بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
اللهُم َّصلِّ علٰى سَيِّدنا مُحَمّدٍ عبدِكَ وَنبيِّكَ ورسولِكَ النَّبيِّ الاُمِيّ وَعلٰى اٰلهِ وَصَحْبِهِ وسَلِّم تسليماً بقدرِ عظمةِ ذاَتِكَ في كـُلِّ وَقتٍ وَحيـنٍ
TERJEMAH KITAB
RISALATUL-QUSYAIRIYYAH
PENJELASAN
TENTANG
“TAHAPAN-TAHAPAN (MAQAMAT) PARA PENEMPUH JALAN SUFI”
38.
KEFAKIRAN
Allah swt. berfirman :
“(Infaq itu) untuk orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan
Allah; Mereka tidak dapat (berusaha) di bumi; orang yang tidak tahu menyangka
mereka orang kaya karena (mereka) memelihara diri dari meminta-minta. Kamu
kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang
secara mendesak. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan
Allah), maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui.” (Qs. Al-Baqarah :273).
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa Nabi saw. bersabda :
“Orang-orang miskin akan memasuki surga limaratus tahun sebelum
orang-orang kaya. (Limaratus tahun itu) sama dengan setengah hari (surga).”
(H.r. Tirmidzi).
Diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas’ud r.a. bahwa Rasulullah saw. telah
bersabda :
“Orang miskin itu bukanlah dia yang berkeliling ke sana ke mari denegan
hrapan diberi orang sesuap dua suap, sebutir atau dua butir kurma.” Seseoarang
bertanya : “Kalau begitu, siapakah orang miskin itu wahai Rasulullah?” Nabi
saw, menjawab : “Dia adalah orang yang tidak menemukan kepuasan atas
kekayaannya, dan malu minta manusia, tidak pula orang banyak mengetahui hal
ihwal mereka hingga mereka bisa diberi sedekah.” (H.r. Ahmad).
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkomentar, tentang ucapan Nabi saw. : “dan
malu meminta” artinya adalah bahwa mereka malu kepada Allah swt. untuk
meminta-minta dari orang banyak, bukan malu kepada manusia.
Kefakiran adalah simbol para wali dan hiasan para Sufi, pilihan Alalh
swt. pada orang takwa piluhan dan para Nabi. Sedangkan para Sufi fakir
merupakan pilihan Allah swt. bagi hamba-hamba-Nya. Mereka adalah pengemban
rahasia-rahasia-Nya di antara para hamba-Nya, yang dengan mereka Dia menjaga
para makhluk dan yang dengan keberkatan mereka rezeki disebarkan di kalngan
manusia.
Orang-orang fakir yang sabar akan menjadi sahabat-sahabat Alalh swt.
pada Hari Kebangkitan, seperti dikatakan dalam Hadits riwayat Umar bin
Khaththab r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah saw. telah bersabda : “Segala
sesuatu ada kuncinya, dan kunci surga adalah mencintai orang-orang miskin. Kaum
fakir yang sabar akan menjadi sahabat-sahabat Allah swt. pada Hari
Kebangkitan.” (hr. Ibnul Laal, dan Ibnu Umar).
Diceritakan bahwa seorang laki-laki membawakan uang sebganyak sepuluh
ribu dirham kepada Ibrahim bin Adham, tetapi Ibrahim tidak menerimanya dan
berkata : “Engkau mau mengahapus namaku dari daftar orang-orang miskin dengan
uang sepuluh ribu dirham!. Aku tidak akan menerimanay.!”
Mu’adz an-Nasafi menegaskan : “Allah tidak pernah
membinasakan suatu kaum, apa pun kejahatan yang mereka lakukan, kecuali jika
mereka merendahkan dan menghina kaum miskin.”
Dikatakan, manakala para fakir tidak memiliki kebajikan lain dalam
pandangan Allah selain keinginan mereka agar rezeki dilimpahkan dan dimurahkan
di kalangan kaum Muslimin, niscaya itu sudah cukup bagi mereka, sebab mereka
perlu memberli barang-barang dan orang-orang kaya perlu menjualnya. Begitulah
halnya dengan kaum miskin yang awam, maka bagaimana pula halnya dengan kaun
yang terpilih di kalangan mereka.?”
Ketika Yahya bin Mu’adz ditanya tentang kefakiran, dia menjawab :
“Hakikat kefakiran adalah bahwa seseorang tidak butuh lagi selain Allah, dan
tanda kefakiran adalah tidak adanya harta benda.”
Ibrahim al-Qashshar mengatakan : “Kefakiran adalah pakaian yang
mewariskan ridha, apabila fakir memakainya.”
Seorang fakir dari Zauzan datang kepada Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq
padatahun 394 atau 395 Hijriyah. Dia memakaia pakaian yang terbuat dari kain yang
sangat kasar dan kopiah dari kain yang sama. Salah seorang sahabat Syeikh itu
bertanya dengan nada bergurau : “Berapa harga pakaianmu ini?” Dia menjawab :
“Aku membayarnya dengan dunia ini, dan akhirat ditawarkan kepadaku untuk
ditukar dengannya. Tapi aku tidak akan menjualnya dengan harta tersebut.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq menuturkan : “Suatu ketika seorang misikin
mendatangi sebuah pertemuan untuk meminta sedekah, seraya berkata : “Saya sudah
tiga tidak makan.” Salah seorang syeikh yang hadir di situ berkata : “Engkau
dusta!” Kemiskinan adalah rahasia Tuhan. Dia tidak mempercayakan rahasia-Nya
kepda orang yang memamerkannya kepada siapa pun yang dikehendakinya!.”
Hamdun al-Qashshar menyatakan : “Manakala iblis dan tentaranya
berkumpul, mereka tidak bergembira sebagaimana kegembiraan mereka yang
disebabkan tiga hal : “Seorang Muslim membunuh sesama Muslim, seseorang yang
mati dalam keadaan kafir, dan sebuah hati yang menyimpan ketakutan pada
kemiskinan.”
Al-Junayd berkata : “Wahai orang-orang fakir, kamu semua dijadikan
terkenal oleh Allah swt, dan dihormati karena-Nya. Tetapi perhatikanlah
bagaimana keadaanmu manakala kamu berada sendirianbersama-ny.” Al Junayd
ditanya : “Keadaan manakah yang lebih baik : miskin dan bergantung pada Tuhan,
atau dijadikan kaya oleh-Nya?” Dia menjawab : “Jika kemiskinan seseorang adalah
shahih, maka kekayaannya adalah shahih di sisi-Nya. Jika kekayaannya di
sisi-Nya adalah shahih, maka kemiskinan dan ketergantungannya pada –Nya juga
tersempurnakan. Jangan bertanya, : “Manakah yang lebih bai?” Sebab keduanya
adalah keadaan yang salah satunya tidak akan lenyap tanpa yang lain.”
Ruwaym ditanya tentang tanda seorang miskin : “Miskin berarti
menyerahkan jiwa kepada ketentuan-ketentuan Allah swt.” Dikatakan pula bahwa
ada tiga tanda seorang miskin : Dia melindungi batinnya, dia melaksanakan
kewajiban-kewajiban agamnya, dia menyembunyikan kemiskinannya.
Seseorang bertanya kepada Abu Sa’id al-Kharraz : “Mengapa kemurahan hati
orang kaya tidak sampai kepada orang miskin?” Dia menjawab : “Karena tiga
alasan : “Kekayaan mereka didapatkan dengan jalan yang tidak halal, mereka
tidak dimampukan untuk memberi sedekah, dan penderiaan orang miskin itu memang
dikehendaki.”
Dikatakan bahwa Allah swt. mewahyukan kepada Musa as. : “Jika engkau berjumpa
dengan orang-orang miskin, tanyakanlah tentang mereka seperti engkau tanyakan
kepada orang-orang kaya. Jika hal itu tidak engkau lakukan, maka campakkanlah
ke tanah semua yag telah Kuajarkan kepadamu.”
Diriwayatkan bahwa Abu Darda’ menegaskan : “Aku lebih suka jatuh dari
tembok istana dan remuk daripada duduk bersama orang kaya, karena aku mendengar
Rasulullah saw. bersambda :
“Waspadalah untuk duduk-duduk bersama orang mati!.”
Seseorang bertanya : “Siapakah orang mati itu?” Beliau menjawab “
Orang-orang kaya.” (Hr. Tirmidzi dan Hakim).
Seseorang berkata kepada ar-Rabi’ bin Khaitsam : “Harga-harga telah
naik!.” Dia menjawab : “Kita tidak berharga untuk dibuat lapar oleh Allah. Dia
hanya melakukan hal itu pada wali-wali-Nya.”
Ibrahim bin Adham mengatakan : “Kami meminta kemiskinan tapi diberi
kekayaan; orang lain meminta kekayaan dapi kemiskinan datang kepada mereka.”
Seorang laki-laki bertanya kepada Yahya bin Mu’adz : “Apakah kemiskinan
itu?” Dia berkata : “Takut pada kemiskinan itu sendiri.” Orang itu lantas
bertanya lagi : “Lantas, apa kekayaan itu?” Dia menjawab : Rasa aman di sisi
Allah Swt.”
Ibnu Karainy berkata : “Orang miskin yang sejati, menjauhi kekayaan agar
kekayaan tidak mendatanginya dan merusak kemiskinannya; sebagaimana halnya
orang kaya menjauhi kemiskinan, agar kemiskinan tidak mendatanginya dan merusak
kekayaannya.”
Abu Hafs ditanya : “Dengan cara pa orang miskin mendektai Allah?” Dia
menjawab : “Orang miskin tidak memiliki apa-apa selain kemiskinannya yang
dengan kemiskinan itu dia mendekati Allh swt.”
Allah swt. mewahyukan kepada Musa a.s. : “Maukah engkau memperoleh
pahala amal kebajikan yang setara dengan pahala seluruh ummat manusia di Hari
Kiamat nanti?” Musa menjawab : “Ya” Allah swt. berfirman : “Kunjungilah orang
sakit dan pastikanlah bahwa orang-orang miskin punya pakaian.” Musa lalu
menyisihkan tujuh hari setiap bulan untuk mengunjungi oang-orang miskin dan
memeriksa pakaian mereka serta mengunjungi orang sakit.”
Sahl bin Abdullah menyatakan : “Ada lima mutiara jiwa : Seorang miskin
yang berpura-pura kaya, orang lapar yang berpura-pura kenyang, seorang yang
bersedih yang berpra-pura bahagia, seseorang yang punya musuh tapi
memperlihatkan kecintaan terhadapnya, seseorang yang berpuaa di siang hari dan
bangun di malam hari tanpa memperlihatkan kelelahan.”
Bisyr ibnul Harits berkata : “Maqam yang paling baik adalah maqam
keyakinan yang kokoh dalam kesabaran melalui kemiskinan sampai masuk liang
lahat.”
Dzun Nuun mengatakan : “Suatu tanda kemurkaan Allah kepada seorang hamba
adalah bahwa so hamba merasa takut kepada kemiskinan.”
Asy-Syibly berkomentar : “Tanda kemiskinan yang paling kecil adalah jika
seluruh kekayaan dunia ini diberikan kepada seseorang dan kemudian
disedekahkannya sampai habis dalam waktu satu hari, tetapi kemudian terlintas
dalam pikirannya untuk menyimpan hartanya bagi esok hari. Yang demikian itu
tidak bisa dianggap benar dalam kemiskinannya.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata : “Orang bertanya mana yang lebih baik;
kemiskinan atau kekayaan. Menurut pendapatku, yang paling baik adalah bahwa
seseorang diberi rezeki yang cukup untuk menghidupinya dan dia lalu menjaga
dirinya dalam batas tersebut.”
Ibnul Jalla’ ditanya tentang kemiskinan. Dia diam saja, kemudian
mengundurkan diri dan pergi. Sesaat kemudian dia kembali dan berkata : “Aku
punya empat keping mata uang itu, Aku amlu kepada Allah swt. untuk membicarakan
kemiskinan.” Kata Ibnul Jalla’, Kemudian aku pergi dan mengeleuarkan uang itu.
Barulah aku berbicara tentang kemiskinan.”
Ibrahim ibnul Muwallad berkata : “Aku bertanya kepada Ibnul Jalla’ :
“Kapankah orang-orang miskin patut disebut miskin?” Dia menjawab : “Jika tak
ada lagi sesuatu pun darinya yang tersisa padanya.” Ibrahim bertanya :
“Bagaimana bisa begitu?” Dia menjawab : “Jika dia memilikinya,
berarti dia tidak memiliki kemiskinan. Tapi jika dia tak lagi memilikinya,
berarti dia memiliki sebutan kemiskinan itu.”
Dikatakan bahwa keadaan miskin yang benar adalah jika si miskin tidak
merasa puas dengan aspek mana pun dari kemiskinannya selain dengan Dia yang
dibutuhkannya.
Abdullah ibnul Mubarak menyatakan : “Membuat diri sendiri tampak kaya
sedangkan ia dalam keadaan miskin, adalah lebih baik daripada kemiskinan.”
Banan al-Mishry menuturkan : “Suatu ketika aku sedang duduk-duduk di
Mekkah, dan seorang pemuda berada di depanku. Seorang laki-laki datang
kepadanya dengan membawa sebuah pundi-pundi berisi uang dan meletakkannya di
hadapan pemuda itu. Pemuda itu berkata : “Aku tak membutuhkannya.” Orang itu
berkata : “Kalau begitu, bagi-bagikanlah kepada orang-orang miskin.” Petang
harinya kulihat pemuda itu ada di lembah sedang mengemis. Aku bertanya :
“Alangkah baiknya jika engkau menyimpan sedikit dari uang tadi untuk dirimu
sendiri.” Dia menjawab : “Siapa yang tahu kalau aku masih akan terus hidup
sampai petang ini.?”
Abu Hafs berkata : “Cara paling baik bagi seorang hamba untuk menemui
Tuhannya adalah dengan terus menerus fakir kepada-Nya dalam setiap keadaan,
memathi Sunnah dalam semua amal perbuatan, dan mencari rezeki dengan jalan yang
halal.”
Al-Murta’isy berkomentar : “Yang paling baik adalh bahwa cita-cita orang
miskin itu tidak melampaui langkah-langkahnya.”
Ahmad bin Muhammad ar-Rudzbary menuturkan : “Ada empat orang yang
merupakan model manusia pada masa mereka. Yang pertama, yaitu Yusuf bin Asbat,
tidak mau menerima pemberian apa pun dari saudara-saudaranya ataupun dari
penguasa. Dia mewarisi uang sebanyak tuju puluh ribu dirham dari saudara
laki-lakinya tapi dia tidak mau menerima satu sen pun darinya. Ia hidup dengan
menjual daun kurma. Yang kedua, Abu Ishaq al-Fazzary, mau menerima pemberian
dari saudara-saudaranya ataupun dari penguasa. Pemberian itu dihabiskannya
untuk kebutuhan orang-orang miskin yang kemiskinannya tersembunyi dan yang
tidak meminta-minta sedekah. Adapun pemberian dari menguasa, maka itu
diberikannya kepada orang-orang yag patut menerimanya di kalangan warga Tarsus.
Yang ketiga , Abdullah bin Mubarak, mau menerima pemberian dari
saudara-saudaranya, lalu dibagi-bagikannya kepada orang lain secara adil,
tetapi ia tidak mau menerima dari penguasa, Yang keempat, Makhlad
bin-alHussain, mau menerima pemberian dari penguasa, tapi tidak dari
saudara-saudaranya. Dia mengatakan : “Penguasa tidak menganggap ada orang yang
wajib untuk diberi, sedangkan saudara-saudara menganggap ada.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq – semoga Allah swt. merahmati – berkata : “Ada
sebuah Hadits yang mengatakan. “Orang yang merendahkan diri di hadapan orang
kaya dikarenakan kekayaannya, berarti ia teleh kehilangan dua pertiga
agamanya.: Ini disebabakan bahwa seorang manusia terdiri dari hati, lidah dan
nafsu. Jika dia merendahkan diri dengan nafsu dan lidahnya, maka dia kehilangan
dua pertiga agamanya. Tetapi jika dia merendahkan diri di hadapan orang kaya
itu dengan hatinya juga, maka dia kehilangan seluruh agamanya.”
Dikatakan : “Seorang miskin dalam menjalani kemiskinannya dituntut
paling tidak agar dia memiliki empat hal; ilmu yang akan menjadi
pertimabngannya, sikap zuhud yang akan mengendalikan dirinya, keyakinan yang
akan menguatkan imannya, dan dzikir yang akan membawakan kegembiraan jiwanya.”
Dikatakan juga : “Orang yang menginginkan kemiskinan untuk kemuliaannya,
ia mati dalam keadaan fakir. Barangsiapa ingin miskin agar tidak disibukkan
dengan selain Allah, akan mati dalam keadaan kaya.”
Al-Muzayyin menyatakan : “Berbagai jalan kepada Alalh swt. lebih banyak
daripada bintang di langit. Tapi sekarang tak satu pun diantaranya yang tersisa
selain kemiskinan dan kemiskinan adalah jalan yang terbaik di antara
jalan-jalan itu.”
Ketika ditanya tentang hakikat kemiskinan, Asy-Syibly menjawab :
“Hakikat kemiskinan adalah bahwa si hamba tidak merasa puas selain Allah swt.”
Manshur bin Khalaf al-Maghriby menuturkan : “Abu Sahl al-Khasysyab
al-Kabir mengatakan kepadaku : “Kemiskinan adalah kemiskinan dan kehinaan.” Aku
menjawab : “Bukan, justru katakan, : “Kemiskinan dan lumpur.” Aku membalas :
“Bukan, kemiskinan dan tahta Ilahi.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkomentar tentang Hadits nabi saw. :
“Hampir-hampir kefakiran itu menjadi kekufuran.”
(H.r. Abu Nu’aim dan Thabrani).
Maka Syeikh mengatakan : “Bahaya yang bisa timbul dari sesuatu adalah
berbandnig terbalik dengan manfaat dan kebajikan yang terkandung di dalamnya.
Apa pun yang sangat bermanfaat dalam dirinya sendiri, mengandung bahaya yang
paling besar pada sisi lainnya. Begitulah halnya dengan iman. Karena ia sifat
yang paling baik, maka kebalikannya adalah kekafiran. Karena bahaya yang
terkandung dalam kemiskinan adalah bahwa ia bisa menjadi kufur kepada Allah
swt. menunjukkan bahwa kemiskinan adalah sifat yang paling mulia.”
AL-Junayd mengaarkan : “Jika engkau bertemu dengan seorng miskin,
hadapilah ia dengan budimu, bukan dengan ilmu mu. Kebaikan budi akan
mendekatkannya, sedang ilmu akan menakutkannya.” Saya bertanya : “Wahai Abul
Qasim, apakah ilmu benar-benar menjauhkan orang miskin?” Dia menjawab : “Ya,
jika si orang miskin bersikap benar dalam kemiskinannya, dan engkau mencurahkan
ilmumu kepadanya, maka ilmumu itu akan meleleh seperti melelehnya timah kena
api.”
Mudzaffar al-Qurmisainy berkata : “Orang miskin adalah orang yang tak
membutuhkan suatu kebutuhan dirinya kepada Allah swt.” Ucapan ini mempunyai
makna yang samar-samar jika dipahami oleh orang yang tak memahami tujuan sang
Sufi. Ucapan ini semata-mata menunjukkan dihentikannya mengajukan tuntutan,
berakhirnya pilihan, dan ridha terhadap apa pun yang ditakdirkan Alalh swt.”
Abdullah bin Khafifi mengatakan : “Kemiskinan berati tidak memiliki
harta benda dan meninggalkan aturan-aturan manusiawi.”
Abu Hafs berkata : “Kemiskinan tidaklah sempurna bagi siapa pun sampai
dia lebih mengutamakan memberi daripada menerima. Kemurahan hati bukanlah orang
yang berpunya memberi kepada yang tidak punya, melainkan orang yang tidak
ebrpunya memberi kepada orang yang punya.”
Ibnul Jalla menegaskan : “Seandainya tidak karena adanya tujuan lebih
agaug dalam tawadlu; niscaya akan menjadi cara orng miskin untuk berjalan
dengan sikap penuh kebanggaan.”
Yusuf bin Asbat berkata : “Salam empatpuluh tahun aku hanya memiliki dua
lembar baju.”
Salah seorang Sufi menuturkan : “Aku melihat seolah-olah Hari Kiamat
sudah tiba. Sebuah suara mengatakan : “Bahwa Malik Bin Dinar dan Muhammad bin
Wasi’ ke dalam surga.” Maka aku perhatikan siapa di antara keduanya yang lebih
dahulu msuk, dan ternyata orang itu adalah Muhammad bi Wasi’. Ketika aku bertanya
mengapa dia didahulukan, dijelaskan kepadaku : “Dia hanya memiliki selembar
baju, sedangkan Malik dua.”
Muhammad al-Masuhy berkata : “Orang miskin adalah orang yang tidak
membutuhkan terhadap sesuatu pun bagi dirinya dari harta benda duniawi.”
Sahl bin Abdullah ditanya : “Kapankah orang miskin bisa beristirahat?”
Dia menjawab : “Jika dia tidak mengharapkan apa pun bagi dirinya sendiri selain
saat kekiniannya.”
Di hadapan Yahya bin Mu’adz, orang-orang Sufi berdiskusi soal kefakiran
dan kekayaan, dia berkata : “Bukanlah kemiskinan ata kekayaan yag memiliki bbot
di Hari Perhitungan. Hanya kesabaran dan syukurlah yang akan ditimbang. Jadi
kelak akan dikatakan; Orang ini bersyukur, atau orang ini bersabar.”
Dikaakan Allah sw. Mewahyukan kepada sebgain pra Nabi-Nya : “Jika kamu
ingin mengetahui ridha-Ku padamu, maka lihatlah bagaimana ridhanya si fakir
kepadamu.”
Abu Bakr bin Nashr az-Zaqqaq berkata : “Orang yang tidak punya rasa
takut kepada Allah swt. bersama dengan kemiskinannya berarti seluruh makanan
yang dikonsumsinya benar-benar makanan haram.”
Dikatakan bahwa orang-orang miskin di pengajian-pengajian Sufyan
ats-Tsaury adalah laksana para pangeran. Abu Bakr bin Thahir menyatakan, : Di
antara aturan-aturan orang miskin adalah bahwa dia tidak punya keinginan, kalaupun
dia berkeinginan juga, jangan sampai keinginannya melebihi kebutuhannya.”
Ibnu Atha’ membacakan syair untuk para Sufi :
Meraka berkata, esok adalah hari raya. Apa yang akan kau pakai?
Kukatakan, Jubah kehormatan yang diberi-Nya.
Yang mecurahkan cinta dengan penuh kemurahan hati
Kemiskinan dan kesabaran, adalah pakaianku yang di bawanya
Ada satu hati bagi kekasihnya, yaitu
Hari Jum’at dan hari Raya
Pakaian yang paling layak untuk menemui Kekasih pada hari
Ziarah adalah pakaian yang dicintai-Nya.
Tahun-tahun penuh berkabung bagiku jika Kau tak ada,
Wahai Harapanku,
Hari Raya adalah hari ketika aku melihat dan mendengar suara-Mu.
Ketika ditanya tentang orang miskin sejati, Abu Bakr al-Msihry menjawab
: “Dia adalah orang yang tidak memiliki sesuatu dan tidak pula berkeinginan
memiliki sesuatu.”
Dzun Nuun al-Mishry berkata : “Aku lebih menyukai rasa fakir kepada
Alalh swt. secara langgeng, dibanding memasuki dunia Sufi dengan penuh takjub.”
Abu Abdullah al-Hushry menuturkan : “Abu Ja’far al-Haddad bekerja selama
duapuluh tahun, dengan penghasilan satu dinar setiap hari. Uang itu
dibelanjakannya untuk orang-orang miskin sementara dia sendiri berpuasa,
setelah itu dia akan berkeliling mencari sedekah setalah shalat maghrib untuk
berbuka puasa.
An-Nury menyatakan : “Tanda seorang miskin adalah kerelaan manakala dia
tidak punya apa-apa dan memberi dengan murah hati manakala dia punya banyak
rezeki.”
Muhammad bin Ali al-Kattany berkata : “Ada seorang pemuda bersama kami
di Mekkah yang memakai pakaian kumal dan bertambal-tambal> Dia tidak pernah
ikut serta dalam percakapan kami ataupun duduk bersama kami. Dalam hati aku
sangat merasa sayang kepadanya. Suatu ketika aku diberi uang duaratus dirham
dari sumber yang halal. Uang itu kubawa kepadanya. “Uang ini telah datang
kepadaku dari sumber yag halal. Belanjakanlah untuk keperluanmu.” Saraya
memandang kepadaku dengan sikap merendahkan, dia mengungkapkan apa yang selama
ini tidak kukeetahui.” Saya membeli kesempatan untuk bisa duduk bersama Alalh
swt. dalam pengabdian yang leluasa ini dengan harga tujuh puluh ribu dinar dari
harta benda dan kebun-kebun saya. Sekarang Anda hendak menyesatkan saya dari
keadaan saya sekarang ini dengan uang itu ke tanah.” Ia lalu berdiri dan
menolaknya. Aku duduk dan mengumpulkan uang itu dari tanah. Belum pernah aku
menyaksikan kegagahan seperti kegagahan pemuda itu ketika ia berjalan pergi,
ataupun kehinaan seperti kehinaanku ketika aku mengumpulkan uang itu.”
Abu Abdullah bin Khafif mengatakan : “Aku belum pernah diwajibkan
membayar zakat fitrah pada akhir Bulan Ramadhan selama empat puluh tahun,
sementara aku diterima dengan penuh penghormatan di kalangan kaum terpilih
maupun kaum awam.”
Ketika ad-Duqqy ditanya tentang perilaku buruk di kalangan para fakir di
hadapan Allah dalam urusan-urusan mereka, dia berkata, “Perilaku buruk itu
adalah kejatuhan mereka dari upaya mencari hakikat menjadi upaya mencari Ilmu.”
Khayr an-Nassaj menuturkan : Alu memasuki sebuah masjid dan melihat ada
seorang kafir di situ. Ketika dia melihatku, dipegangnya bajuku sambil memohon
: “Wahai Syeikh, kasihanilah aku, karena penderitaanku sangat besar!” Aku
bertanya : “Apa yang kau derita?” Dia menjawab : “Aku telah tidak lagi diberi
cobaan, dan selalu dalam keadaan sehat wal afiat!.” Aku memandangnya,
tiba-tiba ia telah dibukakan sedikir harta dunia.”
Abu Bakr al-Warraq berkata : “Berbahagialah orang yang miskin di dunia
dan di akhirat.” Ketika ditanya apa maksud perkataannya itu, dia menjawab :
“Penguasa di dunia tidak menunut pajak darinya, dan Yang Maha Kuasa di akhirat
tidak membuat hisab dengannya.”
Silahkan Bagikan Artikel ini
Mohon Maaf, Kepada Semua Sahabat, Atas Ketidak Nyamanannya, Dengan adanya Shortener Di Link Download. Mohon Keridhoannya. Terima Kasih.**** Apabila kesulitan Download Silahkan buka/klik gambar(Cara Download) dibawah postingan. Apabila masih kesulitan, silahkan copy paste link download yang ada, kebrowser anda.*** Apabila ada link Download yg rusak/mati, mohon beritahu kami lewat komentar dibawah ini.