بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
اللهُم َّصلِّ علٰى سَيِّدنا مُحَمّدٍ عبدِكَ وَنبيِّكَ ورسولِكَ النَّبيِّ الاُمِيّ وَعلٰى اٰلهِ وَصَحْبِهِ وسَلِّم تسليماً بقدرِ عظمةِ ذاَتِكَ في كـُلِّ وَقتٍ وَحيـنٍ
MENGENAL PARA WALI DAN KEDUDUKAN MEREKA
Syaikh Abdurrahman bin Abdullah Al-Khatib Baraja bertanya, “Apakah seorang wali
quthub adalah wali ghaus, ataukah berbeda? Dan apa pula wali awtad, wali abdal
dan kedudukan para ahlillah selainnya?”
Sayyid
Abdullah bin Alwi Al-Haddad—semoga Allah membalas kebajikan beliau—menjawab,
“Ketahuilah wahai saudaraku, dalam masalah ini, terdapat beberapa riwayat yang
disandarkan kepada Rasulullah Saw. dan cerita yang dinisbahkan kepada para wali
Allah. Aku hanya akan menyampaikan satu hadits, atsar, dan cerita lainnya.
Al-Imam
Al-Yafi’i meriwayatkan dalam kitab Al-Raudh dari Ibnu Mas’ud r.a., ia berkata,
‘Rasulullah bersabda, “Di dunia ini Allah memiliki 300 orang yang hatinya seperti
hati Adam a.s., 40 orang yang hatinya seperti hati Musa a.s., 7 orang yang
hatinya seperti hati Ibrahim a.s., 5 orang yang hatinya seperti hati Jibril
a.s., 3 orang yang hatinya seperti Mikail a.s., 1 orang yang hatinya seperti
hati Israfil a.s. Jika 1 dari yang seorang ini meninggal, maka kedudukannya
akan ditempati oleh 1 dari yang 3 di atasnya, dan jika satu dari yang 3 orang
itu meninggal, maka kedudukannya akan ditempati oleh 1 dari 5 orang yang di
atasnya, dan jika 1 dari yang 5 ini meninggal, maka kedudukannya akan ditempati
oleh 1 dari 7 orang yang di atasnya. Jika 1 dari yang 7 orang ini meninggal,
maka kedudukannya akan digantikan oleh 1 dari 40 orang yang ada di atasnya.
Jika 1 dari yang 40 orang ini meninggal, maka kedudukannya akan ditempati oleh
1 dari 300 orang yang di atasnya. Dan jika 1 dari yang 300 orang ini meninggal,
maka kedudukannya akan ditempati oleh salah seorang dari kalangan umum. Dengan
sebab perantaraan mereka inilah, Allah mengangkat bala’ dari umat ini.”’
Al-Imam
Al-Yafi’i berkata, ‘Satu orang yang hatinya seperti Israfil a.s. inilah yang
menjadi wali quthub atau ghauts. Kedudukan orang ini di antara para wali
seperti kedudukan satu titik dari sebuah lingkaran yang menjadi porosnya,
dengan sebabnyalah alam ini menjadi baik.’
Nabi Khidir a.s. mengatakan, ‘Ada tiga ratus orang yang berkedudukan sebagai
wali, tujuh puluh orang sebagai al-nujaba’, empat puluh orang sebagai al-awtad
(paku bumi), sepuluh orang sebagai al-nuqaba’, tujuh orang sebagai al-urafa’,
tiga orang sebagai al-mukhtar, dan satu orang sebagai al-ghauts.’
Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani menyebut., ‘Al-abdal ada tujuh orang.’
Syaikh
Ahmad Al-Rifa’i mengatakan, ‘Al-awtad ada empat orang.’
Syaikh Muhammad bin ‘Arabi mengatakan, ‘Wali quthub ada dua orang, keduanya
disebut al-imamani (dua imam). Salah seorang dari keduanya berada di sebelah
kanan yang pandangannya selalu ke alam malakut (alam gaib), sedangkan seorang
lagi ada di sebelah kiri dan pandangannya selalu ke alam malak. Dan tatkala
wali quthub meninggal dunia, maka ia akan digantikan oleh yang ada di sebelah
kirinya.’
Beliau juga mengatakan, di antara para wali, terdapat beberapa orang yang
disebut al-afrad, mereka tidak masuk dalam kelompok wali quthub, bahkan
terkadang wali quthub tidak pernah berjumpa dengan mereka.
Hal
yang kita pahami dari uraian Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani bahwa al-afrad dan
wali-wali lainnya semuanya masuk dalam lingkaran wali al-ghauts atas kehendak
Allah SWT. Dan, bilangan wali-wali Allah tidaklah terbatas dengan jumlah
bilangan-bilangan di atas. Pada masa Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani, ada dua
belas ribu wali yang hidup sezaman dengan beliau. Firman Allah Swt., “Dan
tidaklah ada yang mengetahui tentara-tentara Tuhanmu kecuali Dia.” (QS
Al-Muddatstsir [74]: 31).
Adapun
al-quthub al-ghauts, ia hanyalah satu orang sepanjang zaman. Dialah al-fard
al-jami’ yang disebut di kalangan sufi sebagai al-khalifah atau al-insan
al-kamil, dan diberi gelar dengan pemilik al-shiddiqiyyah al-kubra dan
al-wilayah al-‘udzma.
Sayyid Muhyiddin Abdul Qadir telah menyebutkan sekelumit sifat-sifat dan
ungkapan rasa cinta mereka dalam satu ungkapan yang dinukil oleh Al-Imam
Al-Yafi’i pada cerita terakhir dalam kitab Al-Mi’atayn. Bacalah jika engkau
ingin mengetahuinya.
Al-quthbaniyyah artinya al-siyadah (kekuasaan), maka istilah quthub disebut
secara kiasan kepada orang yang memiliki kekuasaan khusus terhadap para pemilik
maqam (kedudukan) atau hal (keadaan).
Maka,
disebutlah istilah quthbu al-mutawakkilin dan quthbu al-radhin dan lainnya.
Kemungkinan istilah al-quthbu al-ghauts yang disebutkan untuk orang yang sudah
mencapai maqam al-shiddiqiyyah al-kubra dan disingkat dengan sebutan al-quthub
karena alasan arti kiasan ini.
Keterangan singkat ini kami rasa cukup untuk menjelaskan masalah ini. Para
ulama sufi berbeda pendapat tentang istilah-istilah maqam kewalian ini dan
jumlah bilangan mereka. Tetapi jika engkau perhatikan, engkau akan mengetahui
bahwa perbedaannya hanya pada lafalnya saja.
Untuk memperluas pembahasan masalah ini, membutuhkan uraian tentang perasaan
cinta (al-wajd) para wali kepada Allah dan tanda-tanda yang menunjukkan
perasaan itu serta perbedaan tingkatan para wali di antara mereka. Hal ini
tidak akan mungkin diketahui kecuali oleh seorang wali al-quthub al-ghauts,
karena ia telah mengetahui tingkatan-tingkatan itu, dan karena tingkatan dan
maqam para wali itu ada di bawah tingkatan dan maqamnya. Adapun wali-wali
selain wali al-quthub al-ghauts, maka ia hanya mengetahui wali yang ada di
tingkatannya atau yang ada di bawahnya. Dan ia hanya bisa melihat kedudukan
wali yang ada di atas tingkatannya tetapi tidak mempu memahaminya.
Pada
intinya, masalah ini termasuk perkara yang tidak akan bisa dipahami secara
memuaskan tanpa ada kasyaf (tersingkapnya rahasia-rahasia ciptaan Allah) dan
menyaksikan langsung. Dan barang siapa yang menginginkan hal tersebut, maka
hendaklah ia selalu membersihkan dirinya dan melembutkan ketebalan hatinya
dengan riyadhah (melakukan amal ibadah) yang bisa menghapus kegersangan hati
serta menundukkan bisikan-bisikan nafsu, disertai dengan perasaan hadir dalam
pengawasan Allah. Dan dengan adab yang baik, dengan perasaan merendah,
menundukkan hati, dan penuh harap hanya kepada Allah sebagai pelaksanaan
‘ubudiyyah dan memenuhi kewajiban-kewajiban kita kepada-Nya.
Jika
seorang hamba sudah melaksanakan kedua unsur ini, yaitu riyadhah (amalan-amalan
ibadah) yang baik dan kesempurnaan hudhur (merasa selalu diawasi oleh Allah),
maka akan tersingkaplah segala yang menutupi hatinya dan terlihatlah baginya
rahasia-rahasia ciptaan Allah.
Saat itulah, ia bisa menyaksikan para wali dengan segala tingkatan dan
kedudukan suci mereka dengan wujud ruh murni. Lalu ia pun tidak lagi memerlukan
gelar tertentu dan kembali naik kedudukannya dari kerendahan taqlid (mengikuti)
kepada kemuliaan kasyaf (tersingkapnya rahasia-rahasia ciptaan Allah). Adapun
bagi kita—orang-orang yang terhijab dari hal itu—hanya bisa menceritakan dan
menjelaskan makna dari keadaan-keadaan itu.
Dan
tidaklah dikategorikan perkara kecil jika seandainya kita mengalami kebekuan
dalam hal ini, karena perkara ini akan melahirkan rasa cinta dalam hati
sertamenimbulkan kerinduan di dalam jiwa. Perasaan cinta dan rindu inilah yang
menggelorakan semangat untuk mencari, dan barang siapa yang mencari sesuatu
dengan sungguh-sungguh maka ia akan mendapatkannya. Setiap berita yang dibawa
oleh nabi dan rasul ada waktu terjadinya, dan setiap ajal memiliki catatannya.
“
-- Sayyid Abdullah bin Alwi Al-Haddad dalam kitab An-Nafais
Al-‘Uluwiyyah fi Masail Ash-Shufiyyah.
Silahkan Bagikan Artikel ini
Mohon Maaf, Kepada Semua Sahabat, Atas Ketidak Nyamanannya, Dengan adanya Shortener Di Link Download. Mohon Keridhoannya. Terima Kasih.**** Apabila kesulitan Download Silahkan buka/klik gambar(Cara Download) dibawah postingan. Apabila masih kesulitan, silahkan copy paste link download yang ada, kebrowser anda.*** Apabila ada link Download yg rusak/mati, mohon beritahu kami lewat komentar dibawah ini.
Title : MENGENAL PARA WALI DAN KEDUDUKANNYA
Description : MENGENAL PARA WALI DAN KEDUDUKAN MEREKA Syaikh Abdurrahman bin Abdullah Al-Khatib Baraja bertanya, “Apakah seorang wali quthub adalah...