بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
اللهُم َّصلِّ علٰى سَيِّدنا مُحَمّدٍ عبدِكَ وَنبيِّكَ ورسولِكَ النَّبيِّ الاُمِيّ وَعلٰى اٰلهِ وَصَحْبِهِ وسَلِّم تسليماً بقدرِ عظمةِ ذاَتِكَ في كـُلِّ وَقتٍ وَحيـنٍ
Kiai
Muhammad Manshur Popongan, Mursyid Tarekat Naqsyabandiyah
KH
Muhammad Manshur, adalah pendiri Pondok Pesantren Popongan, Dusun Popongan,
Desa Tegalgondo, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Klaten. Kiai Manshur adalah
putera Syaikh Muhammad Abdul Hadi Giri Kusumo, seorang mursyid Tarekat
Naqsyabandiyah-Khalidiyah
di Giri Kusumo Mranggen Demak.
Berdasarkan
cerita yang berkembang. pada prosesi pemakaman Mbah Hadi, terjadi sebuah
fenomena khariqul
“addah (aneh, luar biasa), yakni ada batu besar yang berada dekat
calon makam Mbah Hadi. Seluruh pelayat tidak mampu menyingkirkan batu tersebut.
Setelah Mbah Kiai Manshur datang, maka batu tersebut diangkatnya sendiri.
Mbah
Manshur belajar agama kepada orang tuanya sendiri, yaitu Syaikh Muhammad Hadi
Girikusumo. Ketika remaja, ia belajar Islam dan nyantri di Pondok Pesantren Jamsaren
Surakarta yang diasuh oleh Kiai Idris, sebuah pesantren tua yang pendiriannya
dipelopori oleh Kraton Kasunanan Surakarta. Manshur muda kemudian mendirikan
pesantren di Dusun Popongan Klaten, 20 KM dari Jamsaren Surakarta.
Kedatangan
Mbah Manshur di Popongan bukan sebuah kebetulan. Sebelum ke Popongan, Klaten,
Mbah Manshur sengaja dikirim oleh Mbah Hadi untuk belajar di Jamsaren, dan
dalam perkembangannya menemukan Popongan sebagai tempat dakwah, pendidikan, dan
pengembangan Islam, khususnya
Para
santri dan sesepuh Dusun Popongan menceritakan bahwa kedatangan Mbah Manshur di
Popongan bermula ketika Manshur muda di ambil menantu oleh seorang petani kaya
di Popongan yang bernama Haji Fadlil. Manshur muda dinikahkan dengan Nyai
Maryam (Nyai Kamilah) bintu Fadlil pada tahun 1918. Karena Manshur merupakan
alumni pondok pesantren, maka Haji Fadhil memintanya mengajarkan agama di
Popongan. Dari pernikahan itu melahirkan Masjfufah, Imro’ah, Muyassaroh,
Muhibbin, dan Muqarrabin, dan Irfan. Dari putrinya Nyai Masjfufah binti Manshur
yang dinikah Haji Mukri, lahirlah Salman Dahlawi, yang kelak meneruskan estafet
keemimpinan pesantren dan Tarekat Naqsyabandiyah.
Sebelum
didirikan pondok pesantren, Mbah Manshur mengajar ngaji masyarakat Popongan.
Para santri awal Mbah Manshur sangat sedikit, dan hanya membentuk halaqah
kecil. Setelah beberapa tahun kemudian santri yang dating mulai banyak dan dari
berbagai daerah sehingga Haji Fadlil berinisiatif untuk mendirikan bangunan yang
layak untuk pemondokan dan masjid.
Pembangunan
pondok pesantren dan masjid dilakukan secara swasembada dan gotong royong. Batu
fondasi diperoleh oleh para santri dari Sungai Jebol, sebuah sungai yang
terletak di sebelah selatan Dusun Popongan. Adapun pasir diambil dari Sungai
tegalgondo, sebelah utara Dusun Popongan.
Sebagai
tokoh yang kaya, Haji Fadhil sendiri yang banyak menyumbang pendirian pesantren
yang kelak diasuh oleh menantunya tersebut. Mbah Kiai Muslimin, menceritakan
bahwa pembangunan pesantren dilakukan secara gotong royong, sebagian memang
mengambil tukang profesional. Pondok Pesantren Popongan resmi didirikan oleh
Mbah Manshur pada tahun 1926. Pada tahun yang sama, Mbah Manshur membangun
Masjid Popongan.
Pondok
Pesantren Popongan, pada masa kepemimpinan cucunya, Kiai Salman Dahlawi,
tanggal 21 Juni 1980, namanya diubah menjadi Pondok Pesantren Al-Manshur
Popongan. Dusun Popongan kemudian menjadi pusat dakwah dan pendidikan Islam, di
samping menjadi pusat suluk
Tarekat Naqsyabandiyah.
Jaringan
Tarekat Mbah Manshur dikembangkan dari Mbah Hadi dengan silsilah sebagai
berikut: Kiai Manshur, dari Syekh Muhammad Hadi Bin Muhammad Thohir, dari
Syaikh Sulaiman Zuhdi, dari Syaikh Ismail Al Barusi, dari Syaikh Sulaiman Al
Quraini, dari dari Syaikh Ad Dahlawi, dari Syaikh Habibullah, dari Syaikh Nur
Muhammad Al Badwani, dari Syaikh Syaifudin, dari Syaikh Muhammad Ma’sum, dari
Syaikh Ahmad Al Faruqi, dari Syaikh Ahmad Al Baqi’ Billah, dari Syaikh Muhammad
Al Khawaliji, dari Syaikh Darwisy Muhammad, dari Syaikh Muhammad Az Zuhdi, dari
Syaikh Ya’kub Al Jarkhi, dari Syaikh Muhammad Bin Alaudin Al Athour, dari
Syaikh Muhammad Bahaudin An Naqsabandy, dari Syaikh Amir Khulal, dari Syaikh
Muhammad Baba As-Syamsi, dari Syaikh Ali Ar Rumaitini, dari Syaikh Mahmud Al Injiri
Faqhnawi, dari Syaikh Arif Riwikari, dari Syaikh Abdul kholiq al Ghajwani, dari
Syaikh Yusuf Al Hamadani, dari Syaikh Abi Ali Fadhal, dari Syaikh Abu Hasan Al
Kharwani, dari Syaikh Abu Yazid Thaifur Al Busthoni, dari Syaikh Ja’far Shodiq,
dari Syaikh Qosim Muhammad, dari Syaikh Sayyid Salman al Farisi, dari Abu Bakar
Ash-Shidiq, dari Nabi Muhammad
Mbah
Hadi mengangkat Kiai Manshur dan Kiai Zahid sebagai mursyid tarekat Dari Kiai Zahid,
tarekat berkembang di Pantai Utara Jawa, diteruskan oleh Kiai Zuhri,
dilanjutkan oleh Kiai Munif. Adapun Mbah Manshur menyebarkan tarekat melalui
para badal,
di antaranya ada yang sudah menjadi mursyid,
yaitu Kiai Arwani (Kudus), Kiai Salman Popongan (Klaten) yang dilanjutkan oleh
Gus Multazam, dan Kiai Abdul Mi’raj (Candisari Demak) yang dilanjutkan oleh
Kiai Khalil.
Selain
dikembangkan oleh para mursyid
yang menjadi murid Mbah Manshur, Tarekat Naqsyabandiyah juga dikembangkan di
Kauman Surakarta oleh seorang murid perempuan Mbah Manshur, yaitu Nyai
Muharromah (Nyai Soelomo Resoatmodjo). Selain di Popongan, Mbah Manshur juga
mendirikan pusat latihan spiritual Tarekat Naqsyabandiyah di Kauman Surakarta.
Sejak Mbah Manshur memiliki rumah di Kauman Surakarta, maka tarekat
Naqsyabandiyah juga berkembang di kota santri tersebut. Rumah Mbah Manshur di
Kauman tersebut dibangun oleh muridnya yang bernama Muslimin dan dibantu oleh
Salman muda, cucu kesayangan Mbah Manshur. Mbah Muslimin inilah yang sejak awal
sudah menjadi penderek
(pengikut) Mbah Manshur, dan menjadi teman karib Kiai Salman, sejak
kecil sampai meninggalnya.
Di
Popongan sendiri, estafet kepemimpinan pondok pesantren dan Tarekat
Naqsyabandiyah dipegang oleh Kiai Salman, cucunya Para putera-puteri Mbah
Manshur tidak ada yang melanjutkan estafet kepemimpinan tarekat, tetapi lebih
suka menekuni dunia perdagangan, mengikuti jejak kakeknya, Mbah Haji Fadhil.
Dalam
mengembangkan jaringan Tarekat Naqsyabandiyah, Mbah Manshur dibantu oleh Kiai
Arwani Kudus dan Kiai Abdul Mi’raj (Candisari Semarang). Di Popongan, Mbah
Manshur dibantu oleh banyak santri dan jama’ahnya dalam mengembangkan Islam dan
jaringan Tarekat Naqsyabandiyah.
Mbah
Manshur termasuk Kiai sepuh yang disegani, bukan saja oleh para santri dan
jama’ahnya, tetapi juga oleh masyarakat umum, bahkan oleh para sejawatnya dari
kalangan Kiai. Setelah pondok pesantren berdiri, Mbah Manshur bukan saja
kedatangan tamu yang mau mengaji saja, tetapi juga tamu-tamu umum yang
bermaksud bersilaturrahmi dan ngalap
berkah. Karisma Mbah Mansur pun semakin meningkat dan menjadi Kiai
popular di kalangan masyarakat Klaten, Surakarta, Semarang, Jawa Tengah pada
umumnya, dan Yogyakarta.
Kiai
Munawwir, pendiri Pondok Pesantren Krayak Yogyakarta, adalah termasuk murid
Mbah Manshur di Yogyakarta. Walaupun tidak menjadi mursyid tarekat, Kiai Munawwir
menjadi bagian penting dalam perjuangan Mbah Manshur. Ketika Kiai Munawwir
meninggal tahun 1942, Mbah Manshur menghadiri acara ta’ziyah dan menjadi imam
shalat jenazah.
Mbah
Manshur juga menjalin hubungan baik dengan Mbah Siroj, Panularan Surakarta, dan
Mbah Ahmad Umar bin Abdul Mannan Mangkuyudan Surakarta. Kedekatan dengan Kiai
Ahmad Umar ditunjukkan dengan pembertian nama Al-Muayyad oleh Mbah Manshur
untuk nama pondok pesantren di Mangkuyudan yang dirintis Mbah Kiai Abdul Mannan
pada tahun 1930. Al-Muayyad berarti yang dikuatkan, artinya bahwa pondok
pesantren tersebut dikuatkan oleh kaum muslimin di Surakarta dan sekitarnya.
Mbah
Manshur wafat tahun 1955. Setiap tahun Pondok Pesantren Al-Manshur Popongan dan
Baqni Manshur mengadakan acara haul yang dihadiri oleh ribuan orang. Pada tahun
2013 ini, haul Mbah Manshur sudah sampai yang ke 58. Setelah Mbah Manshur
wafat, estafet kepemimpinan pesantren dan tarekat dipegang oleh cucunya, Kiai
Salman, dan mulai tahun 2013, kepemimpinan dipegang oleh Gus Multazam bin
Salman Dahlawi.
Menurut
informasi dari banyak sumber, Mbah Manshur menyusun lafaz do’a bagi para santri
sebelum membaca Al-Qur’an. Lafaz do’a itu dipasang di Madrasah (sebutan salah
satu gedung pengajian di Pondok Pesantren Al-Manshur, tepat di depan Ndalem yang
ditinggali Mbah Manshur). Lafaz doa tersebut menjadi kharakter khas bacaan bagi
santri-santri Pondok Pesantren Al-Manshur Popongan sampai deweasa ini.
Lafaz
tersebut berbunyi:
Allahumma bil haqqi anzaltahu wa bil haqqi nazal
Allahumma Adzdzim
rughbatii fiih
Waj’alhu nuuran li
bashorii
Wasyifaa’an li
shodrii
Wadzahaban lihammii
wa huznii
Allahumma zayyin
bihii lisaanii
Wajammil bihii
wajhii
Waqawwi bihii
jasadii Watsaqqil bihii miizaani
Waqawwinii ‘alaa
thaa’atika wa athraafan nahaar
Setiap santri Al-Manshur Popongan mesti hafal do’a tersebut, karena doa karya
Mbah Manshur itu selalu dibaca sebelum mengaji Al-Qur’an, baik pengajian
AL-Qur’an setelah maghrib, setelah subuh, maupun setelah dhuhur.
Selain
itu, beberapa sumber menyebutkan bahwa Syi’ir Tanpo Waton yang dipopulerkan Gus
Dur diambil dari Pondok Sepuh di Pondok Pesantren Al-Manshur Popongan. Tetapi
dalam pengalaman penulis yang 3 tahun nyantri di Popongan, belum pernah
mendengar puji-pujian syi’ir terserbut, khususnya lafaz yang berbahasa jawa
Adapun lafaz dengan bahasa Arab merupakan lafaz yang popular dan banyak
dipahami masyarakat di berbagai daerah.
Syamsul Bakri, Ketua Lakpesdam-NU Klaten, Pengasuh
Pesantren Darul Afkar Klaten, dan Dosen IAIN Surakarta
Silahkan Bagikan Artikel ini
Mohon Maaf, Atas Ketidak Nyamanannya, Dengan adanya Shortener Di Link Download. Mohon Keridhoannya. Terima Kasih. Apabila kesulitan Download Silahkan buka/klik gambar (Cara Download) dibawah postingan. apabila masih kesulitan, silahkan copy paste link download yang ada kebrowser anda.*** Apabila ada link Download yg rusak/mati, mohon beritahu kami lewat komentar dibawah ini.
Related Posts :