بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
اللهُم َّصلِّ علٰى سَيِّدنا مُحَمّدٍ عبدِكَ وَنبيِّكَ ورسولِكَ النَّبيِّ الاُمِيّ وَعلٰى اٰلهِ وَصَحْبِهِ وسَلِّم تسليماً بقدرِ عظمةِ ذاَتِكَ في كـُلِّ وَقتٍ وَحيـنٍ
FID-DUNYA HASANAH WAFIL-AKHIRATI HASANAH
Oleh: A. Mustofa Bisri
Kepentingan pembangunan–seperti juga
pada jaman revolusi, yaitu kepentingan revolusi–ternyata tidak hanya
memerlukan dalil aqli, tapi juga dalil naqli. Apalagi jika masyarakat
menjadi subyek–atau obyek–pembangunan justru “kaum beragama”.
Apabila pembangunan itu menitikberatkan pada pembangunan material
(kepentingan duniawi), meski konon tujuannya material dan spiritual
(kepentingan akhirat), maka perlu dicarikan dalil-dalil tentang
pentingnya materi. Minimal pentingnya menjaga “keseimbangan” antara
keduanya (material bagi kehidupan dunia dan spiritual bagi kehidupan
akhirat).
Maka, dalil-dalil tentang mencari–atau setidak-tidaknya tentang
peringatan untuk tidak melupakan–kesejahteraan dunia, pun perlu “digali”
untuk digalakkan sosialisasinya.
Tak jarang semangat ingin berpartisipasi dalam pembangunan material--
yang menjadi titik berat pembangunan– ini mendorong para dai dan kyai
justru melupakan kepentingan spiritual bagi kebahagiaan akhirat. Atau,
setidaknya, kurang proporsional dalam melihat kedua kepentingan itu.
Ketika berbicara tentang pentingnya menjaga keseimbangan antara
kepentingan duniawi dan ukhrawi, biasanya para dai tidak cukup menyitir
doa sapu jagat saja: Rabbanaa aatinaa fid-dunya hasanah wa fil akhirati
hasanah. Biasanya, mereka juga tak lupa membawakan Hadist popular ini:
I'mal lidunyaaka kaannaka ta'iesyu abadan wa'mal liakhiratika kaannaka
tamuutu ghadan, yang galibnya berarti “Beramallah kamu untuk duniamu
seolah-olah kamu akan hidup abadi dan beramallah kamu untuk akhiratmu
seolah-olah kamu akan mati besok pagi”. Kadang-kadang, dirangkaikan pula
dengan firman Allah dalam Surat al-Qashash (28), ayat 77:“Wabtaghi
fiimaa aataakallahu 'd-daaral aakhirata walaa tansanashiebaka min
ad-dunya....” yang menurut terjemahan Depag diartikan,“Dan carikan pada
apa yang dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat dan
janganlah kamu melupakan kebahagiaan dari (kenikmatan) duniawi…”.
Umumnya orang–sebagaimana para
dainya–segera memahami dalil-dalil tersebut sebagai anjuran untuk giat
bekerja demi kesejahteraan di dunia dan giat beramal demi kebahagiaan di
akhirat.
Kita yang umumnya–tak usah dianjurkan pun–sudah senang “beramal” untuk
kesejahteraan duniawi, mendengarkan dalil-dalil ini rasanya seperti
mendapat pembenar, bahkan pemacu kita untuk lebih giat lagi bekerja demi
kebahagiaan duniawi kita.
Lihat dan hitunglah jam-jam kesibukan kita. Berapa persen yang untuk
dunia dan berapa persen untuk yang akhirat kita? Begitu semangat–bahkan
mati-matian–kita dalam bekerja untuk dunia kita, hingga kelihatan sekali
kita memang beranggapan bahwa kita akan hidup abadi di dunia ini.
Kita bisa saja berdalih bahwa jadwal kegiatan kita sehari-hari yang
tampak didominasi kerja-kerja duniawi, sebenarnya juga dalam rangka
mencari kebahagiaan ukhrawi. Bukankah perbuatan orang tergantung pada
niatnya, “Innamal a'maalu binniyyaat wa likullimri-in maa nawaa.” Tapi,
kita tentu tidak bisa berdusta kepada diri kita sendiri. Amal perbuatan
kita pun menunjukkan belaka akan niat kita yang sebenarnya.
Padahal, meski awal ayat 77 Surat sl-Qashash tersebut mengandung
“peringatan” agar jangan melupakan (kenikmatan) dunia, “peringatan” itu
jelas dalam konteks perintah untuk mencari kebahagiaan akhirat.
Seolah-olah Allah– wallahu a'lam– “sekadar” memperingatkan, supaya dalam
mencari kebahagiaan akhirat janganlah lalu kenikmatan duniawi yang juga
merupakan anugerah-Nya ditinggalkan. (Bahkan, menurut tafsir Ibn
Abbas,“Walaa tansa nasiibaka min ad-dunya” diartikan “Janganlah kamu
tinggalkan bagianmu dari akhirat karena bagianmu dari dunia”).
Juga dalil I'mal lidunyaaka… --seandainya pun benar merupakan Hadist
shahih–mengapa tidak dipahami, misalnya,“Beramallah kamu untuk duniamu
seolah-olah kamu akan hidup abadi.” Nah, karena kamu akan hidup abadi,
jadi tak usah ngongso dan ngoyo, tak perlu ngotot. Sebaliknya, untuk
akhiratmu, karena kamu akan mati besok pagi, bergegaslah. Dengan
pemahaman seperti ini, kiranya logika hikmahnya lebih kena.
Sehubungan dengan itu, ketika kita mengulang-ulang doa,“Rabbanaa aatina
fid-dunya hasanah wa fil-akhirati hasanah,” bukankah kita memang sedang
mengharapkan kebahagiaan (secara materiil) di dunia dan kebahagiaan
(surga) di akhirat, tanpa mengusut lebih lanjut, apakah memang demikian
arti sebenarnya dari hasanah, khususnya hasanah fid-dunya itu?
Pendek kata, jika tak mau mengartikan dalil-dalil tersebut sebagai
anjuran berorientasi pada akhirat, bukankah tidak lebih baik kita
mengartikan saja itu sebagai anjuran untuk memandang dunia dan akhirat
secara proporsional (berimbang yang tidak mesti seimbang).
Memang, repotnya, kini kita sepertinya sudah terbiasa berkepentingan
dulu sebelum melihat dalil, dan bukan sebaliknya. Wallahu a'lam.
Silahkan Bagikan Artikel ini
Mohon Maaf, Kepada Semua Sahabat, Atas Ketidak Nyamanannya, Dengan adanya Shortener Di Link Download. Mohon Keridhoannya. Terima Kasih.**** Apabila kesulitan Download Silahkan buka/klik gambar(Cara Download) dibawah postingan. Apabila masih kesulitan, silahkan copy paste link download yang ada, kebrowser anda.*** Apabila ada link Download yg rusak/mati, mohon beritahu kami lewat komentar dibawah ini.