بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
اللهُم َّصلِّ علٰى سَيِّدنا مُحَمّدٍ عبدِكَ وَنبيِّكَ ورسولِكَ النَّبيِّ الاُمِيّ وَعلٰى اٰلهِ وَصَحْبِهِ وسَلِّم تسليماً بقدرِ عظمةِ ذاَتِكَ في كـُلِّ وَقتٍ وَحيـنٍ
BERTINGKAH SEPERTI TUHAN
Di jaman modern, bertingkah seperti tuhan telah demikian
lekat dengan kehidupan orang kebanyakan. Demikian halus tipu daya setan
sehingga pelaku dan orang-orang di sekitarnya pun tidak merasa bahwa
perbuatannya bertentangan dengan kode etik kemakhlukan.
Suatu sore seorang pemuda sowan kepada seorang guru mursyid
di pesantrennya yang terletak di lereng sebuah gunung di Jawa Barat. Setelah
menyampaikan salam dan basa basi, keduanya lalu asyik berdiskusi mengenai
akidah dan tasawuf.
Setelah hampir dua jam, si pemuda menjadi terpesona oleh
gaya bicara sang mursyid yang berapi-api dan energik. Iseng-iseng ia lalu
menanyakan usia kiai yang bertubuh tinggi kekar tersebut. Dan Jawaban sang kiai
membuatnya terperanjat, “Umur saya baru saja melewati 75 tahun,” ungkapnya
sambil tersenyum.
Pemuda tersebut semakin tertarik, karena bukan saja gaya
bicaranya yang masih energik, tetapi seluruh gerak gerik dan langkah kaki sang
mursyid pun masih mantap dan kokoh, seakan usianya baru 50 tahunan. Penasaran
ia menanyakan resep awet muda dari sang mursyid.
Dengan sorot mata yang menusuk, kiai tersebut menjawab,
“Kuncinya satu. Jangan memonopoli kekuasaan Allah atas makhluknya. Jangan
bertingkah sebagai tuhan di muka bumi.”
Pemuda yang semula sangat bersemangat itu langsung
terhenyak. Kalimat tersebut begitu dalam maknanya, dan terus terngiang-ngiang
di kepalanya sampai berbulan-bulan kemudian. Kata-kata sang mursyid selanjutnya,
seakan memindahkan kesadaran nalarnya ke titik hampa.
Jangan bertingkah sebagai Tuhan, Allah penguasa langit dan
bumi beserta seluruh isinya, yang curahan kasih sayang-Nya menjangkau –bahkan-
setiap nucleus, inti atom, yang tersebar di semesta raya. Tak ada satu makhluk
pun yang dibiarkan-Nya hidup tanpa limpahan rizki dan anugerah-Nya, seperti
halnya seekor tungau yang remeh temeh pun telah ditetapkan jatah sandang,
pangan dan papan sepanjang hidupnya sejak jaman azali.
“Sekarang semakin
banyak kepala keluarga --yang hanya karena telah memenuhi kebutuhan nafkah
keluarganya lalu-- merasa telah memberi rizki. Banyak juga majikan, yang karena
telah memberi upah kepada buruhnya, lalu ia merasa sudah memberi rizki...,”
terlintas lagi wajah tegas sang guru di benaknya.
Tokoh kiai tersebut tidak lain adalah KH Zainal Abidin
Anwar, wakil talqin Thariqah Qadiriyah Naqsyabandiyah di Suryalaya.
Bertingkah seperti tuhan, bukan sebuah problematika
kontemporer. Dalam penggalan sejarah, Al-Quran mengabadikan kisah-kisah orang
yang pernah mengaku sebagai tuhan, Namrudz penentang Nabi Ibrahim, Fir’aun
seteru Nabi Musa dan Nebukadnezard atau Bukhtanashor musuh Nabi Danial AS.
Sejarah juga mencatat beberapa tokoh yang bertingkah layaknya tuhan, seperti
Qarun yang congkak dan takabur karena membanggakan kekayaannya yang melimpah
ruah.
Dan kini, di zaman modern, bertingkah seperti tuhan ternyata
justru semakin lekat dalam kehidupan
orang kebanyakan. Demikian halus tipu daya setan sehingga pelaku dan
orang-orang di sekitarnya pun tidak merasa bahwa perbuatannya bertentangan
dengan kode etik kemakhlukan. Takabur, misalnya, bagi manusia adalah
ketergelinciran hati dari sifat ikhlas yang menghiasi kelurusan hidup. Karena
ketiadaan kekuatan, kekuasan dan kekayaan yang secara hakiki dimiliki oleh
makhluk.
Ibn Athailah Assakandary mengajarkan, “Allah ta’ala melarang
kalian mengakui yang bukan hak kalian dari para makhluk. Apakah Dia akan
memperkenankanmu untuk mengaku bersifat (dengan sifat) Allah, padahal Dia
adalah Pengasuh semesta alam.” (Al-Hikam)
Penangkal dari ketergelinciran ini adalah tajrid at-tauhid,
perlucutan tauhid dari selainnya, terutama terutama dalam ranah Rububiyah,
keyakinan bahwa hanya Allah saja satu-satunya zat yang menciptakan, menjaga dan
mengayomi alam semesta.
Sementara, apapun yang dilakukan manusia adalah
bagian dari proses perjalanan ta’abud, penghambaan diri, kepada sang Maha Raja.
Maka bersikap sebagai sesama hamba dengan –apapun dan siapapun- makhluk Allah
yang lain adalah kemutlakan yang harus dijalani, tanpa embel-embel apapun.
Silahkan Bagikan Artikel ini
Mohon Maaf, Atas Ketidak Nyamanannya, Dengan adanya Shortener Di Link Download. Mohon Keridhoannya. Terima Kasih. Apabila kesulitan Download Silahkan buka/klik gambar (Cara Download) dibawah postingan. apabila masih kesulitan, silahkan copy paste link download yang ada kebrowser anda.*** Apabila ada link Download yg rusak/mati, mohon beritahu kami lewat komentar dibawah ini.
Related Posts :