بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
اللهُم َّصلِّ علٰى سَيِّدنا مُحَمّدٍ عبدِكَ وَنبيِّكَ ورسولِكَ النَّبيِّ الاُمِيّ وَعلٰى اٰلهِ وَصَحْبِهِ وسَلِّم تسليماً بقدرِ عظمةِ ذاَتِكَ في كـُلِّ وَقتٍ وَحيـنٍ
Penguraian Ilmu-Ilmu Keagamaan Dari Sepuluh Macam Substansi
Imam Al-GhazaliSAYA menduga, Anda pasti berhasrat untuk mengetahui penguraian ilmu-ilmu tersebut secara menyeluruh, yakni
sepuluh cabang ilmu sebagaimana telah disebutkan di atas, disamping
strata ilmu tersebut dalam konteks jauh-dekatnya dan dengan maksud
tujuannya.
Hal ini akan lebih sempurna manakala Anda mengenal pembagiannya dalam dua kategori:
Ilmu-ilmu Shadaf (Lapisan),Ilmu-ilmu Jauhar (Intisari Permata) dan Lubab (Intisari).
Kajian Pertama:Ilmu-ilmu ShadafPerlu
Anda ketahui, bahwa hakikat-hakikat yang kami isyaratkan mengandung
beberapa rahasia dan mutiara, yang sekaligus memiliki shadaf (lapisan),
sebagai awal yang tampak. Mereka yang terlibat dalam kaitan ini,
sebagian menyentuh lapisan yang ada di atas lapisan tertentu. Dan
sementara yang lain terpancang pada Iapisannya kemudian mendalami
mutiara-mutiaranya.
Begitu juga, lapisan “Jawahirul Qur’an” dan kiswah (lapisan kain
penutup)-nya, adalah bahasa Arab. Lapisan ini berkembang menjadi lima
disiplin ilmu, yang dikategorikan Ilmu Qusyri (ilmu kulit), Ilmu Shadaf
(lapisan) dan Ilmu Kiswah (baju ilmu).
Dan segi lafadz-lafadznya berkembang menjadi Ilmu Bahasa.
Dan segi I‘rab (gramatikal) lafadznya berkembang menjadi Ilmu Nahi.Dari segi arah I’rab sendiri menjadi Ilmu Qira’at.
Sedangkan dari segi metode vokal huruffiya, muncul Ilmu Makharijil
huruf Sebab bagian pertama dan unsur maknawi yang berpengaruh adalah
ucapan, yakni vokal. Suara yang muncul secara tersendiri menjadi huruf.
Huruf-huruf tersebut berkumpul menjadi kalimat. Kemudian huruf-huruf
yang termanifestasi dalam suatu kumpulan itu menjadi bahasa Arab. Maka,
apabila berkaitan dengan pembagian huruf-huruf tersebut, berarti menjadi
mu‘rab (terstruktur). Apabila
termanifestasi sebagian arah i’rab, jadilah qira’at (bacaan) yang berhubungan dengan qira’at sab‘ah (tujuh macam qira’at).
Apabila telah menjadi kalimat Arab yang benar secara gramatikal, akan
muncul petunjuk terhadap makna-makna, sehingga relevan dengan
interpretasi yang dimunculkan.
Ilmu lapisan dari kulit tersebut
tidak berdiri dalam satu strata. Bahkan bagi lapisan tertentu ada
orientasi terhadap batin di satu pihak yang bersentuhan dengan mutiara,
yang hampir serupa dengan mutiara itu, karena memang sangat berdekatan
dan bersinggungan secara terus menerus. Di lain pihak, orientasi pada
fenomena yang muncul hampir serupa dengan berbagai penghalang itu karena
berjauhan dan sama sekali tidak pernah bersinggungan.
Begitu juga lapisan Al-Qur’an, serta wajah yang keluar secara jelas
yang berupa suara. Orang yang berkompeten men-tashih makhraj (menyeleksi
kefasihan bacaan) huruf disebut sebagai pemilik ilmu huruf, yang juga
pemilik ilmu kulit yang jauh dan batin di balik lapisan, apalagi dari
mutiaranya sendiri.
Oleh sebab itu, sangatlah bodoh golongan yang mengira bahwa Al-Qur’an
itu adalah huruf dan suara, bahkan mereka menegaskan bahwa Al-Qur’an
itu makhluk. Dengan berargumen bahwa huruf dan suara itu makhluk.
Selayaknyalah mereka ini dilempari, atau dihantam pikirannya bahkan
dicincang. Mereka tidak layak lagi meneriakkan suaranya terhadap
Al-Qur’an, tidak pula menaiki derajat cakrawala nya, kecuali sekadar
merambahi kulit-kulit lapis yang jauh. Demikian itu, mengenalkan Anda
pada kedudukan ilmu pembaca Al-Qur’an yang tidak tahu kecuali dengan
keabsahan makhraj saja.
Setelah itu diiringi dengan ilmu bahasa Al-Qur’an. Termasuk di sini
misalnya, penerjemahan Al-Qur’an, atau yang sejenisnya berkaitan dengan
ilmu lafadz asing Al-Qur’an.
Strata berikutnya yang dekat dengan ilmu i’rab bahasa, yaitu ilmu
nahwu. Ilmu ini datang setelah ilmu bahasa, karena memang bersandar
terhadap disiplin bahasa itu sendiri.
Selanjutnya adalah ilmu qiraat, yang mengenalkan arab gramatikal dan
teknik vokal. Ilmu ini lebih terspesifikasi pada Al-Qur’an dibandingkan
bahasa dan nahwu. Tetapi ilmu ini tergolong tambahan di bawah bahasa dan
nahwu. Pemegang ilmu bahasa dan nahwu kadarnya lebih tinggi ketimbang
orang yang tidak mengetahui, kecuali sekadar ilmu qira’at.
Semuanya itu sebenamya masih berputar-putar pada lapisan dan kulitnya, walaupun berbeda-beda stratanya.
Strata terakhir dan ilmu lapisan yang bersentuhan dengan mutiara
Al-Qur’an adalah ilmu tafsir secara dzahiriyah. Ilmu tafsir ini nyaris
menyerupai mutiara tersebut, sehingga muncul dugaan kuat bahwa ilmu
tafsir ini merupakan mutiaranya. Tidak ada yang lebih berharga ketimbang
ilmu tafsir. Pandangan demikian bahkan diterima oleh banyak orang.
Betapa besar penghalang pemikiran mereka, karena menduga bahwa tidak ada
lagi ilmu di balik ilmu tafsir itu sendiri. Namun penegak disiplin ini
tergolong paling mulia di antara mereka yang mendalami ilmu-ilmu
Iapisan. Sebab ilmu tafsir tidak dimaksudkan untuk mencapai ilmu lapis
yang lain, justru sebaliknya ilmu-ilmu lapisan itu dimaksudkan sebagai
instrumen untuk penafsiran. Masing-masing strata tersebut, manakala
mampu menegakkannya dengan prasyarat disiplin ilmiahnya dan menyampaikan
secara benar, berarti kita harus menyukuni atas kemampuan dan orientasi
mereka.
Rasulullah Saw. bersabda, “Allah akan melihat kebaikan seseorang,
yang mendengarkan ucapanku, kemudian menjaga dan menyampaikannya seperti
Ia telah mendengarkannya. Banyak orang yang mengemban fiqih (agama)
kepada orang yang kurang mampu pemahaman agamanya. Dan banyak orang yang
paham agama menyampaikan kepada seseorang, dan lebih mampu menghayati
keagamaan itu.”
Mereka mendengarkan dan menyampaikan. Mereka mendapatkan pahala
memegang amanat agama dan menyampaikan. Disampaikan kepada orang yang
lebih faqih agamanya dibanding mereka, atau kepada orang yang tidak
memahaminya. Seorang ahli tafsir yang membatasi diri dalam ilmu tafsir,
menurut konteks tersebut, berarti statusnya sebagai pendengar dan
penyampai, seperti seorang hafidz Al-Qur’an atau hadis, adalah sebagai
pembawa dan penyampai belaka.
Disiplin ilmu hadis pun bercabang pada bagian-bagian tersebut.
kecuali bidang qira’at, tashih makhraj. Derajat seorang hafidz setaraf
dengan derajat pengajar Al-Qur’an yang menghafal Al-Qur’an. Dan derajat
orang yang mengetahui makna lahiriah hadis sejajar dengan derajat
Seorang ahli tafsir. Sedangkan derajat pakar yang paham ketokohan Rawi,
sederajat dengan ahli bahasa dan nahwu. Sebab sanad (kesinambungan
riwayat) dan riwayat merupakan alat transmisi. Perilaku mereka dalam
status sifat adilnya merupakan syarat bagi alat penukilan. Pengetahuan
dan perilaku mereka dikembalikan pada pengetahuan mengenai alat dan
syarat alat. Semua ini termasuk ilmu lapisan.
Kajian Kedua: Ilmu-ilmu Lubab, yang Terdiri Dua Tingkatan
Pertama, Tingkat Terbawah (At-Thabaqatus Sufla).
Kedua, Tingkat Teratas (At-Thabaqatul Ulya).Tingkat Terbawah, terdiri dari tiga bagian:
Pertama: Pengetahuan kisah-kisah Al-Qur’an dan hal-hal yang berkaitan
dengan para Nabi, hal-hal tentang para pembangkang dan musuh Allah.
Ilmu ini diemban oleh para sejarawan, penasehat dan sebagian ahli hadis.
Ilmu ini bukan tergolong kebutuhan umum.
Kedua: Tentang argumentasi terhadap orang-orang atheis. Dalam bidang
lni bercabangkan ilmu kalam, untuk meng-counter golongan sesat dan
bid’ah, disamping menghapus syubhat. Mereka yang terlibat di sini adalah
ahli kalam. Secara khusus bidang ini kami kaji dalam kitab Ar-Risalalul
Qudsiyah dan kitab Al-Iqtishadfil I‘tiqad.
Maksud ilmu ini untuk menjaga akidah orang-orang awam dan keraguan
bid’ah. Ilmu ini tidak cenderung membuka hakikat-hakikat terdalam.
Termasuk dalam kerangka ini, kami tulis sebuah kitab Tahafitul Falasfah.
Sementara kitab yang kami sajikan untuk menghantam orang-orang penganut
aliran kebatinan adalah Al-Mustadzhiri dan Hujjatul Haq wa Qawashimul
Bathiniyah, serta kitab Mufashalul Khilaf fi Ushuliddiin. Ilmu tersebut
merupakan alat untuk mengenal metode argumentasi melalui pembuktian yang
hakiki. Bahkan kami tulis dua kitab, Mahakkun Nadzri dan kitab Mi‘yarul
Ilmi, yang secara khusus tidak pernah diuraikan secara argumentatif
oleh pakar fiqih maupun ahli kalam.
Ketiga: Ilmu hukum berkaitan dengan masalah harta-benda dan Wanita,
sebagai upaya menjaga kelestarian jiwa dan keturunan. Ilmu ini ditekuni
oleh para fuqaha’. Ilmu mi termasuk seperempat dari muamalat dalam
fiqih. Ilmu hukum ini juga berkaitan dengan posisi dunia wanita, sebagai
bagian sudut dari munakahah. Disamping itu, juga hal-hal yang berkaitan
dengan masalah pidana, sebagai upaya menjaga dari kerusakan. IImu-ilmu
tersebut merupakan kebutuhan umum berkaitan dengan kemaslahatan duniawi,
yang diikuti kemudian dengan kemaslahatan ukhrawi.
Para pakar di bidang ilmu ini mempunyai keistimewaan popularitas dan
kharisma. Mereka lebih maju dibanding penasihat, sejarawan dan ahli
kalam. Karenanya, ilmu ini mempunyai kajian secara kontekstual, sehingga
muncul berbagai karya, apalagi yang menyangkut khilafiyah. Hanya saja
soal perbedaan pendapat yang terjadi di dalamnya, lebih banyak mendekati
kebenaran ketimbang kesalahan. Sebab, setiap mujtahid bisa dikatakan
mendekati kebenaran, dengan kata lain mendapat satu pahala, manakala
salah. Dan mendapatkan dua pahala manakala ijtihadnya benar.
Tetapi karena unsur popularitas dan status kepangkatan semakin
berkembang jauh, cabang-cabang ilmu ini pun akhimya ikut mengalami
penyimpangan. Karena itu, kami sodorkan beberapa karya mengenai mazhab
secara sistematik dalam Kitab: Al-Wasith; Al-Basith dan Al-Wajiz, dengan
menjauhkan penyimpangan dan disiplin tersebut. Secara ringkas kami
tulis sebuah kitab Khulashatul Mukhtashar, sebuah kitab keempat dari
disiplin yang sama, yang lebih kecil dan ringkas.
Ulama-ulama generasi awal memberikan fatwa-fatwa dalam berbagai
masalah, dan mereka berusaha untuk selalu menjaganya. Mereka pun lebih
relevan dengan kebenaran, atau jika tidak mampu, mereka maukuf’
(menghentikan pembahasannya) dan berkata, ‘Kami tidak tahu’. Mereka
tidak menghabiskan usianya kecuali sibuk dengan prioritas-prioritas
terpenting, dan mengupayakan agar dapat diserap oleh orang lain.
Demikianlah orientasi pengembangan fiqih dan Al-Qur’an. Dari
Al-Qur’an, hadis dan fiqih, mengembang jadi ushul fiqih, sebagai metode
rujukan kaidah-kaidah penyimpulan dalil terhadap ayat dan hadis atas
hukum-hukum Al-Qur’an.
Tingkat para sejarawan dan ahli nasihat berada di bawah para fuqaha
dan mutakalimin (ahli kalam) sepanjang mereka hanya berkutat pada
disiplin sejarah belaka. Sementara tingkatan seorang ahli fiqih hampir
Se- banding dengan ahli kalam. Hanya saja kebutuhan umum terhadap fiqih
lebih merata. Sementara terhadap ahli kalam lebih penting. Kedua-duanya
dibutuhkan demi kebaikan dunia. Ahli fiqih berfungsi menjaga hukum-hukum
khusus berkaitan harta dan pernikahan. Sementara para pakar kalam
berkompeten menjaga agama dan tindakan dari ucapan orang-orang bid’ah
melalui argumentasi dan diskusi, agar keburukan dan kejahatan mereka
tidak sampai pada taraf membahayakan ummat (Islam).
Apabila dikaitkan dengan metode dan tujuan, maka peranan para fuqaha
adalah seperti tugas para penjaga jalan menuju Mekkah, untuk aktivitas
haji. Sementara ahli kalam, seperti layaknya pembersih jalan dan penjaga
bagi orang-orang yang berhaji.
Mereka itu semua apabila disandarkan pada pekerjaannya, merupakan
pekerjaan menuju jalan Allah Swt. dengan menjaga jiwa, berangkat
meninggalkan dunia, untuk menghadap kepada Allah Swt. Keutamaan mereka
pada yang lainnya, seperti keutamaan matahari atas rembuIan. Apabila
mereka menyimpang, maka derajat mereka akan turun drastis.
Tingkat Teratas:Tingkat
teratas dari Al-Libab, adalah intisari dan dasar ilmu-ilmu utama. Yang
termulia di antara ilmu-ilmu ini adalah ilmu tentang Allah Swt. dan Hari
Akhir. Karena memang itulah tujuan ilmu tersebut. Baru kemudian ilmu
tentang shirathal mustaqim dan metode ibadat, yakni mengenal pembersihan
jiwa, mencegah munculnya dampak sifat-sifat yang merusak (al-muhlikat),
kemudian dihiasi dengan sifat-sifat yang membawa keselamatan
(al-munjiyat). Kami telah memberikan uraian secara khusus perihal ilmu
ini dalam kitab Ihya’ Ulumuddin.
Sementara dari sudut al-muhlikat, berisi uraian tentang pembersihan
jiwa dan sifat-sifat buruk yang muncul dari nafsu seperti kejahatan dan
amarah, takabur dan riya’, ujub, dengki, cinta pangkat dan harta, serta
yang lainnya. Sedangkan dan sudut al-munjiyat (yang menyelamatkan)
berkaitan dengan hal-hal yang tampak dari perhiasan jiwa, antara lain
sifat-sifat yang terpuji, seperti zuhud, tawakal, ridha, mahabbah,
shidiq, ikhlas dan sebagainya.
Secara global kitab Ihya mengandung empat puluh bab. Setiap bab
memberikan petunjuk kepada Anda mengenai dampak-dampak dari nafsu;
termasuk kandungannya mengenai solusi memotong keinginan nafsu;
bagaimana menyingkap tabir yang ditutupi nafsu dan bagaimana menghapus
tabir tersebut. Ilmu ini posisinya di atas ilmu fiqih dan kalam. Sebab
ilmu ini merupakan metode ibadat, sebagai instrumen agar amalan ibadat
menjadi saleh, sekaligus upaya preventif atas kerusakan-kerusakan yang
timbul.
Ilmu yang paling luhur adalah ilmu ma’rifat kepada Allah Swt. Seluruh
ilmu pengetahuan pada akhirnya bermuara pada ma’rifatullah, namun tidak
sebaliknya. Metode pencapaiannya. melalui upaya secara sungguh-sungguh
menghayati Af’al Allah menuju pada sifat-sifat Allah. Dan dan
sifat-sifat tersebut menuju Dzat Allah. Kandungannya terdiri dan tiga
derajat:
Kedudukan tertinggi adalah ilmu Dzat. Ilmu ini tidak banyak dipahami.
Karena itu ada hadis yang berbunyi: “Berpikirlah kalian dalam
penciptaan Allah, dan jangan berpikir kalian dalam Dzat Allah.“
Struktur berpikir demikian mengisyaratkan sistematika Rasulullah Saw.
dalam menganalisa dan memandangnya, sebagaimana dalam sabdanya: “Aku
berlindung dengan ampunan-Mu dari siksaan-Mu.” Sistem ini termasuk
kategori analisa terhadap sistem kerja Allah. Kemudian disusul dengan
sabdanya: “Aku berlindung dengan ridha-Mu dari dendam-Mu.” Ucapan ini
tergolong analisa dan sifat-sifat-Nya. Dan sabdanya pula: “Aku
berlindung dengan-Mu dari (siksa)-Mu.” Inilah termasuk dalam bagian
analisa dzat. Dan secara sistematik senantiasa beranjak dari satu
derajat menuju derajat yang lebih tinggi, sampai akhimya menuju suatu
pengakuan atas ketakberdayaan: “Aku tidak mampu menghilung pujian atas
Engkau, sebagaimana Engkau memuji atas diri-Mu.”
Pernyataan ini tergolong ilmu paling mulia.
Dua ilmu tersebut diikuti dengan ilmu akhirat, yang kami sebut dengan
ilmu mi‘ad yang sangat erat kaitannya dengan ilmu ma’rifat, dimana
proyeksinya justru tertutupi oleh ketakberdayaan atas ilmu itu sendiri.
Ilmu-ilmu yang terdiri dari: ilmu Dzat, ilmu Sifat, ilmu Af’ai, dan
ilmu Al-Mi’ad, dari awal hingga akhir yang kami kumpulkan, dengan
berbagai jerih payah yang menguras usia yang pendek ini — sementara
kesibukan dan bahaya begitu banyak, apalagi dalam pengkajian ini kami
dijauhi banyak teman — maka sebagian tulisan mengenai hal itu tidak kami
publikasikan. Sebab, akan menyulitkan pemahaman dan melemahkan bagi
yang berpikiran lemah, apalagi bagi mereka yang hanya mencatat ilmu-ilmu
sekadarnya. Bahkan tidak layak untuk dijelaskan kecuali kepada mereka
yang mencapai keyakinan ilmu dzahir, yang telah menempuh ikhtiar dalam
memberangus sifat-sifat yang tercela dalam nafsunya, serta mereka yang
melakukan mujahadah, hingga hatinya mencapai titik ridha serta istiqamah
di jalan yang lurus.
Mereka inilah orang-orang yang tidak lagi memberi bagian dunia dalam
dirinya, bahkan tidak ada lagi satu bagian pun kecuali al-haq. Mereka
ini telah dikaruniai kecerdasan dan kepemimpinan, kecemerlangan yang
menyelamatkan, kecerdasan yang jenius, pemahaman yang jernih. Ilmu ini
haram bagi mereka yang memegang kitab tersebut, kecuali mereka yang
telah menguasai predikat di atas. Ilmu-ilmu tersebut merupakan
kodifikasi ilmu yang terurai dan tersistematisir dari Al-Quran.
sufinews.com
Silahkan Bagikan Artikel ini
Mohon Maaf, Atas Ketidak Nyamanannya, Dengan adanya Shortener Di Link Download. Mohon Keridhoannya. Terima Kasih. Apabila kesulitan Download Silahkan buka/klik gambar (Cara Download) dibawah postingan. apabila masih kesulitan, silahkan copy paste link download yang ada kebrowser anda.*** Apabila ada link Download yg rusak/mati, mohon beritahu kami lewat komentar dibawah ini.
Related Posts :