بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
اللهُم َّصلِّ علٰى سَيِّدنا مُحَمّدٍ عبدِكَ وَنبيِّكَ ورسولِكَ النَّبيِّ الاُمِيّ وَعلٰى اٰلهِ وَصَحْبِهِ وسَلِّم تسليماً بقدرِ عظمةِ ذاَتِكَ في كـُلِّ وَقتٍ وَحيـنٍ
TERJEMAH KITAB
RISALATUL-QUSYAIRIYYAH
PENJELASAN
TENTANG
“TAHAPAN-TAHAPAN (MAQAMAT) PARA PENEMPUH JALAN SUFI”
22.
RIDHA
Allah
swt. berfirman :
“Allah
ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya.” (Qs. Al-maidah : 119;
Al-Bayyinah :8).
Jabir
r.a. mengabarkan bahwa Rasulullah saw. bersabda :
“Para Penghuni
surga akan berada di dalam sebuah majelis ketika suatu cahaya dari pintu
gerbang surga menyinari mereka, Mereka akan mengangkat kepala dan Allah swt.
akan memandang mereka dan berfirman : “Wahai penghuni surga, mintalah kepada-Ku
apa yang kalian inginkan!.” Mereka akan menjawab : “Kami mohon agar Engkau
ridha kepada kami.” Allah swt. menjawab : “Keridhaan-Ku telah membawa kalian ke
rumah-Ku, dan Aku telah memberi kalian kemuliaan-Ku. Ini adalah saat yang
tepat, maka bermohonlah kepada-Ku!” Mereka menjawab : “Kami memohon tambahan
selain ini.”
Selanjutnya
Rasul saw. bersabda : “Kemudian mereka akan dibawakan kednaraan istimewa dari
mutu manikam, kendalinya dari zamrud hijau an manikam merah. Mereka menaikinya,
dan kendaraan itu akan melesat cepet melebihi kecepatan peglihatan mata. Lalu
Allah swt. memerintahkan buah-buahan yang lezat serta bidadari supaya dibawa
kepada mereka, dan para bidadari itu akan berkata: “Kami adalah penghibur
kenikmatan yang gemulai, dan kami tidak akan menjadi layu. Kami abadi dan tidak
akan mati – jodoh bagi kaum beriman yang mulia.” Selanjutnya Allah akan
memerintahkan agar didatangkan minyak misik putih yang harus semerbak, dan
mereka akan berputar berkeliling dibawa angin yang disebut “al-Mutsirah” sampai
akhirnya mereka di bawa ke Surga “Adn, yang merupakan pusat surga. Para
malaikat akan menyerukan : “Wahai Tuhan kami, mereka telah datang .”
Allah swt. berfirman : “Selamat datang orang-orang yang benar, selamat datang
orang-orang yang taat!.”
Lalu
Rasulullah saw. bersabda : “Maka tabir pun akan disingkapkan bagi mereka.
Mereka akan memandang kepada Allah swt. dan mereka akan menikmati Cahaya Yang
Maha Pegasih hingga mereka tidak akan melihat satu sama lain. Kemudian Allah
swt. memerintahkan : “Kembalikan mereka ke istana-istana mereka dengan hadiah.”
Rasulullah
saw. menlanjutkan : “Mereka akan dibawa kembali ke tempat tinggal mereka dan
mereka akan dapat saling pandang lagi.” Lalu Rasulullah saw. menjelaskan :
“Itulah yang dimaksud dengan firman Allah swt.” Sebagai hadiah dari Tuhan Yang
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. Futhshilat : 32).” (H.r. Ibnu
an-Najjar dan al-Bazzar).
Ulama
Irak dan Khurasan berbeda pendapat mengenai ridha. Apakah ia termasuk keadaan
ruhani (ahwah) ataukah maqam? Ulama Khurasan mengatakan : “Ridha adalah salah
satu maqam, sebagai puncak dari tawakkal kepada Allah swt. Ini
berarti bahwa ridha dapat dicapai oleh si hamba dengan upayanya sendiri.”
Sedang ulama Iraq mengatakan : “Ridha adalah ssalah satu ahwal, bukan sesuatu
yang diperoleh dengan upaya si hamba. Ridha adalah sesuatu yang memasuki hati,
seperti halnya haal-haal yang lain.” Sebuah kompromi antara dua pandangan ini
dapat diajukan, dengan pernyataan demikian : “Awal ridha adalah sesuatu yang
dicapai oleh si hamba dan merupakan maqam, meskipun pada akhirnya ridha
merupakan kondisi ruhani (haal) dan bukan sesuatu yang diperoleh dengan upaya.”
Banyak
orang berbicara tentang ridha, masing-masing mengungkapkan keadaan dan konsumsi
ruhaninya. Maka ungkapan pendapat mereka berbeda-beda, sebagaimmana berbedanya
pengalaman meneguk ruhani dan bagian masing-masing.
Sementara
syarat ilmu, maka menjadi keharusan. Orang yang ridha dengan Allah swt. adalah
orang yang sama sekali tidak menentang takdir-Nya.
Syeikh
Abu ali ad-Daqqaq mengatakan : “Ridha bukanlah bahwa engkau tidak mengalami
cobaan, ridha hanyalah bahwa engkau tidak berkeberatan terhadap hukum dan qadha
Allah swt.”
Ketahuilah,
kewajiban bagi hamba adalah rela terhadap ketentuan Alalh swt. yang telah
diperintahkan agar ia ridha dengannya. Sebab tidaklah setiap ketentuan itu
mengharuskan ia ridha, atau boleh ridha dengan qadha tersebut, misalnya
kemakssiatan dan banyaknya fitnah yang menimpa kaum muslimin.
Para
syeikh berkomentar : “Keridhaan adalah gerbang Allah swt. yang terbesar.”
Maksud mereka adalah, bahwa barangsiapa mendapat kehormatan dengan ridha,
berarti ia telah disambut dengan sambutan paling sempurna, dan dihormati dengan
penghormatan tertinggi.”
Abdul
ahid bin Zaid menjelaskan : “Keridhaan adalah gerbang Allah yang
teragung dan surga dunia.”
Ketahuilah
bahwa si hamba tidak akan mendekati derajat ridha kecuali Allah swt. ridha
terhadapnya, sebab Allah swt. telah berfirman : “Allah ridha kepada mereka, dan
mereka pun rela kepada-Nya.” (Qs. Al-Maidah :119).
Syeikh
Abu Ali ad-Daqqaq menuturan : “Seorang murid bertanya kepada gurunya : “Apakah
si hamba mengetahui jika Allah ridha kepadanya?” Sang guru menjawab : “Tidak,
bagaimana dapat mengetahuinya, sedang ridha-Nya gaib?” Si murid berkata :
“Sungguh ia tahu hal ini! Jika aku mendapati hatiku ridha kepada Alalh swt.
maka aku tahu bahwa Dia ridha kepadaku.” Maka sang guru lalu berkata : “Sungguh
baik sekali ucapanmu itu, anak muda.”
Ketika
Musa as. Berdoa : “Ilahi, bimbinglah aku kepada amal yang mendatangkan
keridhaan-Mu.” Allah swt. menjawab : “Engkau tidak akan mampu melakukannya.”
Musa bersujud dan terus memohon. Maka Allah swt. lalu mewahyukan kepadanya :
“Wahai putra Imran, keridhaan-Ku ada pada keridhaanmu menerima ketetapan-Ku.”
Abu
Abdurrahman ad-Darany mengatakan : “Jika si hamba membebaskan dirinya dari
ingatan terhadap hawa nafsu, maka ia akan mencapai ridha.”
An-Nashr
Abadzy menegaskan : “Barangsiapa ingin mencapai derajat kerelaan, hendaklah
berpegang teguh apa-apa yang paanya Allah telah menempatkan keridhaan-Nya.”
Abu
Abdullah bin Khafif menjelaskan : “Ada dua macam ridha; ridha dengan Allah swt.
dan ridha terhadap apa yang datang dari-Nya. Ridha dengan Alalh swt. berarti
bahwa si hamba rela terhadap-Nya sebagai Pengatur. Dan ridha terhadap apa yang
datang dari-Nya berkaitan dengan apa yang telah ditetapkan-Nya.”
Saya
mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan : “Jalan sang pengembara ruhani
(salikin) itu lebih panjang, dan itulah jalan olah ruhani. Jalan kaum terpilih
(khawwash) lebh singkat, tapi lebih sulit dan menuntut agar engkau bertindak
sesuai dengan keridhaan dan juga ridha dengan takdir.”
Riwaym
mengatakan : “Keridhaan adalah jika Allah meletakkan neraka Jahanam di tangan
kanannya, maka ia tidak akan meminta agar Dia memindahkannya ke tangan
kirinya.”
Abu Bakr
bin Thahir berkomentar : “Keridhaan adalah menghilangkan kesedihan dari hati
hingga tidak sesuatu pun yang tinggal selain kebahagiaan dan kegembiraan.”
Al-Wasithy
mengajarkan : “Manfaatkanlah keridhaan sebesar-besarnya, dan jangan biarkan ia
memanfaatkan dirimu, agar kemanisan dan wawasannya tidak menabirimu dari
kebenran batin yang menyangkut penglihatanmu.”
Ketahuilah
bahwa kata-kta al-Wasithy tersebut sangat penting. Di dalamnya terdapat
peringatan yang tersirat bagi ummat, sebab ridha terhadap keadaan ruhani belaka
merupakan tabir yang gmenabiri Si Pemberi derajat keadaan ruhani. Jika seseorng
menemukan kesenangan dalam ridha dan mengalami nikmatnya ridha dalam hatinya,
maka ia telah tertabiri oleh keadaannya sendiri dari musyahadah kebenran batin.
Al-Wasithy juga mengingatkan, : “Waspadalah terhadap perasaan nikmat karena
amal ibadat, sebab itu adalah racun yang membawa maut.”
Ibnu
Khafifi berkta : “Ridha adalah tenangnya hati dengan ketetapan Alalh swt. dan
keserassian hati dengan apa yang menjadikan Allah swt. ridha dan dengan apa
yang dipilih-Nya.”
Ketika
Rabi’ah al-Adawiyah ditanya : “Bilakah seorang hamba dipandang ridha?” Ia
menjawab : “Apabila baginya penderitaan sama menggembirakannya dengan anugerah
nikmat.”
Diceritakan
bahwa asy-Syibly menegaskan di hdapan al-Junayd : “Tidak da daya dan kekuatan
selain dengan Alalh, (la haula wa laa quwwata illa billah)” dan al-Junayd
mengatakan kepadanya : “Ucapanmu itu merupakan ungkapan dada yang sempit, dan
dada sempit (sedih) karena meninggalkan ridha pada ketentuan-Nya.” Asy-Syibly
lalu terdiam.
Abu
Sulaiman ad-Darany mengatakan : “Ridha adalah jika engkau tidak meminta surga
kepada Alalh swt. atau berlindung kepada-Nya dari neraka.
Dzun Nuun
al-Mishry menjelaskan : Ada tiga tanda ridha, tidak punya pilihan sebelumm
diputuskannya keteapan (Allah), tidak merasakan kepahitan setelah diputuskannya
ketetapan, dan tetap merasakan gairah cinta ditengah-tengah cobaan.”
Dikatakan
kepada al-Husain putra Ali bin Abu Thalib r.a. : “Abu Dzar mengatakan :
“Kemiskinan lebih kucintai daripada kekayaan, dan sakit lebih kucintai daripada
kesehatan.” Al-Husain menjawab : “Semoga Allah mengasihi Abu Dzar. Kalau aku
sendiri berpendapat, Orang yang menruh pilihan baik Allah swt. baginya, tidak
akan berkeinginan selaind ari apa yang telah dipilihkan Allah swt. baginya.”
Al-Fudhail
bin ‘Iyadh mengatakan kepada Bisyr al-Hafi : “Ridha adalah lebih baik daripada
hidup zuhud di dunia ini, sebab orang yang rela tidak pernah berkeinginan
akan sesuatu di luar keadaannya.”
Ketika
Abu Utsman ditanya tentang sabda Nabi saw. : “Aku memohon kepada-Mu ridha
setelah diputuskannya ketetapan-Mu.” Dijelaskannya, : “Ini karena ridha sebelum
diputuskannya ketetapan Allah, berarti adanya niat kuat untuk ridha, tetapi
ridha setelah diputuskannya ketetapan adalah ridha itu sendiri.”
Abu
Sulaiman berkata : “Seandainya aku ingin mengetahui sebagian kecil saja tentang
ridha. Sekali pun itu akan menyebabkan aku masuk ke neraka, aku akan menjadi
orang yang ridha.”
Abu Umar
ad-Dimasyqi mengatakan : “Ridha adalah hilangnya kesedihan terhadap perintah
yang manapun.”
Al-Junayd
berkata : “Ridha berarti meniadakan pilihan.”
Ibnu Atha
menegaskan : “Ridha adalah mengarahkan perhatian hati pada berlalunya qadha
bagi si hamba, yaitu meninggalkan ketidak senangan terhdapnya.”
Ruwaym
berkata : “Ridha, tenangnya hati dalam menjalani ketetapan (Allah).”
An-Nury
mengatakan : “Ridha adalah senangnya hati atas pahitnya nasib.”
Al-Jurairy
mengatakan : “Barangsiapa ridha tanpa batas, Allah swt. akan mengangkat
derajatnya di luar batas.”
Abu Turab
an-Nakhsyaby menjelaskan : “Siapa pun tidak akan pernah mendapatkan ridha
manakala dalam hatinya ada seberat biji sawi dunia.”
Diriwayatkan
oleh al-Abbas bin Abdul Muthalib, bahwa Rasulullah saw. menjelaskan : “Orang
yang ridha Allah sebagai Tuhannya, akan merasakan nikmatnya iman.” (Hr. Muslim,
Tirmidzi dan Ahmad).
Diceritakan
bahwa Umar bin Khaththab menulis surat kepada Abu Musa al-Asy’ary, “Amma
ba’du”... bahwa segala kebaikan terletak di dalam keridhaan. Maka jika
engkau mampu, jadilah orang yang ridha, jika tidak mampu jadilah orang yang
sabar.
Dalam
sebuah kisah disebutkan bahwa Utbah al-Ghulam biasa menghabiskan malam-malamnya
hingga pagi dengan berucap : “Jika Engkau menghukumku, aku akan mencintai-Mu,
dan jika Engkau mengasihi aku, aku pun tetap mencintamu.”
Saya
mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq menuturkan : “Manusia dibuat dari lempung,
dan lempung itu tiada bernilai untuk menentang keputusan Allah swt.”
Syeikh
Abu Ali ad-Daqqaq berkata : “ Seorang laki-laki mrah kepada salah seorang
budaknya, maka si budak lalu minta bantuan seorang laki-laki lainnya untuk
menjadi penengah. Ketika tuannya telah memaffkannya, si budak lalu menangis,
dan si penengah bertanya : “Mengapa engkau menangis, sedangkan tuanmu telah
memaafkanmu?” si tuan berkata kepadanya : “Ia menginginkan ridhaku, dan tidak
ada jalan lagi baginya untuk memperolehnya. Karena itu ia menangis.”
Silahkan Bagikan Artikel ini
Mohon Maaf, Kepada Semua Sahabat, Atas Ketidak Nyamanannya, Dengan adanya Shortener Di Link Download. Mohon Keridhoannya. Terima Kasih.**** Apabila kesulitan Download Silahkan buka/klik gambar(Cara Download) dibawah postingan. Apabila masih kesulitan, silahkan copy paste link download yang ada, kebrowser anda.*** Apabila ada link Download yg rusak/mati, mohon beritahu kami lewat komentar dibawah ini.