بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
اللهُم َّصلِّ علٰى سَيِّدنا مُحَمّدٍ عبدِكَ وَنبيِّكَ ورسولِكَ النَّبيِّ الاُمِيّ وَعلٰى اٰلهِ وَصَحْبِهِ وسَلِّم تسليماً بقدرِ عظمةِ ذاَتِكَ في كـُلِّ وَقتٍ وَحيـنٍ
Misykat Al-Anwar
Allah Adalah Cahaya Langit dan Bumi
Al-Ghazali
***************
Pemahaman Batiniah Perlu di
Samping Pemahaman Lahiriah
Dari contoh-contoh dan
misal-misal yang telah kuberikan sebelum ini, janganlah sekali-kali Anda
berasumsi bahwa aku dapat menyetujui, atau memaafkan tindakan sebagian orang
yang ingin mengabaikan hal-hal lahiriah. Atau seakan-akan aku menganggap bahwa
itu semua boleh dibatalkan.
Lalu aku berkata, misalnya, bahwa
dalam kenyataannya Musa tidak mengenakan sepasang sandal dan tidak
sungguh-sungguh mendengar ucapan Allah yang memerintahkannya : “Tanggalkan
sandalmu!” Tidak, demi Allah. Membatalkan hal-hal lahiriah sama sekali adalah paham
(aliran) kaum Batiniah yang memandang dengan satu mata saja ke arah satu dari
dua alam yang ada. Mereka itu sungguh amat bodoh dan tidak mengerti adanya
keseimbangan antara keduanya, dan oleh sebab itu mereka tertutup dari arah
pemikiran yang benar.
Sebaliknya, membatalkan
makna-makna batiniah (rahasia-rahasia di balik segala sesuatu), adalah aliran
kaum Hasyawiyyah. Jadi, orang hanya mau mengakui segala yang zhahir (konkret)
saja, adalah penganut paham Hasyawiyyah. Yang hanya mau mengakui segala yang bathin
(abstrfak) saja adalah penganut aliran Batiniah. Sedangkan yang menggabungkan
antara keduanya adalah kamil (sempurna). Itulah sebabnya Rasulullah saw, pernah
bersabda :
“Al-Quran memiliki lahir dan
batin; akhir dan awal. (Ada kemungkinan ucapan ini dinukilkan dari Ali r.a.
secara mauquf).
Menurut hematku, Musa a.s. memahami
perintah menanggalkan sepasang sandalnya sebagai “melepaskan kedua bagian
alam”, yakni dunia dan akhirat. Dia pun mematuhi perintah itu, secara lahir,
dengan menanggalkan sandalnya dan, secara batin, dengan melepaskan kedua alam
itu dari dalam dirinya. Itulah “penyeberangan” dari sesuatu ke sesuatu lainnya,
dari sesuatu yang zhahir ke sesuatu yang bersifat rahasia.
Memang, terdapat perbedaan antara
orang yang mendengar sabda Rasulullah Saw. : “Malaikat tidak memasuki rumah
yang ada anjing atau gambar”. Lalu ia memelihara anjing di rumahnya sembari
berkata : “Larangan itu tidak dimaksudkan secara lahiriah, tapi maksudnya ialah
‘mengosongkan rumah-rumah kalbu dari anjing kemurkaan’, sebab dialah yang
menghalangi masuknya ma’rifat yang berasal dari cahaya-cahaya malaikat,
sedangkan kemurkaan adalah hantu akal.”
Sungguh berbeda antara orang
seperti itu dengan seseorang yang mematuhi perintah itu secara lahiriah dan
setelah itu ia berkata bahwa binatang anjing disebut begitu bukan karena rupa
dan bentuknya, melainkan karena makna yang dibawanya, yakni kebinatangan dan
keganasan.
Jika penyelamatan rumah – yang
merupakan tempat kediaman diri dan badan seseorang – dariapda citra keanjingan
merupakan suatu hal yang wajib, maka sudah tentu lebih wajib lagi menjaga dan
menyelamatkan rumah kalbu --- yang merupakan substansi hakiki dan khusus – agar
dijauhkan dari sifat keanjingan.
Begitulah, orang seperti ini,
yang menggabungkan antara yang lahir dan yang batin bersama-sama, adalah insan
kamil (sempurna). Itulah yang dimaksudkan oleh ucapan sebagian kaum ‘arifin :
“manusia kamil ialah manusia yang cahaya ilmunya tidak menyebabkan padamnya
cahaya wara’-nya, yakni ketulusan sikapnya di hadapan Allah Swt, demikian pula
seorang kamil tak akan mengizinkan dirinya melampaui batasan apa pun di antara
batasan-batasan syariat. Hal ini disebabkan kesempurnaan wawasan batinnya.”
Di sini adakalanya orang
terjerumus dalam penyimpangan seperti yang terjadi pada diri beberapa orang
yang ber-suluk, yaitu dengan mengabaikan hukum-hukum syariat yang bersifat
lahiriah, sehingga adakalanya seseorang dari mereka meninggalkan kewajiban
shalat dengan mengatakan bahwa “ia terus menerus berada dalam keadaan shalat
dengan batinnya”.
Inilah penyimpangan terberat yang
menimpa orang-orang bodoh di antara kaum Ibahiyah (penganut paham keserbabolehan)
yang terkelabui oleh hal-hal yang remeh-remeh dan penuh dusta.
Seperti ucapan sebagian dari
mereka bahwa “Allah tak membutuhkan amalan kita” atau ucapan lainnya yaitu
bahwa hatinya penuh dengan kotoran dan kekejian yang tak mungkin disucikan
darinya; demikian pula ia tak mampu mencabut kemurkaan dan syahwat sampai ke
akar-akarnya; sedangkan ia mengira dirinya diperintahkan untuk berbuat demikian
(yakni, menjadi orang yang suci sepenuhnya). Ini merupakan puncak kebodohan.
Adapun tentang yang kami
sebutkan sebelumnya, itu hanyalah kesalahan-kesalahan yang lebih kecil, sama
seperti tergelincirnya kuda pacuan di suatu saat (yang biasanya tak pernah
mengecewakan), atau kesalahan seorang ahli suluk (yang biasanya amat
berhati-hati) yang sedang tergoda oleh setan yang mengulurkan tali ghurur (tipu
daya) kepadanya.
Silahkan Bagikan Artikel ini
Mohon Maaf, Atas Ketidak Nyamanannya, Dengan adanya Shortener Di Link Download. Mohon Keridhoannya. Terima Kasih. Apabila kesulitan Download Silahkan buka/klik gambar (Cara Download) dibawah postingan. apabila masih kesulitan, silahkan copy paste link download yang ada kebrowser anda.*** Apabila ada link Download yg rusak/mati, mohon beritahu kami lewat komentar dibawah ini.
Related Posts :