بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
اللهُم َّصلِّ علٰى سَيِّدنا مُحَمّدٍ عبدِكَ وَنبيِّكَ ورسولِكَ النَّبيِّ الاُمِيّ وَعلٰى اٰلهِ وَصَحْبِهِ وسَلِّم تسليماً بقدرِ عظمةِ ذاَتِكَ في كـُلِّ وَقتٍ وَحيـنٍ
Adat atau Tradisi dalam Beribada
Adat atau Tradisi dalam Beribadah
(1)
Setiap
komunitas selalu mempunyai adat dan tradisi khas sesuai dengan peradaban dan
falsafah hidup mereka. Adat dan tradisi tersebut lahir sebagai akibat dari
dinamika dan interaksi yang berkembang di suatu komunitas lingkungan masyarakat.
Oleh karenanya, bisa dikatakan, adat dan tradisi merupakan identitas dan ciri
khas suatu komunitas.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, adat atau
tradisi bermakna kebiasaan perilaku yang dijumpai secara turun-temurun. Karena
bermula dari kebiasaan dan itu merupakan warisan dari pendahulu, maka akan
terasa sangat ganjil ketika hal itu tidak boleh dilakukan atau dilakukan tapi
tidak sesuai dengan kebiasaan yang berlaku.
Allah SWT menciptakan manusia
dalam kemajemukan yang terdiri atas suku, bangsa dan tersebar di berbagai
tempat. Kemajemukan tersebut melahirkan adat dan tradisi yang sangat beragam.
Namun demikian manusia dibekali software yang tidak diberikan kepada makhluk
lain, yaitu akal. Dengan akal inilah manusia menjadi makhluk yang sangat
terhormat dan diharapkan bisa menjadi khalifah di muka bumi serta mampu
menciptakan kreasi-kreasi baru yang membawa kemaslahatan bagi sesama. Dengan
kesempurnaan yang dimilikinya, Allah SWT ‘menaruh harapan’ bahwa mereka mampu
melakukan yang terbaik di muka bumi. Semua itu sebagai amanah Allah SWT yang
harus kita manifestasikan untuk meningkatkan ketakwaan kepada Allah Yang Maha
Esa.
Masyarakat Indonesia memiliki beragam adat dan tradisi yang berbeda
dengan negara-negara lain, bahkan dari satu daerah ke daerah yang lain.
Beragamnya agama, bahasa dan budaya adalah keniscayaan dalam konteks
keindonsiaan.
Ketika masuk ke Indonesia lewat Walisongo, Islam begitu
ramah menyapa umat. Tidak ada tindakan anarkis dan frontal melawan tradisi.
Kelihaian Walisongo mengakomodasi budaya setempat ke dalam ajaran-ajaran Islam,
menampakkan hasil yang luar biasa. Para masyarakat yang sebelumnya menjadi
penganut kuat ajaran dinamisme dan animisme, pelan-pelan berbondong-bondong
menghadiri majelis-majelis yang diselenggarakan Walisongo. Mereka hadir bukan
karena dipaksa, tapi karena sadar bahwa ajaran Islam sangat simpatik dan ‘patut’
diikuti.
Itu hasil kreasi yang patut diapresiasi. Islam adalah agama yang
mampu berakumulasi, bahkan hampir bisa dikatakan tak pernah bermasalah dengan
budaya setempat. Bahkan budaya bisa didesain ulang atau dimodifikasi dengan
tampilan yang elegan menurut syara’ dan lebih berdayaguna demi meningkatkan
kasejahteraan hidup. Dengan demikian, kehadiran Islam di tengah masyarakat,
dimanapun dan sampai kapanpun, akan selalu menjadi rahmatan lil alamin.
Islam Mengakomodasi
Adat
Adat atau tradisi yang dimaksud di sini adalah adat yang
tumbuh dan berkembang disuatu komunitas dab hal itu –secara prinsip- tidak
terdapat dalam ritual syariah Islam, baik pada masa Rasulullah SAW.
Adat
atau tradisi semacam ini adalah sah-sah saja dan tak masalah. Tentunya dengan
catatan, adat atau tradisi tersebut tidak bertentangan dengan nilai-nilai luhur
Islam, mempunyai tujuan mulia dan disertai niat ibadah karena Allah SWT. Dalam
Kaidah fikih dikatakan, “al-Adah Muhakkamah ma lam yukhalif al-Syar'”
(Tradisi itu diperbolehkan selama tidak bertentangan dengan dasar-dasar
syariah).
Sahabat Abdullah bin Abbas mengatakan: Setiap sesuatu yang umat
Islam menganggap baik, maka menurut Allah baik juga, dan yang mereka anggap
buruk, maka buruk juga manurut Allah” (Diriwayatkan Al-Hakim)
Ia
juga berpesan: Sesungguhnya Allah melihat hati hambanya, selalu ditemukan hati
Muhammad SAW, sebaik-baiknya hati hambanya, lalu memilihnya untuk-Nya, dan
mengutusnya. Lalu melihat hati hambanya selain Muhammad, dan ditemukan beberapa
hati sahabatnya, lalu menjadikannya menteri bagi nadi-Nya. Setiap suatu yang
umat Islam menganggap baik, maka menurut Allah baik juga, dan yang mereka anggap
buruk, maka buruk juga menurut Allah” (Diriwayatkan oleh
Ahmad)
Dalam Hasiyah
as-Sanady disebutkan, “Bahwa
sesungguhnya sesuatu yang mubah (tidak ada perintah dan tidak ada larangan) bisa
menjadi amal ibadah selama disertai niat baik. Pelakunya mendapatkan imbalan
pahala atas amal tersebut sebagaimana pahalanya orang-orang yang beribadah”.
(Hasiyah as-Sanady, Jilid 4, hal.368)
Imam Syafi’i memberikan
batasan ideal tentang adat atau tradisi ini, menurutnya, selama adat atau
tradisi itu tidak bertentangan dengan dasar-dasar syariat, itu hal terpuji.
Artinya, agama memperbolehkannya. Sebaliknya, jika adat atau tradisi tersebut
bertentangan dengan dasar-dasar syariat, hal itu dilarang dalam
Islam.
Menurut Imam Syafi’i yang dinukil oleh Baihaqi dalam kitabnya
Manakip As Syafi’i lil
Baihaqi: Hal baru (bid’ah) terbagi menjadi 2 (dua) macam. Adakalanya hal
baru itu bertentangan dengan Al-Qur'an, as-Sunnah, al-Atsar, atau ijma Ulama.
Itulah bid’ah yang tercela. Sedangkan hal baru yang tidak bertentangan dengan
dasar-dasar agama tersebut adalah bid’ah yang terpuji. (Fathul Bari,
karya Ibn Hajar, jilid 20, hal:330)
H Fadlolan Musyaffa’ Mu’thi, MA
Rais
Syuriyah PCNU Mesir
Silahkan Bagikan Artikel ini
Mohon Maaf, Atas Ketidak Nyamanannya, Dengan adanya Shortener Di Link Download. Mohon Keridhoannya. Terima Kasih. Apabila kesulitan Download Silahkan buka/klik gambar (Cara Download) dibawah postingan. apabila masih kesulitan, silahkan copy paste link download yang ada kebrowser anda.*** Apabila ada link Download yg rusak/mati, mohon beritahu kami lewat komentar dibawah ini.
Related Posts :