بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
اللهُم َّصلِّ علٰى سَيِّدنا مُحَمّدٍ عبدِكَ وَنبيِّكَ ورسولِكَ النَّبيِّ الاُمِيّ وَعلٰى اٰلهِ وَصَحْبِهِ وسَلِّم تسليماً بقدرِ عظمةِ ذاَتِكَ في كـُلِّ وَقتٍ وَحيـنٍ
TERJEMAH KITAB
RISALATUL-QUSYAIRIYYAH
PENJELASAN
TENTANG
“TAHAPAN-TAHAPAN (MAQAMAT) PARA PENEMPUH JALAN SUFI”
46.
CINTA
Allah swt. berfirman :
“Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di
antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan
suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka mencintai-Nya.” (Qs. Al-Maidah
:54).
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a. bahwa
Rasulullah saw. telah bersabda :
“Barangsiapa mencintai pertemuan dengan
Allah, maka Allah pun mencintai pertemuan dengannya. Dan barangsiapa tidak
mencintai pertemuan dengan Allah, maka Allah pun tidak mencintai pertemuan
dengannya.” (H.r. Bukhari).
Diriwayatkan oleh Anas bin Malik dari Nabi
saw. dari Jibril as. Yang memberitahukan bahwa Tuhannya – Subhanahu wa Ta’ala,
telah berfirman :
“Barangsiapa menyakiti salah seorang wali-Ku,
berarti telah memaklumkan perang kepada-Ku. Dan tidaklah aku merasa ragu-ragu
dalam melakukan sesuatu pun sebagaimana keraguan-Ku untuk mencabut nyawa
hamba-Ku yang beriman, karena dia membenci kematian dan Aku tak suka
menyakitinya, namun kematian harus terjadi. Tak ada cara taqarrub yang paling
Ku-cintai bagi seorang hamba-Ku dibanding melaksanakan kewajiban-kewajiban yang
telah Kuperintahkan kepadanya. Dan senantiasa dia mendekati-Ku dengan melakukan
ibadat-ibadat sunnah sampai Aku mencintainya. Dan siapa yang Kucintai, Aku
menjadi telinga, mata, tangan, dan tiang penopang yang kokoh baginya.” (Haditst
dikeluarkan oleh : Ibnu Abud Dunya, al-Hakim, Ibnu Madarwieh dan Abu Nu’aim
serta Ibnu Asaakir, riwayat dari Anas r.a.).
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a. bahwa
Nabi telah bersabda : “Apabila Allah swt. mencintai seorang hamba-Nya, maka Dia
berfirman kepada Jibril : “Wahai Jibril, Aku mencintai si Fulan, maka cintailah
dia.” Jibril pun lalu mencintai Fulan itu, dan dia berseru kepada para penghuni
langit lainnya : “Allah swt. mencintai Fulan, maka hendaklah kalian juga
mencintainya.” Para penghuni langit pun lalu mencintai orang itu, dan dia pun
diterima oleh manusia di muka bumi. Apabila Allah swt. marah pada seorang
hamba....” Malik berkata, “Aku tak menduganya kecuali beliau (Nabi saw.)
mengatakan yang sama seperti di atas mengenai kebencian Allah swt. kepada
seorang hamba.” (H.r. Muslim dan Tirmidzi).
Cinta (mahabbah) adalah kondisi yang mulia
yang telah disaksikan Allah swt. melalui cinta itu bagi hamba, dan Dia telah
mempermaklumkan cinta-Nya kepada si hamba pula. Dan karenanya Allah swt.
disifati sebagai Yang Mencintai hamba, dan si hamba disifati sebagai yang
mencintai Allah swt.
Cinta menurut para ulama berarti
kehendak. Tetapi yang dimaksud kaum Sufi bukan kehendak. Karena
kehendak hamba tidak tidak ada kaitannya dengan yang Qadim, kecuali jika
menggunakan perkataan itu si hamba memaksudkan kehendak untuk membawa pada
kehendak mendekat kepada-Nya dan mengagungkan-Nya. Kami akan membahas masalah
ini dalam dua pangkal, Insya Allah.
Cinta Allah swt. kepada hamba adalah
kehendak-Nya untuk melimpahkan rahmat secara khusus kepada hamba, sebagaimana
kasih sayang-Nya bagi hamba adalah kehendak pelimpahan nikmat-Nya. Jadi, cinta
(mahabbah) lebih khusus daripada rahmat. Kehendak Allah swt. dimaksudkan untuk
menyampaikan pahala dan nikmat kepada si hamba. Dan inilah yang disebut rahmat.
Sedangkan kehendak-Nya untuk mengkhususkan pada hamba, suatu kehendak dan ihwal
ruhani yang luhur disebut sebagai mahabbah.
Cinta Allah swt. kepada hamba adalah
kehendak-Nya untuk melimpahkan rahmat secara khusus kepada hamba, sebagaimana
kasih sayang-Nya bagi hamba adalah kehendak pelimpahan nikmat-Nya. Jadi, cinta
(mahabbah) lebih khusus daripada rahmat. Kehendak Allah swt. dimaksudkan untuk
menyampaikan pahala dan nikmat kepada si hamba. Dan inilah yang disebut rahmat.
Sedangkan kehendak-Nya untuk mengkhususkan apda hamba, suatu kedekatan dan ihwal
ruhani yang luhur disebut sebagai mahabbah.
Kehendak Allah swt. adalah satu sifat, dimana
menurut kadar keterkaitannya, terjadi perbedaan dalam nama-namanya. Jika
dikatkan dengan hukuman, maka ia disebut ghadab. Jika ia dikaitkan secara umum
atas nikmat-nikmat-Nya, disebut rahmat. Jika ia dikaitkan dengan kekhususan
nikmat disebut sebagai Mahabbah atau cinta.
Sebagian kaum Sufi mengatakan : “Cinta Allah
swt. kepada hamba adalah pujian Allah swt. kepada hamba-Nya, dan Allah
memujinya dengan sifat Indah-Nya.” Maka Cinta Allah kepada hamba menurut
pandangan ini, yaitu kembali kepada Kalam-Nya, dan Kalam-Nya adalah Qadim.”
Sebagia Sufi berkata : “Cina-Nya kepada si
hamba termasuk sifat-sifat tindakan-Nya, yaitu sebagai manisfestasi Ihsan-Nya,
dimana Allah menemui Hamba-Nya. Sekaligus adalah ihwal ruhani khusus, dimana
sang hamba menaiki tahapannya, sebagai diungkapkan kaum Sufi : “Rahmat-Nya
kepada si hamba adalah nikmat-Nya menyertai-Nya.”
Sekelompok ulama salaf berkata :
“Mahabbah-Nya merupakan sifat-sifat kebajikan. Mereka mengucapkan melaui teks
dan menghindar dari penafsiran. Selain itu semua, termasuk hal yang rasional
dalam sifat-sifat cinta makhluk, semisal kecondongan hati pada sesuatu atau
menyenangi sesuatu, seperti juga situasi kemesraan antara pecinta dan yang
dicintainya antar sesama manusia; Maka Allah swt. Yanga Maha Qadim jauh dari
semua itu. Mengenai cinta si hamba terhadap Alah swt. itu adalah keadaan yang dialami
dalam hatinya, yang terlalu lembut untuk dikatakan. Keadaan ini mendorong si
hamba untuk ta’zim kepada-Nya, memperioritaskan ridha-Nya, hanya memiliki
sedikit saja kesabaran dalam berpisah dengan-Nya, merasakan kerinduanyang
mendesak kepada-Nya, tidak menemuka kenyamanan dalam sesuatu pun selain-Nya,
dan mengalamai keceriaan hatinya dengan melakukan dzikir yang terus menerus
kepada-Nya dalam hatinya.”
Cinta si hamba kepada Allah swt. tidaklah
berupa kecenderungan manusiawi. Bagaimana bisa? Sedang hakikat kemandirian
Allah swt. itu suci dari segala sentuhan, pemahaman dan pelampauan?
Menggambarkan si pecinta sebagai yang musnah dalam Sang Kekasih adalah lebih
tepat daripada menggambarkannya sebagai memperoleh bentuk simpati pada-Nya.
Cinta tidak bisa disifati dengan sesuatu diskripsi, tidak bisa dibatasi dan
dijelaskan kecuali dengan cinta itu sendiri. Terlibat dalam pembicaraan yang
mendalam di saat timbulnya kesulitan-kesulitan, maka, ketika kesamaran dan kerancuan
menghilang, tidak ada lagi kebutuhan untuk meneggelamkan diri dalam penguraian
kalam.
Ungkapan orang tentang cinta cukup banyak.
Mereka berbicara menurut prinsip-prinsip bahasa. Di antara mereka mengatakan,
Cinta (hubb) adalah nama bagi kemurnian cinta kasih, sebab orang Arab
mengatakan tentang gigi yang paling putih dengan habab al-asnaan.”
Dikatakan : “Al-Hubab adalah
gelembung-gelembung yang terbentuk di atas permukaan air ketika hujan lebat.
Jadi, cinta (mahabbah) adalah menggelembungnya hati ketika ia haus dan
berputus asa untuk bersegera bertemu dengan sang kekasih.
Dikatakan juga : “Hubb, berakar dari kata
Hababul Maa’, adalah air bah besar. Cinta dinamakan mahabbah karena ia adalah
kepedulian yang paling besar dari cinta hati.”
Dikatakan : “Cinta bersumber dari akar kata
yang memiliki arti keteguhan dan kemantapan. Dikatakan ahabbal
ba’iir untuk menggambarkan seekor unta yang berlutut dan menolak
untuk bangkit lagi. Seakan-akan san pencinta (muhibb) tidak akan menggerakkan
hatinya, jauh dari mengingat sang kekasih (mahbub).”
Dikatakan : “Cinta (hubb) berasal dari kata
habb, yang berarti anting-anting. Penyair berkata :
Ular menjulur-julurkan lidahnya,
Mengabiskan malam di sisi anting-anting,
Mendengarkan rahasia-rahasia.
Dalam syair di atas, digunakan kata habb
untuk anting-anting, dikarenakan posisinya yang tetap di telinga, atau karena
goyangnya. Kedua makna tersebut relevan pada kata cinta.”
Dikatakan : “Cinta dari kata habb (biji-bijian)
yang merupakan jama’ dari habbat. Dan habbabul qalb adalah sesuatu yang menjadi
penopangnya. Dengan demikian cinta dinamakan hubb dikarenakan ia tersimpan
dalam kalbu.”
Dikatakan : “Kata hubb berasal dari kata
hibbah, yang berarti biji-bijian dari padang pasir. Cinta dinamai Hubb adalah
lubuk kehidupan, seperti hubb sebagai benih tumbuh-rumbuhan.”
Dikatakan : “Hubb adalah keempat sisi tempat
air. Cinta dinamakanhubb karena ia memikul beban dari yang dicintai, dari
segala hal yang luhur maupun yang hina.”
Dikatakan juga : “Cinta berasal dari kata
hibb, tempat yang di dalamnya ada air, dan manakala ia penuh, tidak ada lagi
tempat bagi lainnya. Demikian pula, manakala hati diluapi cinta, tak ada
lagi tempat lagi selain sang kekasih.”
Sementara ungkapan-ungkapan para tokoh sufi,
antara lain :
“Cinta berarti mengutamakan sang kekasih di
atas semua yang yang dikasihi.”
“Cinta adalah senantiasa condong kepada sang
kekasih dengan hati bimbang.”
“Cinta adalah bahwa kesesuaian diri dengan
Sang Kekasih, di alam nyata maupun gaib.”
“Cinta adalah peleburan si pecinta aats sifat-sifatnya
dan peneguhan Sang Kekasih dengan Dzat-Nya.”
“Cinta adalah relevansi hati dengan Kehendak
Tuhan.”
“Cinta berarti ketakutan bila berlaku kurang
hormat ketika menegakkan baktinya.”
Abu Yazid al-Bisthamy berkata : “Cinta
adalah membebaskan hal-hal sebesar apa pun yang datang dari dirimu, dan
membesar-besarkan hal-hal kecil yang datang dari kekasihmu.”
Sahl mengatakan : “Cinta berarti memeluk
ketaatan dan berpisah dari sikap kontra.”
Al-Junayd ditanya tentang cinta, dia menjawab
: “Cinta berarti merasuknya sifat-sifat Sang Kekasih mengambil alih sifat-sifat
pecinta.” Di sini al-Junayd menunjukkan betapa hati si pencinta direnggut oleh
ingatan kepada Sang Kekasih, hingga tak satu pun yang tertinggal selain ingatan
akan sifat-sifat Sang Kekasih, hingga si pecinta lupa dan tidak sadar akan
sifat-sifatnya sendiri.”
Abu Ali Ahmad ar-Rudzbary mengatakan :
“Hakikat cinta berarti bahwa engkau memberikan segenap dirimu kepada Dia yang
kau cintai, hingga tak satu pun yang tersisa.”
Dulaf asy-Syibly menjelaskan : “Cinta
disebut “mahabbah” karena ia melenyapkan segala sesuatu dari hati, selain Sang
Kekasih.”
Ahmad bin Atha’ menegaskan : “Cinta berarti
menegakkan cacian selamanya.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq menegaskan pula :
“Cinta adalah kelezatan, tetapi kedudukan hakikatnya adalah kedahsyatan.” Saya
mendengar beliau juga mengatakan : “Asyik masyuk cinta adalah melampaui semua
batas cinta. Dan Allah swt. tidak bisa digambarkan sebagai melampaui batas,
Jadi Dia tidak bisa disifati sebagai memiliki sifat asyik (‘isyq). Jika seluruh
cinta manusia dikumpulkan pada satu pribadi orang, maka cinta itu akan masih
sangat jauh dari kadar cinta yang seharusnya dipersembahkan kepada Allah swt.
Tidak bisa dikatakan, Orang ini telah melampaui semua batas dalam mencintai
Allah swt. Allah tidak bisa dikatakan memiliki sifat cinta yang asyik masyuk.
Tidak pula si hamba bisa digambarkan sebagai memiliki Sifat-sifat-Nya, bahwa
Allah swt. berkobar cinta-Nya. Cinta yang berkobar-kobar (‘isyq) tidak bisa digunakan
dalam menggambarkan hubungan antara manusia dengan Allah swt. Sebab tidak ada
dasar untuk mengaitkan hal itu dengan Allah swt. baik dari Dia kepada si hamba
ataupun dari hamba kepada Allah swt.” (Al-Haq tidak asyik dalam masyuk
hamba-Nya, begitu pula hamba, tidak dalam asyiknya al-Haq, ed).
Asy-Syibly berkata : “Cinta berarti engkau
cemburu demi Sang Kekasih, bila seorang manusia sepertimu juga mencintai-Nya.”
Ketika ditanya tentang cinta, Ahmad bin Atha’
menjawab : “Cinta adalah pohon yang ditanamkan dalam hati, yang berbuah sesuai
dengan kadar akal.”
Manshur bin Abdullah mengisahkan bahwa Nashr
Abadzy berkomentar : “Satu macam cinta bisa mencegah pertumpahan darah,
sedangkan macam yang lain menyebabkan pertumpahan darah.”
Sumnun bin Hamzah al-Khawwas menyatakan :
“Para pecinta Allah swt. telah pergi membawa akemuliaan di dunia dan akhirat,
sebab Nabi saw. bersabda : “Seseorang akan bersama dengan orang yang dicintai.”
(H.r. Bukhari, Muslim dan Tirmidzi). Dan mereka pun bersama Allah swt.”
Yahya bin Mu’adz berkata : “Hakikat cinta
adalah bahwa ia tidak akan berkurang manakala seseorang mengalami kekeringan,
tidak pula bertambah jika dia disuguhi kebaikan. “Katanya pula : “Orang yang
mendakwakan diri mencintai Allah swt. adalah pendusta jika dia mengabaikan
hukum-hukum yang ditetapkan-Nya.”
Al-Junayd menegaskan : “Jika cinta seseorang
itu benar, maka anturan adab telah gugur.”
Syeikh Abu Ali ad.-Daqqaq bersyair dalam
kaitan ucapan Junayd :
Jika telah murni kasih sayang manusia,
Dan cinta mereka lestari,
Memuji telah menjadi kasar.
Al-Junyad juga mengatakan : “Anda tidak akan
menjumpai seorang ayah yang baik memanggil anaknya dengan panggilan yang penuh
penghormatan, sementara orang lain menggunkana sebutan yang penuh kesantunan
untuk memanggil anaknya itu. Si ayah biasanya memanggil “Hai Fulan”.
Muhammad bin Ali al-Kattany berkata : “Cinta
adalah mengutamakan segalanya bagi Sang Kekasih.”
Bundal ibnul Husian berkata : “Seseorang
bermimpi melihat Majnun dan Banu Amir dan bertanya kepadanya : “Apa yang telah
dilakukan Allah swt. terhadapmu?” Majnun menjawab : “Dia telah mengampuniku dan
menjadikanku sebagi hujjah bagi para pecinta.”
Abu Ya’qubas-Susuy mengatakan : “Hakikat
cinta adalah bahwa si hamba melupakan bagian dari Allah swt. dan juga lupa akan
kebutuhannya terhadap Allah swt.”
Al-Husain bin Manshur al-Hallaj mengatakan :
“ Hakikat cinta adalah tegakmu bersama Kekasihmu dan mencopot sifat-sifatmu.”
Saya mendengar Syeikh Abu Abdurrahman
as-Sulamy mengisahkan, bahwa seseorang mengatakan kepada an-Nashr Abadzy :
“Engkau belum pernah mengalami cinta!” Dia menjawab : “(Orang yang berkata
begitu), benar. Tetapi aku menanggung kesedihan mereka, dan di sana lah aku
terbakar di dalamnya.” Dia juga mengatakan : “Cinta adalah menghindari kelalaian
dalam semua keadaan.”
Kemudian dia bersyair :
Orang yang hasrat cintanya panjang
Akan merasakan kelupaan,
Sungguh, dari Layla, diriku bukan perasa.
Semakin banyak menemuinya
Harapanku tak tergapai
Berlalu secepat kilatan cahaya.
Muhammad ibnu Fadhl al-Farawy mengatakan : “Cinta
berarti gugurnya semua cinta, kecuali cinta Sang Kekasih.”
Al-Junayd mengatakan : “Cinta adalah
mengabaikan hasrat tanpa harap.”
Dikatakan : “Cinta adalah gangguan yang
ditempatkan oleh Sang Kekasih dalam hati.”
Dikatakan juga : “Cinta adalah cobaan besar
yang ditempatkan dalam hati dari yang dihasrati.”
Ahmad bin Atha’ membacakan syair :
Kutanam satu cabang cinta para pecinta “
Cinta menumbuhkan cabang-cabang, dan hasrat
rindu yang mematang
Dan meninggalkan aku dari rasa pahit dari
buah-buahan yang manis,
Hasrat dari semua perindu adalah cintanya,
Jika mereka menelusurinya, ternyata dari akar
itu.
Dikatakan : “Awal mula cinta adalah penipuan,
dan akhirnya pembunuhan.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq memberikan komentar
tentang hadits Nabi saw. : “Cinta terhadap sesuatu, membutakan dan menulikan.”
(H.r. Abu Dawud, dari Anas bin Malik), bahwa cinta membutakan seseorang
terhadap orang lain karena cemburu, sedangkan terhadap sang kekasih karena rasa
kharisma.
Kemudian beliau membacakan syair :
Jika kebesan-Nya yang tidak tampak padaku,
Aku akan terusir kembali dalam keadaan sama
Dengan orang belum pernah berhasrat.
Al-Harits al-Muhasiby menjelaskan : “Cinta
adalah kecenderunganmu kepada sesuatu dengan sepenuhnya, kemudian engkau
mengutamakan padanya dibanding dirimu, jiwamu dan harta bendamu, kemudian
berada dalam keserasian dengannya, baik secara lahir maupun batin, kemudian
menginformasikan atas kekuranganmu dalam mencintai-Nya.”
As-Sary as-Saqathy mengatakan : “Tidak bisa
dikatakan cinta yang sebenarnya jika dua pihak tidak bisa mengatakan kepda
amasing-masing dengan ungkapan “Wahai diriku”.
Asy-Syibly berkata : “Sang pecinta akan
binasa jika diam, tetapi sang ‘arif akan binasa jika tidak berdiam diri.”
Dikatakan : “Cinta adalah api dalam hati yang
membakar segala sesuatu selain kehendak sang kekasih.”
Dikatakan juga : “Cinta adalah upaya besar
sementara sang pecinta melaksanakan kehendak sang kekasih.”
Ahmad an-Nury mengatakan : “Cinta berarti
merobek tabir dan menyingkap rahasia-rahasia.”
Abu Ya’qub as-Susy berkata : “Cinta tidak sah
tanpa keluar dari melihat cinta menuju penglihatan Sang Kekasih, dengan
kefana’an ilmu cinta.”
Al-Junayd menuturkan : “As-Sary memberikan
sepotong kertas kepadaku dan tertulis : “Ini lebih baik bagimu daripada
tujuhratus kisah atau hadits.’ Dan di sana ada bait-bait syair :
Ketika aku mengaku cinta
Ia berkata : “Engkau bohong padaku”
Lalu apa bagiku, ketika kulihat tubuhmu nan
bulat nan elok?
Tiada cinta, melainkan sampai hati melekat
pada urat di dalam
Sedang engkau layu sampai tak tersisa
Untuk menjawab sang penyeru
Dan engkau terpatah-patah sampai tak ada lagi
hasrat cinta
Selain mata yang menangis dan ..
Penuh Munajat.....
Ibnu Masruq berkomentar : “Aku hadir ketika
Samnun sedang berbicara tentang cinta, dan semua lampu di masjdi lalu pecah.”
Dikatakan : “Suatu ketika aku sedang mendengarkan Samnun berbicara tentang
cinta di masjdi, tiba-tiba seekor burung kecil datang dan mendekat ke arahnya. Ia
terus mendekat hingga akhirnya hinggap di tangannya. Kemudian ia
mematuk-matukkan paruhnya ke lantai sampai darah mengalir dari mulutnya, kemudian
mati.”
Al-Junayd menjelaskan : “Semua cinta dengan
satu tujuan. Jika tujuan itu hilang, maka cinta pun akan hilang pula.”
Diceritakan bahwa sekelompok orang datang
mengunjungi Asy-Syibly ketika dia sedang ditahan di rumah sakit jiwa. Dia
bertanya, “Siapa kalian ini?” Mereka menjawab : “Kami adalah orang-orang yang
mencintaimu, wahai Abu Bakr!.” Syibly menghadap mereka lantas
melempari mereka dengan batu, sembari berkata : “Jika kalian mengaku benar-benar
mencintaiku, tentu kalian akan bersabar atas ujian yang menimpaku.” Lalu dia
mendendangkan syair :
Wahai Tuhan Mulia, cinta kepadamu tersimpan
daam hati.
Wahai Engkau yang menghilangkan tidur dari
kelopak mataku,
Engkau tahu semua yang menimpaku.
Yahya bin Mu’adz menulis kepada Abu Yazid
al-Bisthamy : “Aku mabuk karena terlalu banyak meminum dari cangkir cinta-Nya.”
Abu Yazid membalas suratnya : “Orang lain meminum lautan langit dan bumi namun
rasa hausnya belum terpuaskan, sembari berkata, Apa masih ada lagi?”
Para Sufi bersyair :’Aku kagum bagi yang
berkata,
‘Aku mengingat-ingat kekasihku.’
Adakah aku bisa melupakan, lalu aku masih
ingat yang kulupa?”
Aku mati, tapi apa aku mengingat-Mu, aku
hidup kembali.
Kalau-lah bukan karena husnudzanku pada-Mu
Aku tak kan hidup
Aku hidup dengan harapan, dan aku mati karena
rindu.
Berapa kali aku hidup melalui harapan
pada-Mu,
Dan berapa kali aku telah mati!
Aku meminum air cinta dan piala ke piala
Namun piala tetap penuh jua
Hausku tak henti-hentinya.
Dikatakan bahwa Allah swt. mewahyukan kepada
Isa as. : “Jika Aku melihat kepada hati seorang hamba dan Aku tidak menemukan
cinta terhadap dunia ataupun akhirat, maka Aku akan memenuhinya dengan
cinta-Ku.”
Saya melihat tulisan Syeikh Abu Ali ad-
Daqqaq : “Salah satu kitab wahyu menegaskan : “Wahai hamba-Ku, Aku demi hakmu
bagimu, sebagai Pecinta, maka demi hak-Ku jadilah engkau bagi-Ku sebagai
pecinta.”
Abdullah ibnul Mubarak mengatakan : “Barang siapa
dianugerahi satu bagian cinta tapi tidak dianugerahi sejumlah rasa takut yang
sama, berarti tertipu.”
Dikatakan : “Cinta menghapus semua bekas
dirimu.”
Dikatakan pula : “Cinta adalah kemabukkan;
kesadaran hanya datang dengan melihat Sang Kekasih. Keetika melihat Kekasih
justru tak bisa dibayangkan.”
Para Sufi membacakan syair berikut :
Piala berputar, mereka pun mabuk,
Sedang mabukku datang dari si pemutar piala
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq sering membacakan
syair berikut :
Aku menikmati dua mabuk
Sedangkan teman-teman minumku hanya satu
Sesuatu yang istimewa bagiku di antara mereka
Yang mendapat anugerah itu
Ibnu Atha’ mengatakan : “Cinta berarti
mengundang celaan yang terus menerus.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq mempunyai seorang
budak perempuan bernama Fairuz yang beliau cintai, karena telah berbakti begitu
lama. Beliau mengatakan kepadaku : “Pada suatu hari Fairuz menghinaku, dengan
mengucapkan kata-kata nyerocos. Abu Hasan al-Qari’ bertanya kepadanya :
“Mengapa engkau menyakiti Syeikh?” Dia menjawab, “Karena saya mencintainya.”
Yahya bin Mu’adz menyatakan : “Aku lebih suka
memiliki cinta sebesar biji sawi daripada ibadat selama tujuhpuluh tahun tanpa
cinta.”
Diceritakan bahwa seorang pemuda memandang
kepada orang-orang yang berkumpul pada hari hari taya dan bersyair :
Siapa yang mati dalam keluhan cinta
Matilah seperti itu,
Tak baik dalam cinta tanpa kematian
Kemudian dia melemparkan dirinya dari atas
rumah dan mati.
Diceritakan bahwa seorang laki-laki dari India
menaruh cinta yang berkobar-kobar kepada seorang budak perempuannya. Pada suatu
hari si budak meninggalkannya, dia keluar untuk mengucapkan selamat berpisah
kepadanya. Airmata mengalir dari salah satu matanya, tapi matanya yang satu
lagi tidak mengeluarkan airmata. Selama delapanpuluh empat tahundia menutup
matanya yang tak menangis itu sebagai hukuman karena tidak menangis ketika
kekasihnya pergi. Mengenai hal ini para Sufi bersyair :
Sebelah mataku menangis di pagi hari ketika
berpisah,
Namun mata yang lain kikir pada kami untuk
menangis.
Maka kuhukum mata yang kikir airmata
Dengan menutupnya di hari ketika kami saling
bertemu.
Salah seorang Sufi berkata : “Pada suatu hari
ketika kami sedang berbincang-bincang dengan Dzun Nuun al-Mishry tentang cinta,
dia meminta, dengan bersyair :
Takut lebih utama daripada terjerumus pelaku
kejahatan
Ketika dia meratap, dan sedih
Sementara cinta cocok buat mereka yang saleh
dan benar-benar suci.”
Yahya bin Muadz mengatakan : “Siapa yang
menyebarkan cinta di kalangan orang-orang yang bukan ahlinya, adalah pendusta
dalam pernyataan-pernyataannya.”
Samnun lebih mengutamakan ma’rifat atas
cinta. Menurut mereka yang telah mencapai hakikat, cinta berarti lebur ke dalam
keadaan kemanisan, dan ma’rifat berarti menyaksikan dalam keadaan bingung dan
terhapus dalam kegentaran.
Abu Bakr al-Kattany menuturkan : “Persoalan
cinta sedang dibicarakan di antara para syeikh di Mekkah selama musim haji.
Al-Junayd adalah orang termuda yang hadir. Mereka memanggilnya suatu kali, dan
bertanya kepadanya : “Hai orang Irak, kaakanlah kepada kami apa pendapatmu.
Al-Junayd menundukkan kepalanya dan menangis, kemudian menjawab : “Cinta adalah
seorang pelayan yang meninggalkan jiwanya dan meletakkan dirinya pada dzikir
kepada Tuhannya, mengukuhkan diri dalam melaksanakan perintah-perintah Tuhan
dengan kesadaran yang terus menerus akan Dia dalam hatinya. Cahaya Dzatnya
membakar hatinya dan dia ikut meminum minuman suci dari cangkir cinta-Nya. Yang
Maha Kuasa terungkapkan kepadanya dari balik tabir alam gaib-Nyam hingga
manakala dia berbicara, dia berbicara dengan perintah Allah, dan apa yang
dikatakannya adalah dari Allah. Manakala ia bergerak, dia bergerak dengan
perintah Allah, dan manakala dia diam, maka diamnya adalah bersama Allah. Dia
akan selalu dengan Allah, bagi Allah dan beserta Allah.” Mendengar kata-kata
al-Junayd itu, semua syeikh itu pun menangis, dan berkata, “Tak ada lagi yang
perlu dikatakan. Semoga Allah menguatkanmu, wahai mahkota para ‘Arifin!.”.
Diriwayatkan bahwa Allah swt. mewahyukan
kepada Nabi Daud as : “Aku telah melarang cinta untuk-Ku memasuki hati manusia
jika cinta kepada selain Aku juga punya tempat di dalamnya.”
Abul Abbas, pelayan Fudhail bin ‘Iyadh,
menuturkan : “Suatu ketika Fudhail menderita sakit kencing. Dia mengangkat
kedua tangannya ke atas dan berdoa : “Ya Allah, demi cintaku kepada-Mu,
lepaskanlah penyakit ini dariku.” Kami tidak meninggalkannya sampai akhirnya ia
pun sembuh.”
Saya mendengar Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan
bahwa cinta berarti lebih mengutamakan orang lain, seperti cinta permaisuri
Raja Aziz ketika dia menyesali perbuatannya : “Akulah yang menggodanya untuk
menundukkan dirinya (kepadaku), dan sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang
benar.” (Qs. Yusuf :51). Sebelumnya dia telah mengatakan : “Apakah pembalasan
terhadap orang yang bermaksud serong dengan isterimu, selain dipenjarakan atau
(dihukum) dengan azab yang pedih?” (Qs. Yusuf :25). Jadi, mula-mula dia menuduh
Yusuf telah berbuat dosa, tetapi akhirnya dia menyalahkan dirinya sendiri atas
penghianatannya itu.
Abu Sa’id Hamdun al-Kharraz mengatakan : “Aku
bermimpi bertemu dengan Nabi saw. dan aku berkata kepada beliau : “Wahai
Rasulullah, maafkanlah saya. Sebab cinta saya kepada Allah swt. telah memenuhi
kalbu saya dan tidak menyisihkan cinta bagimu.” Beliau menjawab : “Wahai orang
gyang diberekati, barangsiapa mencintai Allah swt. berarti ia emncintaiku.”
Diceritakan tentang munajat Rabi’ah Adawiyah
: “Tuhanku, akankah Engkau membakar hati yang mencintai-Mu dengan api?”
Tiba-tiba muncul bisikan : “Kami tidak akan melakukan hal seperti itu, Engkau
jangan menyanggka buruk kepada Kami.”
Dikatakan : “Kata cinta (hubb) terdiri dari
dua huruf “Ha” dan “ba”, yang mengisyaratkan bagi pecinta, hendaknya
meninggalkan ruh, kalbu dan badannya.” Sebagai dinyatakan oleh pendapat Ijma’
di kalangan para Sufi, cinta adalah penyesuaian dengan hati, sedangkan cinta
menafikan secara psti adanya pertentangan. Pecinta selalu bersama Sang Kekasih.
Dalam hal ini didukung oleh sebuah hadits, riwayat Abu Musa al-Asy’ary yang
mengatakan bahwa seseorang bertanya kepada Nabi saw. : “Dapatkah seseornag
mencintai suatu kaum tapi tidak pernah bertemu dengan mereka?” Nabi menjawab :
“Seseorang akan bersama dengan orang yang dicintai.”
Abu Hafs menegaskan : “Kerusakan kondisi
ruhani, rata-rata karena tiga perkara : Kefasikan para arifin, penghgianatan
para pecinta (muhibbin), dan dustanya para muridin (pemula).”
Abu Utsan berkata : “Dosa para ‘arifin adalah
menggunakan ucapan, penglihatan, dan pendengaran mereka untuk kepentingan duniawi
dan memperoleh keuntungan darinya. Penghianatan para pencinta adalah
mengutamakan hawa nafsu mereka sendiri dibanding keridhaan Allah swt. dalam
urusan-urusan yang mereka hadapi.
Dusta para pemuda adalah bahwa mereka lebih
peduli terhadap kesadaran akan manusia dan perhatian mereka daripada dzikir dan
memandang kepada Allah swt.”
Abu Ali Mumsyad bin Sa’id al-Ukbary
menuturkan : Seekor burung pipit jantan mencoba mencumbu seekor burung pipit
betina di bawah kubah Nabi Sulaiman as, tetapi si betina menolak. Si jantan
bertanya kepadanya : “Bagaimana kamu bisa menolakku sedangkan jika aku mau, aku
bisa membuat kubah ini runtuh menimpa Suaiman?” (Sementara Sulaiman mendengar
pembicaraan kedua burung itu, karena memang beliau diberi kemampuan oleh Allah
swt. untuk mengerti dialog burung), lalu beliau memanggilnya dan menanyakan
kepadanya : “Apa yang membuatmu berkata begitu?” Si burung menjawab : “Wahai
Nabi Allah, para perindu yang masyuk tidak bisa dituntut melalui kata-katanya.”
Sulaiman menjawab : “Anda benar.!”
Silahkan Bagikan Artikel ini
Mohon Maaf, Kepada Semua Sahabat, Atas Ketidak Nyamanannya, Dengan adanya Shortener Di Link Download. Mohon Keridhoannya. Terima Kasih.**** Apabila kesulitan Download Silahkan buka/klik gambar(Cara Download) dibawah postingan. Apabila masih kesulitan, silahkan copy paste link download yang ada, kebrowser anda.*** Apabila ada link Download yg rusak/mati, mohon beritahu kami lewat komentar dibawah ini.