بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
اللهُم َّصلِّ علٰى سَيِّدنا مُحَمّدٍ عبدِكَ وَنبيِّكَ ورسولِكَ النَّبيِّ الاُمِيّ وَعلٰى اٰلهِ وَصَحْبِهِ وسَلِّم تسليماً بقدرِ عظمةِ ذاَتِكَ في كـُلِّ وَقتٍ وَحيـنٍ
BAB 4 : Pengetahuan Tentang Akhirat
Berkenaan dengan
nikmat surgawi dan siksaan-siksaan neraka yang akan mengikuti kehidupan ini,
semua orang yang percaya pada al-Qur'an dan Sunnah sudah cukup mengetahuinya.
Tapi ada suatu hal yang sering terlewatkan oleh mereka, yaitu bahwa ada juga
suatu surga ruhaniah dan neraka ruhaniah.
Mengenai surga ruhaniah, Allah berfirman kepada NabiNya,"Mata tidak
melihat, tidak pula telinga mendengarnya, tak pernah pula terlintas dalam hati
manusia apa-apa yang disiapkan bagi orang-orang yang takwa."
Di dalam hati
manusia yang tercerahkan ada sebuah jendela yang membuka ke arah
hakikat-hakikat dunia ruhaniah, sehingga ia mengetahui - bukan dari kabar angin
atau kepercayaan tradisional, melainkan dengan pengalaman nyata - segala
sesuatu yang menyebabkan kerusakan ataupun kebahagiaan di dalam jiwa, persis
sama jelas dan tegasnya sebagaimana seorang dokter mengetahui apa yang
menyebabkan penyakit ataupun menyehatkan tubuh. Ia tahu bahwa pengetahuan
tentang Allah dan ibadah bersifat mengobati, dan bahwa kejahilan dan dosa
adalah racun-racun maut bagi jiwa.
Banyak orang, bahkan juga yang disebut
sebagai ulama, karena mengikuti secara membuta pendapat orang lain, tidak
mempunyai keyakinan yang sesungguhnya dalam iman mereka berkenaan dengan
kebahagiaan atau penderitaan jiwa di akhirat. Tetapi orang yang mau mempelajari
masalah ini dengan pikiran yang tak terkotori oleh prasangka akan sampai pada keyakinan yang jelas
tentang masalah ini. Akibat kematian atas sifat gabungan (komposit) manusia
adalah sebagai berikut.
Manusia punya dua jiwa, jiwa hewani dan jiwa ruhani.
Jiwa ruhani ini bersifat malaikat.
Tempat jiwa hewaniah adalah dalam hati,
tempat dari mana jiwa ini menyebar seperti uap halus dan menyelusupi semua
anggota tubuh, memberikan tenaga atau kemampuan melihat pada mata, mendengar
pada telinga, serta kepada semua anggota tubuh memberikan kemampuan untuk
menyelenggarakan fungsi fungsinya.
Hal ini bisa dibandingkan dengan sebuah lampu yang
ditempatkan di dalam suatu pondok yang cahayanya jatuh pada dinding-dinding ke
mana pun ia pergi.
Hati adalah sumbu lampu ini, dan jika penyaluran minyaknya
diputus karena suatu alasan, maka matilah lampu itu. Seperti itulah kematian
jiwa hewani.
Tidak demikian halnya dengan jiwa ruhani atau jiwa manusiawi. Ia
tak terpilahkan dan dengannya manusia mengenali Allah.
Boleh dikatakan dialah
pengendara jwa hewani. Dan ketika jiwa hewani musnah, ia tetap tinggal, tetapi
laksana seorang penunggang kuda yang telah turun atau seperti seorang pemburu
yang telah kehilangan senjatanya.
Kuda dan senjata-senjata itu dianugerahkan
pada jiwa manusia agar dengan itu semua ia bisa mengejar dan menangkap
keabadian cinta dan pengetahuan tantang Allah.
Jika ia telah berhasil melakukan
penangkapan itu, maka bukannya berkeluh kesah, ia pun merasa lega ketika bisa
menyingkirkan senjata-senjata itu.
Oleh karena itu Rasulullah saw.
bersabda,"Kematian adalah
suatu hadiah Tuhan yang diharap-harapkan oleh para mukminin."
Tapi celakalah kalau
jiwa itu kehilangan kuda dan senjata-senjata pemburuannya sebelum berhasil
memperoleh hadiah tersebut.
Kesedihan dan penyesalannya akan tak terperikan.
Pembahasan yang agak lebih jauh akan menunjukkan betapa bedanya jiwa manusia
dari jasad dan anggota-anggotanya. Setiap anggota tubuh bisa rusak dan berhenti
bekerja, tapi individualitas jiwa tak terganggu. Lebih jauh lagi, jasad yang
anda miliki sekarang tidak lagi berupa jasad sebagaimana
yang anda miliki pada
waktu kecil, melainkan sudah berbeda sama sekali. Meskipun demikian,
kepribadian anda sekarang ini sama dengan pada waktu itu. Karena itu, sangat
mudahlah untuk membayangkannya sebagai terus ada bersama-sama sifat-sifat
esensialnya yang tak tergantung pada tubuh, seperti pengetahuan dan cinta akan
Tuhan. Inilah arti ayat al-Qur'an, "hal-hal yang baik itu abadi."
Tetapi, jika sebaliknya daripada membawa pengetahuan bersama anda, anda malah
menyeleweng dalam kejahilan tentang Allah.
Kejahilan ini juga merupakan suatu
sifat esensial dan
akan tinggal abadi
bagai kegelapan jiwa dan benih kesedihan. Oleh karena itu, al-Qur'an
berkata, "Orang
yang buta di dalam hidup ini akan buta di akhirat dan tersesat dari jalan yang
lurus."
Alasan bagi
kembalinya ruh manusia yang sedang kita bicarakan ini merujuk ke dunia yang
lebih tinggi adalah bahwa ia berasal dari sana dan bahwa ia bersifat malaikat.
Ia dikirim ke ruang yang lebih rendah ini berlawanan dengan kehendaknya demi
memperoleh pengetahuan dan pengalaman, sebagaimana Allah berfirman di dalam
al-Qur'an, "Turunlah dari sini kamu semuanya, akan datang padamu
perintah-perintah dari-Ku dan siapa yang menaatinya tidak perlu takut dan tak
perlu pula mereka gelisah." Ayat: "Aku tiupkan ke dalam
diri manusia ruh-Ku" juga menunjukkan asal samawi jiwa manusia.
Sebagaimana kesehatan
jiwa hewani adalah berupa kesimbangan dari bagian-bagian penyusunannya, dan
keseimbangan ini bisa dipulihkan jika mengalami gangguan, oleh obat-obat yang
sehat, demikian pulalah kesehatan jiwa manusia berbentuk suatu keseimbangan
moral yang dipelihara dan
diperbaiki, jika dibutuhkan, oleh perintah-perintah etis dan ajaran-ajaran
moral.
Berkenaan dengan
kemaujudan dunia di masa yang akan datang, telah kita lihat bahwa jiwa manusia
secara esensial tak tergantung pada tubuh. Semua keberatan terhadap
kemaujudannya setelah kematian, didasarkan pada dugaan adanya keperluan akan
pemulihan jasad terdahulunya yang telah jatuh ke tanah.
Beberapa ahli kalam
menduga bahwa jiwa manusia tak
termusnahkan setelah
mati, malah terpulihkan. Tetapi hal ini sesungguhnya bertentangan baik dengan
nalar maupun al-Qur'an. Yang disebut terdahulu menunjukkan pada kita bahwa
kematian tidak menghancurkan individualitas esensial seorang manusia dan
al-Qur'an berkata, "Jangan kamu pikir orang-orang yang terbunuh du
jalan Allah itu telah mati. Tidak! Mereka masih hidup, bergembira dengan
kehadiran Tuhan mereka dan di dalam limpahan karunia atas mereka."
Tidak satukata pun disebutkan di dalam syariah tentang orang-orang mati, yang
baik maupun jahat, sebagai termusnahkan. Malah, Nabi saw. diriwayatkan
telah bertanya kepada arwah orang-orang kafir yang terbunuh tentang apakah
mereka mendapati hukuman-hukuman yang diancamkan kepada
mereka sesuatu yang benar atau tidak. Ketika para pengikutnya bertanya
kepadanya apa gunanya bertanya kepada mereka, beliau menjawab: "Mereka
bisa mendengar kata-kataku lebih baik daripada engkau."
Beberapa orang sufi
telah dapat menampak dunia dan neraka yang tak kasat mata, diungkapkan kepada
mereka pada saat-saat mereka berada dalam keadan kerasukan (trance) seperti
mati. Pada saat pulihnya kesadaran, muka-muka mereka
menggambarkan sifat ungkapan-ungkapan yang telah mereka terima dengan
tanda-tanda kegembiraan yang luar biasa ataupun kepanikan. Tapi tidak perlu
lagi visi untuk membuktikan kepada manusia-manusia yang berpikir apa-apa yang
akan terjadi. Yaitu ketika kematian telah mencabut indera-inderanya dan
meninggalkannya tanpa sesuatu apa pun kecuali kepribadian
telanjangnya, jika ketika di atas bumi ia terlalu asyik menyibukkan dirinya
dengan benda-benda cerapan indera - seperti isteri, anak, kekayaan, tanah,
budak laki-laki dan perempuan dan sebagainya - ia akan menderita ketika
kehilangan benda-benda ini. Sebaliknya, jika ia telah membalikkan punggung
sejauh-jauhnya dari semua benda-benda duniawi
dan meneguhkan kasih
sayangnya yang amat besar terhadap Allah, ia akan menyambut kematian sebagai
suatu sarana untuk melarikan diri dari kerepotan-kerepotan duniawi dan
bergabung dengan Ia yang dicintainya.
Dalam kasus ini,
sabda Rasul akan akan terbukti: "Kematian adalah jembatan yang
menyatukan sahabat dengan sahabat"; "dunia ini surga bagi orang
kafir, dan penjara bagi orang-orang mukmin."
Di pihak lain, semua
derita yang ditanggung oleh jiwa setelah mati bersumber pada cinta yang
berlebih-lebihan terhadap dunia. Rasulullah bersabda bahwa semua oran gkafir
setelah mati akan disiksa oleh 99 ular, masing-masing memiliki 9 kepala.
Beberapa orang yang berpikiran sederhana telah memeriksa kuburan orang-orang
kafir ini dan bertanya-tanya mengapa mereka tak bisa melihat ular-ular ini.
Mereka tidak paham bahwa ular-ular ini bersemayam di dalam ruh orang-orang
kafir itu dan bahwa kesemuanya itu sudah ada di dlam diri orang-orang kafir
tersebut, bahkan sebelum ia mati. Karena semuanya itu sesungguhnya adalah
simbol-simbol sifat jahatnya,seperti cemburu,
kebencian, kemunafikan, kesombongan, kelicikan dan lain sebagainya.
Sifat-sifat
itu semuanya bersumber, secara langsung maupun tidak, pada kecintaan terhadap
dunia ini. Itulah neraka yang disediakan bagi orang-orang yang di dlam
al-Qur'an dikatakan "meneguhkan hati mereka pada dunia ini lebih
daripada akhirat". Jika ular-ular itu sekadar bersifat eksternal
belaka, mereka akan bisa berharap untuk melarikan diri dari siksanya, meskipun
hanya untuk sesaat saja. Tetapi jika semuanya itu sudah menjadi sifat-sifat
bawaan mereka, bagaimana mereka bisa melarikan diri?. Ambillah contoh kasus
seseorang yang menjual seorang budak perempuan tanpa tahu seberapa jauh ia
telah terikat dengannya sampai ketika perempuan itu telah sama sekali berada di
luar jangkauannya. Kemudian kecintaan pada budak itu, yang selama ini tertidur,
bangun di dalam dirinya dengan suatu intensitas yang menyiksanya, menyengatnya
seperti ular.
Ia bisa gila karenanya,
mencampakkan dirinya kedalam api atau air untuk melarikan diri darinya. Inilah
akibat cinta terhadap dunia, yang tidak pernah terbayang dalam diri orang-orang
yang memilikinya sampai ketika dunia direnggut dari mereka dan kemudian siksaan
kesia-siaan membuat mereka mau dengan senang hati menukarnya dengan sekadar
ular-ular dan kepiting-kepiting eksternal
belaka, berapa pun jumlahnya.
Karenanya, setiap orang yang berbuat dosa membawa
perkakas-perkakas hukumannya sendiri ke dunia di balik kematian.
Benar kata
al Qur'an: "Sesungguhnya kalian akan melihat neraka. Kalian akan
melihatnya dengan mata keyakinan (ainul-yaqin)", dan "neraka
mengitari orang-orang kafir." Ia tidak berkata akan mengitari mereka,
karena neraka sudah mengitari mereka sekarang juga. Mungkin ada orang yang
berkeberatan. Jika demikian halnya, kemudian siapakah yang bisa menghindar dari
neraka, karena siapakah orang yang sedikit banyak tidak terikat pada dunia
dengan berbagai ikatan kesenangan dan kepentingan.
Atas
pertanyaan ini kita menjawab bahwa ada orang-orang, terutama para faqir, yang
telah sama sekali melepaskan diri mereka dari cinta terhadap dunia. Tetapi
bahkan di antara orang-orang yang memiliki kekayaan-kekayaan duniawi - seperti
isteri, anak, rumah dan lain sebagainya - masih ada juga orang-orang yang,
meskipun mereka memiliki kecintaan terhadap benda-benda ini, mencintai Allah
lebih dari segalanya. Kasus mereka adalah seperti seseorang yang, meskipun
mempunyai sebuah tempat tinggal yan gia cintai di suatu kota, ketika diminta
oleh sang raja untuk mengisi suatu pos kekuasaan di kota lain, ia melakukannya
dengan senang hati, karena pos kekuasaan itu lebih berharga baginya daripada
tempat tinggalnya terdahulu. Para nabi dan banyak di antara para wali adalah
orang-orang seperti itu.
Dalam jumlah besar, ada pula orang-orang lain yang
memiliki kecintaan pada Allah, tetapi kecintaannya terhadap dunia ini demikian
berlebihan dalam diri mereka sehingga mereka
akan harus menderita siksaan yang cukup besar
setelah kematian
sebelum mereka sama sekali terbebaskan daripadanya.
Banyak yang memiliki
kecintaan kepada Allah, tapi seseorang bisa dengan mudah menguji dirinya dengan
melihat ke mana cenderungnya lengan timbangan cintanya ketika perintah-perintah
Allah datang berbenturan dengan beberapa keinginannya. Pemilikan akan cinta
kepada Allah yang tidak cukup menahan seseorang dari pembangkangan kepada Allah
adalah suatu kebohongan.
Telah kita lihat di
atas bahwa salah satu jenis neraka ruhani itu berbentuk pemisahan secara paksa
dari benda-benda duniawi yang kepadanya hati terikat terlalu erat. Banyak orang
yang tanpa sadar
membawa dalam dirinya kuman-kuman neraka
seperti itu. Mereka akan merasa seperti seorang raja yang setelah menjalani
hidup mewah, dicampakkan dari singgasananya dan menjadi bahan tertawaan. Jenis
kedua neraka ruhani adalah malu, yaitu ketika seseorang dibangunkan
untuk melihat sifat
tindakan-tindakan yang dulu dilakukannya dalam hakikat telanjangnya. Orang yang
mengumpat akan melihat dirinya dalam bentuk seorang kanibal yang makan daging
saudaranya yang telah mati. Orang yang mempunyai sifat iri hati akan tampak
sebagai seseorang yang melemparkan batu-batu ke dinding, kemudian batu-batu itu
memantul kembali dan
mengenai mata anaknya
sendiri.
Neraka jenis ini,
yaitu malu, bisa disimpulkan dengan perumpamaan ringkas berikut ini. Misalkan
seorang raja baru selesai merayakan perkawinan anak laki-lakinya. Pada malam
harinya, laki-laki muda itu pergi keluar dengan beberapa orang sahabat dan
kemudian kembali ke istana dalam keadaan mabuk. Ia memasuki sebuah kamar yang
terang dan kemudian berbaring di samping tubuh yang diduganya sebagai mempelai
wanitanya. Pagi harinya, ketika kesadarannya pulih, ia terperanjat ketika
mendapati dirinya berada di dalam sebuah kamar mayat para penyembah-api.
Sofanya adalah tandu jenazah, dan bentuk yang disalah-mengertikannya sebagai
mempelai perempuannya adalah
mayat seorang wanita tua yang mulai membusuk.
Ketika keluar dari
kamar mayat dengan pakaian kumuh, betapa malunya ia ketika ayahnya, sang raja,
menghampirinya dengan serombongan tentara. Itu gambaran perumpamaan tentang
rasa malu yang akan dirasakan di akhirat oleh orang-orang yang dengan serakah
telah memasrahkan diri mereka pada hal-hal yang mereka anggap sebagai
kebahagiaan.
Neraka ruhaniah
ketiga berbentuk kekecewaan dan kegagalan untuk mencapai obyek kemaujudan yang
sesungguhnya.
Manusia diciptakan dengan maksud untuk mencermini cahaya
pengetahuan akan Tuhan. Tapi jika ia sampai di akhirat dengan jiwa yang tersaput
tebal oleh karat
pengumbaran nafsu
inderawi, ia akan sama sekali gagal untuk memperoleh tujuan penciptaannya.
Kekecewaannya bisa digambarkan dengan cara berikut. Misalkan seseorang sedang
melewati sebuah hutan gelap bersama beberapa orang sahabat. Di sana-sini
berkelap-kelip di atas tanah, bertebaran batu-batu berwarna. Para sahabatnya
mengumpulkan dan membawa benda-benda itu seraya menasehatinya agar ia turut
melakukan hal yang sama.
"Karena,"
kata mereka, "kami dengar batu-batu itu akan memperoleh harga tinggi di
tempat yang akan kita datangi." Tapi orang ini malah menertawakan mereka
dan menyebut mereka sebagai orang-orang pandir karena menyimpan harapan sia-sia
untuk memperoleh sesuatu, sementara ia sendiri bisa berjalan bebas tak berbebani.
Kemudian mereka pun menjelang terang tanah dan mendapati bahwa batu-batu yang
berwarna-warni itu ternyata batu-batu delima, Zamrud dan permata-permata lain
yang tak terkira harganya. Kekecewaan dan penyesalan orang itu, karena tidak
mengumpulkan benda-benda yang sudah berada dalam jangkauannya itu, lebih mudah
dibayangkan daripada diperikan.
Seperti itulah jadinya penyesalan orang-orang
yang ketika melalui duni aini
tidak berusaha memperoleh permata-permata kebajikan dan
perbendaharaan-perbendaharaan agama. Perjalanan manusia di dunia ini bisa
dikelompokkan dalam empat tahap -
yang inderawi,
eksperimental, instingtif dan rasional. Dalam tahap yang pertama ia seperti
seekor rayap yang, meskipun memiliki penglihatan, tak punya kemampuan mengingat
dan akan menghapuskan dirinya terus-menerus pada lilin yang sama. Tahap kedua,
ia seperti seekor anjing yang, setelah sekali digigit, akan lari ketika melihat
sebatang rotan pemukul. Pada tahap ketiga, ia seperti seekor kuda atau domba
yang, secara instingtif, terbang seketika tatkala melihat seekor macan atau
srigala - musuh-musuh alaminya - sementara mereka tak akan lari jika melihat
seekor onta atau
kerbau, meskipun kedua binatang ini lebih besar ukurannya. Di dalam tahap
yang keempat manusia
sama sekali mengatasi batas-batas binatang itu sehingga mampu, sampai batas
tertentu, meramalkan dan mempersiapkan diri bagi masa depan.
Gerakan-gerakannya
pada mulanya bisa dibandingkan dengan berjalan biasa di atas tanah, kemudian
menyeberangi laut dengan sebuah kapal, kemudian pada pendaratan keempat -
ketika ia sudah akrab dengan hakikat-hakikat - berjalan di atas air.
Sementara
itu, di balik dataran ini masih ada dataran kelima yang dikenal oleh para nabi
dan wali yang bisa dibandingkan dengan terbang mengarungi udara.
Jadi manusia punya
kemampuan untuk dada pada berbagai dataran yang berbeda, mulai dari dataran
hewaniah sampai dataran malaikat. Dan persis dalam hal inilah terletak
bahayanya, yaitu dari kemungkinan jatuh ke dataran yang paling rendah. Di dalam
al-Qur'an tertulis, "Telah Kami tawarkan
(yaitu tanggung jawab atau kehendak bebas) kepada lelangit dan bumi serta
gunung-gunung; mereka
menolak untuk menanggungnya.
Tetapi manusia mau mananggungnya. Sesungguhnya
manusia itu bodoh." Tidak hewan tidak pula malaikat bisa mengubah tingkat
dan tempat ia ditempatkan. Tetapi seseorang bisa tenggelamke dataran hewaniah
atau terbang ke dataran malaikat, dan inilah arti dari "penanggungan
beban" sebagaimana disebutkan
di atas oleh
al-Qur'an. Sebagian besar manusia memilih untuk berada di dua tahap terndah
tersebut di atas, dan yang tetap tinggal biasanya selalu bersikap bermusuhan
dengan orang yang bepergian atau musafir yang jumlahnya jauh lebih sedikit.
Banyak orang dari kelas yang disebut terdahulu, karena tidak memiliki keyakinan
yang teguh tentang dunia yang akan datang, ketika dikuasai oleh nafsu-nafsu inderawi,
menolaknya sama sekali. Mereka berkata bahwa neraka adalah suatu temuan para
ahli ilmu kalam belaka untuk menakut-nakuti orang.
Mereka memandang para ahli
ilmu kalam dengan penghinaan terbuka. Berbdebat dengan orang-orang seperti ini
sedikit sekali manfaatnya. Meskipun demikian, ada yang bisa dikatakan pada
orang yang seperti ini yang mungkin bisa
membuatnya berhenti dan merenung.
"Benarkah anda
sungguh-sungguh berpikir bahwa 124.000 nabi dan wali yang percaya pada kehidupan masa akan
datang semuanya salah dan anda, yang menolaknya, benar?" Jika ia menjawab,
"Ya," saya sedemikian yakin - sebagaimana saya yakin bahwa dua lebih
besar daripada satu - bahwasanya jiwa dan kehidupan masa depan dalam bentuk
kebahagiaan maupun hukuman itu tidak ada, maka manusia seperti itu sudah tidak
mempunyai harapan lagi. Yang bisa
diperbuat hanyalah
meninggalkannya sendiri sembari mengingat kata-kata al-Qur'an, "Meskipun
kau peringatkan mereka, mereka tak akan ingat."
Tetapi jika ia
berkata bahwa kehidupan masa depan adalah suatu kebolehjadian, hanya bahwa
doktrin itu penuh mengandung keraguan dan misteri, sehingga tidak mungkin untuk
bisa memutuskan benarkah hal itu atau tidak, maka seseorang bisa berkata
kepadanya, "Jika demikian, sebaiknya anda selesaikan baik-baik keraguan
itu." Misalkan anda sedang akan makan makanan, kemudian seseorang berkata
kepada anda bahwa seekor ular telah meludahkan bisa ke dalamnya, maka mungkin
sekali anda akan menahan diri dan lebih baik menahan kepedihan rasa lapar
daripada memakannya, meskipun orang yang memberi informasi pada anda mungkin
hanya bercanda atau berbohong belaka. Atau misalkan anda sedang sakit dan
seorang
penulis syair
berkata, "Beri saya satu dirham dan saya akan menulis sebuah puisi yang
bisa kauikatkan di lehermu, yang akan menyembuhkannya dari sakit." Anda
boleh jadi akan memberikan dirham yang dimintanya dengan harapan bisa
mendapatkan manfaat jimat itu. Atau jika seoran gperamal
berkata, "Pada saat bulan telah sampai ke suatu bentuk tertentu, minumlah obat ini dan itu dan
engkau pun akan sembuh."
Meskipun mungkin anda sedikit sekali percaya pada
astrologi, kemungkinan besar anda akan mencoba juga pengalaman itu dengan
harapan bahwa orang itu benar. Tidakkah anda berpikir bahwa kebenaran yang bisa
dipercaya juga terdapat dalam kata-kata nabi,
para wali dan orang-orang suci, yang menyakinkan orang akan adanya kehidupan
mendatang, sebagaimana janji seorang penulis jampi-jampi atau seorang peramal.
Orang berani melakukan perjalanan lewat laut yan gpenuh resiko demi mengharap
suatu keuntungan, maka tidak maukah anda menanggung sedikir penderitaan di masa
sekarang demi kebahagiaan
abadi di akhirat? Sayyidina Ali Zainal Abidin (Putra Hesain bin Ali bin Abi Thalib, cucu
Rasulullah SAW) ketika berdebat dengan seorang kafir pernah berkata, "Jika anda benar, maka
tidak seorangpun di antara kita yang akan menderita
keadaan yang lebih
buruk di masa depan.
Tetapi jika kami yang benar, maka kami akan terhindar dan
anda akan menderita." Hal ini dikatakannya bukan karena ia sendiri berada
dalam keraguan, tetapi hanya demi menciptakan suatu kesan bagi orang kafir itu.
Berdasar semua pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa urusan utama manusia
di dunia ini adalah untuk mempersiapkan diri
bagi dunia yang akan datang. Sekalipun jika ia ragu-ragu tentang kemaujudan
masa depan, nalar mengajarkan bahwa ia harus bertindak seakan-akan hal itu ada
dengan mempertimbangkan akibat luar biasa yang mungkin terjadi. Keselamatan
atas orang-orang yang mengikuti ajaran-ajaran Allah.
Silahkan Bagikan Artikel ini
Mohon Maaf, Kepada Semua Sahabat, Atas Ketidak Nyamanannya, Dengan adanya Shortener Di Link Download. Mohon Keridhoannya. Terima Kasih.**** Apabila kesulitan Download Silahkan buka/klik gambar(Cara Download) dibawah postingan. Apabila masih kesulitan, silahkan copy paste link download yang ada, kebrowser anda.*** Apabila ada link Download yg rusak/mati, mohon beritahu kami lewat komentar dibawah ini.