بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
اللهُم َّصلِّ علٰى سَيِّدنا مُحَمّدٍ عبدِكَ وَنبيِّكَ ورسولِكَ النَّبيِّ الاُمِيّ وَعلٰى اٰلهِ وَصَحْبِهِ وسَلِّم تسليماً بقدرِ عظمةِ ذاَتِكَ في كـُلِّ وَقتٍ وَحيـنٍ
Al-Ta-aruf li-Madzhabi Ahl Al-Tashawwuf
{AJARAN KAUM SUFI}
Karya:
Ibn Abi Ishaq Muhammad Ibn Ibrahim Ibn Ya’qub Al-Bukhari Al-Kalabadzi
58.
AJARAN KAUM SUFI MENGENAI WAHYU
Sahl
berkata : “Wahyu itu ada dalam tiga keadaan : wahyu berupa suatu esensi, yang
tidak terselubung; wahyu berupa sifat-sifat esensi yang merupakan penerangan;
dan wahyu berupa kondisi esensi, yang merupakan kehidupan di dunia mendatang.
Kata-kata “wahyu berupa suatu esesi” berarti pewahyuan keterkuasaan yang
terjadi di dunia ini, sebagaimana yang dilukiskan dalam perkataan Abdullah ibn
Umar : “Kami melihat Tuhan di tempat itu,” yaitu pada saat perjalanan menuju
Ka’bah (maka Nabi berkata : “Sembahlah Tuhan seakan engkau melihatnya)- dan
wahyu visual (yang dapat dilihat) yang akan terjadi di dunia mendatang.
Yang
dimaksudkannya dengan “wahyu berupa sifat esensi yang merupakan penerangan”
adalah bahwa kekuasaan Tuhan atas dirinya diwahyukan kepadanya, Hingga dia tak
takut kepada sesuatu pun kecuali Tuhan, bersamaan dengan pemberian Tuhan untuk
mencukupi kepbutuhannya, sehingga dia tak mengharap sesuatu pun kecuali Tuhan;
suatu kondisi yang ditunjukan sebagai yang sesuai untuk semua sifat esensi
lewat perkataan Haritssah, “Seolah-olah aku melihat Singgasana Tuhan ku tampil;
seakakn-akan firman Tuhan terwahyukan kepadanya pada saat Dia berhubungan
dengannya, sehingga hubungan itu bagi Haritsah menjadi seakan-akan suatu
penglihatan yang langusng.
Sedangkan wahyu berupa kondisi, akan datang di dunia
nanti, “Sebagian manusia masuk surga dan sebagian lagi masuk neraka.”
Salah
seorang Tokoh besar Sufi berkata : “Tanda dari wahyu Tuhanke dalam hati adalah
bahwa hati itu tidak bersaksi akan sesuatu yang dapat dikuassai oleh ungkapan
atau terkandung dalam pengertian; Jika seseorang mengungkapkan atau mengerti
tentang sesuatu, maka hal itu adalah pemikiran akan isyarata, bukan suatu
masalah pemujaan.
Yang diamksudkannya (dengan wahyu) adalah bahwa dia bersaksi
akan sesuatu yang tidak dapat diutarakan, sebab kesaksiannya ada dalam jiwa
pemujaan dan pesona, dan ini tidak memungkinkan dia menguraikan kesaksiannya.
Salah seorang tokoh Sufi menggubah syair berikut ini :
Kala cahaya kebenaran
tampak,
Aku tenggeelam dalam
ketakziman,
Dan aku sebagi orang yanng
tak pernah melancong kemudian
Pergi ke kehidupan di
bawah
Kala aku menjauh
Dari dalam Dia, dan
mencapai Dia,
Pencapaian pun kemudian
menjadi diri yang terbukti sia-sia
Dan diri itu mati
Dalam penyatuan suci
Dengan Dia, hanya Dia saja
yang kulihat;
Aku tinggal sendiri, dan
kebahagiaan besar itu
Tiada menjadi milik ku
lagi
Penyatuan yang gaib
Dari diri inni telah
memisahkan diriku;
Kini menyaksikan rahasia
pemusatan
Yang dua menjadi satu
Artinya
: Kalau kebenaran muncul, ketakziman menguasai diriku, sehingga aku tidak mampu
mengutarakan (pengalamanku) karena ketakziman itu, senhingga aku menjadi menjadi orang yang yang tidak pernah dijumpai
Tuhan.
Kalau aku menjauh dari diriku sendiri, maka kemaujudankan menjadi
milik-Nya, dan kalau aku tidak ada , maka kemaujudan (pribadi)ku hilang.
Kondisi kestuan itu, yaitu kepergianku meninggalkan diri, membuatku tidak dapat
menyaksikan apa pun kecuali Dia; sedangkan kondisi pelepasan dan tekanan dalam
diriku sendiri, membuatku tak menyaksikan Dia.
Oleh
karena itu, seakan-akan pemusatanku lewat Dia memisahkanku dari diriku sendiri.
Kondisi penyatuan berati bahwa Tuhan-lah yang mengawasiku, bukan aku sendiri,
dalam tindakan-tindakanku; sebab Tuhan itu ada, aku tidak.
Maka
Tuhan berfirman kepada Nabi-nya : “Dan waktu kamu melempar itu, bukan kamu yang
melakukannya, melainkan Allah jualah.” Inilah ungkapan Sufi itu; Ilmu Agama
mengajarkan bahwa Tuhan itu pengawasku, dan aku, lewat Dia, mengawasi diriku
sendiri, sehingga kemudian ada hamba dan Yang Diperhambai sekaligus.
Salah
seorang tokoh Sufi berkata : “Wahyu adalah pembukaan dalam esensi Tuhan; tabir
itu berarti bahwa keadaan dirimu sebagai makhluk mencegahmu untuk melihat apa
yang tak terlihat.” Dengan “pembukaan tabir kemakhlukan” yang dimaksudkannya
dalah bahwa Tuhan menopangmu selama adanya pemindahan wahyu dari yang tak
terlihat, sebab makhluk itu tidak dapat menahan keadaan-keadaan yang dimiliki
oleh yang tak terlihat.
Tabir
yang muncul aetelah adanya wahyu itu merupakan keadaan yang di dalamnya segala
sesuatu ditutup darimu, sehingga kamu tidak dapat menyaksikannya, ini
dilukiskan dalam cerita Abdullah ibn Umar.
Dia
sedang mengelilingi ka’bah ketika seseorang menyalaminya.
Dia tidak membalas
salam orang itu; dan ketika orang itu mengeluhkan ni, dia berkata : “Kami
melihat Tuhan di tempat itu.” Mengenai wahyu Tuhan kepadanya, dia memberi bukti
dengan mengatakan, “Kami melihat Tuhan,” sedangkan mengenai tabir yang
menutupnya, dia memberi bukti dengan ketidaksadarannya ketika ada orang yang
menyalaminya.
Seperti yang dikatakan oleh salah seorang tokoh besar Sufi :
Rahasia Tuhan begi mereka
yang terselubungi tidak dibukakan;
Jangan berusaha menyiarkan
apa yang telah disembunyikan-Nya.
Darimu; dengan apa yag
tidak engkau pahami,
Sendiri, janganlah
berpura-pura.
Tidakkah sepatutnya bahwa
Hakikat,
Yang terejawantah, akan
menyembunyikan dirinya dalam dirimu.
Silahkan Bagikan Artikel ini
Mohon Maaf, Kepada Semua Sahabat, Atas Ketidak Nyamanannya, Dengan adanya Shortener Di Link Download. Mohon Keridhoannya. Terima Kasih.**** Apabila kesulitan Download Silahkan buka/klik gambar(Cara Download) dibawah postingan. Apabila masih kesulitan, silahkan copy paste link download yang ada, kebrowser anda.*** Apabila ada link Download yg rusak/mati, mohon beritahu kami lewat komentar dibawah ini.