بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
اللهُم َّصلِّ علٰى سَيِّدنا مُحَمّدٍ عبدِكَ وَنبيِّكَ ورسولِكَ النَّبيِّ الاُمِيّ وَعلٰى اٰلهِ وَصَحْبِهِ وسَلِّم تسليماً بقدرِ عظمةِ ذاَتِكَ في كـُلِّ وَقتٍ وَحيـنٍ
PERJALANAN
TASAWWUF AL-GHOZALI ra
Setelah melalui perenungan mendalam, pada 488
H/1095 M ia meninggalkan Baghdad, dengan segala kemewahan dan
ketermasyhurannya, menuju Damaskus, Syria, untuk menemukan ketenangan dan
kesejatian hidup.
Imam Ghazali, atau lengkapnya Syaikh Abu Hamid Muhammad
ibnu Muhammad ibnu Ahmad Ath-Thusi Al- Ghazali, adalah ulama besar penyusun
kitab tasawuf Ihya Ulumuddin, yang sangat terkenal.
Al-Ghazali, anak pemintal wol dari Desa Ghazalah,
sejak kanak-kanak memang sudah rajin mempelajari ilmu agama. Sejak belia ia
sudah mengembara mendulang ilmu kepada para ulama besar, seperti Syaikh Ahmad
ibnu Muhammad Al Razhani Al-Thusi, Abu Nash Ismail Al-Jurjani, Syaikh Yusuf
Al-Nassaj, Imam Al-Haramain (Imam Masjidil Haram dan Masjid Nabawi) Abu Ma’al
Al-Juwaini, serta belajar tasawuf kepada Syaikh Abu Ali Al- Fadhl ibnu Muhammad
ibnu Ali Farmadi.
Puncak pencapaian keilmuannya ialah ketika ia
diangkat menjadi rektor Madrasah Tinggi Nizhamiyah, perguruan paling bergengsi
kala itu. Namun, kemapanan hidup dan ketenaran tersebut justru mulai menorehkan
kegelisahan jiwanya. Kesenangan hidup
yang melimpah malah membuatnya sakit.
Selama hampir enam bulan ia terombang-ambing
antara upaya mempertahankan keduniawian dan meraih kebahagiaan akhirat.
Guncangan jiwa itu terjadi ketika hatinya bertanya-tanya, “Apakah sebenarnya
pengetahuan hakiki itu? Dapatkah pengetahuan hakiki diraih melalui indra,
ataukah dengan akal?” Guncangan guncangan ruhaniah itu sempat membuatnya
linglung.
Tapi semua itu akhirnya terjawab dalam kitab
Al-Munqidz Minadh Dhalal (Penyelamat dari Kesesatan).
Dalam beberapa riwayat diceritakan, untuk
mengendapkan gejolak hatinya, Ghazali menghentikan seluruh aktivitasnya, baik
perenungan maupun ibadah, selama 40 hari, sampai akhirnya cahaya Ilahi
menerangi jiwa, qalbu, dan raganya sehingga ia mampu keluar dari keraguan.
Tasawuf, itulah jalan baru yang dianggapnya
tepat, yang kemudian ditempuhnya untuk menjawab pertanyaan demi pertanyaan yang
mengusik qalbunya.
Setelah melalui perenungan mendalam, pada 488
H/1095 M ia meninggalkan Baghdad, dengan segala kemewahan dan
ketermasyhurannya, menuju Damaskus, Syria, untuk menemukan ketenangan dan
kesejatian hidup. Di bekas ibu kota Dinasti Umayyah ini, ia hidup bersama para
sufi di Masjid Umawi.
Ia menjalani kehidupan zuhud, penuh riyadhah dan
mujahadah, dengan disiplin keras. Pernah ia melakukan i’tikaf di menara masjid
selama beberapa bulan dengan hanya makan sangat terbatas.
Tak lama kemudian ia hijrah ke Palestina. Rupanya
ia sengaja hendak berkhalwat di Qubbatush Shakhrah di Baitul Maqdis, sebuah gua
tempat Nabi Dawud dan Nabi Sulaiman pernah berkhalwat. Di sana pula Rasulullah
SAW berangkat mi’raj.
Di kubah berwarna kuning itu, setiap hari Ghazali
bermunajat kepada Allah SWT. Semua pintu kubah ia kunci sehingga tak ada yang
mengganggunya. Kemudian ia berziarah ke makam Nab Ibrahim AS di Al-Khalil. Setelah merasa cukup, ia menuju Hijaz untuk
beribadah haji dan menziarahi makam Rasulullah SAW.
Lalu ia bertolak ke Iskandariah, Mesir. Baru
beberapa hari tinggal di kota pelabuhan ini, ia diminta kembali memimpin
perguruan Nizhamiyah. Maka kembalilah ia ke Baghdad.
Namun, saat itu ia telah menjadi sufi, yang tentu
tak mungkin kerasan tinggal di ibu kota Dinasti Abbasiyah, yang gemerlapan.
Maka tak lama kemudian ia pindah ke Thus dan
mendirikan Madrasah Khanaqah sebagai lembaga untuk memperdalam tasawuf.
Di kota inilah, pada 505 H/1111 M, ia menghadap
Sang Pencipta, dalam usia 55 tahun. Perjumpaan Ruhani Mengenai riyadhah
bathinnya, ia mengatakan, “Setelah semua kegelisahan itu, perhatianku
kupusatkan di jalan sufi.
Ternyata jalan ini tidak akan dapat ditempuh
kecuali dengan ilmu dan amal. Langkahnya harus ditempuh melalui
tanjakan-tanjakan bathin dan penyucian diri untuk mengkondisikan kesiapan
bathin, kemudian mengisinya dengan dzikir kepada Allah SWT.” Katanya lagi,
“Bagiku, ilmu lebih mudah daripada amal.
Maka aku pun segera memulai perjalanan
spiritualku dengan mempelajari ilmu para sufi terdahulu, membaca karya-karya
mereka. Antara lain Quth al-Qulub, karya Abu Thalib Al-Makki, dan karya-karya
Haris Al-Muhasibi. Juga ujaran-ujaran Junaid Al-Bagdadi, Asy-Syibli, Abu Yazid
Al- Busthami, dan lain-lain.”
Dari beberapa ungkapannya, terutama ketika ia
mengatakan “Penjelasan lebih jauh kudengar sendiri dari lisan Al-Makki, Al
Muhasibi, Al-Junaid, As-Syibli, dan lain-lain”, sepertinya ia mengalami
perjumpaan dengan para pendahulunya itu secara ruhani.
Mengenai praktek tasawuf, ia menyatakan, ada
hal-hal khusus yang hanya dapat dicapai dengan dzauq (perasaan) dan pengalaman
bathin. “Sangat jauh jika engkau bermaksud memaknai sehat atau kenyang tanpa
mengalami sendiri rasa sehat atau kenyang. Mengalami mabuk lebih jelas daripada
hanya mendengar keterangan tentang arti mabuk.
Maka, mengetahui arti dan syarat syarat zuhud
tidak sama dengan bersifat zuhud.”
Menurut Ghazali, kehidupan seorang muslim tidak
dapat dicapai dengan sempurna kecuali mengikuti jalan Allah secara bertahap.
Tahapan-tahapan itu, antara lain, taubat, sabar, fakir, zuhud, tawakal, cinta,
ma’rifat, dan ridha.
Karena itu, seseorang yang mempelajari tasawuf
wajib mendidik jiwa dan akhlaqnya.
Sementara itu, hati adalah cermin yang sanggup
menangkap ma’rifat. Dan kesanggupan itu terletak dalam qalbu yang suci dan
jernih.
Semoga Bermanfaat
Silahkan Bagikan Artikel ini
Mohon Maaf, Atas Ketidak Nyamanannya, Dengan adanya Shortener Di Link Download. Mohon Keridhoannya. Terima Kasih. Apabila kesulitan Download Silahkan buka/klik gambar (Cara Download) dibawah postingan. apabila masih kesulitan, silahkan copy paste link download yang ada kebrowser anda.*** Apabila ada link Download yg rusak/mati, mohon beritahu kami lewat komentar dibawah ini.
Related Posts :