بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
اللهُم َّصلِّ علٰى سَيِّدنا مُحَمّدٍ عبدِكَ وَنبيِّكَ ورسولِكَ النَّبيِّ الاُمِيّ وَعلٰى اٰلهِ وَصَحْبِهِ وسَلِّم تسليماً بقدرِ عظمةِ ذاَتِكَ في كـُلِّ وَقتٍ وَحيـنٍ
Gagasan
Para Sufi
Gus Dur
adalah Bapak Pluralisme, terserah jika ada orang yang tidak suka atau ber beda
pendapat dengan sebutan ini, termasuk para pecintanya sendiri. Konon, Djohan
Efendi, sahabat setia Gus Dur, pernah diminta Gus Dur agar jika ia kelak wafat,
nisannya ditulis “Di Sini dikubur Sang Pluralis”. Terlepas pesan itu benar
diucapkan Gus Dur atau tidak, dan tak peduli masyarakat memperdebatkan
maknanya, tetapi beliau orang yang selalu ingin memandang manusia, siapapun dia
dan di manapun dia berada, sebagai manusia yang adalah ciptaan Tuhan.
Sebagaimana
Tuhan menghormatinya, Gus Dur juga ingin menghormatinya. Sebagaimana Tuhan
mengasihi makhluk-Nya, Gus Dur juga ingin mengasihinya. “Takhallqu bi Akhlaq
Allah” (berakhlaklah dengan akhlak Allah), kata pepatah sufi. Sejauh yang
saya tahu, Gus Dur tak banyak bicara soal wacana Pluralisme berikut dalil-dalil
teologisnya. Tetapi ia mengamalkan, mempraktikkan dan memberi mereka contoh
atasnya. Pluralisme jauh lebih banyak dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari
Gus Dur dibanding diwacanakan. Kalaupun ia diminta dalil agama, ia akan
menyampaikan ayat al Qur’an ini : “Wahai manusia, Aku ciptakan kalian
terdiri dari laki-laki dan perempuan. Dan Aku jadikan kalian berbangsa-bangsa
dan bersuku-suku, agar kalian saling mengenal. Sesungguhnya manusia yang paling
mulia di antara kalian di mata-Ku, ialah orang yang paling bertaqwa kepada-Ku”.
“Li Ta’arafu”
(saling
mengenal), tidak sekedar tahu nama, alamat rumah, nomor handphone, atau tahu
wajah dan tubuh yang lain. Saling mengenal adalah memahami kebiasaan, tradisi,
adat-istiadat, pikiran, hasrat yang lain, yang berbeda, yang tak sama. Lebih
dari segalanya “li ta’arafu” berarti agar kalian saling menjadi arif bagi yang
lain.
Yang
paling mulia di hadapan Tuhan adalah yang paling taqwa, bukan yang paling gagah
atau cantik, bukan yang paling kaya atau rumah megah. Taqwa bukan sekedar dan
hanya berarti sering datang ke masjid atau menghadiri secara rutin majlis
ta’lim, membaca kitab suci, memutar-mutar tasbih, bangun malam, atau puasa
saban hari. Tetapi lebih dari itu taqwa adalah mengendalikan amarah,
hasrat-hasrat rendah, menjaga hati, tidak melukai, tidak mengancam, ramah,
sabar, rendah hati dan sejuta makna kebaikan kepada yang lain dan kepada alam.
Dalam
sejumlah kesempatan Gus Dur menyampaikan makna taqwa dengan menyitir ayat-ayat
al-Qur’an ini:
لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ
وَالْمَغْرِبِ وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ
وَالْمَلائِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ وَآتَى الْمَالَ عَلَى حُبِّهِ
ذَوِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ
وَالسَّائِلِينَ وَفِي الرِّقَابِ وَأَقَامَ الصَّلاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ
وَالْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُوا وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَاءِ
وَالضَّرَّاءِ وَحِينَ الْبَأْسِ أُوْلَئِكَ الَّذِينَ صَدَقُوا وَأُوْلَئِكَ هُمُ
الْمُتَّقُونَ
“Bukanlah
menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi
sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian,
malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya
kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang
memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan)
hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang
menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam
kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang
benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa”.(Q.S. al-Baqarah,
[2:177].
Semua
itulah makna taqwa yang dipahami Gus Dur. Dari ayat al-Qur’an ini Gus Dur
sering mengatakan bahwa Islam itu terdiri dari 3 rukun (pilar): Rukun Iman,
Rukun Islam, dan Rukun Tetangga. Saya kira apa yang dimaksud Gus Dur tentang
rukun yang ke tiga ini adalah Rukun Kemanusiaan. Gus Dur tentu bukan tidak tahu
Rukun ini dalam konteks tradisi Islam disebut Ihsan. Tetapi Ihsan dalam
pengertiannya adalah Kemanusiaan tadi.
Dengan
itu, Gus Dur tampaknya ingin menggugah kesadaran kaum muslimin agar tidak
mengabaikan atau mereduksi rukun tersebut, sekaligus mengingatkan bahwa ia
menjadi tujuan dari agama dalam kehidupan manusia di dunia. Maka Gus Dur,
sering bicara tentang kejujuran, keteguhan/kesabaran dalam berjuang, menghargai
orang dan mengadvokasi siapa saja yang menderita dan yang ditindas. Lebih dari
itu, ia bukan hanya sekedar menghargai atau menghormati manusia yang berbuat
baik, melainkan juga menyambutnya dengan rendah hati dan rengkuhan yang hangat.
Sebaliknya,
ia akan menentang siapa saja yang merendahkan martabat manusia, apalagi
menyakiti, mengurangi dan menghalangi hak-hak mereka. Ia akan membela mereka
yang martabat kemanusiaannya direndahkan, mereka yang hak-haknya dikurangi,
dipasung, disakiti dan ditelantarkan.
Ketika para pengikut Ahmadiah diusir dan
masjid-masjid mereka dirobohkan, Gus Dur hadir bersama mereka. Ketika
Gereja-gereja dilempari batu, ia berteriak “jangan”.
Ketika Inul Daratisna
dihujat ramai-ramai karena dia bergoyang-goyang dan meliuk-liukkan tubuhnya
bagai bor, ia “memeluk”nya dengan hangat.
Ketika Dorce disoraki karena berganti
kelamin, ia mengajaknya bicara dengan lembut dan penuh kasih. “Jika itu adalah
dirimu, teruslah bekerja”, katanya.
Ketika urusan gambar tubuh polos perempuan
(pornografi) hendak diserahkan kepada Negara, ia berdemonstrasi bersama isteri
tercintanya; Shinta Nuriah dan bersama-sama mereka yang menghargai kemanusiaan.
Ketika orang-orang Thionghoa meminta hari raya Imlek dan Barongsae, ia
memberikannya dengan tulus. Meski tak bisa melihat dengan matanya, ia hadir
menyaksikan tarian-tarian singa itu dan bertepuk tangan. Gus Dur senang.
Seringkali
kita melihat sikap perlawanan dan pembelaan itu dilakukannya sendirian. Ia
berjalan sendiri, meski ia harus mempertaruhkan jiwanya. Ia tak peduli.
Dalam
perlawanannya terhadap pembredelan tabloid Monitor dan pembelaannya terhadap
Salman Rusydi dalam kasus bukunya Satanic Verses, yang bikin heboh itu,
misalnya, Gus Dur tak menemukan mata lain yang penuh pengertian. Ia berjalan
sendiri. Seorang sufi mengatakan “ia yang jiwanya telah mencapai kesadaran
yang matang, bantuan eksternal tak lagi diperlukan”. Dan Gus Dur sanggup menjalaninya
seorang diri dengan tegar, karena ia telah matang. “La Yakhaf Laumata
Laa-im” (ia tak pernah takut pada mata yang membenci). Kata Gus Dur;
“Di tempatkan di urutan manapun, Muhammad bin Abdullah tetap saja sang penghulu
para nabi dan utusan Tuhan, Insan Kamil”.
Bagi
Gus Dur semua manusia adalah sama, tak peduli dari mana asal usulnya, apa jenis
kelamin mereka, warna kulit mereka, suku mereka, ras dan kebangsaan mereka.
Yang Gus Dur lihat adalah bahwa mereka manusia seperti dirinya dan yang lain.
Yang ia lihat adalah niat baik dan perbuatannya, seperti kata Nabi ; “Tuhan
tidak melihat tubuh dan wajahmu, melainkan amal dan hatimu”.
Gus Dur
bukan tidak paham bahwa ada yang keliru, ada yang tidak ia setujui atau ada
yang salah dari mereka yang dibelanya. Gus tetap saja nembela mereka. Ia
membela karena tubuh mereka diserang dan dilukai hanya karena baju agamanya
yang berwarna lain, harta mereka dirampas semaunya, ekspresi-ekspresi diri
mereka dihentikan secara paksa oleh negara atau direnggut dengan pedang oleh
otoritas dominan dan kehormatan mereka diinjak-injak. Padahal mereka tak
melakukan apa-apa. Membela kehormatan adalah perjuangan besar.
Bagi
Gus Dur, ekspresi-ekspresi diri, personal, individual, yang dianggap sebagian
orang sebagai tak bermoral, tak boleh melibatkan Negara, tak boleh diintervensi
kekuasaan, tetapi harus diselesaikan sendiri oleh masyarakat dengan cara-cara
yang mereka miliki dan dengan mengaji yang sungguh-sungguh, sampai khatam dan
dengan ketulusan.
Bagi Gus
Dur, keyakinan dan pikiran tak bisa dinamai tak bisa diberi tanda. Pikiran
adalah misteri yang tersembunyi. Ia bagaikan burung yang terbang di langit
lepas. Tuhanlah yang menganugerahkan pikiran-pikiran pada hamba-hamba-Nya.
Dialah Pemilik nafas setiap yang hidup dan Dialah yang akan menanyainya kelak,
bila tiba masanya. Karena itu, hanya Dialah yang berhak menamainya dan
menghakiminya, tidak yang lain. Kata Rumi dalam Fihi Ma Fihi :
لَيْسَ فِى وُسْعِكَ إِبْعَادُ تِلْكَ الْفِكَرِ عَنْكَ
وَلَوْ بِمِائَةِ اَلْفِ جُهْدٍ وَسَعْيٍ
“Tak ada kemampuanmu
menjauhkan pikiran-pikiran itu meski dengan seratus ribu kali rekayasa
berkeringat”.
فَالْفِكَرُ مَا دَامَتْ فِى الْبَاطِنِ تَكُونُ دُونَ
إِسْمٍ وَدُونَ عَلاَمَةٍ لاَ يُمْكِنُ الْحُكْمُ عَلَيْهَا بِكُفْرٍ وَلَا
بِإِسْلاَمٍ.
“Sepanjang
pikiran-pikiran tersembunyi di dalam, maka ia tak bernama dan tak bertanda. Ia
tak mungkin dihukumi kafir atau islam”.
Begitulah
sikap seorang yang telah memiliki batin yang bebas. Itulah sifat seorang sufi,
seorang bijak-bestari yang jiwanya mampu menembus kedalaman makna kata-kata
Tuhan. Kata-kata-Nya memiliki dan menyimpan berjuta makna dan tak terbatas.
Pemaksaan atas pikiran dan keyakinan orang tak akan menghasilkan apa-apa,
sia-sia, kecuali membuat orang dan keluarganya menjadi sakit, menderita, dan
menghambat kemajuan orang dan peradaban manusia. Tak ada cara lain untuk
menundukkan orang lain kecuali melalui bicara manis, tanpa marah-marah dan
dengan otak yang cerdas. Jika tak tunduk, biarkan masing-masing berjalan sendiri-sendiri,
sambil katakan saja : “anda adalah anda dan aku adalah aku. Wassalam”.
Tindakan
dan sikap itu, menurut Gus Dur, sesungguhnya telah diajarkan oleh Islam dan
para Nabi-nabi sejak ribuan tahun lalu. Ia sering mengutip sumber literature
Islam klasik yang bicara mengenai hak-hak individu. Salah satunya adalah Al
Mustashfa, karya Imam Abu Hamid al Ghazali. Sufi besar ini mengatakan
bahwa tujuan aturan agama adalah memberikan jaminan keselamatan keyakinan
orang, keselamatan fisik, keselamatan profesi, kehormatan tubuh dan pemilikan
harta. Al Ghazali menyebut lima prinsip dasar perlindungan ini sebagai
“al-Kulliyyat al Khams”. Orang sering menyebutnya “Maqashid al-Syari’ah”
(tujuan-tujuan pengaturan kehidupan). Lima prinsip ini merupakan pemberian
Tuhan pada setiap manusia yang tak ada seorang manusiapun berhak mengurangi
atau menghilangkannya. I
nilah basis fundamental (al-Rukn al-Asasi)
pikiran-pikiran dan langkah-langkah Gus Dur.
Meskipun
Gus Dur membaca dan mengerti, tetapi ia tidak mengutip pandangan atau sumber
dari Barat atau Yahudi, seperti dituduhkan sebagian orang. Ia menggalinya dari
sumber tradisi Islam sendiri, dan ia mampu menginterpretasikan dengan cara-cara
yang memukau dan genuine, sejalan dengan konteks kehidupan yang selalu
bergerak. Ia memang sangat kaya dengan referensi tradisi Islam klasik ini
berikut perangkat analisisnya : bahasa, sastra, logika, filsafat sosial, dan
metode-metode keilmuan.
Melalui
penjagaan atas lima prinsip dasar kemanusiaan universal tersebut, Gus Dur
memimpikan berkembang dan tersebarnya persaudaraan manusia atas dasar
kemanusiaan (Ukhuwwah Insaniyyah), tanpa dibatasi sekat-sekat primordial. Ini
menurut saya sesungguhnya merupakan gagasan para sufi besar. Para sufi yang
sejumlah namanya disebutkan di atas, adalah orang-orang yang paling vocal
menyuarakan gagasan pluralisme dan persaudaraan universal itu. Tak ada keraguan
sedikitpun di hati mereka pada prinsip utama agama bahwa tidak ada di alam
semesta ini kecuali Tuhan Yang Satu yang kehadapan-Nya seluruh yang mawjud
tunduk. Dan seluruh yang mawjud (ada) sejak ia ada sampai keberadaannya
tercabut, selalu dan terus mencari-cari Dia melalui jalan dan bahasa yang
berbeda-beda.
عِبَارَاتُنَا شَتَّى وَحُسْنُكَ وَاحِدٌ وَكُلٌّ اِلَى
ذَاكَ الْجَمَالِ يُشِيْرُ
Bahasa
kita begitu beragam
tetapi
Engkaulah Satu-satunya yang Indah
Dan
kita masing-masing menuju
kepada
Keindahan Yang Satu itu
Maka
kebhinekaan realitas alam semesta ini seharusnya tidak menghalangi setiap
manusia untuk memahami pikiran, bahasa dan kehendak-kehendak manusia yang
lainnya. Para sufi memandang alam semesta yang beragam dan yang seluruhnya
mengandung keindahan sebagai “tajalli” Tuhan, perwujudan rahmat dan
keagungan-Nya di alam semesta. Keberanekaan berasal dari Tuhan. Dialah Sang
Penciptanya. Ibnu Athaillah, nama sufi besar yang dikagumi Gus Dur,
banyak bicara soal Kesatuan Semesta, meneruskan gagasan Ibnu Arabi. Ibnu
Ajibah mengomentari gagasan itu dalam syairnya yang indah:
أُنْظُرْ جَمَالِى شَاهِداً فِى كُلِّ إِنْسَان
اَلْمَاءُ يَجْرِى نَافِداً فِى أُسِّ الْاَغْصَان
تَجِدْهُ مَاءً وَاحِدًا وَالزَّهْرُ أَلْوَان
Lihatlah
Keindahan-Ku
Tampak
pada semua manusia
Air
mengalir,
menembus
pokok
dahan dan ranting
Engkau
mendapatinya
Berasal
dari satu mata air
Padahal
bunga berwarna-warni
Nah,
lagi-lagi di sini kita menemukan jalan yang ditempuh Gus Dur. Gagasan-gagasan
dan tindakan-tindakan pluralismenya ternyata berangkat dari tradisinya sendiri.
Ia tekun mengaji kitab-kitab klasik raksasa dan primer sampai khatam. Sayang,
kitab-kitab ini amat jarang dibaca orang atau dibaca tetapi hanya sampai kulit
luar, yang tertulis, yang literal, harfiyah, dan tak khatam, tak selesai.
Oleh:
KH. Husein Muhammad yang diterbitkan dalam Majalah Cahaya Sufi.
Silahkan Bagikan Artikel ini
Mohon Maaf, Kepada Semua Sahabat, Atas Ketidak Nyamanannya, Dengan adanya Shortener Di Link Download. Mohon Keridhoannya. Terima Kasih.**** Apabila kesulitan Download Silahkan buka/klik gambar(Cara Download) dibawah postingan. Apabila masih kesulitan, silahkan copy paste link download yang ada, kebrowser anda.*** Apabila ada link Download yg rusak/mati, mohon beritahu kami lewat komentar dibawah ini.