بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
اللهُم َّصلِّ علٰى سَيِّدنا مُحَمّدٍ عبدِكَ وَنبيِّكَ ورسولِكَ النَّبيِّ الاُمِيّ وَعلٰى اٰلهِ وَصَحْبِهِ وسَلِّم تسليماً بقدرِ عظمةِ ذاَتِكَ في كـُلِّ وَقتٍ وَحيـنٍ
Terjemah Al-Washaya li Ibn al-‘Arabi
Wasiat – Wasiat Ibn ‘Arabi
Penerjemah : Irwan Kurniawan
17.
WASIAT IHWAL
BERHATI-HATI KEPADA ALLAH MENGENAI APA YANG DIAMBIL DARIMU DAN DIBERIKAN
KEPADAMU
Hendaklah engkau berhati-hati
kepada Allah ‘Azza wa Jalla mengenai apa yang diambil-Nya darimu dan apa yang
diberikan-Nya kepadamu.
Allah SWT mengambil segala sesuatu darimu agar
engkar bersabar dan Dia mencintaimu, karena Dia mencintai orang-orang yang sabar.
Jika dalam muamalah pekerjaanmu
mencintaimu, maka orang yang mencintaimu pun dicintai juga. Engkau akan
memperoleh apa yang engkau inginkan jika kehendakmu menuntut kemaslahatan bagi
dirimu. Jika tidak, maka – dengan kecintan-Nya keapdamu – Dia melakukan apa
yang dituntut kemaslahatan dalam hakmu untuk dirimu.
Jika engkau membenci suatu hal yang
dilakukan-Nya untukmu, maka engkau harus memuji-Nya sebagai akibat dari
perbuatanmu. Allah tidak pernah keliru dalam memberikan berbagai kemaslahatan
bagi hamba-Nya jika Dia memang mencintainya/ tolok ukur yang mesti engkau
gunakan dalam mengukur kecintaan-Nya kepadamu ialah bahwa hendaknya engkau
memperhatikan apa yang telah diambil-Nya darimu.
Dia mengurangi harta atau
keluargamu, atau yang perpisahannya tidak membuatmu susah. Segala sesuatu yang
hilang dari dirimu pasti diberi ganti oleh Allah SWT.
Sebagian orang mengatakan :
Sesuatu yang engkau tinggalkan, Pasti
ada penggantinya.
Namun, di sisi Allah, yang
demikian itu Sama sekali tidak ada penggantinya.
Sesungguhnya, tidak ada sesuatu
pun setara dengan-Nya. Dmeikian pula halnya, jika Dia menganungerahkan dan
memberi nikmat kepadamu.
Di antara sejumlah nikmat dan
anugerah yang dikaruniakan-Nya kepadamu ialah kesabaranmu dalam menghadapi apa
yang telah diambil-Nya darimu.
Dia memberimu anugerah agar
engkau bersyukur, persis sebagaimana Dia mengambil sesuatu darimu agar engkau
bersabar, sebab Allah SWT mencintai orang-orang yang bersykur. Jika Dia
mencintaimu dengan kecintaan kepada orang-orang yang bersyukur, maka Dia
mengampunimu. Rasulullah saw., bersabda tentang seseorang yang melihat ranting
berduri di jalan tempat manusia berlalu-lalang lewat di situ.
Kemudian ia
menyingkirkannya. Maka, Allah pun berterimakasih kepadanya dan mengampuninya :
“Iman itu, memiliki tujuh puluh lima cabang. Yang paling rendah ialah
menyingkirkan duri dari jalanan.” Begitulah apa yang telah aku sebutkan :
“Ucapan la ilaha illa Allah, pun mengangkatnya : “Seorang Mukmin yang baik
ialah yang mencari cabang-cabang iman dan, lalu ia mengerjakannya semuanya.
Pencarian yang dilakukannya itu sendiri termasuk dalam cabang-cabang iman.
Dengan demikian, ia adalah seorang Mukmin yang memperoleh segenap
sifat-sifat-Nya, dan ketika tangannya penuh dengan kebaikan. Allah tidak berterima kasih kepadamu lantaran engkau mengerjakan apa yang telah
disyariatkan-Nya atas dirimu.
Yang demikian itu dimaksudkan agar engkau makin
memperbanyak amal-amal kebaikanmu.
Begitu pula, jika engkau bersyukur kepada-Nya
atas anugerah nikmat yang diberikan-Nya kepadamu, maka Dia akan menambah
nikmat-Nya kepadamu, sesuai dengan firman-Nya : “Jika kamu bersykur, pasti
akan Kutambah (anugerah-Ku) kepadamu (QS. Ibrahim, 14: 7).
Dia menyifati
diri-Nya dengan asy-syakur (Maha Bersyukur) karena Dia berterima kasih kepada hamba-hamba-Nya.
Karena itu, banyak-banyaklah bersyukur kepada-Nya, sebagaimana Dia makin banyak
menambah nikmatn-Nya kepadamu, agar Dia berterima kasih kepadamu. Bersamaan
dengan itu, yakinilah bahwa segala sesuatu memiliki ukuran di sisi
Allah.
Segala sesuatu di dunia ini berjalan menuju tempat yang telah
ditentukan di sisi Allah. Segala sesuatu di dunia ini, pasti kembali kepada
Allah. Jika Dia mengambil sesuatu darimu, maka sesuatu itu, pasti kembali
kepada-Nya. Dan jika Dia memberi sesuatu kepadamu, maka sesuatu itu pun pasti
kembali kepada-Nya.
Dia memberi sesuatu kepadamu, maka sesuatu itu pun
pasti berasal dari-Nya. Jika engkau ketahui bahwa segala sesuatu itu seperti
apa yang telah aku beritahukan kepadamu, cukuplah sudah engkau bersama Allah
dan menyaksikan segala sesuatu yang diambil darimu dan yang
diberikan kepadamu, dalam segenap keadaanmu.
Maka engkau tidak meluputkan
dalam napasmu pengambilan dan pemberian Ilahi. Yang pertama adalah tarikan
napasmu yang menghidupimu. Dia mengambil tarikan napasmu yang keluar
melalui apa yang keluar dari dirimu berupa zikir dengan hati dan lisan. Jika
itu dalah kebaikan, maka pahalanya dilipat-gandakan bagimu. Jika tidak
demikian, maka disebabkan kemuliaan dan ampunan-Nya. Dia mengampunimu.
Dia
memberikan kepada napasmu yang masuk apa yang dikehendaki-Nya, dan Dia-lah yang
mendatangkan waktumu. Jika waktu itu mendatangkan kebaikan, maka yang
demikian itu adalah kenikmatan dari Allah. Terimalah kenikmatan itu
dengan penuh rasa syukur. Jika tidak demikian , hal itu tidak termasuk dalam
apa yang diridhai Allah. Karena itu, mohonlah ampunan, maaf dan tobat
kepada-Nya.
Dia menguhukum dosa hamba-hamba-Nya hanyalah agar mereka
memohon ampunan (istighfar) kepada-Nya. Dia pun mengampuni mereka.
Mereka bertobat kepada-Nya, Dia menerima tobat mereka. Diungkapkan dalam sebuah
hadis : “Kalau kalian tidak berdosa, niscaya Allah mendatangkan suatu kaum yang
berbuat dosa dan kemudian bertobat. Lalu Allah mengampuni mereka.” Sehingga
tidak satu pun hukum Ilahi yang tidak berlaku di dunia ini.”
Juga
disebutkan dalam sebuah hadis sahih, dari Rasulullah saw, bahwa beliau
bersabda : “Sesungguhnya, milik Allah adalah apa yang diambil-Nya dan Dia
memiliki apa yang diberikan-Nya. Segala sesuatu berada dalam batas waktu yang telah ditentukan di sisi-Nya.”
Jika, batas waktu itu telah berakhir, maka
selesailah sudah sesuatu itu dan datang sesuatu yang lainnya.
Rasulullah saw.,
hanya mengatakan hal ini sebagai pemberitahuan agar kita berhati-hati
atas apa yang merupakan kekuasaan-Nya, dan agar kita menyerahkan perkara itu
kepada-Nya.
Maka, kita pun dikaruniai derajat penyerahan diri (taslim) dan
pelimpahan ( tafuidh) dengan mengerahkan kesungguhan dalam apa yang disukai-Nya
dalam diri kita, agar kita kembali kepada-Nya.
Jika kita berada dalam penyimpangan,
maka kita mesti kembali kepada-Nya dengan Tobat dan memohon ampunan. Dan jika
kita berada dalam keridhaan-Nya, maka kita kembali kepadanya dengan rasa sykur
dan permohonan untuk dapat melakukan ketaatan kepada Allah dan Rasulullah. Kita
mendapatkan kemuliaan dalam diri kita dengan pengetahuan kita bahwa segala
sesuatu di dunia ini berjalan menuju batas waktu yang telah ditentukan di sisi
Allah.
Orang-orang yang sabar memiliki
pujian khusus, yaitu : “Alhamdulillah ‘ala kulli hal (Segala Puji bagi Allah
dalam segala keadaan).
Orang-orang yang bersyukur pun
memiliki pujian khusus, yaitu : Alhamdulillah Al-Mun’im Al-Mufdhil (Segala Puji
bagi Allah yang memberikan kenikmatan dan menganugerahkan keutamaan).
Demikianlah Rasulullah saw.,
memuji Tuhannya, Allah SWT, dalam keadaan lapang maupun sempit. Meneladani
Rasulullah saw, dalam hal itu, lebih utama dari menciptakan pujian yang lain.
Tidak ada yang lebih tinggi dari apa yang
telah dilakukan oleh seorang berilmu paripurna,yang telah disaksikan oleh Allah
dengan makrifat kepada-Nya, dan memuliakannya dengan risalah-Nya dan kekhususan
yang diberikan-Nya. Dia pun memerintahakn kita untuk meneladani dan mengikuti
teladan beliau.
Jangan engkau menciptakan suatu
perkara yang engkau tidak mampu melakukannya. Jika engkau membuat suatu sunnah
yang tidak ada contohnya dari Rasulullah saw, maka yang demikian itu adalah
baik. Engkau mendapat pahala sunnah itu dan pahala orang yang mengamalkannya.
Jika engkau tidak membuat sunnah itu karena hendak mengikuti Rasulullah saw,
maka pahalamu dalam mengikuti jejaknya – yakni, meninggalkan membuat sunnah –
lebih besar dari pahala yang engkau peroleh ketika membuat banyak sunnah.
Rasulullah saw, tidak suka banyak memberikan
beban atas umatnya.
Beliau tidak suka jika mereka meminta berbagai hal,
lantaran khawatir yang demikian itu akan membenai diri mereka, sedangkan mereka
hanya mampu melakukannya dengan bersusah-payah.
Orang yang membuat sunnah berarti telah
memberikan beban. Nabi saw, jelas lebih utama dalam hal ini. Tetapi beliau
tidak melakukannya, semata-mata untuk meringankan beban umatnya. Karena itu,
aku katakan : : “Pahala mengikuti beliau dalam hal tidak membuat sunnah lebih
besar dari membuat sunnah.”
Tunjukanlah perhatianmu pada apa yang aku telah
sebutkan kepadamu. Telah sampai kepadaku sebuah riwayat tentang Imam Ahmad bin
Hanbal, ra. Bahwa ia tidak pernah makan buah
semangka. Lantas hal itu ditanyakan kepadanya. Ia menjawab, “Tidak ada riwayat
yang sampai kepadaku ihwal bagaimana Rasulullah saw, memakannya.” Karena tidak
ada riwayat yang sampai kepadanya tentang tatacara mekan buah semangka itu,
maka ia tidak mau memakannya.
Contoh semacam ini telah
dikemukakan para ulama umat ini kepada para ulama dari umat-umat yang lain.
Imam Ahmad bin Hambal mengetahui
makna firman Allah SWT tentang Nabi-Nya saw., : “Ikutilah aku, maka Allah akan
mencintamu (QS. Alu ‘Imran : 3:31), dan juga firman-Nya : “Sungguh dalam diri
Rasulullah itu ada suri teladan yagn baik bagimu ....... (QS. Al-Ahzab, 33:12).
Menyibukkan diri dengan apa yang disunnahkan
Rasulullah saw., baik berupa ucapan, perbuatan dan keadaan diri beliau, lebih
banyak dari yang kita kerahui. Maka, mengapa kita haurs membuat sunnah sendiri?
Kita tidak boleh membebani umat ini lebih dari apa yang sudah ada.
Silahkan Bagikan Artikel ini
Mohon Maaf, Kepada Semua Sahabat, Atas Ketidak Nyamanannya, Dengan adanya Shortener Di Link Download. Mohon Keridhoannya. Terima Kasih.**** Apabila kesulitan Download Silahkan buka/klik gambar(Cara Download) dibawah postingan. Apabila masih kesulitan, silahkan copy paste link download yang ada, kebrowser anda.*** Apabila ada link Download yg rusak/mati, mohon beritahu kami lewat komentar dibawah ini.