بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
اللهُم َّصلِّ علٰى سَيِّدنا مُحَمّدٍ عبدِكَ وَنبيِّكَ ورسولِكَ النَّبيِّ الاُمِيّ وَعلٰى اٰلهِ وَصَحْبِهِ وسَلِّم تسليماً بقدرِ عظمةِ ذاَتِكَ في كـُلِّ وَقتٍ وَحيـنٍ
BAB PENJELASAN HAKIKAT KASIH SAYANG DAN SEBAB-SEBABNYA DAN PEMASTIAN MAKNA KECINTAAN HAMBA KEPADA ALLOH SWT.Ketahuilah kiranya bahwa yang dicari pada pasal ini tidak akan terbuka melainkan dengan mengetahui hakikat kecintaan, tentang kecintaan itu sendiri, kemudian mengetahuui syarat-syarat dan sebab-sebabnya, kemudian setelah itu memperhatikan pada pemastian maknanya terhadap kecintaan kepada ALLOH SWT.
Maka yang pertama, yang seharusnya dipastikan ialah : tidak akan tergambar adanya kecintaan kecuali sesudah ma’rifah (kenal) dan idrak (mengetahui). Karena manusia itu tidak akan mencintai melainkan apa yang ia ketahui, dan karena itulah tidak akan tergambar barang yang beku/mati mempunyai sifat kecintaan. Akan tetapi kecintaan itu adalah suatu sifat yang khusus bagi yang hidup, yang mengetahui. Kemudian hal-hal yang diketahui itu terbagi kepada :
- yang bersesuaian dengan tabi’at yang mengetahui, yang cocok, yang enak baginya.
- yang berketiadaan, yang berjauhan dan menyakitinya.
- Yang tidak membebaskan padanya dengan menyakitkan dan melezatkan.
Maka setiap yang diketahui itu sesuatu yang lezat dan menyenangkan, niscaya akan dicintai oleh yang mengetahui. Dan apa yang diketahuinya itu sesuatu yang pedih, maka akan dibenci oleh yang mengetahui. Dan yang terlepas dari akibat kepedihan dan kelezatan maka keadaannya tidak disifatkan dengan dicintai atau dibenci.
Jadi, setiap yang enak itu dicintai oleh yang menerima keenakan. Makna keadaannya itu dicintai adalah bahwa tabi’atnya cenderung kepadanya. Dan makna benci adalah bahwa tabi’atnya itu lari / menjauh dari padanya.
Maka cinta itu adalah kecenderungan tabi’at kepada sesuatu yang melezatkan. Jikalau kecenderungan itu kokoh dan kuat niscaya dinamakan ‘asyiq (hati bergantung kepadanya). Dan benci itu ibarat dari larinya tabiat dari yang memedihkan, yang memayahkan. Apabila benci telah kuat niscaya dinamakan maqtan (sangat benci).
Inilah asal usul dari kahikat makna cinta, yang harus kita kenal.
Asal-usul yang kedua adalah bahwa cinta apabila padanya itu pengikut bagi idrak dan ma’rifah niscaya tidak mustahil akan terbagi menurut pembagian yang di-idrak-kan dan panca indera. Setiap panca indera memiliki idrak bagi semacam yang di-idrak-kan. Bagi setiap sesuatu dari padanya memiliki kelezatan pada sebagian yang di-idrak-kan. Dan bagi tabi’at yang dengan sebab kelezatan yang demikian, pasti mempunyai kecenderungan padanya. Maka semua yang diketahui itu menjadi dicintai pada tabi’at yang sehat. Kelezatan mata itu pada melihat, mengetahui segala yang dilihat, yang cantik dan semua bentuk yang manis, yang bagus, yang melezatkan. Kelezatan telinga itu ada pada bunyi-bunyian yang merdu, yang tertimbang tinggi rendahnya. Kelezatan penciuman itu ada pada bebauan yang harum. Kelezatan rasa itu ada pada makanan, dan kelezatan sentuhan itu pada yang halus dan licin.
Tatkala yang diketahui dengan panca indera itu melezatkan niscaya dia akan dicintai. Artinya adalah kecenderungan kepada tabi’at yang sehat kepadanya. Sehingga Rosululloh SAW bersabda :
Menjadi kecintaan bagiku dari duniamu tiga perkara : bau-bauan, wanita, dan dijadikan cahaya mataku pada shalat.
Dinamakan bebauan itu dicintai, sebagaimana dimaklumi bahwa tidak ada bahagian untuk mata dan telinga pada bau-bauan itu, akan tetapi hanya bagi penciuman saja. Dan dinamakan wanita itu dicintai, karena tidak ada bagian pada wanita itu selain bagi penglihatan dan sentuhan, tidak bagi penciuman, rasa dan pendengaran. Dinamakan shalat itu cahaya mata dan dijadikannya yang paling dicintai, sebagaimana dimaklumi bahwa sesungguhnya panca indera itu tidak mendapatkan keberuntungan dengan shalat akan tetapi indera yang ke-enam lah yang tempat sangkaannya itu adalah hati yang tidak akan diketahui selain oleh orang yang mempunyai hati.
Kelezatan panca indera yang lima itu bersekutuan padanya antara binatang dengan manusia (keduanya sama-sama memiliki). Maka jikalau cinta itu dibatasi hanya kepada apa yang diketahui oleh panca indera – sehingga dikatakan bahwa ALLOH SWT itu tidak ber-idrak dengan panca indera dan tidak bercontoh pada khayalan, maka IA tidak mencintai. Jadi, batalah kekhususan manusia dan apa yang berbedanya manusia dari panca indera yang ke enam yang diibaratkan daripadanya. Adakalanya dengan nur, akal dan hati atau dengan apa yang engkau kehendaki dari ibarat-ibarat yang lain, maka tidaklah bersempit-sempit padanya. Dan amat jauhlah yang demikian. Sesungguhnya penglihatan mata hati yang bathiniyah itu lebih tajam dari pada penglihatan lahiriyah. Hati itu lebih kuat idrak-nya daripada mata. Keindahan pengertian-pengertian yang diketahui dengan akal itu lebih besar dari keindahan bentuk-bentuk lahiriyah dari penglihatan.
Maka tidaklah mustahil adanya kelezatan hati dengan apa yang dilihatnya dari hal-hal yang mulia yang bersifat Ketuhanan, yang sukar di-idrak-kan oleh panca indra itu lebih sempurna dan lebih bersangatan. Maka adalah kecenderungan tabi’at yang sejahtera dan akal yang sehat kepadanya itu lebih kuat. Tak ada arti bagi cinta selain kecenderungan kepada apa yang diketahuinya itu lezat, sebagaimana akan datang uraiannya (insya-Allah). Jadi tidaklah dimungkiri akan kecintan kepada ALLOH SWT selain orang yang telah duduk bersimpuh padanya keteledoran dalam derajat binatang, sehingga sekali-kali ia tidak dapat melampaui idrak panca indera.
Asal usul ketiga adalah, tidak tersembunyi lagi bahwa manusia itu mencintai diri sendiri. Da tidak tersembuntyi pula bahwa manusia itu terkadang mencintai orang lain, karena dirinya sendiri. Adakah tergambar manusia itu mencintai orang lain karena diri orang lain itu bukan karena dirinya sendiri ?
Ini termasuk beberapa hal yang terkadang sulit atas orang-orang yang lemah sehingga mereka itu menyangka bahwa tidak tergambar dimana manusia itu mencintai orang lain karena diri orang lain itu selama keuntungan dari orang lain itu tidak kembali kepada yang mencintai selain mengetahui dirinya.
Yang benar, bahwa yang demikian itu bisa tergambar dan ada. Maka marilah kita terangkan sebab-sebab cinta dan bahagian-bahagiannya.
Penjelasannya bahwa kecintaan yang pertama pada setiap yang hidup itu adalah dirinya sendiri (cinta kepada diri sendiri). Makna cintanya kepada dirinya adalah bahwa pada tabi’atnya itu cenderung kepada kekekalan keberadaannya, lari dari ketiadaan dan kebinasaannya. Karena yang dicintai dari tabi’at itu adalah yang bersesuaian dengan yang mencintai. Manakah yang lebih sempurna kesesuaian dari dirinya dan kekekalan terus adanya ? Manakah sesuatu yang lebis besar berlawanan dan kelarian darinya dari tidak adanya dan kebinasaannya ?
Karena itulah manusia mencintai kekekalan dan tidak menyukai mati terbunuh. Tidak semata-mata karena apa yang ia takuti sesudah mati dan tidak pula seamta-mata takut dari sakaratul maut, akan tetapi jikalau ia disambar tanpa ada kesakitan dan dimatikan tanpa pahala dan siksa niscaya ia tidak ridha / mau dengan yang demikian. Ia tidak menyukai mati dan ketiadaan semata, selain karena kepedihan dan penderitaan dalam hidup.
Manakala ia terkena oleh suatu cobaan, maka yang dicintainya adalah hilangnya cobaan itu. Maka jikalau ia mencintai ketiadaannya niscaya ia tidak mencintainya karena itu suatu ketiadaan dirinya, akan tetapi dikarenakan hilangnya cobaan (kepedihan) pada dirinya.
Maka kebinasaan dan ketiadaan itu dibencikan. Dan kekekalan (terus menerus ada) itu dicintakan. Sebagaimana kekekalan itu dicintakan (disuka), maka kesempurnaan ada itu juga dicintakan, karena sesuatu yang kurang itu meniadakan kesempurnaan. Dan kekurangan itu tidak ada, dikaitakn kepada kadar yang hilang (yang tiada diperoleh). Dan itu kebinasaan dengan dibandingkan kepadanya.
Binasa dan tidak ada itu dibencikan pada sifat-sifat dan kesempurnaan ada (wujud), sebagaimana dia itu dibencikan pada pokok zatnya sendiri. Sedangkan adanya sifat-sifat kesempurnaan itu dicintakan sebagaimana kekekalan pokok adanya itu dicintakan.
Ini adalah gharizah / instink pada tabi’at-tabi’at dengan hukum sunatuLlah :
Dan tiada engkau dapati sunnah ALLOH itu digantikan (Al-Ahzab 62)
Jadi yang pertama dicinta oleh manusia adalah zat dirinya., kemudian keselamatan anggota badannya, kemudian hartanya, anaknya, kaum keluarganya, dan teman-temannya.
Anggota-anggota badan itu dicintai keselamatannya dicari karena kesempurnaan wujud dan kekekalan wujud itu terletak padanya. Harta itu dicintai karena dia itu juga alat pada kekekalan wujud dan kesempurnaannya. Demikian juga sebab-sebab yang lain. Manusia mencintai semua ini bukan karena bendanya, akan tetapi karena keterkaitan keberuntungannya pada kekekalan wujudnya dan kesempurnaannya dengan hal-hal tersebut. Sehingga manusia itu mencintai anaknya walaupun ia tiada memperoleh keuntungan daripadanya. Bahkan ia mau menanggung kesukaran lantaran anak itu karena anak itu akan menggantikannya pada adanya dirinya sesudah ia tiada. Maka pada kekekalan keturunannya itu menjadi semacam kekekalan baginya. Oleh karena itu karena bersangatan kecintaan manusia akan kekekalan dirinya sehingga ia mencintai kekekalan orang yang berdiri pada tempat kediriannya (yang menggantikannya). Dan seakan-akan orang itu menjadi bagian dari dirinya karena ia menyadari kelemahan bahwa mengharap pada kekekalan dirinya untuk selama-lamanya.
Benar jikalau disuruh memilih antara ia dibunuh atau anaknya, apabila tabi’atnya benar niscaya ia memilih kekekalan dirinya di atas kekekalan anaknya karena kekekalan anaknya itu menyerupai kekekalannya dari satu segi, dan tidaklah kekekalan anaknya itu sebagai kekekalannya yang sebenarnya.
Seperti ini juga kecintaan kepada kaum kerabat dan familinya itu kembali kepada kecintaannya bagi kesempurnaan dirinya sendiri. Ia melihat dirinya akan banyak dengan mereka dan menjadi kuat dengan sebab mereka, bertambah elok dengan kesempurnaan mereka. Bahwa famili, harta benda dan sebab-sebab yang di luar dirinya adalah seperti sayap yang menyempurnakan bagi manusia. Oleh karena itu kesempurnaan wujud dan kekelannya sudah pasti dicintai dengan tabiat.
Jadi, kecintaan yang pertama pada setiap yang hidup adalah dirinya, kesempurnaan dirinya dan kekekalan itu semua. Sedangkan yang tidak disukainya adalah lawan dari semua itu. Inilah permulaan dari sebab-sebab itu !
Sebab kedua : adalah berbuat baik (ihsan). Bahwa manusia adalah budak dari (Al-Ihsan). Telah menjadi tabi’at manusia bahwa ia mencintai orang yang berbuat baik kepadanya dan membenci orang yang berbuat jahat kepadanya. Rosululloh SAW bersabda :
Ya ALLOH Tuhanku, jangan Engkau jadikan bagi orang jahat mempunyai tangan (berpengaruh) atasku, maka ia dicintai oleh hatiku.Sebagai isyarat bahwa kecintaan hati kepada orang yang berbuat baik adalah suatu keharusan, yang tidak sanggup menolaknya, yaitu suatu tabi’at dan fitrah manusia yang tiada jalan kepada merubahnya.
Dengan sebab ini kadang-kadang manusia mencintai orang asing yang tiada ada tali kefamilian serta hubungan antara dia dengan orang asing tersebut. Dan ini apabila telah pasti, maka kembali pada sebab yang pertama itu.
Bahwa orang yang berbuat kebaikan itu ialah orang yang meenolong dengan harta, bantuan dan sebab-sebab lain yang menyampaikan kepada kekekalan terus adanya, kesempurnaan adanya dan keberhasilan keuntungan-keuntungan yang dengan itu tesedialah wujudnya. Hanya saja perbedaannya adalah : anggota tubuh manusia itu dicintakan karena dengannya terdapat kesempurnaan wujudnya, dan itu adalah kesempurnaan itu sendiri yang dicari.
Adapun orang yang berbuat al-ihsan (berbuat baik kepadanya) maka tidaklah ia itu diri kesempurnaan yang dicari akan tetapi terkadang sebagai sebab bagi kesempurnaan. Seperti tabib/dokter yang menjadi sebab pada kekekalan sehatnya anggota-anggota badan. Maka diperbedakan diantara cinta kepada kesehatan dan cinta kepada tabib yang menjadi sebab kesehatan. Karena kesehatan itu dicari bagi diri kesehatan itu, dan tabib dicintai tidak karena dirinya akan tetapi karena dia menjadi sebab bagi kesehatan.
Seperti demikian juga ilmu yang dicintai. Guru itu dicintai. Akan tetapi ilmu itu dicintai bagi ilmu itu sendiri. Dan guru itu dicintai karena adanya guru itu menjadi sebab bagi ilmu yang dicintai. Begitu pula makanaan dan minuman itu dicintai dan uang / emas itu dicintai. Akan tetapi makanan itu dicintai bagi makanan itu sendiri dan uang dinar/emas itu dicintai karena dia menjadi perantara (wasilah) kepada makanan.
Jadi kembalilah perbedaannya kepada berlebih kurangnya tingkat. Jikalau tidak, maka setiap satu itu kembali kepada kecintaan manusia kepada dirinya. Maka setiap orang yang mencintai orang yang berbuat baik / ihsan karena ke-ihsanan-nya, maka sesungguhnya ia tidak mencintai diri orang itu pada hakekatnya, akan tetapi ia mencintai ke-ihsanan-nya yaitu suatu perbuatan dari beberapa perbuatannya. Jikalau hilang (keihsanan) itu niscaya hilang pula kecintaan itu semenrata diri orang itu masih tetap pada keadaannya yang sebenarnya. Jikalau berkurang kebaikannya, niscaya berkurang pula kecintaannya. Dan jikalau bertambah, niscaya bertambah pula kecintaan. Berlaku padanya bertambah dan berkurang menurut bertambah dan berkurangnya ihsan.
Sebab ketiga, bahwa mencintai sesuatu itu dikarenakan diri sesuatu itu sendiri, bukan karena keuntungan yang diperoleh daripadanya dibalik sesuatu itu sendiri. Akan tetapi adalah dirinya itu menjadi kenuntungan itu sendiri. Dan itulah kecintaan yang hakiki yang sampai kepada yang dimaksud yang dipercayakan dengan kekekalannya.
Yang demikian itu seperti kecintaan kepada kecantikan dan kebagusan, bahwa kecantikan itu dicintai pada orang yang mengetahui akan kecantikan. Dan itu adalah karena kecintaan itu sendiri karena mengetahui akan kecantikan maka padanya itu kelezatan tersendiri, yang dicintai karena dirinya benda itu bukan karena lainnya.
Anda jangan menyangka bahwa mencintai sesuatu yang cantik itu tidak tergambar selain karena memenuhi nafsu syahwat. Bahwa memenuhi nafsu syahwat itu suatu kelezatan yang lain yang kadang-kadang rupa yang cantik itu dicintai karena rupa yang cantik itu sendiri. Mengetahui kecantikan itu juga suatu kelezatan. Maka bolehlah bahwa kecantikan itu dicintai karena kecantikan itu sendiri.
Adalah
Rosululloh SAW itu tertakjubkan oleh sayuran dan air yang mengalir. Tabi’at yang sehat itu terpenuhi, dengan kelezatan memandang kepada cahaya, bunga-bungaan dan burung-burung yang indah warnanya, ukiran yang bagus, yang bersesuaian bentuknya, sehingga manusia itu menjadi lega dari kegundahan dan kesusahan dengan memandang kepdanya. Tidak karena mencari keuntungan dibalik memandang itu.
Maka inilah sebab-sebab yang melezatkan, dan setiap yang melezatkan itu disukai. Setiap kebagusan dan kecantikan maka tidaklah terelepas mengetahuinya dari kelezatan. Dan tidak seorangpun menungkiri akan keadaan kecantikan itu disukai menurut tabi’at manusia.
Kalau sudah pasti bahwa ALLOH SWT itu elok dan indah maka sudah pasti bahwa Dia itu dicintai oleh orang yang tersingkap baginya keelokan dan keagungan-Nya sebagaimana
Rosululloh SAW bersabda :
Sesungguhnya ALLOH itu indah dan mencintai keindahan.Pokok ke empat mengenai penjelasan makna bagus dan elok.
Ketahuilah bahwa yang terpenjara di dalam khayalan dan perasaan yang sempit terkadang disangka bahwa yang demikian itu tiada arti bagi kebagusan dan keelokan selain oleh kesesuaian kejadian dan bentuk, kebagusan warna, keadaan putih yang bercampur dengan kemerahan, tegak semampai dan lain sebagainya dari apa yang disifatkan bagi kecantikan seorang insan.
Bahwa kebagusan yang mengerasi atas makhluk adalah kebagusan penglihatan, dan kebanyakan penolehan mereka kepada bentuk orang-orang. Lalu disangka bahwa apa yang tidak dilihat, tidak dikhayalkan, tidak berbentuk dan tidak berwarna itu adalah suatu yang dikira-kirakan (diumpamakan), sehingga tidak tergambarlah kebagusannya. Dan manakala tiada tergambar kebagusannya, niscaya tidaklah tergambar pada idrak-nya itu kelezatan lalu tidaklah ia dicintai.
Ini adalah kesalahan yang nyata. Bahwa kebagusan itu tidaklah terbatas pada yang di-idrak-kan oleh penglihatan dan oleh keserasian kejadian dan kecampuran putih dengan kemerahan. Bahwa kita mengatakan Ini tulisan bagus, ini suara bagus, ini kuda yang bagus. Bahkan kita mengatakan ini kain yang bagus, ini bejana tempat air yang bagus. Maka dimanakah makna kebagusan suara, tulisan dan lain sebagainya, jikalau tidaklah kebagusan itu hanya terbatas pada rupa ?
Sebagaimana diketahui bahwa mata itu merasa lezat dengan memandang pada tulisan yang bagus. Dan telinga merasa enak dengan mendengar bunyi-bunyian yang bagus lagi merdu. Tiada sesuatupun dari hal-hal yang di-idrak-kan (diketahui) melainkan itu terbagi menjadi : bagus dan buruk.
Maka apakah arti bagus yang bersekutu padanya hal-hal tersebut, maka tidak-boleh tidak untuk dibahas. Adapun pembahasan tersebut akan panjang dan tidak layak dengan ilmu muamalah itu berpanjang-panjang padanya. Oleh karena itu kami tegaskan dengan sebenarnya dan kami katakan bahwa segala sesuatu, mengenai indah dan bagusnya itu terletak pada adanya kesempurnaan yang layak yang memungkinkan baginya. Apabila semua kesempurnaannya yang bersifat mungkin itu dapat terwujud, maka adalah ia itu berada pada puncak keelokan. Dan kalau yang terwujud itu sebagian, maka kebagusan dan keelokannya itu menurut kadar yang terwujud saja.
Kuda yang bagus adalah kuda yang terkumpul padanya apa saja yang layak bagi kuda, dari keadaan dan bentuk, warna, kebagusan berlari, mudah menyerbu dan berlarian padanya. Tulisan yang baus adalah tulisan yang terkumpul padanya apa yang layak bagi tulisan dari kesesuaian bentuk huruf, seimbang dan lurus susunannya, dan bagus keteraturannya. Dan bagi setiap sesuatu memiliki kesempurnaan yang layak dengan dia. Maka insan belum tentu bagus dengan apa yang bagus bagi kuda. Tidaklah bagus tulisan dengan apa yang bagus bagi suara. Tidaklah bagus bejana-bejana dengan apa yang bagus pada kain. Begitu juga dengan barang-barang yang lain.
Jikalau anda mengatakan bahwa barang-barang tersebut walaupun tidak di-idrakkan semuanya dengan kebagusan melihat seperti suara dan rasa makanan maka sesungguhnya ia tidak terlepas dari idrak-nya panca indera kepadanya. Dan itu dirasa dengan panca indera. Dan tidaklah dimungkinkan kebagusan dan keelokan bagi yang dirasakan dengan panca indera. Dan tidak dimungkiri hasilnya kelezatan dengan idrak kebagusannya, hanya dimungkiri yang demiikian pada yang tidak di-idrak-kan dengan panca indera.
Ketahulah bahwa kebagusan dan keelokan itu terdapat pula pada apa yang tidak dirasa dengan panca indera. Karenanya dikatakan : ini tingkah laku yang baugs, ini perjalanan hidup yang bagus, ini akhlak yang bagus. Bahwa akhlak yang bagus itu dikehendaki oleh ilmu, akal, penjagaan diri (al-iffah), berani, taqwa, kemurahan hati, kepribadian, dan sifat-sifat kebajikan yang lain. Sesuatu dari sifat-sifat ini tidak dapat di-idrak-kan (dirasa) dengan panca indera akan tetapi dapat di idrak-kan (diketahui) dengan nur penglihatan mata hati yang bathiniyah. Semua sifat-sifat yang elok ini disukai. Orang yang bersifat dengan sifat-sifat tersebut pasti dicintai secara tabi’at pada orang yang mengenal sifat-sifatnya.
Keadaannya memang seperti yang demikian, bahwa tabi’at-tabi’at itu dijadikan untuk mencintai nabi-nabi AS, untuk mencintai para sahabat RA, sedang mereka itu tidak pernah disaksikan. Bahkan mencintai orang-orang yang mempunyai (pendiri-pendiri) mazhab seperti as-Syafi’i, Hanafi, Malik dan lain sebgainya, sehingga kecintaan seseorang kepada pendiri mazhabnya melampaui batas cinta. Lalu yang demikian membuatnya mau membelanjakan hartanya untuk menolong mazhabnya dan mempertahankan mazhabnya. Dan ia mau menghadang bahaya dengan nyawanya untuk memerangi orang yang mencaci maki imamnya dan orang yang ditakutinya. Berapa banyak darah ditumpahkan untuk menolong orang-orang pendiri mazhab-mazhab. Semoga kiranya aku ketahui orang yang mencintai As-Syafi’i misalnya, maka mengapa ia (As-syafi’i) dicintainya padahal sekali-kali ia tidak pernah menyaksikan bentuknya. Dan jikalau disaksikannya mungkin ia tidak akan memandang kebagusan rupanya. Maka pandangan yang bagus yang membawanya kepada cinta yang bersangatan adalah karena bentuknya yang bathiniyah bukan karena bentuknya yang zahiriyah. Bahwasanya bentuknya yang zahiriyah itu telah bertukar menjadi tanah bersama tanah. Sesungguhnya ia mencintainya karena sifat-sifatnya yang bathiniyah dari agama, taqwa, banyak ilmu, meliputi pengetahuan agama, bangunnya untuk memfaedahkan ilmu syari’at dan pada menyiarkan kebajikan-kebajikan dalam alam duniawi.
Inilah hal-hal yang elok yang tidak diketahui keelokannya selain dengan nur penglihatan mata hati. Adapun panca indera maka terbatas/singkat pandangan dari padanya.
Demikian juga orang yang mencintai Abu Bakar As-Shidiq RA, dan melebihkannya atas orang lain. Atau mencintai Ali RA dan ber-ta’assub (fanatik) kepadanya. Maka ia tidak mencintai mereka semua melainkan karena memandang bagusnya bentuk bathiniyah mereka dari ilmu agama, taqwa, berani, kemurahan hati dan lain-lain.
Maka sebagai dimaklumi bahwa orang yang mencintai Abi Bakar As-Shidiq RA, tidaklah ia mencintai tulangnya, dagingnya, kulitnya, sendi-sendi dan bentuknya karena semua itu telah hilnag, berganti dan menjadi tiada. Akan tetapi tinggalah apa yang menjadikan Abu Bakar itu Shidiq karenanya yaitu sifat-sifat yang terpuji yang menjadi sumber perjalanan hidup yang elok. maka kecintaan itu kekal dengan kekekalan sifat-sifat itu serta hilangnya semua bentuk. Sifat-sifat itu kembali semuanya kepada ilmu dan kesanggupan, apabila ia telah mengetahui segala urusan dan sanggup membawa dirinya kepadanya dengan memaksakan nafsu syahwatnya. Maka semua sifat kebajikan itu bercabang dari dua sifat tadi. Keduanya tidak dapat dijangkau dengan panca indera, dan tempat keduanya dari jumlah badannya itu menjadi bagian yang tidak terpisahkan. Dan itu dicintai dengan sebenarnya. Dan tidaklah bagian yang tidak terpisahkan itu suatu rupa bentuk dan warna yang tampak bagi penglihatan sehingga karenanya ia dicntai.
Jadi, keelokan itu terjadi pada perjalanan hidup walaupun perjalanan hidup itu muncul tanpa ilmu dan penglihatan mata hati yang tidak mengharuskan yang demikian akan cinta. Maka yang dicintai itu adalah sumber perjalanan hidup yang elok yaitu budi pekerti yang terpuji dan sifat-sifat keutamaan yang mulia kesemuanya kembali pada kesempurnaan ilmu dan kemampuan. Dan itu dicintai dengan tabi’at manusia dan tidak diketahui dengan panca indera. Sehingga anak kecil yang disembunyikan, serta tabi’atnya apabila kita menghendaki mencintainya dalam keadaan tidak hadir, niscaya tiada jalan bagi kita selain dengan berpanjang lebar menerangkan sifatnya dengan keberanian, kemurahan hati, dan perkara-perkara terpuji lainnya.
Manakala orang beri’tikad yang demikian niscaya ia tidak dapat menahan dirinya dan tidak sanggup untuk tidak mencintainya. Maka adakah kuatnya kecintaan kepada para sahabat RA, kemarahan kepada abu jahal dan kemarahan kepada iblis yang telah kena kutukan ALLOH, selain disebabkan dengan berpanjang lebar pada mensifatkan kebaikan dan kekejian yang semua itu tidak dapat dijangkau oleh panca indera ?. bahkan ketika manusia mensifatkan Hatim dengan kemurahan hati dan mereka mensifatkan Khalid dengan keberanian, niscaya mereka itu dicintai oleh semua hati dengan kecintaan yang demikian mudah. Tidaklah yang demikian itu dengan melihat bentuk yang dirasakan dengan panca indera dan tidak dari keuntungan yang akan diperoleh yang mencintai. Bahkan apabila diceritakan perjalanan hidup dari sebagian raja-raja di sebagian dunia di atas bumi akan keadilan, keikhlasan dan melimpahnya kebajikan, niscaya akanlah kuat kecintaan di hati serta putus asa daripada berhamburan ke-ihsanan-nya kepada orang-orang yang mencintai itu, karena jaraknya tempat yang dikunjungi dan jauhnya rumah-rumah yang ditempati.
Jadi tidaklah cinta manusia itu terbatas kepada orang yang telah berbuat baik kepadanya saja, akan tetapi orang yang berbuat baik itu dicintai pada dirinya walaupun tidak sampai sekali-kali kebaikannya kepada yang mencintai. Karena setiap kebagusan dan keelokan itu adalah dicintai orang. Bentuk itu zahiriyah dan bathiniyah. Bagus dan elok itu melengkapi keduanya. Bentuk zahiriyah dapat diperoleh dengan penglihatan lahir dan bentuk bathiniyah dapat diperoleh dengan penglihatan mata hati yang bathiniyah. Barang siapa yang tiada memiliki penglihatan mata hati bathiniyah niscaya ia tiada memperoleh bentuk bathiniyah. Ia tidak merasa lezat, tiada mencintai dan tiada cenderung kepada bentuk bathiniyah tersebut. Siapa yang memiliki penglihatan mata hati bathiniyah yang lebih kuat, dari panca indera zahiriyah, niscaya adalah cintanya kepada makna-makna bathiniyah itu lebih banyak dari cintanya kepada makna-makna zahiriyah. Maka jauhlah perbedaannya, antara orang yang menyukai ukiran yang tergambar pada dinding tembok karena keelokan bentuknya yang zahiriyah dan orang yang mencintai salah seorang nabi karena keelokan bentuknya yang bathiniyah.
Sebab kelima : kesesuaian yang tersembunyi antara orang yang cinta dan yang dicinta karena banyaklah terjadi diantara dua orang yang teguh kasih sayang diantara keduanya tidak disebabkan keelokan atau keuntungan akan teapi semata-mata disesuaikan kesesuaian jiwa, sebagaimana sabda Nabi SAW, :
Maka yang berkenal-kenalan dari jwa itu niscaya berjinakan, sedang yag bertentangan daripadanya niscaya timbul perselisihan.
Kami jelaskan (insyaALLOH) yang demikian itu pada kitab Adab Persahabatan, ketika menyabutkan kecintaan kepada ALLOH. Maka carilah pada kitab tersebut karena dia itu termasuk dari keajaiban sebab-sebab cinta. Jadi bagian cinta itu kembali kepada lima sebab yaitu :
· Cinta insan akan wujudnya sendiri, kesempurnaan dan kekekalannya.
· Cinta insan kepada orang yang berbuat baik kepadanya mengenai apa yang kembali kepada kekekalan wujudnya, yang menolong pada kekekalannya dan yang menolak dari kebinasaan dirinya.
· Cinta insan kepada orang yang berbuat baik pada dirinya kepada manusia walaupun orang itu tidak berbuat baik kepadanya.
· Cinta insan kepada apa saja yang cantik pada benda itu sama saja dalam bentuk zahiriyah maupun bathiniyah.
· Cinta insan kepada orng yang diantara dia dengan orang itu ada kesesuaian yang tersembunyi pada bathiniyah.
Jikalau terkumpul sebab-sebab ini pada orang seorang niscaya sudah pasti berlipat ganda-lah cintanya, sebagaimana jikalau ada bagi insan seorang anak yang cantik rupanya, bagus budi pekerti, sempurna ilmu, teratur, berbuat baik kepada makhluk dan berbuat baik kepada ibu bapa niscaya anak itu akan dicintai dengan sungguh-sungguh. Dan adalah kuatnya cinta sudah terhimpun hal – hal tersebut, menurut kuatnya sifat-sifat itu pada dirinya. Jikalau ada sifat-sifat itu pada derajat kesempurnaan yang paling ujung, niscaya sudah pasti cinta itu pada derajat ayng paling tinggi. Maka marilah kita terangkan sekarang bahwa sebab-sebab semua itu tiada tergambar kesempurnaan dan terkumpul selain kepada ALLOH SWT. Maka tiada yang mustahak/berhak dengan kecintaan pada hakikatnya selain kepada ALLOH SWT....
Silahkan Bagikan Artikel ini
Mohon Maaf, Kepada Semua Sahabat, Atas Ketidak Nyamanannya, Dengan adanya Shortener Di Link Download. Mohon Keridhoannya. Terima Kasih.**** Apabila kesulitan Download Silahkan buka/klik gambar(Cara Download) dibawah postingan. Apabila masih kesulitan, silahkan copy paste link download yang ada, kebrowser anda.*** Apabila ada link Download yg rusak/mati, mohon beritahu kami lewat komentar dibawah ini.