بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
اللهُم َّصلِّ علٰى سَيِّدنا مُحَمّدٍ عبدِكَ وَنبيِّكَ ورسولِكَ النَّبيِّ الاُمِيّ وَعلٰى اٰلهِ وَصَحْبِهِ وسَلِّم تسليماً بقدرِ عظمةِ ذاَتِكَ في كـُلِّ وَقتٍ وَحيـنٍ
Terjemah Kitab
" SURAT-SURAT SANG SUFI "
Muhammad Ibn ‘Abad
SURAT KE ENAM BELAS
Kepada
Abu Ishaq Al-Syathibi. Jawaban atas pertanyaan apakah seseorang bisa mengikuti
jalan sufi hanya dengan bantuan kitab-kitab tasawuf, atau apakah seseorang
memerlukan pembimbing spiritual. Jawaban ini juga memuat bahasan tentang jalan
yang menuju Allah.
96.
Dengan nama Allah, Yang
Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Semoga Allah melimpahkan shalawat dan salam
atas Junjungan kita, Muhammad Saw, dan Keluarganya. Dari Muhammad ibn ‘Abbad,
semoga Allah mengasihinya, kepada saudaraku Ibrahim Al-Syathibi, semoga Allah
Swt melindungi dan memberikan kemurahan-Nya keapdamu dalam kehidupan ini dan
akhirat nanti. Semoga salam, rahmat, dan berkah Allah terlimpah atas dirimu.
Telah kuterima suratmu.
Aku memahami apa yang tenQabbab, dan telah mempelajari kenadungannya. Aku tidak
bisa membalas semeua topik yang ada dalam surat-surat itu. Surat-surat itu
membahas msalah-masalah yang sangat beragam dan luas sedemikian, sehingga aku
sama sekali tidak mampu menjawab surat-surat itu secara keseluruhan, baik
secara mendalam maupun secara umum. Sesungguhnya, aku hampir sama sekali tidak
bisa berbicara tentang masalah itu, sekalipun aku lebih bkewajiban melakukan
yang demikian itu, ketimbang yagn ditimbulkan oleh pertanyaannmu yang berharga
dan bermanfaat itu.
Demi keringkasan, aku
telah memutuskan untuk membatasi pembicaraanku pada pemahamanku tentang peran
pembimbing spiritual, dan pada apa yang bisa kupahami dengan jelas tentang
permulaan menempuh Jalan itu. Kemungkinan besar, yang demikian itu secara umum
bisa berlaku pada orang-orang yagn dianugerahi oleh Allah awal yang penuh
keberhasilan dalam kehidupan spiritual. Jika engkau mendapati apa yang
kukemukakan ini sesuai, maka katakanlah begitu; jika tidak, katakan padaku
lebih banyak tentang apa yang engkau inginkan, dan maafkanlah uraianku yang
singkat kali ini. Allah Swt adalah Pemberi kejayaan bagi kita berdua, sesuai
dengan keridhaan-Nya.
Aku berpandangan bahwa
secara umum orang hampir tak bisa mengingkari keharusan adanya pembimbing
spiritual dalam menempuh jalan sufi. Ini sungguh menjadi salah satu dari sekian
banyak masalah penting dalam praktik nyata. Para pembimbing spiritual ini, yang kepadanya para
pengikut jalan itu berlindung, terbagi menjadi dua golongan : mereka yang
mengajar dan sekaligus mendidik, dan mereka yang mengajar tanpa mendidik.
Tidak semua musafir
membutuhkan pembimbing spiritual yang mendidik. Orang-orang yang berpikiran
dangkal dan memiliki nafsu memberontak, sungguh membutuhkan pembimbing seperti
itu, tetapi orang-orang yang berpikiran terbuka dan mempunyai nafsu yang
penurut tidaklah membutuhkan pengekangan dari jenis petunjuk pertama. Tetapi,
setiap orang yang menempuh jalan itu membutuhkan pembimbing spiritual yang
mendidik.
97.
Pembimbing spiritual yang
mendidikk, dibutuhkan oleh musafir-musafir yang telah aku sebutkan di atas,
sebab jelaslah bahwa nafsu mereka telah diselimuti kekerasan dan kesesatan yang
sangat. Hanya pembimbing spiritual yang mendidik sajalah yang bisa menyibak dan
menembus tirai ini. Di antara orang-orang semacam ini, banyak yang membutuhkan
pembimbing spiritual, karena mereka dapat terseret ke dalam persaingan dan
permusuhan. Keadaan mereka sama dengan keadaan orang-orang sakit kronis, yang
obat penyembuhnya masih tetap menjadi teka-teki. Tidak ada alternatif lain,
kecuali mencari dokter kompeten yang bisa menyembuhkan penyakit mereka dengan
obat mujarab.
Orang-orang yang
berpikiran luas, dan yang bisa mengendalikan nafsu mereka, tidak begitu
membutuhkan pembimbing spiritual yang mendidik, karena intelegensi dan
kepatuhan mereka yang tinggi. Pembimbing spiritual yang mendidik memberikan
tugas-tugas yang tinggi. Pembimbing spiritual yang mendidik memberikan
tugas-tugas yang benar-benar cocok bagi orang-orang seperti ini, tapi
tugas-tugas itu tidak akan cocok bagi orang lain.
Orang seperti ini tetap
sabar dan tabah dengan izin Allah Swt, tidak takut pada bahaya yang mungkin
menimpa dirinya di saat menempuh perjalanan di sepanjang jalan itu. Dia tetap
bersungguh-sungguh bergerak maju dan mendaki jalan itu dengan cara yang benar,
seperti yang akan aku uraikan. Insya Allah. Malahan orang seperti ini,
bagaimana pun juga, tidak akan mencapai kesempurnaan yang dicapai orang yang
mempercayakan dirinya pada pembimbing spiritual yang mendidik. Sebab, hawa
nafsu selalu tertutup dan penuh tipu daya, sehingga ia tetap sajah
berubah-ubah. Hawa nafsu tak pernah terbebas dari hambatan-hambatan seperti
itu, kecuali lewat kepatuhan pada pembimbing spiritual pertama,d an lewat
ketaatan pada keputusan pertama dan perwaliannya. Manakala seseorang
mengikatkan diri pada keputusan-keputusan yang ditetapkan pembimbing spiritual
yang mendidik, maka dia tidak membutuhkan pembimbing spiritual jenis kedua.
Menyandarkan diri pada
pembimbing spiritual yang mendidik, adalah jalan yang ditempuh para pemimpin
sufi belakangan; sementara kepatuhan para pembimbing spiritual yang mendidik,
adalah jalan yang ditempuh para pemimpin sufi awal. Adalah jelas bahwa hampir
semua tulisan awal, seperti karya Al-Harits Al-Muhasibi, Abu Thalib
Al-Makki, dan yang lain sebelum mereka, tidaklah menetapkan upaya meminta
bantuan kepada pembimbing spiritual yang mendidik, sebagaimana dilakukan kitab-kitab
karya para ulama belakangan.
Kendatipun demikian, para
penulis awal berbiara tentang dasar-dasar pengetahuan sufi dan cabang-cabang,
fondasi serta implikasi-implikasinya. Yang demikian itu benar, khususnsya
menyangkut Syaikh Abu Thalib. Ketiak mampaun mereka menyebutkan pembimbing
spiritual yang mendidik, karenanya, mengesankan bahwa pembimbing spiritual ini
bukanlah syarat untuk mengikuti dan menempuh jalan tasawuf.
Yang kumaksud adalah jalan
yang ditempuh olehs sebagian besar musafir. Ia sama dengan jalan hidup leluhur
spiritual kita di zaman dahulu, karena meraka diriwayatkan tidak mencari
pembimbing spiritual yang mendidik lalu tunduk patuh kepada mereka dengan cara
yang diharuskan atas murid-murid pembimbing semisal ini.
Sebaliknya, jalan leluhur
kita adalah mencari pengetahuan dan memelihara kehidupan batiniah, di atas
jalan persahabatan dan persaudaraan. Mereka mencapai ini dengan sering saling
berkunjung. Perilaku lahiriah dan batiniah mereka memberi bukti tentang manfaat
besar dari pendekatan ini. Mereka menjelajahi segenap penjuru negeri, berusaha
menemui para wali, ulama, dan hamba-hamba Allah.
98.
Dengan memperhatikan
tulisan-tulsian kaum sufi, kita lembali pada soal pembimbing spiritual yang
mendidik. Menggunakan dan mempelajari kitab-kitab ini dianjurkan, hanya jika
pengarangnya adalah orang-orang berilmu dan memiliki pengetahuan mendalam, yang
perilakunya pantas ditiru. Dan hanya orang yang bersahabt dengan pembimbing
spiritual terpercaya yang silsilah spiritualnya murni saja yang bisa menila
secara baik tulisan-tulisan ini. Manakala pembaca menemukan dalam
tulisan-tulisan itu uraian bermanfaat yang benar-benar selaras dengan
tuntunan-tuntunan lahiriah Hukum Wahyu, maka yang demikian tiu sduah cukup
baginya. Kalau tidak, dia tak punya pilihan lain kecuali kembali pada
pembimbing spiritual yang bisa menjelaskan kitab-kitab itu. Sebab, seperti
telah aku sebutkan, pembimbing spiritual sangatlah penting dalam hal itu.
Pembimbing spiritual yang
mendidik sulit dijumpai dewasa ini, dan “lebih berharga ketimbang
belerang mereha.” Begitu pula pembimbing spiritual yang mendidik, sebab banyak
yang berhubungan dengan jalan ini dan dipuji serta dipercayai, sesungguhnya
tidak memberikan uraian yang akurat tentang makna tasawuf, pun tidak pula
memperkenalkan orang-orang dengan Kebenaran Mistik, apalagi dengan apa yang ada
di luar itu. Aku tidak tahu mana dari dua bencana itu yang lebih besar :
Hilangnya pembimbing spiritual yang memiliki pemahaman mendalam, atau tiadanya
murid-murid yang tulus. Tetapi kita adalah milik Allah , dan kepada-Nya kita
kembali.
Kini muncul pertanyaan,
Apa yang harus dilakukan seseorang yang ingin menempuh jalan sufi dalam
keadaan-keadaan seperti ini? Apakah dia mesti menyibukkan diri dengan mencari
pembimbing spiritual? Atau dia, tidak usah mencari, dan hanya menunggunya?
Dan dalam tiap kasus, apakah dia melakukan aktivivtas-aktivitas musafir
ataukah tidak?
Aku katakan tidak perlu mencari pembimbing
spiritual, apakah seseorang itu giat mengamalkan tasawuf atau tidak. Pembimbing
spiritual adalah anugerah dari Allah Swt. Demikianlah cara Allah
membimbing hamba bercita-cita tinggi yang telah mengarahkan perhatiannya secara
penuh dengan mengikuti jalan itu, tidak membuang-buang usaha serta mengarahkan
segenap kemampuannya, betapa pun kecil atau besar. Dalam hubungan inilah Allah
Swt membimbing seseorang ke keududukan yang lebih luhur, selamat dari bid’ah
dan kesesatan, sehingga sang pencari aman dari perangkap-perangkap yang menanti
setiap orang yang mengandalkan perhatian dan pengawasan spiritual sebagai
penahan terhadap berbagai godaan masa lalu dan masa mendatang.
Begitu pulla, tidak ada
artinya hanya menunggu-nunggu pembimbing spiritual sambil menunda-nunda praktik
aktif tasawuf. Yang demikian itu hanyalah tindakan tak berguna serta pola
perilaku tak tepat. Hanya tinggal pilihan keempat saja : melakukan aktivitas
spiritual di saat menunggu-nunggu pembimbing spiritual. Sang pencari bisa
mencapai tujuan itu, dengan cara menyucikan niatnya, yaitu menjaga ketulusan
hubungannya dengan Allah Swt.
Seseorang yang menginginkan kehadiran Allah,
membutuhkan kebenaran sempurna, sebab Allah hadir pada orang-orang yang benar.
Ketulusan terjadi melalui pendisiplinan hawa nafsu demi kesalehan yang
diperlukan dalam tasawuf. Yang demikian itu meliputi doa pribadi, kalau yang
bersungguh-sungguh menuju pintu Yang Dipertuan, kerangka pikiran positif,
harapan murni serta hadir di hadapan Allah Swt dengan penuh kekaguman,
penghormatan, dan kerendahan hati. Begitu seseorang mendisiplinkan diri, dan
menyelaraskan jiwa rendah (hawa nafsu) dalam masalah-masalah ini, dia mesti
memohon Allah Swt agar memenuhi janji-Nya, dan dia akan sampai pada tujuan yang
diinginkannya.
99.
Seseorang yang mencari petunjuk harus memahami bahwa cara
hidup sufi adalah anugerah yang Allah SWT berikan karena keridhaan-Nya pada
hamba-hamba-Nya itu.
Dia bukakan pintu bagi tasawuf, serta
menyibakkan hijabnya hanya kepada orang yang benar-benar yakin membutuhkan
Allah dan yang berada dalam tahap tawakal kepada Allah.
Kaum sufi, karena itu, dipisahkan dari sesama
manusisa, dan tidak menginginkan orang lain berbagi kehidupan dan tempat
tinggal bersama mereka. Seperti telah dikatakan guru-guru spiritual, “Kaum Sufi berdiam di sebuah
rumah dan tak ada seorang pun bergerak di dalamnya bersama mereka.” Yang
demikian itu karena ketika
Allah menginginkan sebagian makhluk-Nya menjadi milik-Nya, yakni mengada secara
esensial dan absolut untuk-Nya, Dia tuangkan iman ke dalam kalbu mereka, serta
memahatkan iman itu di sana, dan memperkuat mereka dengan Ruh-Nya.
Semuanya itu terjadi tanpa adanya inisiatif
dari mereka. Karena itu, ketika Allah memberikan anugerah itu kepada mereka,
dan membuat mereka menyadarinya, Dia bukakan bagi mereka pintu perlindungan dan
kebutuhan akan Diri-Nya. Kemudian makhluk-makhluk-Nya akan memandang diri
mereka tak berdaya, nyaris
tak bisa berbuat apa-apa, serta mengada di batas kelemahan dan kefakiran.
Manakala Allah membuka
pintu ini bagi mereka, Dia kirimkan kepada mereka anugerah, rahmat, berkah, dan
kebaikan, sesuai dengan janji-Nya baha Dia akan cukup bagi hamba-hamba-Nya yang
mengabdikan diri mereka kepada-Nya dan berlindung kepada-Nya.
Pada saat itu cahaya-cahaya keimanan bertambah. Allah Swt mengatur
keadaan-keadaan spiritual dan tindakan-tindakan mereka sedemikian rupa, sehingga
cahaya-cahaya itu nampak oleh mereka. Mereka terus-menerus tinggal di pintu
Allah Swt, sampai mereka tiba pada kedudukan menyembah Allah secara terus
menerus. Di sana mereka melihat Keesaan Allah,d an memahami sepenuhnya
Kunikan-Nya.
Pada saat itu, bekas-bekas manusia-jasmani
mereka pun terhapuskan; penilaian paling matang mereka pun tampak totoal; dan
di kehadiran Eksistensi itu sendiri, segenap tampakan pun hilang. “Katakanlah :
Kebenaran telah datang, dan kebatilan pun telah lenyap. Sungguh, kebatilan
pasti bakal lenyap.” (Qs. 17:81).
Inilah penyempurnaan yang
ingin sekali dialami oleh para musafir. Ibadah mereka kepada Tuhan menjadi
sempurna, dan mereka pun tidak lagi harus mewaspadai terus-menerus ketulusan
mereka. Itulah satu-satunya keinginan mereka. Pada titik itu, “menempuh jalan”
dan “tertarik” bersatu padu.
Perbedaannya ialah, Allah
menganugerahkan kedudukan ini kepada mereka yang telah “tertarik” dalam waktu
lebih singkat, bukan kepada mereka yang “tengah menempuh jalan.” Selain itu,
Dia membimbing golongan pertama ke kedudukan ini tanpa mereka mengerahkan
usaha. Dalam masing-masing kasus, Allah Swt tidak meninggalkan mereka begitu
saja tanpa perlindungan dan penjagaan-Nya dari awal hingga akhir. Mereka terkena tindakan, bukan
pelaku tindakan sesuai dengan ucapan, “Kaum Sufi adalah anak-anak dalam
pangkuan Tuhan.”
Makanya, engkau bisa
melihat bagaimana Allah Swt memilih menjaga oarng yagn telah dipilih-Nya,s
ehingga orang tersebut tidak harus mencari-cari dan menempuh jalan seraya hanya
mengandalkan dirinya sendiri.
Sang musafir mestilah
menuju ke arah ini. Misalnya saja, dia harus memandang keadaannya sendiri
berdasarkan pemahamannya tentang jalan sufi, meneladani kedudukan mulia
seseorang yang dikenal sebagai sufi, yang dengannya dia bisa memahami
sepenuhnya jalan itu serta tingkatan-tingkatannya.
Tidak diragukan lagi, pengertian dan pemahaman
menyeluruh tentang hal itu sangatlah penting. Tanpanya, tak bakal ada seorang
pun bisa mencari jalan itu, atau berhati-hati tiba di situ, sebab mencari
sesuatu yang benar-benar tak diketahui sama sekali tak bisa dibayangkan.
100.
Nah, pemahaman menyeluruh
seseorang tentang hakikat jalan itu tidaklah muncul dalam dirinya dengan serta
merta. Hal itu muncul melalui kecenderungan inteleknya. Pengamatan cermat atas
situasi ini mengungkapkan, bahwa Allah Swt. memberikan tiga nikmat dalam
kaitannya dengan pengertian dan pemahaman ini : kehidupan fakultas intelektual
itu sendiri; kecenderungan intelek dalam memahami hal berharga ini; dan
tindakan memahaminya itu sendiri.
Dan smuanya ini terjadi
dalam diri seseorang, terlepas dari pertolongan kekuatan atau nilai abadinya.
Sungguh sedikit sekali orang yang dianugerahi bahkan satu dari ketiga nikmat
ini, apalagi ketiga-tiganya.
Setelah seseorang memiliki
pengetahuan tentang segala sesuatu yang telah aku bicarakan, Allah Swt. masih
mempunyai nikmat keempat yang disediakan baginya, yang lebih baik ketimbang
yang lainnya. Merupakan pengetahuan mendalam bahwa dia tidak bisa menyebabkan
hal-hal ini lewat perilakunya sendiri. Inilah nikmat keempat.
Selama sang hamba
menyadari memperhatikannya, serta bersungguh-sungguh mencapai tujuan yang telah
dipahami dalam pikirannya itu, maka yang terlihat paling jelas di matanya
adalah ketakberdayaan, kefakiran, ketidakmampuan, serta kejahilannya sendiri.
Dia yakin bahwa Tuhannyalah, Allah Swt, yang menguasai hal-hal itu, serta yang
mengendalikan dirinya. Sang hamba mengetahui bahwa hanya perilaku yang
mengendalikan dirinya. Sang hamba mengetahui bahwa hanya perilaku yang tepat di
hadapan Allah, menghindari nafsunya lalu menuju kepada-Nya, serta membuatnya
keluar sebagai pemenang dalam arena ini. Dalam keadaan-keadaan seperti itu,
Allah akan menyediakan semua rezekinya, menyingkirkan segala kesulitannya,
serta menghilangkan baginya segala bentuk kesukaran.
Hasil dari mengalami
pengetahuan dan perspektif yang diberikan kepadanya ini adalah bahwa sang hamba
bebas bergerak sehingga dapat dibawa ke mana pun Allah membawa dirinya, tanpa
harus mencari-cari dengan cemas atau tanpa harus memilih ke mana dia akan
pergi. Jika tetap dalam kesadaran ini, dia bakal sampai pada kedudukan yang
berhubungan dengan semua kedudukan lainnya. Dia akan mencapai tujuan
keinginannya, yang segala keinginan lainnya adalah tercela.
Jika, sebaliknya,
kesadaran ini tidak datang kepada dirinya, dan dia terdorong untuk mencari
hal-hal yang menyebabkan dirinya lalai pada Zat yang menganugrahkan
nikmat-nikmat yang telah aku jelaskan ini – kondidsi ini diawali dengan
tiadanya pemahaman dan perhatian penuh – maka kemalangannya bakal lebih besar
ketimbang kemalangan berupa sekedar tidak mampu mencapai tujuan ini. Selain
itu, sang hamba akan menderita kelelahan dalam mencari, dan segenap jerih
payahnya bakal membuat sempit inti wujudnya. Maka itu, dia mesti kembali pada kondisi
penyembuhan, yang sejak semula dia alami. Inilah perubahan yang mendahului
petunjuk. Pencapaian tak pernah bisa mencampakkan prinsip-prinsip pertama.
Selama perjalanannya, sang pencari mesti mengambil untuk dirinya sendiri semua
amalan hati ini, serta menjadikannya sebagai fondasi seluruh kehidupannya.
101.
Di samping itu,s ang
pencari harus menjauhkan diri dari setiap perselisihan dan kemaksiatan, menarik
diri dari orang banyak, dan memutuskan hubungan dengan yang mendorong dirinya
ke arah dosa dan kejahatan. Yang terakhir ini mencakup segenap situasi yagn
penting bagi jabatan politik atau posisi kewenangan dan kepemimpinan, atau bagi
pengkajian ilmu, dan ebagainya. Semuanya ini merupakan gangguan utama, dan
bertentangan dengan menempuh jalan itu.
Sang pencari mesti
menghidnari pengkajian spekulatif yang tidak memenuhi syarat-syarat
minimal, sebab hal itu cenderung menghasut orang-orang, dan menjadi
penghalang besar antara seseorang dan tujuannya yagn sudah ditentukan. Sejumlah
kecil orang yang tekun mempelajari hukum, dan yang pandai hukum serta secara
ketat mengamalkannya, agaknya juga tersentuh oleh pengetahuan sufi, kecuali
orang yang menempuh jalan “tarikat”. Pendekatan faqih adalah sedemikian rupa, sehingga banyak dari mereka
membayangkan bahwa ada kesenjangan antara yang lahiriah dan yang batiniah, dan
ada pertentangan antara Hukum Wahyu dan Kebenaran Mistik! Kecurigaan mereka
menyebabkan mereka melecehkan tasawuf, karena tasawuf dianggap telah
menyimpang dari prosedur dan ketentuan ilmu hukum mereka.
Mereka telah menimpakan
kesengsaraan atas banyak pemimpin spiritual, menuduh mereka sebagai kafir,
berpikiran bebas, serta berbagai kesesatan dan bid’ah.
Sangatlah penting kalau
sang musafir menghindari orang-orang seperti ini, sebagaimana dia harus menghindari
seekor singa. Dia mesti menghindari keterlibatan dalam kajian-kajian mereka,
kecuali sepanjang semuanya itu berkaitan dengan ibadah serta praktik ibadahnya.
Di sisi yang lebih
positif, sang pencari mesti melakukan berbagai amalan khusus yagn diwajibkan
atas musafir. Dia akan sampai pada pengetahuan tentang hal-hal ini, meski hanya
dalam bentuk berpaling dari keingkaran, tidak melakukan pelanggaran hukum,
menjaga pikirannya agar tidak rancu, atau amal-amal lahirah dan batiniah
lainnya sejenis itu. Kini dia mesti mengatasi ketakutannya akan kegagalan, dan
tidak lagi memikirkannya, sebab dia pasti mengalami kegagalan lebih dari cukup,
khususnya dalam latihan-latihan awalnya.
Kemudian mesti mencurahkan
waktu luangnya, di luar latihan-latihan spiritualnya, untuk mengkaji perilaku
leluhur kita dalam agama, sifat hubungan mereka dengan Allah Swt sebagaimana
yang dibuktikan oleh ibadah dan ketulusan keinginan mereka kepada-Nya.
Orang harus tekun membaca tulisan-tulisan sufi,
guna memperoleh pengetahuan menyeluruh dan mendalam tentangnya, dan mencerna
pengetahuan mendalam serta memahami maksud-maksudnya. Sang pencari mestilah
mengesampingkan keengganan kebanyakan orang mempelajari beberapa tulisan sufi.
Seperti telah kukatakan, ini berlaku khususnya pada orang-orang yang
tekun menggeluti kajian-kajian hukum, intelektual, dan doktrinal. Menerima
tulisan-tulisan ini bisa terjadi setelah menyukai jalan tasawuf dan
berlindung kepada Allah Swt dengan harapan bahwa Allah akan membukakan pintu
pemahaman dalam soal-soal ini.
Orang mesti mencari
bantuan, dengan cara berhubungan dengan seseorang yang benar-benar mengetahui
serta mempunyai kecintaan tulus apda jalan sufi.
Sang pencari mesti
menyibukkan diri dengan berbagai hal yagn telah aku uraikan, serta sama sekali
tidak boleh terhalang oleh kegagalannya menemukan pembimbing spiritual, yang
kepadanya dia bisa kembali pada setiap keadaan dalam perjalanannya.
Dia mesti juga menyadari
bahwa dia tidak eprlu memandang rendah manfaat-manfaat yang sangat banyak yang
diperolehnya, dan menggenggam kuat-kuat hasil-hasil positif itu. Itulah jenis
syukur atas nikmat amalannya, yang diperlukan manakala seseorang ingin beroleh
lebih banyak.
Setelah sang hamba memulai syarat-syarat ini, mencari
pertolongan Allah Swt, percaya kepada-Nya, menunjukkan perasaan takut yang
tepat kepada-Nya, serta mematuhi segala perintah-Nya, maka dia telah sampai
pada harapan terbesar itu : Bahwa Allah Swt akan mengajari dirinya apa yang
perlu dia ketahui guna menempuh perjalanannya, sebagaimana dijanjikan oleh-Nya
ketia Dia berfirman, “Bertakwalah kepada Allah, dan Allah akan mengajarimu.”
(Qs. 2 :282).
Allah Swt, juga berfirman, “Sungguh, Kami akan
menunjukkan kepada orang-orang yang berjuang demi Kami, jalan-jalan Kami.” (Qs.
29:69). Dan juga; “Allah akan memberikan jalan keluar bagi orang-orang yang
bertakwa kepada-Nya.” (Qs. 65:2). Walhasil, sang pencari akan memeproleh segala
macam nikmat berlimpah, dan akan mengalami kemajuan pesat dan langsung dalam
perjalanannya.
102.
Allah Swt. akan
menganugerahinya petunjuk yang benar, yang menenangkan jiwa rendahnya, serta
menyejukkan kalbunya. Sebagai bagian dari proses ini, Allah Swt. akan
memandunya menuju ke pembimbing spiritual saleh, yang akan membantunya beroleh
kemajuan lebih cepat dalam pemahaman. Lambat laut dia tidak akan lagi
memerlukan pembimbing atau roang lain. Sang pencari hanya perlu menyucikan
niatnya kepada Allah Swt, seta memperbaiki corak berpikirnya tentang Allah. Dan
akan mencapai hal itu. Dapat dikatakan, tak ada pengantar formal baginya dalam
hal-hal ini.
Singkat kata, orang yang
mulai menempuh jalan itu, beramal lewat amalan-amalan kalbu dan jasmani,
seperti yang telah aku uraikan, akan termasuk golongan yang terbimbing di
sepanjang jalan itu, kalau memang layak dan pantas untuk itu. Pada umunya, kaum
sufi sepakat bahwa seseorang bisa datang kepada Allah hanya dengan pertolongan
Allah, dan bahwa hanya jiwa rendah sajalah yang merupakan penghalang hubungan
sang hamba dengan Allah.
Jiwa rendah yang tidak
melawan dirinya sendiri, akan melawan Allah.
Jika jiwa rendah melawan
Allah, maka tak bisa dibayangkan bisa menempuh jalan itu sambil menolak serta
menghalangi perlindungan, perhatian,d an dukungan yang ingin Allah anugerahkan
kepada sang pencari menurut cara yang dikehendaki-Nya.
Allah tidak mau memberi rezeki kepada hamba yang saleh,
kecuali dengan cara-cara yang tidak diketahui sang hamba.
Jiwa rendah yang menabiri antara kegelapan dan
cahaya, tidak lenyap begitu saja; hijab itu terangkat dan tersibak sedikit demi
sedikit sampai timbulnya keyakinan.
Inilah awal jalan sang
musafir menuju berbagai tingkatan keadaan dalam tasawuf. Puncaknya tak lain
adalah sepenuhnya menyadari Keesaan Allah, “Itulah karunia Allah yang diberikan
oleh-Nya kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya (Qs. 62 :4).
Selama seseorang tetap
sibuk dengan (keadaan) “tengah berada dalam perjalanan” dan dengan (keadaan)
“Sampai di sana”, maka tujuan itu tak akan bisa dicapai. Sewaktu-waktu dia
mesti meninggalkan dirinya sendiri. Hanya dengan begitu, dia akan mengalami
kebebasan dan kemuliaan yang sebanding dengan tahap kemajuannya, dan yang
demikian itu sama dengan mengalami kegembiraan waktu pulang ke rumah.
Bertentangan dengan
spekulasi sebagian orang, tidak ada gurun pasir atau tanah kosong di Jalan
Allah Swt. Di mana saja sang musafir berkemah, disediakan baginya rumah atau
tempat yang menyenangkan. Setiap situasi adalah mudah baginya; para hamba dan
penolong memudahkan kedatangan dan kepergiannya.
Tetapi, jika hamba Allah
itu berdsandar pada yang sifatnya lazim, pada hal-hal yang dia yakini, maka dia
pasti menjumpai gurun pasir dan tanah kosong di dalam kelaparan jiwa rendah
serta di dalam pengandalan intelek serta dugaannya.
Ketika pada akhirnya hijab
itu disingkapkan, maka yang demikian tiu akan benar-benar nampak jelas olehnya.
Dan kita brelindung kepada Allah dari penilaian yang merugikan. Setelah sang
pencari memahami kebenaran semua yang telah aku bicarakan, perjalanan di
sepanjang jalan ini tidak bakal menimbulkan kengerian baginya, dan dia tidak
akan menganggapnya sulit.
Dia akan menempuh
perjalanannya dengan gembira, dan dengan kelapangan wujudnyam serta dia
tidak bakal membenani jiwanya atau inteleknya dengan telaah berlebih-lebihan
yang dibahas pemikir psekulatif.
Soal-soal semisal ini hanya membingungkan,
menyusahkan, dan menahan langkah seseorang, karena membuatnya segan memulai
menempuh jalan ini, dan secara efektif menghalang-halanganinya menempuh
perjalanan ini. Meskipun seorang hamba terpaksa memandang otentik hampir semua
konsep spekulatiff ini, dan tak mampu memenuhi kewwajiban-kewajibannya, yaitu
bertindak sesuai dengan syarat-syarat esensialnya, sesuai dengan Hukum Wahyu
dan prosedur-prosedur hukum di kalangan ulama, dia mungkin saja tidak bakal
bisa memenuhinya dengan cara begitu. Dan bagaimana mungkin dia bisa?
Alhamdulillah, soal itu jauh lebih mudah dicapai ketimbang semuanya ini!
103
Baiklah kujelaskan. Allah
Swt. mengutus kepada kita Rasul-Nya, Muhammad Saw. yang membawa agama
yang benar dan toleran. Dia tidak memaksa kita dalam agama.
Di atas dan di luar itu, syarat menempuh perjalanan yang
tidak sejalan dengan sarana orang, adalah memecah belah, menimbulkan
kontroversi, serta menyebabkan tiadanya petunjuk yang benar dan tiadanya satu
hal penting yang dituntut dari sang hamba yakni ketulusan dalam beribadah
kepada Allah Swt. satu-satunya yang mungkin mencegah sang
hamba dari bergerak maju meleati berbagai kedudukan penghambaan adalah menyerah
kepada hawa nafsunya.
Segala macam hawa nafsu terlihat jelas
olehnya, sebab kesemuanya itu, tak syak lagi, merupakan bagian dari resam tubuh
dan kemakhlukannya.
Bagaimana mungkin orang bisa tidak menyadari
keadaan batiniahnya, sepanjang dia menuntut tanggung jawab jiwa rendahnya,
bertindak dengan keimnanan yang benar menuju Tuhannya, serta berusaha
menyucikan kalbu?
Karena itu, sang pencari
mestilah melawan jiwa rendahnya dalam menghadapi segala godaan, selama
perlawanannya itu tidak merugikan dirinya, secara mental atau jasmani. Dia
harus terus menerus menolak apa yang bisa menyebabkan dirinya mengandalkan sarana
dan pemahamannya sendiri, dalam kesulitan apa yang dialaminya.
Sesungguhnya, kesulitan itu sendiri, sangat bermanfaat
bagi dirinya. Hasil bersih dari berbagai kesengsaraan yang menimpa sang
pencari, dan yang dia lihat selama melawan jiwa rendahnya, adalah bahwa
kesemuanya itu mengantarkan dirinya pada berbagai macam amal kepatuhan. Hanya
saja, sang pencari mungkin tidak menyadari tujuan ini dan menghindari
cobaan-cobaan, yang dengan demikian kehilangan peluang untuk patuh. Hal
serupa berlaku atas seseorang yang menolak mengikuti apa yang dipahami
pikirannya, manakala kebenaran rasional tertentu menjadi jelas bagi pikirannya
itu : Dia mengabaikannya, serta pura-pura tidak mengetahuinya. Teapi,
cobaan-cobaan tidaklah membahayakan dirinya. Sebaliknya, semua itu merupakan
jalan paling jelas untuk diikuti. Sang hamba adalah orang yang nasibnya berupa
kelemahan dan ketidak-cukupan, sekalipun dia sangat berhasil dalam ilmu maupun
amal.
Bagi sang pencari,
bersandar pada disiplin diri (mujahadah) yang telah aku uraikan ini, akan
menjadi satu kesibukan yang akan membuatnya tidak bingung serta tidak
menyimpang dari jalan kesadaran spiritual sempurna, dan tidak menghadapi
berbagai bahaya serta kerentanan terhadap segala luka.
Orang yang memanjakan jiwa rendahnya, baik dengan cara
tidak mau berpuasa maupun berpuasa terlalu ketat dan terlalu lama, tanpa
beristirahat beberapa hari, sesungguhnya sudah jauh tersesat. Hal serupa
berlaku pula atas orang yang suka menyedekahkan semua yang dia miliki tanpa
menyimpan sebagian untuk dirinya sendiri; atau orang yang senang mengasingkan
diri di relung-relung gunung, atau terus menerus memencilkan diri di
gurun-gurun pasir.
Kecenderungan-kecenderungan
tersembunyi hawa nafsu menyebabkan kesemuanya ini. Pengobatannya sulit,
membutuhkan pengujian keagamaan dan keduniaan yang sesuai dengan penyakit itu.
Lebih baik kita tetap
berada dalam batas-batas Hukum Wahyu, dan menempuh jalan kesalehan serta
ketakwaan kepada Alalh, sebab dalam keduanya itu, tidak ada kecenderungan hawa
nafsu. Orang kemudian bisa meningkatkan upayanya menundukkan jiwa rendah serta
kecenderungannya untuk lalai dab berlebih-lebihan.
Manakala sang hamba tetap
tulus dalam segenap keadaannya, Allah Swt. akan menjaga, mendukung, dan
melindungi dirinya dari kehancuran. Dia akan membimbingnya, dan mengirimkan
kepadanya pembimbing spiritual berpengalaman, serta akan membuatnya bahagia.
Tugas sang hamba adalah memulai; tugas Allah Swt. adalah menyempurnakan. Dan
dari awal hingga akhir, soal itu ada dalam kekuasaan Allah.
Inilah yang aku tahu,
untuk menjawab pertanyaanmu. Aku menaydari sepenuhnya, bahwa dengan
terlibat dalam apa yang bukan urusanku, berati aku melangkahi
batas-batasku dan bertindak tidak tepat. Dari Allah Swt. aku memohon ampunan,
keridhaan serta maaf; sebab, yang demikian itu adalah wewenang-Nya.
Dia cukup banyak memberiku
hal-hal itu, dan Dia-lah pelindung terbaik. Marilah kita memohon kepada Allah
Swt. agar menunjukkan kepada kita yang benar sebagai benar, dan
memberikan kita kemampuan untuk mengikutinya; menunjukkan kepada kita yang
salah sebagai salah, dan memberi kita kekuatan untuk meninggalkannya. Dan
semoga Allah melimpahkan shalawat dan salam atas Junjungan kita, Muhammad, dan
Keluarganya, serta para Sahabatnya.()
Al
Hamdulillah selesai di upload pada Tanggal: 27 Rojab 1441/ 22 Maret 2020.
Oleh:
Sholichul Hakim Ppa
Silahkan Bagikan Artikel ini
Mohon Maaf, Kepada Semua Sahabat, Atas Ketidak Nyamanannya, Dengan adanya Shortener Di Link Download. Mohon Keridhoannya. Terima Kasih.**** Apabila kesulitan Download Silahkan buka/klik gambar(Cara Download) dibawah postingan. Apabila masih kesulitan, silahkan copy paste link download yang ada, kebrowser anda.*** Apabila ada link Download yg rusak/mati, mohon beritahu kami lewat komentar dibawah ini.