بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
اللهُم َّصلِّ علٰى سَيِّدنا مُحَمّدٍ عبدِكَ وَنبيِّكَ ورسولِكَ النَّبيِّ الاُمِيّ وَعلٰى اٰلهِ وَصَحْبِهِ وسَلِّم تسليماً بقدرِ عظمةِ ذاَتِكَ في كـُلِّ وَقتٍ وَحيـنٍ
Bismilahirrahmanirrahim Walhamdulillahi Rabbil ‘aalamiin
Wassholatu Wassalamu `Ala Rasulillah, Wa’ala Aalihie Washohbihie Waman Walaah
amma ba’du… Ada beberapa nama yang bisa disebut sebagai tokoh Kitab Kuning
Indonesia. Sebut misalnya, Syekh Nawawi Al-Bantani, Syekh Abdul Shamad
Al-Palimbani, Syekh Yusuf Makasar, Syekh Syamsudin Sumatrani, Hamzah Fansuri,
Nuruddin Al-Raniri, Sheikh Ihsan Al-Jampesi, dan Syekh Muhammad Mahfudz
Al-Tirmasi. Mereka ini termasuk kelompok ulama yang diakui tidak hanya di kalangan
pesantren di Indonesia, tapi juga di beberapa universitas di luar negeri. Dari
beberapa tokoh tadi, nama Syekh Nawawi Al-Bantani boleh disebut sebagai tokoh
utamanya. Ulama kelahiran Desa Tanara, Kecamatan Tirtayasa, Serang, Banten,
Jawa Barat, 1813 ini layak menempati posisi itu karena hasil karyanya menjadi
rujukan utama berbagai pesantren di tanah air, bahkan di luar negeri. Bernama
lengkap Abu Abdullah al-Mu’thi Muhammad Nawawi bin Umar al-Tanari al-Bantani
al-Jawi,
Syekh Nawawi sejak kecil telah diarahkan ayahnya, KH. Umar bin Arabi
menjadi seorang ulama. Setelah mendidik langsung putranya, KH. Umar yang
sehari-harinya menjadi penghulu Kecamatan Tanara menyerahkan Nawawi kepada KH.
Sahal, ulama terkenal di Banten. Usai dari Banten, Nawawi melanjutkan pendidikannya
kepada ulama besar Purwakarta Kyai Yusuf. Ketika berusia 15 tahun bersama dua
orang saudaranya, Nawawi pergi ke Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji.
Tapi, setelah musim haji usai, ia tidak langsung kembali ke tanah air. Dorongan
menuntut ilmu menyebabkan ia bertahan di Kota Suci Mekkah untuk menimba ilmu
kepada ulama-ulama besar kelahiran Indonesia dan negeri lainnya, seperti Imam
Masjidil Haram Syekh Ahmad Khatib Sambas, Abdul Ghani Bima, Yusuf Sumbulaweni,
Syekh Nahrawi, Syekh Ahmad Dimyati, Ahmad Zaini Dahlan, Muhammad Khatib
Hambali, dan Syekh Abdul Hamid Daghestani. Tiga tahun lamanya ia menggali ilmu
dari ulama-ulama Mekkah. Setelah merasa bekal ilmunya cukup, segeralah ia
kembali ke tanah air. Ia lalu mengajar dipesantren ayahnya. Namun, kondisi
tanah air agaknya tidak menguntungkan pengembangan ilmunya. Saat itu, hampir
semua ulama Islam mendapat tekanan dari penjajah Belanda. Keadaan itu tidak
menyenangkan hati Nawawi. Lagi pula, keinginannya menuntut ilmu di negeri yang
telah menarik hatinya, begitu berkobar. Akhirnya, kembalilah Syekh Nawawi ke
Tanah Suci. Kecerdasan dan ketekunannya mengantarkan ia menjadi salah satu
murid yang terpandang di Masjidil Haram. Ketika Syekh Ahmad Khatib Sambas uzur
menjadi Imam Masjidil Haram, Nawawi ditunjuk menggantikannya. Sejak saat itulah
ia menjadi Imam Masjidil Haram dengan panggilan Syekh Nawawi al-Jawi. Selain
menjadi Imam Masjid, ia juga mengajar dan menyelenggarakan halaqah (diskusi
ilmiah) bagi murid-muridnya yang datang dari berbagai belahan dunia. Laporan
Snouck Hurgronje, orientalis yang pernah mengunjungi Mekkah ditahun 1884-1885
menyebut, Syekh Nawawi setiap harinya sejak pukul 07.30 hingga 12.00 memberikan
tiga perkuliahan sesuai dengan kebutuhan jumlah muridnya. Di antara muridnya yang
berasal dari Indonesia adalah KH. Kholil Madura, K.H. Asnawi Kudus, K.H.
Tubagus Bakri, KH. Arsyad Thawil dari Banten dan KH. Hasyim Asy’ari dari
Jombang. Mereka inilah yang kemudian hari menjadi ulama-ulama terkenal di tanah
air. Sejak 15 tahun sebelum kewafatannya, Syekh Nawawi sangat giat dalam
menulis buku. Akibatnya, ia tidak memiliki waktu lagi untuk mengajar. Ia
termasuk penulis yang produktif dalam melahirkan kitab-kitab mengenai berbagai
persoalan agama. Paling tidak 34 karya Syekh Nawawi tercatat dalam Dictionary
of Arabic Printed Books karya Yusuf Alias Sarkis. Beberapa kalangan lainnya
malah menyebut karya-karyanya mencapai lebih dari 100 judul, meliputi berbagai
disiplin ilmu, seperti tauhid, ilmu kalam, sejarah, syari’ah, tafsir, dan
lainnya. Di antara buku yang ditulisnya dan mu’tabar (diakui secara luas–Red)
seperti Tafsir Marah Labid, Atsimar al-Yaniah fi Ar-Riyadah al-Badiah, Nurazh
Sullam, al-Futuhat al-Madaniyah, Tafsir Al-Munir, Tanqih Al-Qoul, Fath Majid,
Sullam Munajah, Nihayah Zein, Salalim Al-Fudhala, Bidayah Al-Hidayah, Al-Ibriz
Al-Daani, Bugyah Al-Awwam, Futuhus Samad, dan al-Aqdhu Tsamin. Sebagian
karyanya tersebut juga diterbitkan di Timur Tengah. Dengan kiprah dan
karya-karyanya ini, menempatkan dirinya sebagai Sayyid Ulama Hijaz hingga
sekarang. Dikenal sebagai ulama dan pemikir yang memiliki pandangan dan
pendirian yang khas, Syekh Nawawi amat konsisten dan berkomitmen kuat bagi
perjuangan umat Islam. Namun demikian, dalam menghadapi pemerintahan kolonial
Hindia Belanda, ia memiliki caranya tersendiri. Syekh Nawawi misalnya, tidak
agresif dan reaksioner dalam menghadapi kaum penjajah. Tapi, itu tak berarti ia
kooperatif dengan mereka. Syekh Nawawi tetap menentang keras kerjasama dengan
kolonial dalam bentuk apapun. Ia lebih suka memberikan perhatian kepada dunia
ilmu dan para anak didiknya serta aktivitas dalam rangka menegakkan kebenaran
dan agama Allah SWT. Dalam bidang syari’at Islamiyah, Syekh Nawawi mendasarkan
pandangannya pada dua sumber inti Islam, Alquran dan Al-Hadis, selain juga
ijma’ dan qiyas. Empat pijakan ini seperti yang dipakai pendiri Mazhab
Syafi’iyyah, yakni Imam Syafi’i. Mengenai ijtihad dan taklid (mengikuti salah
satu ajaran), Syekh Nawawi berpendapat, bahwa yang termasuk mujtahid (ahli
ijtihad) mutlak adalah Imam Syafi’i, Hanafi, Hanbali, dan Maliki. Bagi keempat
ulama itu, katanya, haram bertaklid, sementara selain mereka wajib bertaklid
kepada salah satu keempat imam mazhab tersebut. Pandangannya ini mungkin agak
berbeda dengan kebanyakan ulama yang menilai pintu ijtihad tetaplah terbuka
lebar sepanjang masa. Barangkali, bila dalam soal mazhab fikih, memang keempat
ulama itulah yang patut diikuti umat Islam kini. Apapun, umat Islam patut
bersyukur pernah memiliki ulama dan guru besar keagamaan seperti Syekh Nawawi
Al-Bantani. Kini, tahun haul (ulang tahun wafatnya) diperingati puluhan ribu
orang di Tanara, Banten, setiap tahunnya. Syekh Nawawi al-Bantani wafat dalam
usia 84 tahun di Syeib A’li, sebuah kawasan di pinggiran kota Mekkah, pada 25
Syawal 1314H/1879 M.
Syekh Muhammad bin Umar Nawawi Al-Bantani Al-Jawi, adalah ulama Indonesia
bertaraf internasional, lahir di Kampung Pesisir, Desa Tanara, Kecamatan
Tanara, Serang, Banten, 1815. Sejak umur 15 tahun pergi ke Makkah dan tinggal
di sana tepatnya daerah Syi’ab Ali, hingga wafatnya 1897, dan dimakamkan di
Ma’la. Ketenaran beliau di Makkah membuatnya di juluki Sayyidul Ulama Hijaz
(Pemimpin Ulama Hijaz). Daerah Hijaz adalah daerah yang sejak 1925 dinamai
Saudi Arabia (setelah dikudeta oleh Keluarga Saud).
Diantara ulama Indonesia yang sempat belajar ke Beliau adalah Syaikhona Khalil
Bangkalan dan Hadratusy Syekh KH Hasyim Asy’ari. Kitab-kitab karangan beliau
banyak yang diterbitkan di Mesir, seringkali beliau hanya mengirimkan
manuscriptnya dan setelah itu tidak mempedulikan lagi bagaimana penerbit
menyebarluaskan hasil karyanya, termasuk hak cipta dan royaltinya. Selanjutnya
kitab-kitab beliau itu menjadi bagian dari kurikulum pendidikan agama di
seluruh pesantren di Indonesia, bahkan Malaysia, Filipina, Thailand, dan juga
negara-negara di Timur Tengah. Begitu produktifnya beliau dalam menyusun kitab
(semuanya dalam bahasa Arab) hingga orang menjulukinya sebagai Imam Nawawi
kedua. Imam Nawawi pertama adalah yang membuat Syarah Shahih Muslim, Majmu’
Syarhul Muhadzdzab, Riyadlush Shalihin, dll. Namun demikian panggilan beliau
adalah Syekh Nawawi bukan Imam Nawawi.
Jumlah kitab beliau yang terkenal dan banyak dipelajari ada sekitar 22 kitab.
Beliau pernah membuat tafsir Al-Qur’an berjudul Mirah Labid yang berhasil
membahas dengan rinci setiap ayat suci Al-Qur’an. Buku beliau tentang etika
berumah tangga, berjudul Uqudul Lijain (diterjemahkan ke Bahasa Indonesia)
telah menjadi bacaan wajib para mempelai yang akan segera menikah. Kitab
Nihayatuz Zain sangat tuntas membahas berbagai masalah fiqih (syariat Islam).
Sebuah kitab kecil tentang syariat Islam yang berjudul Sullam (Habib Abdullah
bin Husein bin Tahir Ba’alawi), diberinya Syarah (penjelasan rinci) dengan
judul baru Mirqatus Su’udit Tashdiq. Salah satu karya beliau dalam hal kitab
hadits adalah Tanqihul Qoul, syarah Kitab Lubabul Hadith (Imam Suyuthi). Kitab
Hadits lain yang sangat terkenal adalah Nashaihul Ibad, yang beberapa tahun
yang lalu dibahas secara bergantian oleh Alm. KH Mudzakkir Ma’ruf dan KH Masrikhan
(dari Masjid Jami Mojokerto) dan disiarkan berbagai radio swasta di Jawa Timur.
Kitab itu adalah syarah dari kitabnya Syekh Ibnu Hajar Al-Asqalani.
Di antara karomah beliau adalah, saat menulis syarah kitab Bidayatul Hidayah
(karya Imam Ghozali), lampu minyak beliau padam, padahal saat itu sedang dalam
perjalanan dengan sekedup onta (di jalan pun tetep menulis, tidak seperti kita,
melamun atau tidur). Beliau berdoa, bila kitab ini dianggap penting dan
bermanfaat buat kaum muslimin, mohon kepada Allah SWT memberikan sinar agar
bisa melanjutkan menulis. Tiba-tiba jempol kaki beliau mengeluarkan api,
bersinar terang, dan beliau meneruskan menulis syarah itu hingga selesai. Dan
bekas api di jempol tadi membekas, hingga saat Pemerintah Hijaz memanggil
beliau untuk dijadikan tentara (karena badan beliau tegap), ternyata beliau
ditolak, karena adanya bekas api di jempol tadi.
Karomah yang lain, nampak saat beberapa tahun setelah beliau wafat, makamnya
akan dibongkar oleh pemerintah untuk dipindahkan tulang belulangnya dan liang
lahadnya akan ditumpuki jenazah lain (sebagaimana lazim di Ma’la). Saat itulah
para petugas mengurungkan niatnya, sebab jenazah Syekh Nawawi (beserta
kafannya) masih utuh walaupun sudah bertahun-tahun dikubur. Karena itu, bila
pergi ke Makkah, Insya Allah kita akan bisa menemukan makam beliau di Pemakaman
Umum Ma’la. Banyak juga kaum Muslimin yang mengunjungi rumah bekas peninggalan
beliau di Serang, Banten.
Nama Syekh Nawawi Banten sudah tidak asing lagi bagi umat Islam Indonesia.
Bahkan sering terdengar disamakan kebesarannya dengan tokoh ulama klasik
madzhab Syafi’i Imam Nawawi (w.676 H/l277 M). Melalui karya-karyanya yang
tersebar di pesantren-pesantren tradisional yang sampai sekarang masih banyak
dikaji, nama Kiai asal Banten ini seakan masih hidup dan terus menyertai umat
memberikan wejangan ajaran Islam yang menyejukkan. Di setiap majlis ta’lim
karyanya selalu dijadikan rujukan utama dalam berbagai ilmu; dari ilmu tauhid,
fiqh, tasawuf sampai tafsir. Karya-karyanya sangat berjasa dalam mengarahkan
mainstrim keilmuan yang dikembangkan di lembaga-Iembaga pesantren yang berada
di bawah naungan NU.
Di kalangan komunitas pesantren Syekh Nawawi tidak hanya dikenal sebagai ulama
penulis kitab, tapi juga ia adalah mahaguru sejati (the great scholar). Nawawi
telah banyak berjasa meletakkan landasan teologis dan batasan-batasan etis
tradisi keilmuan di lembaga pendidikan pesantren. Ia turut banyak membentuk
keintelektualan tokoh-tokoh para pendiri pesantren yang sekaligus juga banyak
menjadi tokoh pendiri organisasi Nahdlatul Ulama (NU). Apabila KH. Hasyim
Asyari sering disebut sebagai tokoh yang tidak bisa dilepaskan dari sejarah
berdirinya NU, maka Syekh Nawawi adalah guru utamanya. Di sela-sela pengajian
kitab-kitab karya gurunya ini, seringkali KH. Hasyim Asyari bernostalgia
bercerita tentang kehidupan Syekh Nawawi, kadang mengenangnya sampai meneteskan
air mata karena besarnya kecintaan beliau terhadap Syekh Nawawi.
Mengungkap jaringan intelektual para ulama Indonesia sebelum organisasi NU berdiri
merupakan kajian yang terlupakan dari perhatian para pemerhati NU. Terlebih
lagi bila ditarik sampai keterkaitannya dengan keberhasilan ulama-ulama
tradisional dalam karir keilmuannya di Mekkah dan Madinah. Salah satu faktor
minimnya kajian di seputar ini adalah diakibatkan dari persepsi pemahaman
sebagian masyarakat yang sederhana terhadap NU. NU dipahami sebagai organisasi
keagamaan yang seolah-olah hanya bergerak dalam sosial politik dengan sejumlah
langkah-langkah perjalanan politik praktisnya, dan bukan sebagai organisasi
intelektual keagamaan yang bergerak dalam keilmuan dan mencetak para ulama.
Sehingga orang merasa heran dan terkagum-kagum ketika menyaksikan belakangan
ini banyak anak muda NU mengusung gerakan pemikiran yang sangat maju, berani dan
progressif. Mereka tidak menyadari kalau di tubuh NU juga memiliki akar tradisi
intelektual keilmuan yang mapan dan tipikal. Dengan begitu NU berdiri untuk
menyelamatkan tradisi keilmuan Islam yang hampir tercerabut dari akar keilmuan
ulama salaf. Figur ulama seperti Syekh Nawawi Banten merupakan sosok ulama
berpengaruh yang tipikal dari model pemikiran demikian.
Ia memegang teguh mempertahankan traidisi keilmuan klasik, suatu tradisi
keilmuan yang tidak bisa dilepaskan dari kesinambungan secara evolutif dalam
pembentukkan keilmuan agama Islam. Besarnya pengaruh pola pemahaman dan
pemikiran Syekh Nawawi Banten terhadap para tokoh ulama di Indonesia, Nawawi
dapat dikatakan sebagai poros dari akar tradisi keilmuan pesantren dan NU.
Untuk itu menarik jika di sini diuraikan sosok sang kiai ini dengan sejumlah
pemikiran mendasar yang kelak akan banyak menjadi karakteristik pola pemikiran
dan perjuangan para muridnya di pesantren-pesantren.
Hidup Syekh Nawawi
Syekh Nawawi Banten memiliki nama lengkap Abu Abd al-Mu’ti Muhammad ibn Umar
al- Tanara al-Jawi al-Bantani. Ia lebih dikenal dengan sebutan Muhammad Nawawi
al-Jawi al-Bantani. Dilahirkan di Kampung Tanara, Serang, Banten pada tahun
1815 M/1230 H. Pada tanggal 25 Syawal 1314 H/1897 M. Nawawi menghembuskan nafasnya
yang terakhir di usia 84 tahun. Ia dimakamkan di Ma’la dekat makam Siti
Khadijah, Ummul Mukminin istri Nabi. Sebagai tokoh kebanggaan umat Islam di
Jawa khususnya di Banten, Umat Islam di desa Tanara, Tirtayasa Banten setiap
tahun di hari Jum’at terakhir bulan Syawwal selalu diadakan acara khol untuk
memperingati jejak peninggalan Syekh Nawawi Banten.
Ayahnya bernama Kiai Umar, seorang pejabat penghulu yang memimpin Masjid. Dari
silsilahnya, Nawawi merupakan keturunan kesultanan yang ke-12 dari Maulana
Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati, Cirebon), yaitu keturunan dari putra
Maulana Hasanuddin (Sultan Banten I) yang bemama Sunyararas (Tajul ‘Arsy).
Nasabnya bersambung dengan Nabi Muhammad melalui Imam Ja’far As- Shodiq, Imam
Muhammad al Baqir, Imam Ali Zainal Abidin, Sayyidina Husen, Fatimah al-Zahra.
Pada usia 15 tahun, ia mendapat kesempatan untuk pergi ke Mekkah menunaikan
ibadah haji. Di sana ia memanfaatkannya untuk belajar ilmu kalam, bahasa dan
sastra Arab, ilmu hadis, tafsir dan terutama ilmu fiqh. Setelah tiga tahun
belajar di Mekkah ia kembali ke daerahnya tahun 1833 dengan khazanah ilmu
keagamaan yang relatif cukup lengkap untuk membantu ayahnya mengajar para
santri. Nawawi yang sejak kecil telah menunjukkan kecerdasannya langsung
mendapat simpati dari masyarakat Kedatangannya membuat pesantren yang dibina
ayahnya membludak didatangi oleh santri yang datang dari berbagai pelosok.
Namun hanya beberapa tahun kemudian ia memutuskan berangkat lagi ke Mekkah
sesuai dengan impiannya untuk mukim dan menetap di sana.
Di Mekkah ia melanjutkan belajar ke guru-gurunya yang terkenal, pertama kali ia
mengikuti bimbingan dari Syeikh Khatib Sambas (Penyatu Thariqat
Qodiriyah-Naqsyabandiyah di Indonesia) dan Syekh Abdul Gani Duma, ulama asal
Indonesia yang bermukim di sana. Setelah itu belajar pada Sayid Ahmad Dimyati,
Ahmad Zaini Dahlan yang keduanya di Mekkah. Sedang di Madinah, ia belajar pada
Muhammad Khatib al-Hanbali. Kemudian ia melanjutkan pelajarannya pada
ulama-ulama besar di Mesir dan Syam (Syiria). Menurut penuturan Abdul Jabbar
bahwa Nawawi juga pemah melakukan perjalanan menuntut ilmunya ke Mesir. Guru
sejatinya pun berasal dari Mesir seperti Syekh Yusuf Sumbulawini dan Syekh
Ahmad Nahrawi.
Setelah ia memutuskan untuk memilih hidup di Mekkah dan meninggalkan kampung
halamannya ia menimba ilmu lebih dalam lagi di Mekkah selama 30 tahun. Kemudian
pada tahun 1860 Nawawi mulai mengajar di lingkungan Masjid al-Haram. Prestasi
mengajarnya cukup memuaskan karena dengan kedalaman pengetahuan agamanya, ia tercatat
sebagai Syekh di sana. Pada tahun 1870 kesibukannya bertambah karena ia harus
banyak menulis kitab. Inisiatif menulis banyak datang dari desakan sebagian
koleganya yang meminta untuk menuliskan beberapa kitab. Kebanyakan permintaan
itu datang dari sahabatnya yang berasal dari Jawi, karena dibutuhkan untuk
dibacakan kembali di daerah asalnya. Desakan itu dapat terlihat dalam setiap
karyanya yang sering ditulis atas permohonan sahabatnya. Kitab-kitab yang
ditulisnya sebagian besar adalah kitab-kitab komentar (Syarh) dari karya-karya
ulama sebelumnya yang populer dan dianggap sulit dipahami. Alasan menulis Syarh
selain karena permintaan orang lain, Nawawi juga berkeinginan untuk
melestarikan karya pendahulunya yang sering mengalami perubahan (ta’rif) dan
pengurangan.
Dalam menyusun karyanya Nawawi selalu berkonsultasi dengan ulama-ulama besar
lainnya, sebelum naik cetak naskahnya terlebih dahulu dibaca oleh mereka.
Dilihat dari berbagai tempat kota penerbitan dan seringnya mengalami cetak
ulang sebagaimana terlihat di atas maka dapat dipastikan bahwa karya tulisnya
cepat tersiar ke berbagai penjuru dunia sampai ke daerah Mesir dan Syiria.
Karena karyanya yang tersebar luas dengan menggunakan bahasa yang mudah
dipahami dan padat isinya ini nama Nawawi bahkan termasuk dalam kategori salah
satu ulama besar di abad ke 14 H/19 M. Karena kemasyhurannya ia mendapat gelar:
A’yan ‘Ulama’ al-Qarn aI-Ra M’ ‘Asyar Li al-Hijrah,. AI-Imam al-Mul1aqqiq wa
al-Fahhamah al-Mudaqqiq, dan Sayyid ‘Ulama al-Hijaz [pemimpin Ulama daerah
Hijaz, red.].
Kesibukannya dalam menulis membuat Nawawi kesulitan dalam mengorganisir waktu
sehingga tidak jarang untuk mengajar para pemula ia sering mendelegasikan
siswa-siswa seniornya untuk membantunya. Cara ini kelak ditiru sebagai metode pembelajaran
di beberapa pesantren di pulau Jawa. Di sana santri pemula dianjurkan harus
menguasai beberapa ilmu dasar terlebih dahulu sebelum belajar langsung pada
kiai agar proses pembelajaran dengan kiai tidak mengalami kesulitan.
Bidang Teologi
Karya-karya besar Nawawi yang gagasan pemikiran pembaharuannya berangkat dari
Mesir, sesungguhnya terbagi dalam tujuh kategorisasi bidang; yakni bidang
tafsir, tauhid, fiqh, tasawuf, sejarah nabi, bahasa dan retorika. Hampir semua
bidang ditulis dalam beberapa kitab kecuali bidang tafsir yang ditulisnya hanya
satu kitab. Dari banyaknya karya yang ditulisnya ini dapat jadikan bukti bahwa
memang Syeikh Nawawi adalah seorang penulis produktif multidisiplin, beliau
banyak mengetahui semua bidang keilmuan Islam. Luasnya wawasan pengetahuan
Nawawi yang tersebar membuat kesulitan bagi pengamat untuk menjelajah seluruh
pemikirannya secara komprehensif-utuh.
Dalam beberapa tulisannya seringkali Nawawi mengaku dirinya sebagai penganut
teologi Asy’ari (al-Asyari al-I’tiqodiy). Karya-karyanya yang banyak dikaji di
Indonesia di bidang ini dianranya Fath ai-Majid, Tijan al-Durari, Nur al
Dzulam, al-Futuhat al-Madaniyah, al-Tsumar al-Yaniah, Bahjat al-Wasail,
Kasyifat as-Suja dan Mirqat al-Su’ud.
Sejalan dengan prinsip pola fikir yang dibangunnya, dalam bidang teologi Nawawi
mengikuti aliran teologi Imam Abu Hasan al-Asyari dan Imam Abu Manshur
al-Maturidi. Sebagai penganut Asyariyah Syekh Nawawi banyak memperkenalkan
konsep sifa-sifat Allah. Seorang muslim harus mempercayai bahwa Allah memiliki
sifat yang dapat diketahui dari perbuatannya (His Act), karena sifat Allah
adalah perbuatanNya. Dia membagi sifat Allah dalam tiga bagian : wajib,
mustahil dan mumkin. Sifat Wajib adalah sifat yang pasti melekat pada Allah dan
mustahil tidak adanya, dan mustahil adalah sifat yang pasti tidak melekat pada
Allah dan wajib tidak adanya, sementara mumkin adalah sifat yang boleh ada dan
tidak ada pada Allah. Meskipun Nawawi bukan orang pertama yang membahas konsep
sifatiyah Allah, namun dalam konteks Indonesia Nawawi dinilai orang yang
berhasil memperkenalkan teologi Asyari sebagai sistem teologi yang kuat di
negeri ini.
Kemudian mengenai dalil naqliy dan ‘aqliy, menurutnya harus digunakan
bersama-sama, tetapi terkadang bila terjadi pertentangan di antara keduanya
maka naql harus didahulukan. Kewajiban seseorang untuk meyakini segala hal yang
terkait dengan keimanan terhadap keberadaan Allah hanya dapat diketahui oleh
naql, bukan dari aql. Bahkan tiga sifat di atas pun diperkenalkan kepada Nabi.
Dan setiap mukallaf diwajibkan untuk menyimpan rapih pemahamannya dalam benak
akal pikirannya.
Tema yang perlu diketahui di sini adalah tentang Kemahakuasaan Allah
(Absolutenes of God). Sebagaimana teolog Asy’ary lainnya, Nawawi menempatkan
dirinya sebagai penganut aliran yang berada di tengah-tengah antara dua aliran
teologi ekstrim: Qadariyah dan Jabbariyah, sebagaimana dianut oleh ahlussunnah
wal-Jama’ah. Dia mengakui Kemahakuasaan Tuhan tetapi konsepnya ini tidak sampai
pada konsep jabariyah yang meyakini bahwa sebenamya semua perbuatan manusia itu
dinisbatkan pada Allah dan tidak disandarkan pada daya manusia, manusia tidak
memiliki kekuatan apa-apa. Untuk hal ini dalam konteks Indonesia sebenarnya
Nawawi telah berhasil membangkitkan dan menyegarkan kembali ajaran Agama dalam
bidang teologi dan berhasil mengeliminir kecenderungan meluasnya konsep
absolutisme Jabbariyah di Indonesia dengan konsep tawakkal bi Allah.
Sayangnya sebagian sejarawan modern terlanjur menuding teologi Asyariyah
sebagai sistem teologi yang tidak dapat menggugah perlawanan kolonialisme.
Padahal fenomena kolonialisme pada waktu itu telah melanda seluruh daerah Islam
dan tidak ada satu kekuatan teologi pun yang dapat melawannya, bahkan daerah
yang bukan Asyariyah pun turut terkena. Dalam konteks Islam Jawa teologi
Asyariyah dalam kadar tertentu sebenamya telah dapat menumbuhkan sikap
merdekanya dari kekuatan lain setelah tawakkal kepada Allah. Melalui konsep
penyerahan diri kepada Allah umat Islam disadarkan bahwa tidak ada kekuatan
lain kecuali Allah. Kekuatan Allah tidak terkalahkan oleh kekuatan kolonialis.
Di sinilah letak peranan Nawawi dalam pensosialisasian teologi Asyariyahnya
yang terbukti dapat menggugah para muridnya di Mekkah berkumpul dalam “koloni
Jawa”. Dalam beberapa kesempatan Nawawi sering memprovokasi bahwa bekerja sama
dengan kolonial Belanda (non muslim) haram hukumnya. Dan seringkali kumpulan
semacam ini selalu dicurigai oleh kolonial Belanda karena memiliki potensi
melakukan perlawanan pada mereka.
Sementara di bidang fikih tidak berlebihan jika Syeikh Nawawi dikatakan sebagai
“obor” mazhab imam Syafi’i untuk konteks Indonesia. Melalui karya-karya fiqhnya
seperti Syarh Safinat an-Naja, Syarh Sullam at-Taufiq, Nihayat az-Zain fi
Irsyad al-Mubtadi’in dan Tasyrih ala Fathul Qarib, sehingga KH. Nawawi berhasil
memperkenalkan madzhab Syafi’i secara sempurna Dan, atas dedikasi KH. Nawawi
yang mencurahkan hidupnya hanya untuk mengajar dan menulis mendapat apresiasi
luas dari berbagai kalangan. Hasil tulisannya yang sudah tersebar luas setelah
diterbitkan di berbagai daerah memberi kesan tersendiri bagi para pembacanya.
Pada tahun 1870 para ulama Universitas al-Azhar Mesir pernah mengundangnya
untuk memberikan kuliah singkat di suatu forum diskusi ilmiyah. Mereka tertarik
untuk mengundangnya karena nama KH. Nawawi sudah dikenal melalui karya-karyanya
yang telah banyak tersebar di Mesir.
Sufi Brilian
Sejauh itu dalam bidang tasawuf, Nawawi dengan aktivitas intelektualnya
mencerminkan ia bersemangat menghidupkan disiplin ilmu-ilmu agama. Dalam bidang
ini ia memiliki konsep yang identik dengan tasawuf ortodok. Dari karyanya saja
Nawawi menunjukkan seorang sufi brilian, ia banyak memiliki tulisan di bidang
tasawuf yang dapat dijadikan sebagai rujukan standar bagi seorang sufi. Brockleman,
seorang penulis dari Belanda mencatat ada 3 karya Nawawi yang dapat
merepresentasikan pandangan tasawufnya : yaitu Misbah al-Zulam, Qami’
al-Thugyan dan Salalim al Fudala. Di sana Nawawi banyak sekali merujuk kitab
Ihya ‘Ulumuddin al-Ghazali. Bahkan kitab ini merupakan rujukan penting bagi
setiap tarekat.
Pandangan tasawufnya meski tidak tergantung pada gurunya Syekh Khatib Sambas,
seorang ulama tasawuf asal Jawi yang memimpin sebuah organisasi tarekat, bahkan
tidak ikut menjadi anggota tarekat, namun ia memiliki pandangan bahwa
keterkaitan antara praktek tarekat, syariat dan hakikat sangat erat. Untuk
memahami lebih mudah dari keterkaitan ini Nawawi mengibaratkan syariat dengan
sebuah kapal, tarekat dengan lautnya dan hakekat merupakan intan dalam lautan
yang dapat diperoleh dengan kapal berlayar di laut. Dalam proses pengamalannya
Syariat (hukum) dan tarekat merupakan awal dari perjalanan (ibtida’i) seorang
sufi, sementara hakikat adalah hasil dari syariat dan tarikat. Pandangan ini
mengindikasikan bahwa Syekh Nawawi tidak menolak praktek-praktek tarekat selama
tarekat tersebut tidak mengajarkan hal-hat yang bertentangan dengan ajaran
Islam, syariat.
Paparan konsep tasawufnya ini tampak pada konsistensi dengan pijakannya
terhadap pengalaman spiritualitas ulama salaf. Tema-teman yang digunakan tidak
jauh dari rumusan ulama tasawuf klasik. Model paparan tasawuf inilah yang
membuat Nawawi harus dibedakan dengan tokoh sufi Indonesia lainnya. la dapat
dimakzulkan (dibedakan) dari karakteristik tipologi tasawuf Indonesia, seperti
Hamzah Fansuri, Nuruddin al-Raniri, Abdurrauf Sinkel dan sebagainya.
Tidak seperti sufi Indonesia lainnya yang lebih banyak porsinya dalam menyadur
teori-teori genostik Ibnu Arabi, Nawawi justru menampilkan tasawuf yang moderat
antara hakikat dan syariat. Dalam formulasi pandangan tasawufnya tampak
terlihat upaya perpaduan antara fiqh dan tasawuf. Ia lebih Gazalian (mengikuti
Al-Ghazali) dalam hal ini. Dalam kitab tasawufnya Salalim al-Fudlala, terlihat
Nawawi bagai seorang sosok al-Gazali di era modern. Ia lihai dalam mengurai
kebekuan dikotomi fiqh dan tasawuf. Sebagai contoh dapat dilihat dari
pandangannya tentang ilmu alam lahir dan ilmu alam batin. Ilmu lahiriyah dapat
diperoleh dengan proses ta’allum (berguru) dan tadarrus (belajar) sehingga
mencapai derajat ‘alim sedangkan ilmu batin dapat diperoleh melalui proses
dzikr, muraqabah dan musyahadah sehingga mencapai derajat ‘Arif. Seorang Abid
diharapkan tidak hanya menjadi ‘alim yang banyak mengetahui ilmu-ilmu lahir
saja tetapi juga harus arif, memahami rahasia spiritual ilmu batin. Bagi Nawawi
Tasawuf berarti pembinaan etika (Adab). Penguasaan ilmu lahiriah semata tanpa
penguasaan ilmu batin akan berakibat terjerumus dalam kefasikan, sebaliknya
seseorang berusaha menguasai ilmu batin semata tanpa dibarengi ilmu lahir akan
terjerumus ke dalam zindiq. Jadi keduanya tidak dapat dipisahkan dalam upaya
pembinaan etika atau moral (Adab). Selain itu ciri yang menonjol dari sikap
kesufian Nawawi adalah sikap moderatnya. Sikap moderat ini terlihat ketika ia
diminta fatwanya oleh Sayyid Ustman bin Yahya, orang Arab yang menentang
praktek tarekat di Indonesia, tentang tasawuf dan praktek tarekat yang
disebutnya dengan “sistem yang durhaka”. Permintaan Sayyid Ustman ini bertujuan
untuk mencari sokongan dari Nawawi dalam mengecam praktek tarekat yang dinilai
oleh pemerintah Belanda sebagai penggerak pemberontakan Banten 1888. Namun
secara hati-hati Nawawi menjawab dengan bahasa yang manis tanpa menyinggung
perasaan Sayyid Ustman. Sebab Nawawi tahu bahwa di satu sisi ia memahami
kecenderungan masyarakat Jawi yang senang akan dunia spiritual di sisi lain ia
tidak mau terlibat langsung dalam persoalan politik. Setelah karyanya banyak
masuk di Indonesia wacana keIslaman yang dikembangkan di pesantren mulai
berkembang. Misalkan dalam laporan penelitian Van Brunessen dikatakan bahwa
sejak tahun 1888 M, bertahap kurikulum pesantren mulai acta perubahan mencolok.
Bila sebelumnya seperti dalam catatan Van Den Berg dikatakatan tidak ditemukan
sumber referensi di bidang Tafsir, Ushl al-Fiqh dan Hadits, sejak saat itu
bidang keilmuan yang bersifat epistemologis tersebut mulai dikaji. Menurutnya
perubahan tiga bidang di atas tidak terlepas dari jasa tiga orang alim
Indonesia yang sangat berpengaruh: Syekh Nawawi Banten sendiri yang telah
berjasa dalam menyemarakkan bidang tafsir, Syekh Ahmad Khatib (w. 1915) yang
telah berjasa mengembangkan bidang Ushul Fiqh dengan kitabnya al-Nafahat ‘Ala
Syarh al-Waraqat, dan Kiai Mahfuz Termas (1919 M) yang telah berjasa dalam bidang
Ilmu Hadis. Sebenarnya karya-karya Nawawi tidak hanya banyak dikaji dan
dipelajari di seluruh pesantren di Indonesia tetapi bahkan di seluruh wilayah
Asia Tenggara. Tulisan-tulisan Nawawi dikaji di lembaga-lembaga pondok
tradisional di Malaysia, Filipina dan Thailand. Karya Nawawi diajarkan di
sekolah-sekolah agama di Mindanao (Filipina Selatan), dan Thailand. Menurut Ray
Salam T. Mangondanan, peneliti di Institut Studi Islam, University of
Philippines, pada sekitar 40 sekolah agama di Filipina Selatan yang masih
menggunakan kurikulum tradisional. Selain itu Sulaiman Yasin, seorang dosen di
Fakultas Studi Islam, Universitas Kebangsaan di Malaysia, mengajar karya-karya
Nawawi sejak periode 1950-1958 di Johor dan di beberapa sekolah agama di
Malaysia. Di kawasan Indonesia menurut Martin Van Bruinessen yang sudah
meneliti kurikulum kitab-kitab rujukan di 46 Pondok Pesantren Klasik 42 yang
tersebar di Indonesia mencatat bahwa karya-karya Nawawi memang mendominasi
kurikulum Pesantren. Sampai saat ia melakukan penelitian pada tahun 1990
diperkirakan pada 22 judul tulisan Nawawi yang masih dipelajari di sana. Dari
100 karya populer yang dijadikan contoh penelitiannya yang banyak dikaji di
pesantren-pesantren terdapat 11 judul populer di antaranya adalah karya Nawawi.
Penyebaran karya Nawawi tidak lepas dari peran murid-muridnya. Di Indonesia
murid-murid Nawawi termasuk tokoh-tokoh nasional Islam yang cukup banyak
berperan selain dalam pendidikan Islam juga dalam perjuangan nasional. Di
antaranya adalah : KH. Hasyim Asyari dari Tebuireng Jombang, Jawa Timur.
(Pendiri organisasi Nahdlatul Ulama ), KH. Kholil dari Bangkalan, Madura, Jawa
Timur, KH. Asyari dari Bawean, yang menikah dengan putri KH. Nawawi, Nyi
Maryam, KH. Najihun dari Kampung Gunung, Mauk, Tangerang yang menikahi cucu
perempuan KH. Nawawi, Nyi Salmah bint Rukayah bint Nawawi, KH. Tubagus Muhammad
Asnawi, dari Caringin Labuan, Pandeglang Banten, KH. Ilyas dari Kampung Teras,
Tanjung Kragilan, Serang , Banten, KH. Abd Gaffar dari Kampung Lampung, Kec. Tirtayasa,
Serang Banten, KH. Tubagus Bakri dari Sempur, Purwakarta. Penyebaran karyanya
di sejumlah pesantren yang tersebar di seluruh wilayah nusantara ini
memperkokoh pengaruh ajaran Nawawi. Penelitian Zamakhsyari Dhofir mencatat
pesantren di Indonesia dapat dikatakan memiliki rangkaian geneologi yang sama.
Polarisasi pemikiran modernis dan tradisionalis yang berkembang di Haramain
seiring dengan munculnya gerakan pembaharuan Afghani dan Abduh, turut
mempererat soliditas ulama tradisional di Indonesia yang sebagaian besar adalah
sarjana-sarjana tamatan Mekkah dan Madinah. Bila ditarik simpul pengikat di
sejumlah pesantren yang ada maka semuanya dapat diurai peranan kuatnya dari
jasa enam tokoh ternama yang sangat menentukan warna jaringan intelektual pesantren.
Mereka adalah Syekh Ahmad Khatib Syambas, Syekh K.H. Nawawi Banten., Syekh K.H.
Mahfuz Termas, Syekh K.H. Abdul Karim, K.H. Kholil Bangkalan Madura, dan Syekh
K.H. Hasyim Asy’ari. Tiga tokoh yang pertama merupakan guru dari tiga tokoh
terakhir. Mereka berjasa dalam menyebarkan ide-ide pemikiran gurunya.
Karya-karya Nawawi yang tersebar di beberapa pesantren, tidak lepas dari jasa
mereka. K.H. Hasyim Asya’ari, salah seorang murid Nawawi terkenal asal Jombang,
sangat besar kontribusinya dalam memperkenalkan kitab-kitab Nawawi di
pesantren-pesantren di Jawa. Dalam merespon gerakan reformasi untuk kembali
kepada al-Qur’an di setiap pemikiran Islam, misalkan, K.H. Hasyim Asya’ari
lebih cenderung untuk memilih pola penafsiran Marah Labid karya Nawawi yang tidak
sama sekali meninggalkan karya ulama Salaf. Meskipun ia senang membaca Kitab
tafsir al-Manar karya seorang reformis asal Mesir, Muhammad Abduh, tetapi
karena menurut penilaiannya Abduh terlalu sinis mencela ulama klasik, ia tidak
mau mengajarkannya pada santri dan ia lebih senang memilih kitab gurunya. Dua
tokoh murid Nawawi lainnya berjasa di daerah asalnya. Syekh K.H. Kholil
Bangkalan dengan pesantrennya di Madura tidak bisa dianggap kecil perannya
dalam penyebaran karya Nawawi. Begitu juga dengan Syekh Abdul Karim yang
berperan di Banten dengan Pesantrennya, dia terkenal dengan nama Kiai Ageng.
Melalui tarekat Qadiriyah wan Naqsyabandiyah Ki Ageng menjadi tokoh sentral di
bidang tasawuf di daerah Jawa Barat. Kemudian ciri geneologi pesantren yang satu
sama lain terkait juga turut mempercepat penyebaran karya-karya Nawawi,
sehingga banyak dijadikan referensi utama. Bahkan untuk kitab tafsir karya
Nawawi telah dijadikan sebagai kitab tafsir kedua atau ditempatkan sebagai
tingkat mutawassith (tengah) di dunia Pesantren setelah tafsir Jalalain.
Peranan Kiai para pemimpin pondok pesantren dalam memperkenalkan karya Nawawi
sangat besar sekali. Mereka di berbagai pesantren merupakan ujung tombak dalam
transmisi keilmuan tradisional Islam. Para kiai didikan K.H Hasyim Asyari
memiliki semangat tersendiri dalam mengajarkan karya-karya Nawawi sehingga
memperkuat pengaruh pemikiran Nawawi. Dalam bidang tasawuf saja kita bisa
menyaksikan betapa ia banyak mempengaruhi wacana penafsiran sufistik di
Indonesia. Pesantren yang menjadi wahana penyebaran ide penafsiran Nawawi
memang selain menjadi benteng penyebaran ajaran tasawuf dan tempat pengajaran
kitab kuning juga merupakan wahana sintesis dari dua pergulatan antara tarekat
heterodoks versus tarekat ortodoks di satu sisi dan pergulatan antara gerakan
fiqh versus gerakan tasawuf di sisi lain. Karya-karyanya di bidang tasawuf
cukup mempunyai konstribusi dalam melerai dua arus tasawuf dan fiqh tersebut.
Dalam hal ini Nawawi, ibarat al-Ghazali, telah mendamaikan dua kecenderungan
ekstrim antara tasawuf yang menitik beratkan emosi di satu sisi dan fiqh yang
cenderung rasionalistik di sisi lain. Sejak abad ke-20 pesantren memiliki
fungsi strategis. Gerakan intelektual dari generasi pelanjut K.H. Nawawi ini
lambat laun bergeser masuk dalam wilayah politik. Ketika kemelut politik di
daerah Jazirah Arab meletus yang berujung pada penaklukan Haramain oleh
penguasa Ibn Saud yang beraliran Wahabi, para ulama pesantren membentuk sebuah
komite yang disebut dengan “komite Hijaz” yang terdiri dari 11 ulama pesantren.
Dengan dimotori oleh K.H. Wahab Hasbullah dari Jombang Jatim, seorang kiai
produk perguruan Haramain, komite ini bertugas melakukan negosiasi dengan raja
Saudi yang akan memberlakukan kebijakan penghancuran makam-makam dan peninggalan-peninggalan
bersejarah dan usaha itu berhasil. Dan, dalam perkembangannya komite ini
kemudian berlanjut mengikuti isu-isu politik di dalam negeri. Untuk masuk dalam
wilayah politik praktis secara intens organisasi ini kemudian mengalami perubahan
nama dari Nahdlatul Wathan (NW) sampai jadi Nahdlatul Ulama (NU). Dengan
demikian dapat ditegaskan bahwa KH.Nawawi merupakan sosok ulama yang menjadi
“akar tunjang” dalam tradisi keintelektualan NU. Sebab karakteristik pola
pemikirannya merupakan representasi kecenderungan pemikiran tradisional yang
kuat di tengah-tengah gelombang gerakan purifikasi dan pembaharuan. Kehadiran
NU adalah untuk membentengi tradisi ini dari ancaman penggusuran intelektual
yang mengatasnamakan tajdid terhadap khasanah klasik. Karenanya formulasi
manhaj al-Fikr tawaran KH. Nawawi banyak dielaborasi (diuraikan kembali) oleh
para ulama NU sebagai garis perjuangannya yang sejak tahun 1926 dituangkan
dalam setiap konferensinya. Bahkan tidak berlebihan bila disebut berdirinya NU
merupakan tindak lanjut institusionalisasi dari arus pemikiran KH. Nawawi
Banten.
Silahkan Bagikan Artikel ini
Mohon Maaf, Kepada Semua Sahabat, Atas Ketidak Nyamanannya, Dengan adanya Shortener Di Link Download. Mohon Keridhoannya. Terima Kasih.**** Apabila kesulitan Download Silahkan buka/klik gambar(Cara Download) dibawah postingan. Apabila masih kesulitan, silahkan copy paste link download yang ada, kebrowser anda.*** Apabila ada link Download yg rusak/mati, mohon beritahu kami lewat komentar dibawah ini.