بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
اللهُم َّصلِّ علٰى سَيِّدنا مُحَمّدٍ عبدِكَ وَنبيِّكَ ورسولِكَ النَّبيِّ الاُمِيّ وَعلٰى اٰلهِ وَصَحْبِهِ وسَلِّم تسليماً بقدرِ عظمةِ ذاَتِكَ في كـُلِّ وَقتٍ وَحيـنٍ
TERJEMAH KITAB
RISALATUL-QUSYAIRIYYAH
PENJELASAN
TENTANG
“TAHAPAN-TAHAPAN (MAQAMAT) PARA PENEMPUH JALAN SUFI”
28.
MALU
Firman
Allah swt. :
“Tidakkah
ia mengetahui bahwa sesungguhnya Allah melihat segala perbuatannya?” (Qs.
Al-‘Alaq :14).
Diriwayatkan
oleh Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. telah bersabda :
“Malu
adalah sebagian dari iman.” (H.r. Tirmidzi).
Juga
sabda beliau suatu hari kepada para sahabtnya :
“Malulah
kamu sekalian di hadapan Allah dengan malu yang sebenar-benarnya.” Mereka
berkata : “Tapi kami sudah merasa malu, wahai Nabi Allah, dan segala puji
bagi-Nya!.” Beliau bersabda : “Itu bukanlah malu yang sebenarnya. Orang yang
ingin malu dengan sebenar-benarnya di hadapan Allah swt. hendaklah menjaga
pikiran dan bisikan hatinya, hendaklah ia menjaga perutnya dan apa yang
dimakannya, hendaklah ia mengingat mati dan fitnah kubur. Orang yang
menghendaki Akhirat hendaklah meninggalkan perhiasan-perhiasan kehidupan
duniawi. Orang yang melakukan semua ini. Berarti ia memiliki rasa malu yang
sebenarnya di hadapan Allah.” (H.r. Tirmidzi dan Hakim dan dishahihkan oleh
Al-Hakim).
Sebagian
hukama’ mengajarkan : “Jagalah agar malu tetap hidup dalam hatimu dengan cara
berteman dengan orang yang dipermalukan orang lain.”
Ibnu
Atha’ menegaskan : “Bagian terbesar dari ilmu adalah rasa gentar dan malu. Jika
yang dua ini lenyap, tiada lagi kebaikan.”
Dzun Nuun
al-Mishry berkata : “Malu berarti bahwa engkau merasakan kegentaran dalam
hatimu, sangat takut akan masa lalu yang telah engkau lakukan di hadapan Allah
swt.” Ia juga mengatakan : “Cinta membuat orang berbicara, malu membuat orang
terdiam, dan takut membuat orang gelisah.”
Abu
Utsman mengatakan : “Orang yang berbicara tentang malu, namun tidak merasa malu
di hadapan Allah swt, berarti telah terkena istidraj.”
Abu Bakr
bin Asykib menuturkan bahwa al-Hasan bin al-Haddad datang kepada Abdullah bin
Munazil, yang menanyakan kepadanya, “Anda datang dari mana?” Ia menjawab : “
Dari majelis Abul Qasim sang pengingat.” Abdullah bertanya kepadanya : “Apa
topik pembicaraannya?” Dijawabnya : “Tentang malu.” Abdullah berkomentar :
“Menkajubkan sekali, bahwa orang yang belum pernah merasa malu di hadapan Allah
dapat berbicara tentang malu?”
As-Sary
berkata : “Malu dan sukacita ruhani masuk ke dalam hati seseorang. Jika
keduanya menemukan wara’ dan zuhud, maka mereka akan menetap. Jika tidak,
mereka akan meneruskan perjalanan.”
Al-Jurairy
mengabarkan : “Pada generasi pertama Kaum Muslimin, orang mengamalkan agama
sampai agama menjadi lemah. Pada generasi kedua, merekea menekankan kesetiaan,
sampai kesetiaan lenyap. Pada generasi ketiga, mereka menekankan keksatriaan
(muru’ah) sampai ia lenyap. Pada generasi keempat, mereka menekankan rasa malu
sampai malu itu lenyap. Sekarang orang beramal karena hasrat dan takut.”
Dikatakan
tentang firman Allah swt. : “Dia (istri al-Aziz) telah bermaksud (melakukan
perbuatan itu) dengan Yusuf, dan Yusuf pun bermaksud (melakukannya pual) dengan
wanita itu andaikata ia tidak melihat tanda (dari) Tuhannya.” (Qs. Yusuf :24),
pengertian : “Tanda” di sini adalah, bahwa di saat wanita itu menutupkan
selembar kain ke wajah patung yag ada di sudut ruangan. Ketika Yusuf bertanya :
“Apa yang engkau lakukan?” Ia menjawab : “ “Aku merasa malu di hadapannya.”
Yusuf berkata : “Aku lebih punya alasan lagi untuk malu di hadapan Allah swt.”
Dikatakan
mengenai firman Allah swt. : “Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari
kedua wanita itu berjalan malu-malu.” (Qs. Al-Qashash :24), bahwa ia malu
Kepada Musa karena menawarkan jamuan malu seandainya Musa tidak menjawab
salamnya. Malu sebagai sifat tuan rumah, adalah jenis malu yang muncul dari
penghormatan kepada tamu.
Abu
Sulaiman ad-Darany berkata : “Allah swt. berfirman : “Wahai hamba-Ku, selama
engkau malu di hadapan-Ku, Aku akan membuat manusia lupa akan kekuranganmu, Aku
akan membuat muka bumi lupa akan dosa-dosamu. Aku akan menghapus
kesalahan-kesalahanmu dan buku catatan induk, dan Aku tidak akan meneliti amalanmu
pada Hari Kebangkitan.”
Seseorang
bertanya kepada seorang laki-laki yang terlihat shalat di luar masjid. “Mengapa
engkau tidak masuk dan shalat di dalam?” Laki-laki itu menjawab : “Saya malu
memasuki rumah Allah karena telah bermaksiat kepada-Nya.”
Salah
satu tanda bahwa seseorang memiliki rasa malu adalah, bahwa ia tidak pernah
terlihat dalam situasi yang membuatnya malu.
Sebagian
Sufi menuturkan : “Suatu malam kami keluar dan melwetti rimba. Tiba-tiba
mendapati seseorang tidur di tempat itu, sedang kudanya merumput dekat
kepalanya. Kami membangunkan orang itu dan bertanya kepadanya. “Tidakkah engkau
takut tidur di tempat yang mengerikan dan penuh binatang busa ini?” Ia
mengangkat kepalanya dan menjawab : “Di hadapan-Nya, aku malu menakuti apa pun
selain Dia.” Kemudian diletakkan kembali kepalanya dan meneruskan tidurnya.”
Allah
swt. mewahyukan kepada Isa as. : “Nasihatilah dirimu. Jika engkau menghirauikan
ansihat itu, maka nasihatilah manusia. Jika tidak, maka malulah kepda-Ku untuk
menasihati manusia.”
Diaktakan
bahwa ada beberapa macam malu. Yang pertama adalah malu dikarenakanpelanggaran,
seperti malu Nabi Adam as. Ketika ditanya : “Apakah engkau berniat lari dari
Kami?” Beliau menjawab : “Tidak, karena malu di hadapan-Mu.” Yang kedua adalah
malu karena terbatas, seperti malu para malaikat yang mengatakan : “Maha Suci
Engkau! Kami telah menyembah-Mu tidak sebagaimana layaknya Engkau disebah.”
Yang ketiga adalah malu karena mengagungkan, seperti malu Israfil as. Yang
menutupkan sayapnya ke tubuhnya karena malu kepada Allah, Yang keempat adalah
malu karena kemuliaan hati, seperti malu rasulullah saw. ketika malu untuk
mempersilahkan pergi tamu-tamu beliau, dan Allah swt. lalu berfirman : “....
dan jika kamu selesai makan, keluarlah kamu semua tanpa asyik memperpanjang
percakapan.” (Qs. Al-Ahzab :53). Yang kelima adalh malu karena enggan, seperti
malu Ali bin AbuThalib ra. Ketika menyruh Miqdad bin al-Aswad untuk menanyakan
kepada Nabi saw. tentang hukumnya madzy (lendir yang mengalir dari alat kelamin
laki-laki, keluar air mani) karena mengenai Fatimah r.a. Yang keenam adalah
malu karena terlalu remeh untuk diungkapkan, seperti malu Musa as. Ketika
munajat : “Aku mengajukan suatu kebutuhan dari dunia ini, dan aku malu meminta
kepada-Mu, wahai Tuhanku.” Dan Allah lalu menjawab kepadany : “Minalah
kepada-Ku, bahkan untuk adonan roti dan jerami untuk domba-dombamu.” Akhirnya,
ada malu karena sifat pemberi kenikmatan, yang merupakan malu Allah swt. Dia
memberikan buku yang distempel kepada seorang hamba setelah melewati Jembatan
di akhirat. Di dalam buku itu tba-tiba tertulis : “Engkau telah melakukan
(dosa) ini dan itu. Aku malu menunjukkannya kepadamu, karena itu pergilah; Aku
telah mengampunimu.”
Syeikh
Abu Ali ad-Daqqaq saya dengar berkata : “Yahya bin Muadz berkata, Maha Suci
Dzat Yang didustai hamba, sedang Dia mereasa mau, padahal dosa itu datang dari
sang hamba.”
Al-Fudhail
bin ‘Iyadh menjelaskan : “Ada lima tanda celaka seorang manusia. Kerasnya hati,
bengisnya mata, tiadanya rasa malu, hasrat terhadap dunia, dan lamunan yang
tiada terbatas.”
Dalam
salah satu kitab, Allah swt. berfirman : “Hamba-Ku telah mempermalukan Aku
dengan tidak adil. Ia berdoa kepada-Ku dan Aku merasa malu jika tidak
mengabulkan doanya, tapi ia bermaksiat kepada-Ku tanpa merasa malu kepada-Ku.”
Yahya bin
Muadz mengatakan : “Bagi manusia yang malu di hadapan Allah swt. ketika ia
taat, mka Allah akan malu ketika ia melakukan dosa.”
Syeikh
Abu Ali ad-Daqqaq berkata : “Ketahuilah, bahwa malu menebabkan pencairan, sebab
dikatakan bahwa rasa malu adalah mencairnya organ-organ tubuh manusia sebelah
dalam ketika ia menyadari tatapan Tuhan kepadanya.
Dikatakan
: “Malu adalah mengkerutnya hati manusia untuk mengagungkan kebesaran Tuhan.”
Dikatakan
juga : “Manakala seseorang duduk di hadapan sekumpulan manusia, memperingatkan
dan menasihati mereka, maka kedua malaikatnya berseru kepadanya :
“Peringatkanlah dirimu sebagaimana engkau memperingatkan saudaramu. Jika tidak,
maka malulah engkau di hadapan Tuhanmu, sebab Dia melihatmu.”
Al-Junayd
ditanya tentang malu, ia menjawab : “Penglihatan pada rahmat Allah swt. terus
tercurah dan penglihatan terhadap keterbatasan diri. Di antara keduanya
kemudian melahirkan apa yang disebut “malu”,
Muhammad
al-Wasithy berkomentar : “Orang tidak akan pernah merasakan sengatan malu, yang
memakai robekan batas-batas yang ditetapkan Allah atau merusak janji.”
Dikatakannya pula : “Keringat mengalir keluar dari orang yang merasa malu. Ia
adalah anugerah yang ditempatkan di dalam dirinya. Selama nafsu rendah masih
ada dalam dirinya, maka ia akan dijauhkan dari malu.”
Syeikh
Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan : “Malu berarti meninggalkan semua tendensi di
hadapan Allah swt.
Abu Bakr
al- Wasithy bertutur : “Ketika aku shalat dua rakaat kepada Allah swt.
Tiba-tiba kau membatalkannya karena merasa malu seperti seorang pencuri (yang
tertangkap basah).”
Silahkan Bagikan Artikel ini
Mohon Maaf, Atas Ketidak Nyamanannya, Dengan adanya Shortener Di Link Download. Mohon Keridhoannya. Terima Kasih. Apabila kesulitan Download Silahkan buka/klik gambar (Cara Download) dibawah postingan. apabila masih kesulitan, silahkan copy paste link download yang ada kebrowser anda.*** Apabila ada link Download yg rusak/mati, mohon beritahu kami lewat komentar dibawah ini.
Related Posts :