بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
اللهُم َّصلِّ علٰى سَيِّدنا مُحَمّدٍ عبدِكَ وَنبيِّكَ ورسولِكَ النَّبيِّ الاُمِيّ وَعلٰى اٰلهِ وَصَحْبِهِ وسَلِّم تسليماً بقدرِ عظمةِ ذاَتِكَ في كـُلِّ وَقتٍ وَحيـنٍ
Sunan Kalijaga; Mistik dan Makrifat
Penulis : Achmad Chodjim
Sunan Kalijaga merupakan nama salah seorang Wali Sanga yang
sangat terkenal pada masyarakat Jawa. Meski demikian, sangat sedikit orang yang
mengetahui ajarannya. Umumnya hanya mengetahui sebatas warisan karyanya berupa
tembang, antara lain tembang “Ilir-ilir” yang biasa dinyanyikan anak-anak di
Jawa.
Nama kecilnya adalah Raden Syahid. Anak adipati
Tuban bernama Tumenggung Wilatikta atau Aria Teja (IV) yang merupakan keturunan
dari Aria adikara atau Ranggalawe, salah seorang pendiri kerajaan Majapahit.
Ketika ia lahir, Majapahit sudah mulai surut sedangkan kesejahteraan masyarakat
sangat memprihatinkan.
Kondisi demikian rupanya menumbuhkan keprihatinan
di hatinya, terlebih sang ayah tidak dapat berbuat apa-apa mengingat posisinya
hanya sebatas raja bawahan. Maka jalan pintas pun dilakukannya dengan menjadi
maling cluring, sebutan kepada pencuri yang membagikan hasil curiannya kepada
orang miskin. Seperti sosok Robin Hood dalam cerita masyarakat Britania.
Akibatnya, ia diusir dari istana kadipaten. Namun
hal itu tidak membuatnya jera, sambil mengembara ia tetap melanjutkan aksinya.
Hingga akhirnya bertemu dengan seorang lelaki tua yang kelak diketahui bernama
Sunan Bonang. Pertemuan legendaris inilah yang mampu mengubah jalan hidup sang
Raden, sehingga tercerahkan dan menjadi salah satu wali penyebar agama Islam
terpopuler.
Nama Kalijaga sendiri berasal dari laku tirakat
yang dilakukannya demi menjaga amanat sang guru untuk bertapa sekaligus
menantinya di tepi sungai. Selain dikenal dengan nama Sunan Kalijaga, beliau
juga dalam hikayat Patani dikenal dengan nama Syekh Sa’id yang berhasil
mengobati Raja Patani hingga sembuh. Sedang di Malaya lebih dikenal dengan nama
Syekh Malaya. Kedua daerah tersebut merupakan kawasan pengembaraan kanjeng
Sunan sebelum kembali ke tanah Jawa.
Meski kisah dan perjuangan sosok yang satu ini
sangat menarik, namun buku berjudul Sunan Kalijaga; Mistik dan Makrifat ini
lebih memilih untuk mengungkap ajaran serta laku sang Sunan. Sehingga pembaca
tidak sekedar diajak mendengarkan kisah hidup, namun lebih jauh dan dalam
menyelami pemikiran serta ajaran yang diwariskannya kepada komunitas muslim
nusantara.
Laku dan Pemikiran Sunan
Dalam presidium Wali Sanga, Sunan Kalijaga dikenal
sebagai wali yang paling njawani alias paling getol menggunakan materi-materi
budaya dan tradisi lokal sebagai media dakwahnya. Sosoknya juga dikenal sebagai
wali yang tetap berpakaian ala Jawa, lebih memilih mengenakan blangkon dan baju
jas model Jawa (surjan) daripada jubah. (Halaman 144)
Pendekatan budaya yang dilakukan Sunan ketika
mensosialisasikan Islam kepada masyarakat luas dilakukan baik melalui
tembang-tembang seperti Pupuh Dhandanggula, Pupuh Kinanthi, Kidung Darmawedha
dan lain-lain, maupun perhelatan besar maulid atau yang lebih dikenal dengan
Grebeg Maulud dan Sekaten.
Tembang-tembang yang digubahnya bukan sembarang
tembang tanpa makna sebagaimana produk kebudayaan pop saat ini. Akan tetapi
tembang dan ekspresi budaya yang bukan hanya memiliki nilai-nilai keislaman
yang mampu mengantarkan pembacanya pada pemahaman ajaran yang didakwahkan,
namun juga terkandung makna filosofis-mistis yang tinggi.
Kalijaga memang dikenal sebagai seorang mistikus
Islam dan Jawa sekaligus. Sebagai seorang sufi agung, sumber rujukan pelajaran
keimanan dan makrifatnya berasal dari kitab Ihya Ulum al-Din karya al-Ghazali.
Meski demikian, jika melihat pemikirannya yang tertuang dalam karya-karyanya,
tampaknya Sunan melakukan sinkretisme antara pemikiran dan laku spiritual dari
luar dengan praktik mistik Jawa. (Halaman 204)
Sunan memang sosok wali yang menjadi inovator
kebudayaan pada zamannya. Ia tidak mau hanya menjiplak dan menelan bulat-bulat
apa yang berasal dari nusantara. Sebagaimana pakaian yang dikenakannya,
lagu-lagu gubahannya, serta bahasa yang digunakannya, Sunan selalu melihat dan
mempertimbangkan kondisi sosial, politik dan kebudayaan masyarakat setempat.
Baginya, substansi lebih penting daripada sekedar
atribut luar. Pemikiran tersebut dapat kita jumpai misalnya dari sikapnya
terhadap budaya wayang. Sebelum Islam masuk, wayang purwa telah menjadi media
yang digunakan untuk mendidik budi pekerti dan moralitas orang Jawa.
Alih-alih memberangus serta melakukan pembongkaran
terhadap kebudayaan luhur tersebut, secara cerdas Sunan justru memanfaatkan
wayang untuk menyebarkan agama Islam. Caranya, dengan memasukkan unsur-unsur
Islam ke dalamnya dan memodifikasi cerita yang pada awalnya merujuk pada
keyakinan Hindu menjadi Islam. (Halaman 340)
Selama ini, Sunan Kalijaga juga sering dianggap
sebagai orang yang melakukan hukuman mati terhadap Syekh Siti Jenar, anggapan
yang dibantah oleh Achmad Chodjim, penulis buku setebal 371 halaman ini.
Alasannya karena Pangeran Panggung, putra Sunan sendiri merupakan salah seorang
murid Siti Jenar.
Selain itu, nama-nama Ki Ageng Pamanahan, Ki
Panjawi, dan Ki Juru Martani merupakan anak didik Kalijaga, padahal orangtua
mereka merupakan para murid Siti Jenar. Hal demikian menunjukkan bahwa
sangatlah tidak mungkin terjalin relasi guru dan murid ini jika Kalijaga menjadi
eksekutor dari kakek guru mereka.
Judul Buku : Sunan Kalijaga;
Mistik dan Makrifat
Penulis
: Achmad Chodjim
Penerbit
: Serambi
Cetakan
: I, 2013
Tebal
: 371 Halaman
Peresensi
: Noval Maliki
Alumni
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Direktur
Demi Buku Institute.
Silahkan Download ebooknya Disini
Daftar Ebook Islami
Silahkan Bagikan Artikel ini
Mohon Maaf, Atas Ketidak Nyamanannya, Dengan adanya Shortener Di Link Download. Mohon Keridhoannya. Terima Kasih. Apabila kesulitan Download Silahkan buka/klik gambar (Cara Download) dibawah postingan. apabila masih kesulitan, silahkan copy paste link download yang ada kebrowser anda.*** Apabila ada link Download yg rusak/mati, mohon beritahu kami lewat komentar dibawah ini.
Related Posts :