بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
اللهُم َّصلِّ علٰى سَيِّدنا مُحَمّدٍ عبدِكَ وَنبيِّكَ ورسولِكَ النَّبيِّ الاُمِيّ وَعلٰى اٰلهِ وَصَحْبِهِ وسَلِّم تسليماً بقدرِ عظمةِ ذاَتِكَ في كـُلِّ وَقتٍ وَحيـنٍ
TASAWUF SUNAN BONANG
Tasawuf dan Pengetahuan Diri
Secara keseluruhan jalan tasawuf
merupakan metode-metode untuk mencapai pengetahuan diri dan hakikat wujud
tertinggi, melalui apa yang disebut sebagai jalan Cinta dan penyucian diri.
Cinta yang dimaksudkan para sufi ialah kecenderungan kuat dari kalbu kepada
Yang Satu, karena pengetahuan tentang hakikat ketuhanan hanya dicapai
tersingkapnya cahaya penglihatan batin (kasyf) dari dalam kalbu manusia
(Taftazani 1985:56). Tahapan-tahapan jalan tasawuf dimulai dengan’penyucian
diri’, yang oleh Mir Valiuddin (1980;1-3) dibagi tiga: Pertama, penyucian jiwa
atau nafs (thadkiya al-nafs); kedua, pemurnian kalbu (tashfiya al-qalb);
ketiga, pengosongan pikiran dan ruh dari selain Tuhan (takhliya al-sirr).
Istilah lain untuk metode penyucian
diri ialah mujahadah, yaitu perjuangan batin untuk mengalah hawa nafsu dan
kecenderungan-kecenderungan buruknya. Hawa nafsu merupakan representasi dari
jiwa yang menguasai jasmani manusia (‘diri jasmani’). Hasil dari mujahadah
ialah musyahadah dan mukasyafah. Musyahadah ialah mantapnya keadaan hati
manusia sehingga dapat memusatkan penglihatannya kepada Yang Satu, sehingga
pada akhirnya dapat menyaksikan kehadiran rahasia-Nya dalam hati. Mukasyafah
ialah tercapainya kasyf, yaitu tersingkapnya tirai yang menutupi cahaya
penglihatan batin di dalam kalbu.
Penyucian jiwa dicapai dengan
memperbanyak ibadah dan amal saleh. Termasuk ke dalam ibadah ialah melaksanakan
salat sunnah, wirid, zikir, mengurangi makan dan tidur untuk melatih
ketangguhan jiwa. Semua itu dikemukakan oleh Sunan Bonang dalam risalahnya
Pitutur Seh Bari dan juga oleh Hamzah Fansuri dalam Syarab al-`Asyiqin
(“Minuman Orang Berahi”). Sedangkan pemurnian kalbu ialah dengan membersihkan
niat buruk yang dapat memalingkan hati dari Tuhan dan melatih kalbu dengan
keinginan- keinginan yang suci. Sedangkan pengosongan pikiran dilakukan dengan
tafakkur atau meditasi, pemusatan pikiran kepada Yang Satu. Dalam sejarah
tasawuf ini telah sejak lama ditekankan, terutama oleh Sana’i, seorang penyair
sufi Persia abad ke-12 M. Dengan tafakkur, menurut Sana’i, maka pikiran
seseorang dibebaskan dari kecenderungan untuk menyekutuhan Tuhan dan sesembahan
yang lain (Smith 1972:76-7).
Dalam Suluk Wujil juga disebutkan
bahwa murid-muridnya menyebut Sunan Bonang sebagai Ratu Wahdat. Istilah ‘wahdat’
merujuk pada konsep sufi tentang martabat (tingkatan) pertama dari tajalli
Tuhan atau pemanifestasian ilmu Tuhan atau perbendaharaan tersembunyi-Nya (kanz
makhfiy) secara bertahap dari ciptaan paling esensial dan bersifat ruhani
sampai ciptaan yang bersifat jasmani. Martabat wahdat ialah martabat keesaan
Tuhan, yaitu ketika Tuhan menampakkan keesaan-Nya di antara ciptaan-ciptaan-Nya
yang banyak dan aneka ragam. Pada peringkat ini Allah menciptakan esensi segala
sesuatu (a’yan tsabitah) atau hakikat segala sesuatu (haqiqat al-ashya). Esensi
segala sesuatu juga disebut ‘bayangan pengetahuan Tuhan’ (suwar al-ilmiyah)
atau hakikat Muhammad yang berkilau-kilauan (nur muhammad). Ibn `Arabi menyebut
gerak penciptaaan ini sebagai gerakan Cinta dari Tuhan, berdasar hadis qudsi
yang berbunyi, “Aku adalah perbendaharaan tersembunyi, Aku cinta (ahbabtu)
untuk dikenal, maka aku mencipta hingga Aku dikenal” (Abdul Hadi W. M.
2002:55-60). Maka sebutan Ratu Wahdat dalam suluk ini dapat diartikan sebagai
orang yang mencapai martabat tinggi di jalan Cinta, yaitu memperoleh makrifat
dan telah menikmati lezatnya persatuan ruhani dengan Yang Haqq.
Pengetahuan Diri, Cermin dan Ka’bah
Secara keseluruhan bait-bait dalam
Suluk Wujil adalah serangkaian jawaban Sunan Bonang terhadap
pertanyaan-pertanyaan Wujil tentang akal yang disebut Ada dan Tiada, mana ujung
utara dan selatan, apa hakikat kesatuan huruf dan lain-lain. Secara berurutan
jawaban yang diberikan Sunan Bonang berkenaan dengan soal: (1) Pengetahuan
diri, meliputi pentingnya pengetahuan ini dan hubungannya dengan hakikat salat
atau memuja Tuhan. Simbol burung dan cermin digunakan untuk menerangkan masalah
ini; (2) Hakikat diam dan bicara; (3) Kemauan murni sebagai sumber kebahagiaan
ruhani; (4) Hubungan antara pikiran dan perbuatan manusia dengan kejadian di
dunia; (5) Falsafah Nafi Isbat serta kaitannya dengan makna simbolik
pertunjukan wayang, khususnya lakon perang besar antara Kurawa dan Pandawa dari
epik Mahabharata; (6) Gambaran tentang Mekkah Metafisisik yang merupakan pusat
jagat raya, bukan hanya di alam kabir (macrocosmos) tetapi juga di alam saghir
(microcosmos), yaitu dalam diri manusia yang terdalam; (7) Perbedaan jalan
asketisme atau zuhud dalam agama Hindu dan Islam.
Sunan Bonang menghubungkan hakikat
salat berkaitan dengan pengenalan diri, sebab dengan melakukan salat seseorang
sebenarnya berusaha mengenal dirinya sebagai ‘yang menyembah’, dan sekaligus
berusaha mengenal Tuhan sebagai ‘Yang Disembah’. Pada bait ke-12 dan
selanjutnya Sunan Bonang menulis:
12
Kebajikan utama (seorang Muslim)
Ialah mengetahui hakikat salat
Hakikat memuja dan memuji
Salat yang sebenarnya
Tidak hanya pada waktu isya dan maghrib
Tetapi juga ketika tafakur
Dan salat tahajud dalam keheningan
Buahnya ialah mnyerahkan diri senantiasa
Dan termasuk akhlaq mulia
13
Apakah salat yang sebenar-benar salat?
Renungkan ini: Jangan lakukan salat
Andai tiada tahu siapa dipuja
Bilamana kaulakukan juga
Kau seperti memanah burung
Tanpa melepas anak panah dari busurnya
Jika kaulakukan sia-sia
Karena yang dipuja wujud khayalmu semata
14
Lalu apa pula zikir yang sebenarnya?
Dengar: Walau siang malam berzikir
Jika tidak dibimbing petunjuk Tuhan
Zikirmu tidak sempurna
Zikir sejati tahu bagaimana
Datang dan perginya nafas
Di situlah Yang Ada, memperlihatkan
Hayat melalui yang empat
15
Yang empat ialah tanah atau bumi
Lalu api, udara dan air
Ketika Allah mencipta Adam
Ke dalamnya dilengkapi
Anasir ruhani yang empat:
Kahar, jalal, jamal dan kamal
Di dalamnya delapan sifat-sifat-Nya
Begitulah kaitan ruh dan badan
Dapat dikenal bagaimana
Sifat-sifat ini datang dan pergi, serta ke mana
16
Anasir tanah melahirkan
Kedewasaan dan keremajaan
Apa dan di mana kedewasaan
Dan keremajaan? Dimana letak
Kedewasaan dalam keremajaan?
Api melahirkan kekuatan
Juga kelemahan
Namun di mana letak
Kekuatan dalam kelemahan?
Ketahuilah ini
17
Sifat udara meliputi ada dan tiada
Di dalam tiada, di mana letak ada?
Di dalam ada, di mana tempat tiada?
Air dua sifatnya: mati dan hidup
Di mana letak mati dalam hidup?
Dan letak hidup dalam mati?
Kemana hidup pergi
Ketika mati datang?
Jika kau tidak mengetahuinya
Kau akan sesat jalan
18
Pedoman hidup sejati
Ialah mengenal hakikat diri
Tidak boleh melalaikan shalat yang khusyuk
Oleh karena itu ketahuilah
Tempat datangnya yang menyembah
Dan Yang Disembah
Pribadi besar mencari hakikat diri
Dengan tujuan ingin mengetahui
Makna sejati hidup
Dan arti keberadaannya di dunia
19
Kenalilah hidup sebenar-benar hidup
Tubuh kita sangkar tertutup
Ketahuilah burung yang ada di dalamnya
Jika kau tidak mengenalnya
Akan malang jadinya kau
Dan seluruh amal perbuatanmu, Wujil
Sia-sia semata
Jika kau tak mengenalnya.
Karena itu sucikan dirimu
Tinggalah dalam kesunyian
Hindari kekeruhan hiruk pikuk dunia
Pertanyaan-pertanyaan itu tidak diberi jawaban langsung, melainkan dengan
isyarat-isyarat yang mendorong Wujil melakukan perenungan lebih jauh dan dalam.
Sunan Bonang kemudian berkata dan perkatannya semakin memasuki inti persoalan:
20
Keindahan, jangan di tempat jauh dicari
Ia ada dalam dirimu sendiri
Seluruh isi jagat ada di sana
Agar dunia ini terang bagi pandangmu
Jadikan sepenuh dirimu Cinta
Tumpukan pikiran, heningkan cipta
Jangan bercerai siang malam
Yang kaulihat di sekelilingmu
Pahami, adalah akibat dari laku jiwamu!
21
Dunia ini Wujil, luluh lantak
Disebabkan oleh keinginanmu
Kini, ketahui yang tidak mudah rusak
Inilah yang dikandung pengetahuan sempurna
Di dalamnya kaujumpai Yang Abadi
Bentangan pengetahuan ini luas
Dari lubuk bumi hingga singgasana-Nya
Orang yang mengenal hakikat
Dapat memuja dengan benar
Selain yang mendapat petunjuk ilahi
Sangat sedikit orang mengetahui rahasia ini
22
Karena itu, Wujil, kenali dirimu
Kenali dirimu yang sejati
Ingkari benda
Agar nafsumu tidur terlena
Dia yang mengenal diri
Nafsunya akan terkendali
Dan terlindung dari jalan
Sesat dan kebingungan
Kenal diri, tahu kelemahan diri
Selalu awas terhadap tindak tanduknya
23
Bila kau mengenal dirimu
Kau akan mengenal Tuhanmu
Orang yang mengenal Tuhan
Bicara tidak sembarangan
Ada yang menempuh jalan panjang
Dan penuh kesukaran
Sebelum akhirnya menemukan dirinya
Dia tak pernah membiarkan dirinya
Sesat di jalan kesalahan
Jalan yang ditempuhnya benar
24
Wujud Tuhan itu nyata
Mahasuci, lihat dalam keheningan
Ia yang mengaku tahu jalan
Sering tindakannya menyimpang
Syariat agama tidak dijalankan
Kesalehan dicampakkan ke samping
Padahal orang yang mengenal Tuhan
Dapat mengendalikan hawa nafsu
Siang malam penglihatannya terang
Tidak disesatkan oleh khayalan
Selanjutnya dikatakan bahwa diam
yang hakiki ialah ketika seseorang melaksanakan salat tahajud, yaitu salat
sunnah tengah malam setelah tidur. Salat semacam ini merupakan cara terbaik
mengatasi berbagai persoalan hidup. Inti salat ialah bertemu muka dengan Tuhan
tanpa perantara. Jika seseorang memuja tidak mengetahui benar- benar siapa yang
dipuja, maka yang dilakukannya tidak bermanfaat. Salat yang sejati mestilah
dilakukan dengan makrifat. Ketika melakukan salat, semestinya seseorang mampu
membayangkan kehadiran dirinya bersama kehadiran Tuhan. Keadaan dirinya lebih
jauh harus dibayangkan sebagai ‘tidak ada’, sebab yang sebenar-benar Ada
hanyalah Tuhan, Wujud Mutlak dan Tunggal yang ilmu-Nya meliputi segala sesuatu.
Sedangkan adanya makhluq-makhluq, termasuk manusia, sangat tergantung kepada
Adanya Tuhan.
35
Diam dalam tafakur, Wujil
Adalah jalan utama (mengenal Tuhan)
Memuja tanpa selang waktu
Yang mengerjakan sempurna (ibadahnya)
Disebabkan oleh makrifat
Tubuhnya akan bersih dari noda
Pelajari kaedah pencerahan kalbu ini
Dari orang arif yang tahu
Agar kau mencapai hakikat
Yang merupakan sumber hayat
36
Wujil, jangan memuja
Jika tidak menyaksikan Yang Dipuja
Juga sia-sia orang memuja
Tanpa kehadiran Yang Dipuja
Walau Tuhan tidak di depan kita
Pandanglah adamu
Sebagai isyarat ada-Nya
Inilah makna diam dalam tafakur
Asal mula segala kejadian menjadi nyata
Setelah itu Sunan Bonang lebih jauh berbicara tentang hakikat murni ‘kemauan’.
Kemauan yang sejati tidak boleh dibatasi pada apa yang dipikirkan. Memikirkan
atau menyebut sesuatu memang merupakan kemauan murni. Tetapi kemauan murni
lebih luas dari itu.
38
Renungi pula, Wujil!
Hakikat sejati kemauan
Hakikatnya tidak dibatasi pikiran kita
Berpikir dan menyebut suatu perkara
Bukan kemauan murni
Kemauan itu sukar dipahami
Seperti halnya memuja Tuhan
Ia tidak terpaut pada hal-hal yang tampak
Pun tidak membuatmu membenci orang
Yang dihukum dan dizalimi
Serta orang yang berselisih paham
39
Orang berilmu
Beribadah tanpa kenal waktu
Seluruh gerak hidupnya
Ialah beribadah
Diamnya, bicaranya
Dan tindak tanduknya
Malahan getaran bulu roma tubuhnya
Seluruh anggota badannya
Digerakkan untuk beribadah
Inilah kemauan murni
40
Kemauan itu, Wujil!
Lebih penting dari pikiran
Untuk diungkapkan dalam kata
Dan suara sangatlah sukar
Kemauan bertindak
Merupakan ungkapan pikiran
Niat melakukan perbuatan
Adalah ungkapan perbuatan
Melakukan shalat atau berbuat kejahatan
Keduanya buah dari kemauan
Di sini
Sunan Bonang agaknya berpendapat bahwa kemauan atau kehendak (iradat) , yaitu
niat dan iktiqad, mestilah diperbaiki sebelum seseorang melaksanakan sesuatu
perbuatan yang baik. Perbuatan yang baik datang dari kemauan baik, dan
sebaliknya kehendak yang tidak baik melahirkan tindakan yang tidak baik pula.
Apa yang dikatakan oleh Sunan Bonang dapat dirujuk pada pernyataan seorang
penyair Melayu (anonim) dalam Syair Perahu, seperti berikut:
Inilah gerangan suatu madah
Mengarangkan syair terlalu indah
Membetulkan jalan tempat berpindah
Di sanalah iktiqad diperbaiki sudah
Wahai muda kenali dirimu
Ialah perahu tamsil tubuhmu
Tiada berapa lama hidupmu
Ke akhirat jua kekal diammu
Hai muda arif budiman
Hasilkan kemudi dengan pedoman
Alat perahumu jua kerjakan
Itulah jalan membetuli insan
…
La ilaha illa Allah tempat mengintai
Medan yang qadim tempat berdamai
Wujud Allah terlalu bitai
Siang malam jangan bercerai
(Doorenbos
1933:33)
Tamsil Islam universal lain yang
menonjol dalam Suluk Wujil ialah cermin beserta pasangannya gambar atau
bayang-bayang yang terpantul dalam cermin, serta Mekkah. Para sufi biasa
menggunakan tamsil cermin, misalnya Ibn `Arabi. Sufi abad ke-12 M dari Andalusia
ini menggunakannya untuk menerangkan falsafahnya bahwa Yang Satu meletakkan
cermin dalam hati manusia agar Dia dapat melihat sebagian dari gambaran
Diri-Nya (kekayaan ilmu-Nya atau perbendaharaan-Nya yang tersembunyi) dalam
ciptaan- Nya yang banyak dan aneka ragam. Yang banyak di alam kejadian (alam
al-khalq) merupakan gambar atau bayangan dari Pelaku Tunggal yang berada di
tempat rahasia dekat cermin (Abu al-Ala Affifi 1964:15-7).
Pada pupuh atau bait ke-74
diceritakan Sunan Bonang menyuruh muridnya Ken Satpada mengambil cermin dan
menaruhnya di pohon Wungu. Kemudian dia dan Wujil disuruh berdiri di muka
cermin. Mereka menyaksikan dua bayangan dalam cermin. Kemudian Sunan Bonang
menyuruh salah seorang dari mereka menjauh dari cermin, sehingga yang tampak
hanya bayangan satu orang. Maka Sunan Bonang bertanya: “Bagaimana bayang-
bayang datang/Dan kemana dia menghilang?” (bait 81). Melalui contoh datang dan
perginya bayangan dari cermin, Wujil kini tahu bahwa “Dalam Ada terkandung
tiada, dan dalam tiada terkandung ada” Sang Guru membenarkan jawaban sang
murid. Lantas Sunan Bonang menerangkan aspek nafi (penidakan) dan isbat
(pengiyaan) yang terkandung dalam kalimah La ilaha illa Allah (Tiada tuhan
selain Allah). Yang dinafikan ialah selain dari Allah, dan yang diisbatkan
sebagai satu-satunya Tuhan ialah Allah.
Pada bait atau pupuh 91-95
diceritakan perjalanan seorang ahli tasawuf ke pusat renungan yang bernama
Mekkah, yang di dalamnya terdapat rumah Tuhan atau Baitullah. Mekkah yang
dimaksud di sini bukan semata Mekkah di bumi, tetapi Mekkah spiritual yang
bersifat metafisik. Ka’bah yang ada di dalamnya merupakan tamsil bagi kalbu
orang yang imannya telah kokoh. Abdullah Anshari, sufi abad ke-12 M, misalnya
berpandapat bahwa Ka’bah yang di Mekkah, Hejaz, dibangun oleh Nabi Ibrahim a.s.
Sedangkan Ka’bah dalam kalbu insan dibangun oleh Tuhan sebagai pusat perenungan
terhadap keesaan Wujud- Nya (Rizvi 1978:78).
Sufi Persia lain abad ke-11 M, Ali
Utsman al-Hujwiri dalam kitabnya menyatakan bahwa rumah Tuhan itu ada dalam
pusat perenungan orang yang telah mencapai musyahadah. Kalau seluruh alam
semesta bukan tempat pertemuan manusia dengan Tuhan, dan juga bukan tempat
manusia menikmati hiburan berupa kedekatan dengan Tuhan, maka tidak ada orang
yang mengetahui makna cinta ilahi. Tetapi apabila orang memiliki penglihatan
batin, maka seluruh alam semesta ini akan merupakan tempat sucinya atau rumah
Tuhan.
Langkah sufi sejati sebenarnya
merupakan tamsil perjalanan menuju Mekkah. Tujuan perjalanan itu bukan tempat
suci itu sendiri, tetapi perenungan keesaan Tuhan (musyahadah), dan perenungan
dilakukan disebabkan kerinduan yang mendalam dan luluhnya diri seseorang
(fana’) dalam cinta tanpa akhir (Kasyful Mahjub 293-5).
Berdasarkan uraian tersebut, dapatlah dipahami apabila dalam Suluk Wujil
dikatakan, “Tidak ada orang tahu di mana Mekkah yang hakiki itu berada,
sekalipun mereka melakukan perjalanan sejak muda sehingga tua renta. Mereka
tidak akan sampai ke tujuan. Kecuali apabila seseorang mempunyai bekal ilmu
yang cukup, ia akan dapat sampai di Mekkah dan malahan sesudah itu akan menjadi
seorang wali. Tetapi ilmu semacam itu diliputi rahasia dan sukar diperoleh.
Bekalnya bukan uang dan kekayaan, tetapi keberanian dan kesanggupan untuk mati
dan berjihad lahir batin, serta memiliki kehalusan budi pekerti dan menjauhi
kesenangan duniawi.
Di dalam masjid di Mekkah itu terdapat singgasana Tuhan, yang berada di
tengah-tengah. Singgasana ini menggantung di atas tanpa tali. Dan jika orang
melihatnya dari bawah, maka tampak bumi di atasnya. Jika orang melihat ke
barat, ia akan melihat timur, dan jika melihat timur ia akan menyaksikan barat.
Di situ pemandangan terbalik. Jika orang melihat ke selatan yang tampak ialah
utara, sangat indah pemandangannya. Dan jika ia melihat ke utara akan tampak
selatan, gemerlapan seperti ekor burung merak. Apabila satu orang shalat di
sana, maka hanya ada ruangan untuk satu orang saja. Jika ada dua atau tiga
orang shalat, maka ruangan itu juga akan cukup untuk dua tiga orang. Apabila
ada 10.000 orang melakukan shalat di sana, maka Ka`bah dapat menampung mereka
semua. Bahkan seandainya seluruh dunia dimasukkan ke dalamnya, seluruh dunia
pun akan tertampung juga”.
Wujil menjadi tenang setelah
mendengarkan pitutur gurunya. Akan tetapi dia tetap merasa asing dengan
lingkungan kehidupan keagamaan yang dijumpainya di Bonang.
Berbeda dengan di Majapahit dahulu, untuk mencapai rahasia Yang Satu orang
harus melakukan tapa brata dan yoga, pergi jauh ke hutan, menyepi dan melakukan
kekerasan ragawi. Di Pesantren Bonang kehidupan sehari-hari berjalan seperti
biasa. Shalat fardu lima waktu dijalankan dengan tertib. Majlis-majlis untuk
membicarakan pengalaman kerohanian dan penghayatan keagamaan senantiasa
diadakan. Di sela-sela itu para santri mengerjakan pekerjaan sehari-hari, di
samping mengadakan pentas-pentas seni dan pembacaan tembang Sunan Bonang
menjelaskan bahwa seperti ibadat dalam agama Hindu yang dilakukan secara lahir
dan batin, demikian juga di dalam Islam.
Malahan di dalam agama Islam, ibadat
ini diatur dengan jelas di dalam syariat. Bedanya di dalam Islam
kewajiban-kewajiban agama tidak hanya dilakukan oleh ulama dan pendeta, tetapi
oleh seluruh pemeluk agama Islam. Sunan bonang mengajarkan tentang
egaliterianissme dalam Islam. Sunan bonang mengajarkan tentang egaliterisme di
dalam Islam. Jika ibadat zahir dilakukan dengan mengerjakan rukun Islam yang
lima, ibadat batin ditempuh melalui tariqat atau ilmu suluk, dengan
memperbanyak ibadah seperti sembahyang sunnah, tahajud, taubat nasuha, wirid
dan zikir. Zikir berarti mengingat Tuhan tanpa henti. Di antara cara berzikir
itu ialah dengan mengucapkan kalimah La ilaha illa Allah. Di dalamnya
terkandung rahasia keesaan Tuhan, alam semesta dan kejadian manusia.
Berbeda dengan dalam agama Hindu, di
dalam agama Islam disiplin kerohanian dan ibadah dapat dilakukan di tengah
keramaian, sebab perkara yang bersifat transendental tidak terpisah dari
perkara yang bersifat kemasyarakatan. Di dalam agama Islam tidak ada garis
pemisah yang tegas antara dimensi transendental dan dimensi sosial. Dikatakan
pula bahwa manusia terdiri daripada tiga hal yang pemiliknya berbeda.
Jasmaninya milik ulat dan cacing, rohnya milik Tuhan dan milik manusia itu
sendiri hanyalah amal pebuatannya di dunia.
(sufisme)
Silahkan Bagikan Artikel ini
Mohon Maaf, Atas Ketidak Nyamanannya, Dengan adanya Shortener Di Link Download. Mohon Keridhoannya. Terima Kasih. Apabila kesulitan Download Silahkan buka/klik gambar (Cara Download) dibawah postingan. apabila masih kesulitan, silahkan copy paste link download yang ada kebrowser anda.*** Apabila ada link Download yg rusak/mati, mohon beritahu kami lewat komentar dibawah ini.
Related Posts :