalau boleh dianalogkan dengan cahaya yang
memancarkan aneka warna, dapat ditegaskan tentang hakikat warna tersebut,
tanpa klaim bahwa setiap warna adalah sesuatu yang ada dengan sendirinya.
Merah, hijau, ataupun apa dalam pancaran cahaya itu hanya ada melalui
sinarnya, masing-masing merupakan satu dalam substansi kilauannya, namun
beragam dalam realitas kekhasannya.
Tentang Cinta dan Keindahan
Adalah Rabi’ah al-Adawiyah (w. 185 H./801 M.) sufi yang mengilustrasikan
ibadah yang dilakukan oleh seorang hamba dengan dasar ketakutan atas siksa
dan “ketamakan“ pada pahala sebagai hamba yang menyusuri jejak orang-orang
yang kurang terpuji, dia akan patuh dan taat ketika dalam keadaan susah.
Sebaliknya, suloyo dan ingkar ketika sudah mendapatkan kenikmatan kebahagiaan. Adapun
ibadah yang dibangun atas dasar cinta, menurut Rabi’ah Adawiyah itulah yang
terpuji (benar) dan si abid dengan cintanya akan sampai pada eksistensi (rido)
yang dicinta, serta akan tersingkap baginya “kegelapan” sehingga tampaklah
olehnya segala sesuatu –realitas fisik indrawi dan batini- seperti adanya.
Rabi’ah berkata:
أحبك حببين# حب الهـــوى
وحب لآنك أهـــل لذاكا
فأما
الذى هو الحب الهــوى
فشغلى
بذكـرك عمن سـواكا
وأما
الذى أنت أهــل لـه
فكشفك
لي الحجب حتى أراكا
Ketika tabir sudah
tersingkap, ego keakuan seorang sufi menghilang
menuju ke kesatuan Yang Maha Tunggal “Al-Wahid”. Kondisi demikian ini dalam
persepektif tasawuf disebut ekstase (al-syathahat). Ada juga yang menyebutnya dengan istilah hulul atau ittihad, seperti yang
dialami Hussen ibn Manshur al-Hallaj (w. 309 H./920 M.) dengan mengatakan
(Hamid, 2004: 76):
نحن
روحان حللنا بدنا أنا من أهوى ومن أوهى أنا
فإذا
أبصرتني أبصرته وإذا أبصرته أبصـــتني
“Aku orang yang merindu, dan orang
yang merindu adalah aku
Aku dua roh menempati satu badan
Bila engkau melihatku, engkau juga melihat Dia
Bila engkau melihat Dia, engkau juga melihatku”
Dalam kondisi ekstase, seperti yang dialami al-Hallaj di atas, ia terbawa
pada ucapan-ucapan yang subyektif. Bahkan mungkin telah menjadi kebiasaan di
kalangan para sufi ketika berada dalam situasi tersebut mereka hanya
mengemukakan perasaan yang dialami dirinya sendiri. Artinya mereka kehilangan
kontrol dan akalnya sudah tidak mampu menguasai emosinya.
Kembali pada persoalan cinta, dalam salah satu karyanya, sang Syaikh
menerangkan adanya hubungan timbal balik antara cinta Tuhan dengan cinta
makhluk-Nya melalui term penglihatan (ru’yah) dan
pendengaran (sama’). Cinta Tuhan kepada makhluk-makhluk-Nya bermuara pada penglihatan
terhadap mereka di dalam diri-Nya sendiri, di mana mereka identik dengan
diri-Nya. Dia melihat mereka melalui “perbendaharaan yang tersembunyi“ (kanzan makhfiyan), sehingga Dia ingin dikenal. Cinta makhluk terhadap Khaliq–Nya berasal dari
pendengaran akan firman “jadilah” yang kemudian menjadikan mereka terwujud.
Lebih lanjut ia mengatakan, “Sebagaimana cinta kita kepada-Nya, asalnya
adalah ‘pendengaran’ bukan ‘penglihatan’. Ia adalah firman-Nya kepada
kita-sementara kita berada dalam substansi awan-“jadilah”. Dalam hal ini,
awan berasal dari nafas-Nya, sementara bentuk-bentuk yang disebut kosmos
berasal dari firman-Nya ”jadilah”, karenanya kita adalah firman-Nya yang
tidak tertulis. Ketika kita mendengar firman-Nya, sementara kita berada dalam
substansi awan, kita tidak bisa menarik diri dari eksistensi. Kita menjadi
bentuk-bentuk yang berada di dalam substansi awan. Melalui pengejawantahan
kita di dalam awan, Dia memberi kita wujud awan. Sesuatu yang mewujud berarti
telah memperoleh wujud. Inilah asal dari cinta kita kepada ”Tuhan” (Chittick,
2001:353).
Karakter cinta selalu egois dan berorientasi diri, namun ini tergantung
diri macam apa yang dimaksud. Jika perasaan cinta yang ada pada seseorang
ditujukan untuk Tuhan, sebetulnya dia mencintai Tuhan itu adalah demi
kegembiraan dan kebahagiaan yang dirasakannya sendiri. Demikian juga jika
cintanya untuk seseorang, cinta tersebut adalah demi kegembiraan dan kebahagiaannya
sendiri. Namun demikian, hal seperti ini bukanlah suatu kesalahan, karena
cinta alamiah semacam ini sepenuhnya pembawaan manusiawi.
Pengetahuan tentang makna cinta semacam ini yang menandai posisi umumnya
manusia, dan menjadi awal dari cinta spiritual. Mencintai adalah melupakan
semua yang lain, menutup mata dan telinga untuk semua hal selain kepada yang
dicinta, “kekasih”. Pada titik tertentu cinta akan tergiring pada kesadaran
bahwa kekasih sebenarnya yang dicinta adalah Dzat yang menampakkan diri di
dalam bentuk namun secara paradoks sekaligus disembunyikan oleh bentuk.
Membayangkan bahwa “kekasih“ sejati maujud dalam satu bentuk tidak lain
adalah sejenis orang mabuk yang tersesat dan tak tahu arah.
Tentang kekasih sejati ini, Ibn Arabi (Turjumal Aswaq: 39) mengatakan:
أحباب
قلبى أينهم #
بالله قــولوا أينـهم
كما
رأيت طيفهم #
فهـل ترينى عينـهم
فكم
وكم أطلبهم #
وكـم سـأت بينهم
حتى
أمنت بينهم #
ومـا أمنت بينـهم
لعل
سعدى حايل #
بين النـوى وبينـهم
لتـن
العين بهم #
فلا أقـول أينـهم
Kekasih hati, katakan di mana mereka
Kau tahu pengembaraannya, mengapa tak kau tunjukkan kebaraberadaannya
Betapa aku telah mencari-cari, dan meminta selalu bersama mereka
Hingga karena takut berpisah, kini aku gelisah di tengah mereka
Tapi mungkin kebahagiaanku memang terpendam, di tengah jagad raya dan
kekasih itu
Maka kini diri ini merasa bahagia, dan tak lagi bertanya di mana mereka
Dalam penyingkapan untuk mengetahui Dia Sang “Kekasih” kepada hati, para
sufi menghubungkannya dengan dua nama Ilahi yang menurut Ibn Arabi merupakan
penyebab cinta ; sifat keindahan (jamal) dan keindahan dalam amal (ihsan).
Yang disebut belakangan ini, seperti dijelaskan William C. mengandung semua
jenis resonansinya dalam bahasa Arab : amal yang baik atau benar, kemurahan
hati, kecantikan, kebaikan. Kata itu juga mengandung dua konotasi khusus dari
akar yang sama terhadap kata husna yang berarti paling indah, dan
merupakan julukan dari nama-nama Ilahi, nama-nama yang paling indah (
al-Asma’ al-Husna). Kedua mengacu kepada dialog yang terjadi antara Nabi Muhammad dengan Jibril. Ketika Jibril meminta Nabi untuk mendefinisikan ihsan, Ia
menjawab :
" أن تعبد
الله كأنك تراه فإن لم
تكن
تراه فإنه يراك "
Jadi ihsan atau
amal yang baik atau indah adalah menyembah Allah seolah-olah melihat-Nya, yaitu
melihat kualitas positif dalam setiap perwujudan. (Chittick, 2001:264)
“Penyebab cinta
adalah keindahan (jamal) yang merupakan milik-Nya, dan keindahan dicintai
karena diri-Nya sendiri, “Allah itu Maha Indah dan mencintai keindahan”. Jadi, Dia mencintai Diri-Nya sendiri dan penyebabnya adalah tindakan
memperindah (ihsan). Tidak ada tindakan memperindah kecuali dari Allah, dan
tidak ada yang menjadikan indah kecuali Allah. Maka, ketika aku mencintai
karena tindakan keindahan, aku hanya mencintai Allah semata, karena Dia
adalah yang menciptakan keindahan (muhsin), dan ketika aku mencintai
keindahan, aku tak mencintai satupun kecuali Allah, karena Dia Yang Maha
Indah (jamil). Jadi di dalam setiap aspek, cinta selalu dihubungkan hanya
dengan Allah.
Dalam hubungannya dengan agama, sebagai bentuk formal keyakinan umat, dan
seringkali menjadi spirit utama tindak kemanusiaan yang dihubungkan dengan
ketuhanan, Ibn Arabi mengajarkan :
”My heart has
become capable of every form : it is a pasture for gazelles and a convent for
christian monks,
And a temple for
idols and the pilgrim’s Ka’ba and the tables of the Tora and the book of the
Koran,
I follow the
religion of love : whatever way love’s camels take, that is my religion and
my faith”.
Penutup
Ibn Arabi secara tipikal
dianggap sebagai seorang sufi-falsafi, anggapan ini relatif benar jika
dipahami istilah sufisme-falsafi yang ditekankan pada pemikiran teoritis dan
praktek keagamaan yang menekankan pada pengalaman spiritual langsung dari
obyek-obyek iman. Seperti para penganut tasawuf lainnya, ia juga sering
dikutip sebagai pendukung ide “the unity of religion” di mana agama dipahami
tidak hanya sebagai bentuk, tapi secara hakiki “kepasrahan” total yang titik
tolaknya dari sebuah keyakinan di dalam hati. Oleh karena itu, kaum sufi umumnya memiliki sikap toleran dan sangat
mengagumkan terhadap praktek-praktek keagamaan yang sepintas bertentangan
dengan pakem -syari’ah- (fiqh) dibanding dengan kaum non sufi.
Nisbah tasawuf-falsafi kepada Ibn Arabi juga karena tulisan-tulisannya
kaya dengan pemikiran filsafat. Pemikiran tersebut antara lain tentang proses
keyakinan kegamaan yang hubungannya dengan wahyu, pemikiran rasional, dan
imajinasi, tentang kosmos dengan kemungkinan kebersatuannya dengan “al-Haqq”,
manusia bisa “manunggal” dengan Allah karena adanya kesamaan esensi antara
keduanya.
Sudah menjadi tradisi kaum sufi, memandang keberagamaan ataupun
sikap-sikap fisik-dhahiriyah pada akar penggeraknya yaitu batin.
Secara sederhana, bahasan pada tulisan ini adalah kupasan tentang rasa cinta
dan keindahan yang melahirkan penghormatan terhadap segala entitas yang ada
di jagad. Kaum sufi memberi penekanan lebih besar pada kualitas-kualitas
tertentu yang mempererat ikatan antara pecinta dan yang dicinta. Cinta itu
sendiri, menurut pandangan Ibn Arabi disebabkan oleh dua hal ; “jamal”
keindahan yang dicintai Tuhan, dan “ihsan” keindahan sikap untuk meraih cinta
Tuhan. Maka cinta akan terealisir dalam kosmologi insani pada sikap-sikap
yang elok dan mengagumkan.R
DAFTAR PUSTAKA
Basaj. Hasan. 1990. Diwan Ibn Arabi. Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyah.
Chittick, William C. 2001. Tuhan Sejati dan Tuhan-tuhan Palsu,
terj. Achmad Nidjam dkk. Yogyakarta: Qalam.
__________. 2001. Dunia Imajinal Ibn Arabi: Kreativitas Imajinasi dan
persoalan Diversitas Agama, Terj. Achmad Syahid. Surabaya: Risalah
Gusti.
Corbin, Henry.
1969. Creatif Imagination in the Sufisme of Ibn Arabi. Princeton:
Princeton Univercity Press.
Hamid, Nashr Abu
Zaid. 2004. Hakadza Takallama Ibn Arabi. Al-Maghribi: Dar a-Baidla’i.
Hirtenstein,
Stephen. 2001. Dari Keraguan ke Kesatuan Wujud; Ajaran dan Kehidupan
Spiritual Syaikh al-Akbar Ibn Arabi. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Hussen, Sayyed Nasr.
1964. Three Muslim Sages. Cambridge: Cambridge University Press.
Ibn Arabi,
Muhyiddin. 1978. The Turjuman al-Aswaq, by Reynold A. Nicholson.
London: Theosophichal Publishing House.
__________.
1964. Fushush al-Hikam. Abu al-A’la Afifi (Ed). Kairo: Dar Ihya
al-Kutub al-Arabiyah.
__________.
1968. Dakha’ir al-A’laq. Muhammad Abdirrahman al-Kurdi (Ed). Kairo:
Tanpa Penerbit
Ahmad Kholil
|