بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
اللهُم َّصلِّ علٰى سَيِّدنا مُحَمّدٍ عبدِكَ وَنبيِّكَ ورسولِكَ النَّبيِّ الاُمِيّ وَعلٰى اٰلهِ وَصَحْبِهِ وسَلِّم تسليماً بقدرِ عظمةِ ذاَتِكَ في كـُلِّ وَقتٍ وَحيـنٍ
Al-Ghozali
(Mengingat Mati dan
Hakikat Mati)
Kesembilan
maqam ruhani yang telah kami sebutkan terdahulu bukanlah satu kategori yang
berdiri sendiri-sendiri. Justru sebagian diantaranya menunjukkan esensi maqam
lainnya, seperti prinsip atau maqam cinta (mahabbah) dan prinsip atau maqam
ridha (rela terhadap ketetapan Allah); keduanya merupakan maqam tertinggi. Di
antara maqam tersebut saling berkait dengan maqam lainnya, seperti maqam tobat
dan zuhud; maqam takut (khauf) dan sabar. Sebab, tobat itu merupakan tindakan
kembali dari jalan yang menjauhkan (diri dari Allah) menuju jalan yang
mendekatkan diri kepada-Nya. Sedangkan zuhud merupakan tindakan meninggalkan ragam
kesibukan yang menghalangi pendekatan diri kepada-Nya; rasa takut (al-khauf)
merupakan cambuk yang menggiring perilaku untuk meninggalkan
kesibukan-kesibukan tersebut.
Sabar
adalah perjuangan ruhani melawan ragam nafsu yang menghalangi jalan pendekatan
diri kepada-Nya.
Jadi,
masing-masing maqam tersebut tidak berdiri sendiri, akan tetapi saling
berkaitan antara satu dengan yang lainnya, melalui ma’rifat dan mahabbah, yang
berdiri sendiri. Hanya saja, ma’rifat dan mahabbah tidak dapat berwujud sempurna,
kecuali dengan cara menafikan rasa cinta kepada selain Allah dalam kalbu. Untuk
kepentingan tersebut memerlukan al-khauf, sabar dan zuhud. Di antara hal yang
besar manfaat dan fungsinya dalam hal ini adalah mengingat akan mati. Inilah
pembahasan yang kami maksudkan.
Syariat
memberikan imbalan pahala yang besar terhadap orang yang suka mengingat mati.
Sebab dengan mengingat mati, akan menyulitkan dirinya dalam mencintai dunia,
selain memutus hubungan hati dengan dunia itu sendiri.
Allah
Swt. berfirman:
“Katakanlah,
‘Sesungguhnya kematian yang kamu Iari dari padanya, maka sesungguhnya kematian
itu akan menemui kamu.” (Q.s. Al-Jumu’ah: 8).
Rasulullah
Saw. bersabda:
“Perbanyaklah
mengingat penghancur kelezatan-kelezatan!” (Al-Hadis).
Beliau
juga bersabda, “Barangsiapa tidak menyukai pertemuan dengan Allah, Allah pun
tidak suka bertemu dengannya.”
Aisyah
r.a. bertanya kepada Rasulullah Saw, “Wahai Rasulullah, adakah seseorang yang
dikumpulkan bersama para syuhada’ (orang yang mati syahid)?” tanya Aisyah r.a.
“Benar,”
jawab Rasulullah, “yaitu, orang yang mengingat mati duapuluh kali dalam sehari
semalam.”
Rasulullah
Saw. melintasi sebuah majelis yang penuh dengan gelak tawa, lalu beliau
bersabda, “Campurilah majelis kalian dengan pengaruh kelezatan-kelezatan!”
“Apakah
itu?” di antara mereka mengajukan pertanyaan.
“Maut,“
jawab beliau singkat.
Rasulullah
Saw. bersabda, “Andaikata binatang-binatang itu tahu akan kematian sebagaimana
manusia (mengetahuinya), tentu kalian tidak akan makan daging yang gemuk
darinya.”
Sabda
beliau pula, “Cukup maut sebagai pemberi peringatan.”
Sabdanya:
“Aku
tinggalkan dua pemberi peringatan di tengah-tengah kalian, yang diam dan dapat
berbicara. Yang diam adalah maut, sedangkan yang berbicara adalah Al-Qur’an.” (Al-Hadis).
Ada
seorang laki-laki yang disebut-sebut di sisi Rasulullah Saw, orang itu selalu
dipuji dengan baik. Lalu Rasulullah Saw bertanya, “Bagaimana teman kalian itu
menyebut mati?”
“Kami
hampir tidak pernah mendengar dia mengingat mati,” jawab mereka.
“(Jika
demikian), maka sesungguhnya teman kalian itu bukanlah di situ,” jawab beliau.
Seorang
sahabat dan kaum Anshar bertanya, “Wahai Rasulullah, siapakah manusia yang
paling cerdas dan mulia?” tanya seorang laki-laki dan (kaurn) Anshar.
“Yang
paling banyak mengingat mati di antara mereka, dan yang paling banyak (tekun)
mempersiapkan diri menghadapi kematian. Mereka itulah orang-orang yang paling
cerdas, mereka pergi dengan kelegaan dunia dan kemuliaan akhirat,” sabda
beliau.
Manfaat
Ingat Kematian
Mati
merupakan persoalan besar, sekaligus masalah yang luar biasa. Tiada sesuatu pun
yang luar biasa melebihi kematian ini. Mengingat mati besar manfaatnya.
Kematian dapat mempersempit kehidupan dunia dan menjadikan hati benci pada
dunia.
Membenci
duniawi merupakan pangkal segala kebaikan, sebagaimana cinta dunia merupakan
pangkal dari segala kesalahan.
Bagi
orang ‘arif (ahli ma’rifat) mengingat Allah itu memiliki dua fungsi dan
kegunaan: Pertama, benci pada dunia, dan kedua, rindu akhirat.
Orang
yang mencintai —tidak mustahil— pasti merasakan rindu. Rindu pada hal-hal yang
bisa diraba, pengertiannya adalah, penyempurnaan fantasi untuk mencapai pada
penyaksian langsung.
Rasa
rindu kepada-Nya pasti bisa dicapai melalui fantasi, tanpa penglihatan dengan
mata.
Hal-ihwal
akhirat dan kenikmatannya berikut keindahan hadirat ketuhanan, bagi orang ‘arif
diketahui dalam bentuk seakan-akan dia melihat dari balik tirai tipis pada
waktu mendung dan cahaya remang. Dia merindukan kesempunaan itu melalui tajalli
dan musyahadah. Dia tahu bahwa hal tersebut tidak akan terjadi, kecuali dengan
maut; karenanya dia tidak benci mati, sebab dia tidak membenci pertemuan dengan
Allah Swt, bahkan dia menyukai pertemuan dengan-Nya.
Orientasi
duniawi muncul disebabkan oleh kurangnya mengingat mati. Cara untuk
bertafakur
pada kematian ialah, hendaklah seseorang mengosongkan pikiran dan ingatannya
selain kematian. Lalu duduk berkhalwat dan mengendalikan ingatan tentang mati
dengan lubuk kalbunya. Mula-mula ia mengingat tentang sahabat-sahabatnya yang
telah lalu (meninggal dunia), mengingat mereka satu persatu, lalu mengingat
sifat rakus, ambisi, angan-angan dan kecintaan mereka terhadap kedudukan dan
harta. Kemudian mengingat pergulatan mereka menjelang direnggut maut dan penyesalannya
menyia-nyiakan waktu dan umur.
Selanjutnya
bertafakur tentang tubuh-tubuh mereka: Bagaimana tubuh-tubuh tersebut
terobek-robek dalam tanah dan menjadi bangkai yang dimakan ulat. Lalu,
mengembalikan kepada dirinya, bahwa dirinya seperti salah seorang di antara
mereka: Angan-angannya seperti angan-angan mereka dan pergulatannya (nanti
menjelang kematian) seperti pergulatan mereka. Kemudian perhatiannya dialihkan
pada anggota-anggota tubuhnya, bagaimana nanti ia menjadi remuk; selanjutnya
dialihkan pada biji matanya, ketika nanti ia dimakan ulat; pada lidahnya ketika
lidah itu menjadi usang kemudian menjadi bangkai di dalam mulutnya.
Apabila
Anda melakukan hal itu, maka bagi Anda dunia atau harta-benda itu kecil dan
hina, dan Anda menjadi bahagia. Sebab, orang yang bahagia itu adalah orang yang
dapat mengambil pelajaran dari orang lain. Karena itulah Rasulullah Saw
bersabda:
“Hai
manusia, seakan-akan maut itu telah ditetapkan kepada selain kita, seakan-akan
kebenaran itu telah diwajibkan kepada selain kita, dan seakan-akan orang-orang
mati yang kita antarkan baru saja pergi, mereka kembali kepada kita, kita
tempatkan mereka di makam-makamnya dan kita makan harta-harta peninggalan
(warisan)nya, seakan-akan kita (hidup) kekal setelah mereka. Kita melupakan
setiap peringatan dan aman (terbebas) dari bencana.” (Al-Hadist).
Lamunan
Panjang
Lamunan
panjang merupakan akar dari kelalaian mengingat mati. Lamunan itu merupakan
kebodohan yang sebenarnya. Karena itulah Rasulullah Saw. bersabda kepada
Abdullah bin Umar r.a.:
“Jika
masuk waktu pagi, jangan kamu bicarai dirimu tentang sore har. Bila masuk waktu
sore, jangan kamu bicarai dirimu tentang pagi. Ambil (kesempatan) dari hidupmu
untuk matimu, dari sehatmu untuk sakitmu, sebab kamu hai Abdullah, tidak tahu
apa namamu esok hari.” (Al-Hadis).
Rasulullah
Saw juga bersabda, “Ada dua kebiasaan (perangai) yang paling aku takutkan pada
ummatku, yaitu: menuruti hawa nafsu dan lamunan panjang.”
Usamah
membeli budak wanita sampai dua bulan dengan harga seratus, lalu Rasulullah
Saw. berkata:
“Apakah
kalian tidak merasa heran kepada Usamah, orang yang membeli (budak wanita)
sampai dua bulan? Sungguh Usamah itu panjang lamunannya. Demi jiwaku yang ada
pada kekuasaan-Nya, aku tidak akan mengejapkan kedua mataku, kecuali aku telah
mengira bahwa tempat tumbuhnya bulu pelupuk mata tidak dapat mengatup hingga
Allah mencabut ruhku. Aku tidak akan mengangkat kedua mataku, sedangkan aku
mengira bahwa dirikulah sebenarnya yang menaruhnya hingga aku dimatikan, dan
aku tidak akan menelan sesuap (makanan), kecuali aku mengira bahwa aku tidak
akan memasukkannya ke tenggorokan hingga aku tersekat dengannya karena
menjelang kematian.”
Kemudian
beliau bersabda, “Hai anak Adam, jika kalian berakal, maka hendaklah kalian
perhitungkan diri kalian dengan kematian. Demi jiwaku yang ada pada
kekuasaan-Nya, sesungguhnya apa yang dijanjikan kepada kalian pasti tiba, dan
kalian bukan tidak mampu.”
Rasulullah
Saw. bersabda, “Generasi pertama dan ummat ini selamat dengan keyakinan dan
kezuhudan, dan akhir ummat ini menjadi binasa karena sifat kikir dan panjang
angan-angan.”
Dan
Rasulullah Saw. bersabda, “Apakah kalian semua ingin masuk surga?”
“Benar,”
jawab mereka.
“Pendekkanlah
angan-angan kalian, jadikan ajal kalian ada di hadapan mata kalian, dan malulah
kepada Allah dengan sebenar-benarnya,” sabda beliau.
Kematian
Dimata Orang Arif
Orang
‘arif yang paripurna tidak putus-putus menyebut dan mengingat Allah, tidak lagi
mengingat mati, bahkan dia itu fana’ dalam tauhid. Dia tidak pernah menoleh ke
masa lalu dan masa depan, tidak pula keadaan dari sisi bahwa itu sekadar
keadaan. Dia adalah anak waktunya, patuh kepada sang waktu. Maksudnya, dia
seperti orang yang menyatu dengan yang diingat atau disebutkannya. Kami tidak
menyatakan bahwa dia menyatu dengan Dzat Allah Swt. Hal ini jangan Anda
rasionalisasikan, nanti Anda tergelincir dan salah, kemudian buruk sangka.
Orang
‘arif tidak lagi merasakan rasa takut/cemas (khauf) dan rasa berharap (raja’),
karena khauf dan raja’ itu adalah cambuk yang menggiring seorang hamba kepada
suatu kondisi yang penuh dengan rasa. Lalu bagaimana ia akan mengingat mati,
padahal tujuan mengingat mati itu adalah agar hubungan ikatan kalbunya dengan
apa yang bisa ditinggalkan setelah kematian itu terputus. Sedangkan seorang
‘arif telah mengalami mati, dalam kaitannya dengan hak dunia dan apa saja yang
akan ia tinggalkan dengan terjadinya kematian itu. Dia juga bebas dari
orientasi kepada akhirat, apalagi pada dunia. Selain Allah Swt, baginya rendah
dan hina. Maut baginya merupakan penyingkapan tirai agar tambah jelas dan
yakin. Inilah makna ucapan Sayyidina Ali r.a, “Jika tirai itu telah dibuka,
maka belum bisa menambah keyakinan bagiku.”
Orang
yang melihat orang lain dari balik tirai, keyakinannya belum bertambah dengan
tersingkapnya tirai, hanya saja, bertambah jelas.
Maka
mengingat mati itu dibutuhkan oleh orang yang kalbunya masih menoleh pada
dunia, agar dia tahu bahwa dia akan berpisah dan meninggalkannya, sehingga dia
tidak selalu cinta dunia. Karena itulah, Rasulullah Saw. bersabda:
“Sesungguhnya Ruhul Quds (Jibril) membisik dalam hatiku, ‘Cintailah apa yang
kamu cintai, sesungguhnya kamu akan berpisah dan meninggalkannya. Puaskanlah
hidupmu, sebab sesungguhnya kamu itu adalah mayit. Dan beramallah sesukamu,
karena sesungguhnya kamu mendapat imbalan dengannya’.”
Hakikat
Dan Esensi Mati
Barangkali
Anda ingin tahu hal-ihwal dan hakikat mati. Anda tidak akan pernah mengetahui
hal itu sebelum Anda tahu tentang hakikat hidup. Anda tidak akan pernah
mengetahui hakikat hidup sebelum Anda tahu tentang ruh; itu adalah diri Anda,
esensi dan jatidiri Anda. Ruh adalah hal yang tersembunyi dalam diri Anda. Anda
jangan terlalu giat untuk mengenal Tuhan sebelum Anda kenal diri Anda. Maksud
kami dengan diri Anda adalah ruh Anda, sesuatu yang dinisbatkan kepada Allah
Swt. dalam firman-Nya yang berbunyi, “Katakanlah, ‘Ruh itu termasuk urusan
Tuhanku’.” (Q.s. Al-Isra’: 85).
Dan
dalam firman-Nya yang berbunyi, “Dan telah meniupkan ke dalamnya ruh
(ciptaan)-Ku.” (Q.s. Al-Hijr: 29).
Dimaksud
ayat tersebut bukan ruh jasad yang halus, yang merupakan pembawa energi indera
dan gerak, yang bersumber dari hati dan menyebar ke seluruh tubuh; menyebar ke
seluruh rongga urat-urat yang berdenyut. Dari Situ mengalir cahaya indera
penglihatan pada mata, cahaya indera pendengaran pada telinga, dan pada seluruh
kekuatan dan indera-indera lainnya; sebagaimana cahaya pelita mengalir ke
seluruh sisi rumah. Ruh Ini sama dengan ruh binatang, ia bisa menjadi binasa
dengan maut, sebab itu adalah uap yang kematangannya terus stabil ketika
minyaknya masih stabil. Bila minyak itu telah labil, ia jadi rusak sebagaimana
cahaya yang mengalir dari pelita itu punah ketika pelita itu padam, karena
minyaknya telah habis, atau karena dipadamkan.
Ruh
semacam ini menjadi binasa (rusak) dengan terputusnya makanan (bagi manusia
atau binatang), karena makanan bagi ruh tersebut minyak bagi pelita. Pembunuhan
terhadapnya seperti tiupan pada pelita. Ruh semacam ini, kesehatan dan
stabilitasnya menjadi garapan ilmu kedokteran. Ruh ini tidak memikul ma’rifat
dan amanat.
Silahkan Bagikan Artikel ini
Mohon Maaf, Atas Ketidak Nyamanannya, Dengan adanya Shortener Di Link Download. Mohon Keridhoannya. Terima Kasih. Apabila kesulitan Download Silahkan buka/klik gambar (Cara Download) dibawah postingan. apabila masih kesulitan, silahkan copy paste link download yang ada kebrowser anda.*** Apabila ada link Download yg rusak/mati, mohon beritahu kami lewat komentar dibawah ini.
Related Posts :