بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
اللهُم َّصلِّ علٰى سَيِّدنا مُحَمّدٍ عبدِكَ وَنبيِّكَ ورسولِكَ النَّبيِّ الاُمِيّ وَعلٰى اٰلهِ وَصَحْبِهِ وسَلِّم تسليماً بقدرِ عظمةِ ذاَتِكَ في كـُلِّ وَقتٍ وَحيـنٍ
Adat atau Tradisi dalam Beribada
Adat atau Tradisi dalam Beribadah
(2)
Al-Qur’an dan
Hadits merupakan rujukan pamungkas bagi syariat Islam. Keduanya mengandung
ajaran global yang akan menjawab berbagai problematika umat, di manapun dan
sampai kapan pun. Namun demikian, itu bukan berarti tidak menutup kemungkinan
ada masalah yang ’tidak ada’ dalam Al-Qur’an dan Hadits. Dalam artian, rujukan
dalam Al-Qur’an atau Hadits tidak merinci semua kejadian yang dialami manusia.
Hal ini mengingat bahwa fenomena akan terus berlangsung seiring dengan laju
zaman, sedangkan nash-nash yang ada terbatas’.
Banyak sekali hal-hal yang
sudah dilegimitasi syara’, di antaranya shalat. Nash mana pun akan mengatakan
bahwa shalat hukumnya wajib. Hal ini sesuai dengan perintah Allah dalam
Al-Qur’an QS. An-Nur : 56: ”Tunaikanlah Shalat!”
Banyak sekali
ayat-ayat dan hadits Rasulullah SAW yang menyerukan wajibnya shalat. Ini
menunjukkan bahwa shalat adalah bagian terpenting dalam Islam. Bahkan, Allah SWT
menegaskan, tidak ada hukuman mati bagi siapapun yang tidak menunaikan bagian
dari rukun Islam, baik karena malas atau lainnya, kecuali shalat. Jika seseorang
maninggalkannya karena benci akan perintah Allah, atau tidak percaya atas
wajibnya shalat, hukumnya murtad.
Setiap muslim berkewajiban manunaikan
shalat lima kali dalam sehari semalam. Ketentuan-ketentuanya telah diatur secara
gamblang dalam syara.
Rasulullah SAW telah memberikan suri tauladan dalam
tata cara shalat ini. Dalam suatu hadits, Rasulullah SAW bersabda :
”Shalatlah sebagaimana kalian mlihat cara shalatku” - H.R
Bukhari
Contoh lain adalah hukum mamakan bangkai, Allah SWT juga
menegaskan larangan mamakan bangkai, darah dan daging babi. Allah SWT berfirman
: ”Diharamkan atas kamu (memakan) bangkai, darah, daging babi, binatang yang
disembelih atas nama selain allah SWT, binatang yang mati tercekik, dipukul,
jatuh, tertanduk dan mati karena terkaman binatang buas.” QS. Al-Ma’idah:
3.
Itulah contoh perkara yang sudah mendapatkan legimitasi hukum secara
jelas. Ketika kita ditanya; Apa hukumnya shalat? Tentu jawabannya adalah wajib.
Apa hukum memakan bangkai? Tentunya haram.
Yang menjadi persolaln
sekarang; bagaimana dengan hal-hal belum ada ketentuannya, baik perintah atau
larangan adalah mubah. Dalam kaidah Fikih disebutkan: ”Asal dari segala
sesuatu adalah mubah”
Dalam masalah ini, Allah SWT pun berfirman:
”Dan tidaklah Jibril turun membawa wahyu, kecuali (itu) karena kehendak
Tuhanmu. Apa-apa yang ada di hadapan dan belakang kita serta apa yang belum
pernah terjadi adalah atas kehandak-Nya. Dan tidaklah Tuhanmu melupakan hal
itu”. QS. Maryam: 64
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas RA:
”Saya bersama Kholid bin wahid sedang menemani Rasulullah berkunjung ke
rumah Maemunah. Dihilangkan kepadanya seekor biawak. Rasulullah SAW kemudian
penasaran dan memegangnya. Lalu sebagian dari (perempuan) berkata kepada
sebagian sahabat untuk memberitahukan kepada Rasulullah SAW, bahwa ini hewan
biawak ya Rasulullah SAW, lalu beliau mengangkat tangannya. Lalu saya
menanyakan”Apakah (binatang) itu diharamkan wahai Rasulullah?” Rasulullah SAW
menjawab, ”Tidak. Tetapi tidak pernah ada di lingkungan kami, maka segala
sesuatu yang aku belum menemuinya, kami mentolerir”. Khalid pun kemudian
memakannya dan Rasulullah SAW malihatnya” (HR. Bukhari &
Muslim)
Tidak semua fenomena-fenomena itu baru tersurat dalam Al-Qur’an
dan Al-Hadits. Namun demikian, Al-Qur’an dan Hadits sudah memberikan pedoman
umum berkaitan dengan hal itu, di antaranya ketentuan bahwa sesuatu yang belum
mendapatkan legimitasi hukum dari Al-Qur’an dan Al-Hadits hukumnya mubah.
Artinya tidak diperintahkan dan tidak dilarang. Hukumnya diserahkan kepada
maslahat manusia. Jika hal itu memberikan implikasi positif, maka dianjurkan.
Sebaliknya, jika memberikan Implikasi negatif, maka
dilarang.
Diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, ”Sesungguhnya
Allah SWT telah menetapkan beberapa kewajiban. Janganlah kalian lalaikan. Allah
SWT pun telah menentukan larangan. Jangan kalian terjang. Allah WST pula telah
memberikan batasan-batasan atas segala sesuatu. Jangan sampai kalian sebagai
rahmat dan keringanan bagi kamu-dan itu bukan lalai-, maka hendaknya kalian
jangan mencari-cari hukumnya.” (HR Daruquthni)
Dari Salman RA
Berkata, ”Allah SWT telah menghalalkan yang halal dan mangharamkan yang
haram. Jadi yang halal hukumnya halal dan yang haram hukumnya haram. Adapun
sesuatu yang belum mendapatkan legimitasi hukum, maka (bisa) ditolerir - (HR Baihaqi)
Dalam kesempatan lain
Rasulullah SAW bersabda: Dari Salman Al-Farisi ra. “Kami telah bertanya
kepada Rasulullah SAW tentang minyak samin, keju dan kedelai, lalu baliau
menjawab: yang halal adalah yang telah dihalalkan Allah di dalam kitab-Nya, yang
haram adalah yang telah di haramkan di dalam kitab-Nya, adapun sesuatu yang
didiamkan hukumnya dima’fu (ditolerir)”. (HR Baihaqi)
“Sahabat
Ali bertanya: Wahai Rasulullah, bagaimanakah bila datang kepada kami sesuatu
yang tidak turun di dalam Al-Qur’an, juga tidak ada dijelaskan dalam Sunah Tuan?
Rasulullah SAW menjawab; Musyawarahkan hal itu bersama orang-orang yang ahli
ibadah dan orang-orang yang mu’min, jangan engkau memutuskan sesuatu itu hanya
dengan akal saja.” (HR. At-Thabrani)
Imam Ghazali juga memberikan
sikap yang sangat cantik dalam menyikapi sesuatu tindakan yang belum dikenal
pada masa Rasulullah SAW, dengan mengembalikan kapada pendapatnya ulama. Di
bawah ini kutipan Ghazali pada atsar:
“Ketika dikatakan kepada
Rasulullah SAW, “Apa yang harus kami perbuat manakala ada perintah dan kami
menemukan (hukum)nya baik dalam Al;-Qur’an atau Al-Hadis? “Rasulullah SAW
menjawab, “bertanyalah kepada orang-orang shaleh yang telah dijadikan sebagai
petunjuk di antara mereka”. Dalam riwayat lain, “Ulama dhahir adalah perhiasan
bumi dan langit . Sedangkan ulama bathin penghias langit dan alam malakut”.
(Ihya’ Ulumuddin, jilid1, hal. 22)
Ibnu Ajibah, dalam
tafsirnya al-Bahrul Madid,
mengutip atsar yang senada dengan sikapnya imim Ghazali, yaitu bila datang pada
kita sesuatu yang belum mendapat legalitas Al-Kitab dan As-Sunnah, maka
hendaknya dikembalikan kepada para ulama’ sebagai bahan musyawarah untuk mencari
solusi terbaik dan kemaslahatan bagi masyarakat setempat.
“Para
sahabat bertanya kepada Rasulullah SAW, Bagaimana kalau terjadi perselisihan
pada kami setelah tuan ada dan tidak kami ketemukan di kitab Allah, tidak juga
Sunah Rasulullah? Beliau menjawab: “Kembalikanlah permasalahan kepada pendapat
orng-orng shaleh dan jangan melanggar pendapatnya.” (Al-Bahrul
Madid, Jilid 2, hal. 194).
Dengan demikian segala sesuatu yang belum
terdapat dalam Al-Quran dan Al-hadis, hukumnya ‘deserahkan’ kepada ulama untuk
bahan ijtihad, mencari hukum yang sesuai dengan keadaan dan maslahat bagi
masyarakat setempat. Bukan malah di jauhi dan diklaim bid’ah, karena mengada-ada yang
tidak di temukan dalam Al-Qur'an dan hadits. Orang-orang shaleh yang dimaksud
adalah ulama-ulama mujtahidin yang mempunyai kompetensi keilmuan yang
mumpuni.
H Fadlolan Musyaffa’ Mu’thi, MA
Rais
Syuriyah PCNU Mesir
Silahkan Bagikan Artikel ini
Mohon Maaf, Atas Ketidak Nyamanannya, Dengan adanya Shortener Di Link Download. Mohon Keridhoannya. Terima Kasih. Apabila kesulitan Download Silahkan buka/klik gambar (Cara Download) dibawah postingan. apabila masih kesulitan, silahkan copy paste link download yang ada kebrowser anda.*** Apabila ada link Download yg rusak/mati, mohon beritahu kami lewat komentar dibawah ini.
Related Posts :