بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
اللهُم َّصلِّ علٰى سَيِّدنا مُحَمّدٍ عبدِكَ وَنبيِّكَ ورسولِكَ النَّبيِّ الاُمِيّ وَعلٰى اٰلهِ وَصَحْبِهِ وسَلِّم تسليماً بقدرِ عظمةِ ذاَتِكَ في كـُلِّ وَقتٍ وَحيـنٍ
SULUK LINGLUNG
SUNAN KALIJAGA (SYEH MELAYA)
PUPUH III
DURMA
1. Sigra mara
Kanjeng Sunan anerajang, ing wana langkung sungil, nyata wus kapanggya, kang
lagi laku ngidang, lumayu binalang aglis, sega kepelan, tiba ing gigir neki.
2. Syeh Melaya pan
aririh pelayunya, anulya piningkalih, kena lambungira, deperok Syeh Malaya,
anulya binalang malih, sega kepelan,
emut nulya ngabekti.
3. Pan anderu
sumungkem angras pada, ngandika sang ayogi, "jebeng wruhanira, yen sira
nyuwun wikan, kang sifat hidayatullah, mungga
kajiya, mring Mekah
marga suci.
4. Anbambila toya
zam-zam mring Mekah, iya banyu kang suci, sarta ngalap barkah, Kanjeng Nabi
panutan, Syeh Malaya angabekti, angaras
pada, pamit sigra
lumaris.
5. Sang Pandita wus
lajeng hing lampahira, mring Benang dhepok sepi, nyata kawuwusa, lampahe Syeh
Malaya, kang arsa amunggah kaji,
dhateng hing Mekah,
lampahnya murang margi.
6. Nrajang wana
munggah gunung mudhun jurang, iring-iring pan mlipir, jurang sengkan nrajang,
wauta lampahira, prapteng pinggir pasisir, puter driya, pakewuh marga neki.
7. Ning pangkalan
samodra langkung adohnya, angelangut kaeksi, dyan
jetung kewala, aneng
pinggir samodra, wonten ingkang winarni, sang Pajuningrat, praptane sang
Kaswasih.
8. Apan tuhu uninga
ing lampahira, Syeh Malaya prihatin, arsa wruh hidayat, apan terah tinerah,
sukma sinukma piningit, tangeh manggiya
yen tan nugraha
yekti.
9. Nyata majeng
nggebyur malebeng samodra, tan toleh jiwa diri, wau Syeh Malaya, manengah
lampahira, anut parmaning Hyang Widhi, ing
sanalika, prapteng
teleng jaladri.
10. Ya ta malih Jeng
Sunan ing Kalijaga, neng telenging jeladri, sampun pinggihan, pan kadya wong
leledhang, peparabe Nabi Khidir, pan tanpa
sangkan, ngandika
tetanyaris.
11. Syeh Malaya apa
ta sedyanira, prapteng enggone iki, apa sedya nira dene sepi kewala, tan ana
kang sarwo bukti, myang sarwo boga, miwah
busana sepi.
12. Amung godhong
aking yen ana kaleyang, tiba ingarsa mami, iku kang sun pangan, yen ora-ora
nana, garjita tyas sira myarsi, Kanjeng Susunan, ngungun duk amiyarsi.
13. nabi ningrat ngandika
mring kang prapta, putu ing kene iki, akeh panca baya, yen nora etoh jiwa,
mangsa tumekaha ugi, ing kene mapan,
sekalir padha merih.
14. Ngegungaken
ciptanira maksih kurang, nora ageman pati, sabda kaluhuran, dene mangsa anaha,
keweran tyas Sang Kaswasih, ing sahurira dene tan wruh ing gati.
15. dadya alon atur
ira Syeh Melaya, mangsa borong Sang Yogi, Sang Wiku lingira, apan ta sira uga,
kasmaran hidayat ullih, wekasan ningrat,
m el oke i ng s a i
ki .
16. Anglakoni
pituduhe guru nira, Sunan Benang Sang Yogi, tuduh marang sira, kinen ning negri
Mekah, pan arsa myang munggah kaji,
mulane nyawa, angel
pratingkah urip.
17. Aja lunga yen
tan wruh kang pinaranan, lan aja mangan ugi, yen tan wruh rasanya, rasane kang
pinangan, aja nganggo-anggo ugi, yen
durung wruha arane
busana di.
18. Witing weruh
atakono pada jalma, lawan tetiron nenggih, dadi lan tumandhang, mengkono ing
agesang, ana jugul nganggo-anggo ugi, yen
durung wruha arane
busana di.
19. Lamun kuning den
anggep kencana mulya, mangkono ing ngabekti, pernahe kang sinembah, Syek Melaya
duk miyarsi, ndeku norraga, dene
Sang Wiku sidik.
20. Sarwi sandika
ing atur ira, Syeh Melaya minta sih, anuwun jinatenan, sinten ta aran tuan,
dene mriki peribadi, Sang Pujuningrat, Hya ingsun
Nabi Kihidzir.
21. Atur sembah
pukulun nuwun jinatenan,pun patik nuwun asih, ulun inggih datan, wruh
puruhiteng badan, sasat satoning wanadri, tan mantra- mantra, waspadeng badan
suci.
22. Lang lung mudha
punggung cinacad ing jagad, keksi-keksi ning bumi, engganing curiga, ulun tanpa
warangka, wecana kang tanpa siring,
nyata ngandika,
manis sang Nabi Khidir.
Terjemahan kedalam
bahasa Indonesia :
PUPUH DURMA
(22 bait)
Episode III : Sunan Kalijaga diperintahkan ibadah
haji ke Mekah dan bertemu dengan Nabi Khidir di tengah samudera.
1. Sunan Bonang
segera menerobos, ke dalam hutan yang lebih lebat dan sulit dilewati, setelah
benar-benar menemukan, yang sedang laku kijang,
yang tengah berlari
segera dilempar, dengan nasi satu kepal, tepat
mengenai
punggungnya.
2. Syeh Melaya agak
lambat larinya, lalu lemparan yang kedua, mengenai lambungnya, jatuh terduduk
Syeh Melaya, kemudian dilempar lagi, nasi
satu kepal, ingat
dan sadar kemudian berbakti pada Sunan Bonang.
3. Dia berlutut
mencium kaki Sunan Bonang, berkata sang guru Sunan Bonang, "Anakku
ketahuilah olehmu, bila kau ingin mendapatkan kepandaian, yang bersifat
hidayatullah, naiklah haji, menuju Mekah
dengan hati tulus
suci / ikhlas.
4. Ambilah air
zam-zam ke Mekah, itu adalah air yang suci, serta sekaligus mengharap berkah
syafaat, Kanjeng Nabi Muhammad yang
menjadi suri
tauladan manusia; Syeh Melaya berbakti, mencium kaki,
mohon diri dan
segera menuju tujuan.
5. Sunan Bonang
sudah lebih dulu melangkah kaki, menuju desa Benang yang sepi, dan selanjutnya
kita ikuti, perjalanan Syeh Melaya, yang
berkehendak naik
haji, menuju Mekah, dia menempuh jalan pintas.
6. Menerobos hutan,
naik gunung turun jurang, tetebingan didakinya, sampai tepi pantai, hatinya
bingung, kesulitan menempuh jalan
selanjutnya.
7. Terhalang oleh
samudera yang luas, sejauh mata memandang tampak air semata. Dia diam tercenung
lama sekali memutar otak mencari jalan yang sebaiknya ditempuh, di tepi
samudera. Syahban tersebutlah
seorang manusia,
yang bernama Sang Pajuningrat, mengetahui
kedatangan seorang
yang tengah bingung (Syeh Melaya).
8. Sang Pajuningrat
tahu segala perjalanan yang dialami, oleh Syeh Melaya dengan sejuta
keprihatinan, karena ingin meraih hidayat; berbagai cara telah ditempuh, juga
melalui penghayatan kejiwaan dan
berusaha mengungkap
berbagai rahasia yang tersembunyi, namun
mustahil dapat
menemukan hidayat, kecuali kalau mendapatkan kanugrahan Allah yang Haq.
9. Syeh Melaya sudah
terjun, merenangi lautan luas, tidak mempedulikan nasib jiwanya sendiri, semakin
lama Suek Melaya, sudah hampir di
tengah samudera,
mengikuti jalan untu mencapai hakikat yang tertinggi dari Allah, tidak sampai
lama, sampailah di tengah samudera.
10. Ternyata setelah
Sunan Kalijaga, ada di tengah samudera, penghatannya melihat seseorang, yang
sedang berjalan tenang diatas
air, yang berjuluk
Nabi Khidir, yang tidak diketahui dari mana datangnya, bertanya dengan lemah
lembut.
11. "Syeh
Melaya apa tujuanmu? Mendatangi tempat ini? Apakah yang kau harapkan? Padahal
disini tidak ada apa-apa?! Tidak ada yang dapat
dibuktikan, apalagi
untuk dimakan, juga untuk berpakaian pun tak ada".
12. Yang ada
hanyalah daun kering yang tertiup angin, jatuh di depanku, itu yang saya makan,
kalau tidak ada tentu tidak makan, senangkah kamu
dengan melihat ini
semua? Kanjeng Sunan Kalijaga, heran mengetahui
penjelasan itu.
13. Nabi Khidir
berkata lagi kepada Sunan Kalijaga, "Cucuku di sini ini, banyak bahayanya,
kalau tidak mati-matian berani bertaruh nyawa, tentu tidak mungkin sampai di
sini, di tempat ini, segalanya tidak ada yang
dapat diharapkan
hasilnya".
14.
"Mengandalkan pikiranmu saja masih belum apa-apa, padahal kamu tidak takut
mati, kutegaskan sekali lagi, disini tidak mungkin kau dapatkan yang kau
maksudkan!". Syeh Melaya bingung hatinya tidak
tahu apa yang harus
diperbuat, dia menjawab, bahwa dia tidak
mengetahui akan
langkah yang sebaiknya perlu ditempuh selanjutnya.
15. Semakin pelan
ucapan Syeh Melaya, Terserah bagaimana baiknya sang guru Nabi Khidir menebak,
"Apakah kamu juga, sangat
mengharapkan
hidayatullah (petunjuk Allah?" Akhirnya nabi Khidir
menjelaskan,
"Ikutilah petunjukku sekarang ini!".
16.
"Menjalankan petunjuk gurumu, Sunan Bonang sang guru, memberi petunjuk
padamu, menyuruh menuju kota Mekah, dengan keperluan naik
haji, maka
ketahuilah olehmu, sungguh sulit menjalankan lika-liku
kehidupan itu".
17. "Jangan
pergi kalau belum tahu yang kutuju, dan jangan makan juga, kalau belum tahu
rasanya, rasanya yang dimakan, jangan berpakaian juga, kalau belum tahu juga
kegunaan berpakaian".
18. "Lebih
jelasnya tanyalah sesama manusia, sekaligus dengan persamaannya, kalau sudah
jelas amalkanlah! Demikianlah seharusnya
hidup itu, ibarat
ada orang bodoh dari gunung, akan membeli emas, oleh
tukang emas
diberi".
19. "Biarpun
kuningan tetap dianggap emas mulia, demikianlah pula dengan orang berbakti,
bila belum yakin benar, pada siapakah yang
harus
disembah?"
Syeh Melaya ketika
mendengar itu, spontan tertunduk berlutut mohon
belas kasihan,
stelah mendapati kenyataan bahwa Nabi Khidir betul-betul
serba tahu yang
terkandung di hatinya.
20. Dengan duduk
bersila dia berkata, "Yang kami dengar akan kami laksanakan". Syeh
Melaya meminta kasih sayang, memohon keterangan
yang jelas,
"Sidpakah nama tuan? Mengapa di sini sendirian?". Sang
Pajuningrat
menjawab, "Sesungguhnya saya ini Nabi Khidir".
21. Syeh Melaya
berkata, "Saya menghaturkan hormat sedlam-dalamnya kepada tuan junjunganku
mohon petunjuk, adapun saya perlu dikasihani;
Saya juga tidak tahu
benar tidaknya pengabdianku ini. Tidak lebih
bedanya dengan hewan
di hutan, itupun masih tidak seberapa, bila mau menyelidiki kesucian diriku
ini.
22. Dapat dikatakan
lebih bodoh dungu serta tercela di jagad, menjadi bahan tertawaan di muka bumi;
Saya ibarat keris, tanpa kerangka keris,
ibarat bacaan yang
tanpa isi yang tersirat. Maka berkata dengan
manisnya Sang Nabi
Khidir kepada Sunan Kalijaga.
Silahkan Bagikan Artikel ini
Mohon Maaf, Atas Ketidak Nyamanannya, Dengan adanya Shortener Di Link Download. Mohon Keridhoannya. Terima Kasih. Apabila kesulitan Download Silahkan buka/klik gambar (Cara Download) dibawah postingan. apabila masih kesulitan, silahkan copy paste link download yang ada kebrowser anda.*** Apabila ada link Download yg rusak/mati, mohon beritahu kami lewat komentar dibawah ini.
Related Posts :