بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
اللهُم َّصلِّ علٰى سَيِّدنا مُحَمّدٍ عبدِكَ وَنبيِّكَ ورسولِكَ النَّبيِّ الاُمِيّ وَعلٰى اٰلهِ وَصَحْبِهِ وسَلِّم تسليماً بقدرِ عظمةِ ذاَتِكَ في كـُلِّ وَقتٍ وَحيـنٍ
Terjemah Kitab
Mukasyafah Al-Qulub
Al-Muqarrib Ila Hadrah ‘Allam Al-Ghuyub Fi‘Al-Tashawwuf
Al-Hujjah Al-Islam Al-Imam Abu Hamid Al-Ghazali
Biografi Al Imam Al Ghozali
Nama lengkap penulis adalah Abu
Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali. Gelar yang disandangkan kepadanya
adalah al-Hujjah al-Islam Zaynuddin al-Thusi.
Dia dilahirkan di Thus pada tahun
450 H. Di dalam sebuah sumber disebutkan bahwa ayahnya adalah seorang saleh.
Dia tidak makan kecuali dari hasil usahanya sendiri.
Mata pencahariannya adalah
memintal bulu domba dan menjualnya di tokonya. Ketika ajal akan menjemputnya,
dia menitipkan al-Ghazali dan saudaranya, Ahmad, kepada karibnya, seorang sufi
dan dermawan. Dia berkata kepada karibnya, “Aku menyesal tidak pernah belajar
menulis. Oleh karena itu, aku ingin sekali memperoleh apa yang telah aku
tinggalkan itu pada kedua anakku, ajarilah mereka menulis. Untuk itu, engkau
boleh menggunakan peninggalanku untuk pendidikan mereka.
Ketika dia meninggal dunia,
karibnya itu mulai mengajari kedua anaknya hingga habislah peninggalan orang
tua kedua anak itu. Harta waris ayah al-Ghazali memang tidak banyak. Dia
berkata kepada mereka, “Ketahuilah bahwa aku telah menafkahkan untuk kalian apa
yang menjadi milik kalian. Aku ini orang miskin. Aku tidak punya harta sedikit
pun untuk membantu kalian. Oleh karena itu, masuklah kalian ke sebuah madrasah
karena kalian termasuk para penuntut ilmu. Dengan cara itu kalian akan memperoleh
bekal yang dapat mencukupi kebutuhan kalian.”
Mereka menuruti nasihat itu.
Itulah yang menjadi sebab kebahagiaan dan ketinggian derajat mereka. Al-Ghazali
menuturkan hal itu dan berkata, “Kami pernah diajari tidak karena Allah, maka
aku menolak dan hanya ingin belajar karena Allah.”
Ayah al-Ghazali sering menemui
para ulama, serta berkumpul bersama mereka, berkhidmat, dan memberikan infak
kepada mereka semampunya. Apabila dia mendengar ucapan mereka, dia menangis dan
menunduk. Dia memohon kepada Allah agar diberi anak yang saleh dan alim. Allah
mengabulkan doanya. Abu Hamid adalah orang yang paling cerdas di antara
kawan-kawannya dan kelak menjadi pemuka para ulama sejamannya. Adapun Ahmad
adalah seorang yang paling saleh juga. Bebatuan menjadi lunak ketika mendengar
peringatan dan para hadirin pun menggigil di majelis dzikirnya.
Pada masa kecilnya, al-Ghazali
belajar fiqih kepada Ahmad Muhammad al-Radzkani. Setelah itu, dia pergi ke
Nisabur dan belajar kepada Imam al-Haramayn, Abi al-Ma‘ali al-Juwayni. Dia
belajar dengan sungguh-sungguh sehingga menguasai ilmu-ilmu tentang mazab,
khilaf, ilmu argumentasi, dan logika (manthiq). Dia pun mempelajari hikmah
(tasawuf) dan filsafat, serta menguasai dan memahami pendapat para pakar dalam
bidang ilmu tersebut. Oleh karena itu, dia mengritik (secara tajam)
pendapat-pendapat mereka. Al-Ghazali aktif menulis berbagai bidang ilmu dengan
susunan dan metode yang sangat bagus.
Al-Ghazali Ra adalah orang yang
sangat cerdas, berwawasan luas, kuat hafalan, berpandangan mendalam, menyelami
makna, dan memiliki hujjah-hujjah (argumen) yang akurat.
Ketika Imam al-Haramain
al-Juwayni sudah wafat, al-Ghazali pergi menemui Perdana Menteri Nizhâm
al-Mulk. Majelisnya merupakan tempat berkumpul orang-orang berilmu. Dia sering
berdiskusi dengan ulama-ulama terkemuka di majelisnya. Mereka mengagumi
pendapat-pendapatnya dan mengakui keutamaannya. Para sahabatnya selalu
menyambutnya dengan takzim. Dia dipercaya untuk mengajar di Madrasah
al-Nizhamiyyah di Baghdad pada tahun 448 H. Inilah yang mengantarkannya kepada
kedudukan mulia, didatangi banyak orang didengar ucapannya, dan dihormati.
Dengan demikian, dia mengalahkan kemuliaan para pemimpin dan perdana menteri.
Semua orang takjub akan keindahan
tutur katanya, kesempurnaan keutamaannya, kefasihan bicaranya, kedalaman
wawasannya, dan keakuratan isyaratnya. Mereka mencintainya. Dia mengkaji ilmu
dan menyebarkannya melalui pengajaran, pemberian fatwa, dan menulis buku. Dia
memiliki kedudukan yang mulia, menduduki posisi yang tinggi, ucapannya didengar
di mana-mana, terkenal namanya, menjadi teladan, dan didatangi banyak orang.
Namun, dia mengabaikan semua itu dan pergi ke
Baitullah al-Haram di Makkah al-Mukarramah. Lalu, dia menunaikan ibadah haji
pada bulan Dzulhijjah 488 H. Sementara untuk pengajaran di Baghdad, dia
mewakilkan kepada adiknya.
Sekembalinya dari haji pada tahun
429 H dia pergi ke Damaskus. Dia tinggal di situ tidak lama, kemudian pergi ke
Baitul Maqdis. Setelah menunaikan ibadah di sana, dia kembali lagi ke Damaskus,
dan beriktikaf di menara sebelah barat masjid Jami‘. Di situlah dia tinggal.
Ketika dia memasuki Madrasah
al-Aminah, tiba-tiba dia mendengar pengajar di situ berkata, “Al-Ghazali
berkata…” dan mengajarkan pemikiran-pemikirannya. Al-Ghazali merasa takut akan
muncul sikap bangga diri dalam dirinya, segeralah dia kembali ke Damaskus. Dia
mulai mengembara ke bebeapa negeri. Dia pergi ke Mesir dan singgah di
Iskandariyyah. Di situ dia tinggal selama beberapa waktu. Ada yang mengatakan
bahwa dia berniat menemui Sultan Yusuf bin Nasyifin, sultan Maroko, ketika
mendengar kabar tentang kematiannya maka dia melanjutkan pengembaraannya ke
beberapa negeri hingga kembali ke Khurasan. Dia mengajar di Madrasah
al-Nizhamiyyah di Nisabur. Namun, tidak lama kemudian dia kembali ke Thus. Di
samping rumahnya dia mendirikan madrasah untuk para fuqaha (ahli fiqh) dan
kamar-kamar untuk para sufi. Dia membagi waktunya untuk mengkhatamkan al-Quran,
berdiskusi dengan ulama lain, mengaji ilmu, dan terus mendirikan shalat, puasa,
dan ibadah-ibadah lainnya hingga wafat. Imâm al-Ghazali Ra wafat di Thûs pada
hari Senin, 14 Jumada al-Akhir 505 H dalam usia 55 tahun.
Abu al-Faraj al-Jawazi dalam
kitabnya, al- Tsabat ‘inda al-Mamat mengatakan; Ahmad, adik al-Ghazali berkata,
“Pada hari Senin shubuh, kakakku, Abu Hamid, berwudhu dan shalat, lalu berkata,
‘Ambilkan untukku kain kafan.’ Dia mengambil dan menciumnya, lalu meletakkannya
di atas kedua matanya. Dia berkata, ‘Aku mendengar dan lalu aku taat untuk
menemui al-Malik.’ Kemudian, dia menjulurkan kakinya, menghadap kiblat. Dia
wafat menjelang matahari terbit. Semoga Allah menyucikan ruhnya. Al-Hujjah
al-Islam Zaynuddin al-Thusi Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali Ra
dikuburkan di Zhahir al-Thabiran, ibu kota Thus.
Silahkan Bagikan Artikel ini
Mohon Maaf, Atas Ketidak Nyamanannya, Dengan adanya Shortener Di Link Download. Mohon Keridhoannya. Terima Kasih. Apabila kesulitan Download Silahkan buka/klik gambar (Cara Download) dibawah postingan. apabila masih kesulitan, silahkan copy paste link download yang ada kebrowser anda.*** Apabila ada link Download yg rusak/mati, mohon beritahu kami lewat komentar dibawah ini.
Related Posts :