بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
اللهُم َّصلِّ علٰى سَيِّدنا مُحَمّدٍ عبدِكَ وَنبيِّكَ ورسولِكَ النَّبيِّ الاُمِيّ وَعلٰى اٰلهِ وَصَحْبِهِ وسَلِّم تسليماً بقدرِ عظمةِ ذاَتِكَ في كـُلِّ وَقتٍ وَحيـنٍ
TERJEMAH KITAB
RISALATUL-QUSYAIRIYYAH
PENJELASAN
TENTANG
“TAHAPAN-TAHAPAN (MAQAMAT) PARA PENEMPUH JALAN SUFI”
23.
UBUDIYAH
Allah
swt. berfiman :
“Dan
sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu keyakinan.” (Qs. Al-Hijr :99).
Diriwayatkan
oleh Abu Sa’id al-Khurdry dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda
:
“Ada
tujuh golonga manusia yag akan dinaungi Allah swt. dalam naungan-Nya pada hari
ketika tidak ada naungan selain naungan-Nya : Imam yang adil; pemuda yang
bersemangat dalam ibadat kepada Allah swt; seseorang yang hatinya berkait
dengan masjid sejak saat ia keluar hingga kembali (ke masjid); dan dua orang
yang saling mencintai karena Allah, yang bertemu dan berpisah karena Allah,
seseorang yang mengingat Allah swt. hingga air matanya mengalir; serta
seseorang yang digoda seorang wanita baik dan cantik, lantas menjawab dengan
ucapan : “Aku takut kepada Allah Tuhan semesta alam; dan seseorang yang
bersedekah dengan diam-diam hingga tangan kirinya tidak tahu apa yang diberikan
oleh tangan kanannya.” (H.r. Bukhari – Muslim, Tirmidzi dan Nasa’i).
Syeikh
Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan : “Ubudiyah adalah lebih sempurna daripada ibadat.
Karena itu, pertama-tama adalah ibadat. Lalu ubudiyah, dan akhirnya abudah.”
Ibadat adalah amalan kaum awam; Ubudiyah adalah amalam kaum terpilih
(khawwash); dan Abudah adalah amalan kaum yang sangat terpilih (khawwashul
khawwash).” Beliau juga mengatakan : “Ibadat adalah untuk orang yang memiliki
ilmu yaqin, ubudiyah untuk orang yang memiliki ‘ainul yaqin, dan abudah untuk
orang yang memiliki haqqul yaqin.” Beliau juga berkomentar : “Ibadat adalah
untuk orang yang sedang berrjuang keras (mujahadah), ubudiyah untuk orang yang
sangat tahan menanggung kesukaran (mukabidat) dan abudah adalah sifat ahli
musyahadah. Jadi, orang yang tidak mengeluh kepada Allah, jiwanya berada dalam
keadaan ibadat, dan siapa yang tidak bakhil jiwanya dialah pemilik ubudiyah,
dan siapa yang tidak bakhil ruhnya, dialah pemilik abudah.”
Dikatakan
: “Ubudiyah adalah menegakkan tindak-tindak ketaatan yang sejati, dengan
khusyu’, memandang diri dengan mata yang terbatas, dan menydari bahwa amal-amal
kebajikan hanya dapat terlaksana berkat ketentuan takdir.”
Dikatakan
pula : “Ubudiyah berarti meninggalkan ikhtiar sendiri ketika menghadapi takdir
ilahi.”
Dikaakan
pula : “Ubudiyah adalah mengosongkan diri dari keyakinan akan kekuatan dan
kemampuan diri sendiri dan mengakui kekayaan serta anugerah yang diberikan-Nya
kepadamu.”
Juga
dikatakan : “Ubudiyah adalah menyambut apa pun perintah yang diberikan kepadamu
dan memisahkan dirimu dari apa pun yang engkau dilarang atasnya.”
Muhammad
bin Khafifi ditanya : “Bilakah ubudiyah itu sah?” Ia menjawab : “Apabila
seseorang telah menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah swt. dan memiliki
kesabaran terhadap-Nya dalam menjalani cobaan-Nya.”
Sahl bin
Abdullah mengatakan : “Bagi siapa pun, ubudiyah tidaklah shahih sampai ia tidak
memperdulikan empat hal : Kelaparan, ketelanjangan, kemiskinan dan kehinaan.”
Dikaakan
: “Ubudiyah adalah hendaknya engkau menyerahkan diri sepenuhnya kepada-Nya dan
menanggungkan segala perbuatan kepada-Nya.
Dikatakan
pula : “Salah satu tanda ubudiyah adalah bahwa engkau meninggalkan angan-angan
sendiri dan mempersaksikan takdir.”
Dzun Nuun
al-Mishry menjelaskan : “Ubudiyah adalah bahwa engkau menjadi hamba-Nya dalam
setiap kondisi, seperti halnya Dia adalah Tuhanmu di setiap kondisi.”
Ahmad
Jurairy menjelaskan : “Penghamba kenikmatan banyak sekali, tapi sedikit sekali
yang menjadi penghamba Sang Pemberi nikmat.”
Syeikh
Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan : “Engkau akan menjadi hamba dari siapa pun yang
mengikatmu. Jika engkau teerikat kepada dirimu sendiri, maka engkau akan
menjadi hamba bagi dirimu sendiri. Jika engkau terikat kepda kehidupan duniawi,
maka engkau akan menjadi hamba bagi kehidupan duniawimu.” Rasulullah saw.
bersabda :
“Celakalah
hamba dirham, celakalah hamba dinar, celakalah hamba pakaian bagus.” (H.r.
Bukhari).
Ismail
bin Nujayd menegaskan : “Tidak satu pun langkah dapat murni di jalan ubudiyah
sampai seseorang melihat bahwa amal-amal baiknya adalah riya’ dan
keadaan-keadaan ruhani (haal)-nya adalah berpura-pura.”
Abdullah
bin Munazil mengatakan : “Hamba adalah hamba, selala ia tidak menuntut apap pun
untuk tunduk kepada dirinya. Jika ia telah menuntut pelayan bagi dirinya, ia
benar-benar gugur dari batas ubudiyah dan telah meninggalkan adab ubudiyah.”
Sahl bin
Abdullah berkomentar : “Ubudiyah hanya dapat dipandang benar pada seorang hamba
manakala pengaruh kemiskinan dalam kefakiran tidak tampak, tidak ada tanda
kekayaan ketika ia kaya.”
Dikatakan
: “Ubudiyah adalah penyaksian rububiyah.”
Saya
mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata : “Aku mendengar Ibrahim an-Nashr
Abadzy mengatakan : “Nilai seorang penghamba karen Yang Dihamba, seperti nilai
seorang ‘Arif karena Allah Yang Dima’rifati.”
Abu Hafs
berkata : “Ubudiyah adalah hiasan yang indah atas diri seorang hamba.
Barangsiapa meninggalkan ubudiyah berarti terlarang dari perhiasan.”
An-Nibajy
mengatakan : “Prinsip ibadat itu didasarkan pada tiga hal : Hendaknya engkau
tidak menolak aturan-Nya yang mana pun; tidak menahan sesuatu pun yang
diminta-Nya; dan hendaknya Dia tidak mendengar engkau meminta kepada orang lain
untuk memenuhi kebutuhamu.”
Ibnu
Atha’ menjelaskan : “Ubudiyah ada empat perilaku : Kesetiaan pada janji,
menjaga batas-batas yang telah ditetapkan Allah; ridha terhadap apa pun yang
dimiiki; dan kesabaran terhadap apa pun yang hilang.”
Amru bin
al-Makky menuturkan : “Tidak pernah kutemui banyak manusia di Mekkah dan di
tempat lain, atau yang datang mengunjungiku di berbagai waktu, tak seorang pun
yang lebih besar mujahadahnya dan lebih memelihra ibadatnya dari al-Muzany –
semoga Allah merahmatinya. Aku tidak pernah menjumpai seorang pun yang lebih
baik dalam mengagungkan perintah-perintah Allah swt. daripadanya, yang lebih
mengendalikan diri, atau yang sama pemurahnya kepada sesamanya, dibanding
al-Muzany.”
Saya
mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan : “Tiada sesuatu pun yang lebih
mulia dalam ubudiyah, juga tiada gelar yang lebih sempurna bagi seorang beriman
selain sebuah nama , :ubudiyah”. Karena alsan ini Allah swt. ketika
menggambarkan sifat Rasulullah saw. pada malam Mi’raj – saat paling mulia di
dunia ini – berfimran “Maha suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya
pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha.” (Qs. Al-Isra’ :1).
Kemudian Allah swt. berfirman : “Lalu ia menyampaikan kepada
hamba-Nya apa yang telah Allah wahyukan.” (Qs. An-Najm : 10). Maka seandainya ada
gelar yang lebih agung daripada sifat ke “hamba” an, tentulah Dia telah
menggunkanannya untuk beliau.”
Dalam
konteks inilah syair dialntunkan :
Wahai
Amru, membalaskan tumpahnya darahku
Demi
Zahra’ku
Mata dan
telinga tahu semua ini.
Jangan
panggil diriku
Kecuali
“wahai hamba Zahra’”
Sungguh
nama termulia
Panggilan
itu bagiku.
Salah
seorang Sufi berkomentar. “Ada dua hal : Ketenangan sampai pada kelezatan, dan
keterkaitan Anda atas gerakan. Jika Anda menggugurkan diri dari dua hal
tersbut, Anda bakal mendapati hak ubudiyah.”
Muhammad
al-Wasithy memperingatkan : “Waspadalah terrhadap anugerah yang ditimbulkan
oleh pemberian, karne abagi manusia Sufi, itu merupakan tabir.”
Abu Ali
al-Jurjany berkata : “ Merasa ridha adalah rumah ubudiyah. Sabar adalah
pintunya, penyerahan total adalah rumahnya. Suara di atas pintu, kegaduhan di
dalam tempat tiggal, dan keringanan jiwa ada di rumah.”
Syeikh
Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan : “Sebagaimana rububiyah sebagai sifat Allah swt.
yang tak pernah sirna, maka ubudiyah adalah sifat hamba yang tak penah pisah.
Sebagian Sufi bersyair :
Jika kau
tanya padaku,
Aku
berkata, “Inilah, aku hamba-Nya.”
Dan jika
mereka tanya kepada-Nya,
Dia
berkata, “Inilah, dia hamba-Ku.”
AN-Nashr
Abadzy menegaskan : “Amal-amal ibadat lebih dekat pada pencarian maaf dan
ampunan atas kekurangan-kekurangan daripada permohonan imbalan dan pahala.” Ia
juga mengatakan, “Ubudiyah berarti kehilangan kesadaran akan pengabdian ketika
menyaksikan Yang Maha Disembah.”
Al-Junayd
mengatakan : “Ubudiyah adalah meninggalkan semua aktivitas dan kesibukan dengan
cara menyibukkan diri pada hal-hal yang merupakan dasar kebebasan.”
Silahkan Bagikan Artikel ini
Mohon Maaf, Kepada Semua Sahabat, Atas Ketidak Nyamanannya, Dengan adanya Shortener Di Link Download. Mohon Keridhoannya. Terima Kasih.**** Apabila kesulitan Download Silahkan buka/klik gambar(Cara Download) dibawah postingan. Apabila masih kesulitan, silahkan copy paste link download yang ada, kebrowser anda.*** Apabila ada link Download yg rusak/mati, mohon beritahu kami lewat komentar dibawah ini.