بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
اللهُم َّصلِّ علٰى سَيِّدنا مُحَمّدٍ عبدِكَ وَنبيِّكَ ورسولِكَ النَّبيِّ الاُمِيّ وَعلٰى اٰلهِ وَصَحْبِهِ وسَلِّم تسليماً بقدرِ عظمةِ ذاَتِكَ في كـُلِّ وَقتٍ وَحيـنٍ
Terjemah Kitab
" SURAT-SURAT SANG SUFI "
Muhammad Ibn ‘Abad
" SURAT PERTAMA "
Kepada
Muhammad ibn Adibah. Surat untuk menjawab sebuah pertanyaan seseorang tentang
satu masalah dalam kitab Qut Al-Qulub (Santapan Kalbu), dalam bab “Takut”.
Surat ini juga memuat informasi bermanfaat lainnya yang dibutuhkan seorang
pencari dalam berhubungan dengan orang-orang tertentu
1.
Kusampaikan salam hangatku kepadamu. Aku memohon
kepada Allah Swt. agar memberi kita keberhasilan sempurna, petunjuk ke arah
Jalan Lurus, dan jaminan bahwa harapan kita bakal terpenuhi dan amalan-amalan
kita menjadi benar.
Telah kuterima suratmu. Di dalamnya engkau mencari
penjelasan atas pertanyaan yang dikemukakan kepadamu oleh kitab karya Abu
Thalib, risalah penyembuhan. Seperti yang kau minta, berupaya menjelaskan
sepenuhnya kandungan kitab itu berarti harus mengungkapkan rahasia-rahasia dan
pengetahuan gaib. Yang demikian itu sungguh riskan dan amat berbahaya. Lagi
pula, analisis tajam terhadap sifat-sifat dan hakikat Allah sangatlah
menyulitkanku. Orang dapat sampai pada kebenaran-kebenaran seperti itu hanya
dengan cahaya keimanan, dan hanya manusia-manusia paling tulus dan ikhlaslah
yang beroleh bimbingan di sepanjang
Jalan itu. Siapakah di antara kita yang dapat mengklaim hidup di Jalan itu atau
merupakan bagian dari masyarakat seperti itu? Nafsu kita telah membuat ktia
buta. Kita tidak tahu lagi bagaimana kita mesti berperilaku; jejak-jejak padang
perkemahan menghentikan langkah kita, sampai kita kehabisana bekal dan gagal
mencapai tujuan. Dengan pelbagai kelicikan dan bujuk rayunya, musuh dan tingkah
laku kita telah membunuh kita. Pandangan kita buta, dan kalbu kita gelap
gulita. Sungguh suatu kecongkakan dan kesombongan belaka bila kita
menghasaratkan pengalaman menyeluruh tentang apa yang engaku minta agar aku
menjelaskannya, menyusuri jalan penyingkapan dan kejelasan pandangan. Yang
demikian itu, berarti mengabaikan kepastian kita serta menjerumuskan diri kita
ke jurang kebodohan presensi (berpamrih) yang melecehkan dan menghina
orang-orang pandai dan membuktikan kejahilan orang-orang bodoh. Kebatilan tidak
bakal bisa tegak dengan sarana seperti itu.
2.
Seandainya kita harus memasuki dunia ahli fiqih,
kita akan tahu bahwa mereka juga tidak bakal mampu memuaskan dahaga kita atau
menunjukki kita jalan pemahaman lewat penggunaan akal dan pandangan-pandangan
kaku mereka. Semuanya itu merupakan langkah mundur dan tidak tepat. Salah satu
alternatif kita dalam hal ini ialah menyerahkan hal itu kepada emreka yang
berwenang dan layak menanganinya. Kita harus puas dengan apa yang ada pada diri
kita dan mencari mukasyafah (penyingkapan) dari Tuhan, Yang menurunkan wahyu,
Yang Mahabijak. Kita harus mencari bimbingan menuju Jalan Lurus (Qs. 1 : 5)
dari orang-orang yang menegaskan treansendensi dan mengingkari antropomorfisme
. jalan itu benar-benar aman dari pelbagai kemalangan, dan akan menjaga
orang-orang seperti kita dari pelbagai perilaku serta tindakan bodoh.
Diperlukan perilaku yang benar, kalau kita berjalan dengan apra wali dan guru
spiritual, suatu perilaku yang mengangkat seseorang ke puncak tertinggi
kewalian. Seperti dikatakan oleh al-Junayd, “Meyakini apa yang telah kita pelajari
: Inilah kewalian.” Sekalipun begitu, aku tetap merasa berkewajiban menjawab
pertanyaanmu, karenanya, aku akan berbicara tentang soal ini sejauh
pemahamanku. Aku akan membahas apa yang tampaknya tepat dalam keadaan seperti
ini, dalam upaya menghilangkan keraguan serta sikap yagn tidak bisa
dipertahankan lagi. Aku akan membatasi perhatianku pada hal itu saja. Sekiranya
aku nanti sampai pada Kebenaran Mistik, maka hal itu terjadi berkat bantuan
Ilahi. Jika aku gagal, penyebabnya adalah kelemahan manusiawi semata. Betapapun
juga, hanya Allah Swt. saja yang berhak dipuji.
Ini adalah soal penting yang merupakan bagian dari
ilmu mengenal keesaan Allah. Dengan dmeikian, ia berkaitan dengan soal waktu
yang penting bagi orang-orang yagn yakin akan keunikan Allah. Ini selaras
dengan prinsip-prinsip kaum sufi, melambangkan makna spiritual ketulusan, dan
berasal dari orang-orang yang memiliki keyakinan, keimanan, pengalaman dan
pandangan yang jelas. Hal itu tidak bisa dijelaskan kecuali dengan
menghayatinya, dan taka da seorang pun bisa membuktikan kebenarannya kecuali
dengan memberikan contohnya.
Al-Ghzali setuju dengan padangan Abu Thalib, dan
mengungkapkan soal itu dengan cara yang sama. Keduanya berbicara tentang
muslihat (Ilahi) dan menguraikannya secara panjang lebar. Dan Allah Swt. telah
menisbahkan hati itu pada Diri-Nya dalam berbagai surah di dalam Kitab-Nya,
sama seperti dinisbahkannya cobaan, godaan dan kelicikan kepada-Nya. Semua
istilah ini mengungkapkan aspek-aspek dari kehendak dan pengetahuan-Nya, dan
menunjukkan bahwa kesucian, transendensi dan keagungan-Nya tidak bisa
dibandingkan dan sama sekali tak mengandung antropomirfisme.
Baiklah, aku mulai saja di sini dengan
pendahuluan. Pencipta Mahaagung telah menciptakan dan membentuk manusia dengan
kesempurnaan dan ketidaksempurnaan, semuanya itu amatlah kecil manakala
dibandingkan dengan-Nya. Kemudian, Dia membekali manusia dengan kecenderungan
untuk mengetahui (Ma’rifah) tentang Diri-Nya dan tentang sifat-sifat serta
Nama-nama-Nya. Dengan sarana itu, Dia mengangkat seseorang tinggi-tinggi
mengatasi batasan-batasan intelek, sehingga seseorang dapat memahami ilmu-ilmu
empiris, serta menuntunnya untuk merenungi berbagai tanda kekuasaan di alam
semesta dan dalam diri makhluk. Keagungan dan keajaiban menampakkan diri di
depan seseorang yang memperhatikan tanda-tanda kekuasaan ini. Semuanya itu
memaksa dirinya mengakui bahwa Pencipta, Penyebab Pertama memiliki sifat-sifat
seperti hidup, mengetahui, berkuasan dan berkehendak – bahkan waktu seseorang
memperhatikan dirinya sendiri setelah menyelesaikan pekerjaan. Kemudian orang
itu juga memperhatikan dirinya sendiri serta melihat di sana sifat-sifat
kesempurnaan seperti mendengar, melihat dan berkata-kata, sehingga pengalaman
ihwal kekuasaan Ilahi memaksanhya menisbahkan sifat-sifat serupa kepada
Pencipta.
3.
Lalu, orang melihat perbedaan sangat besar antara
yang baru dan yang azali, makhluk dan Khalik. Hal ini mendorong dia menegaskan
transendensi dan mengingkari antropomorfisme. Pada titik ini, orang memahami
segala yang bisa dijangkau oleh pemahaman manusia tentang transendensi
Penciptanya Yang Maha Tinggi. Dari sana, dia naik ke derajat tertinggi dan
tingkatan maksimal kemampuannya untuk menegaskan dan melihat. Inilah proses,
yang dengan proses ini, seseorang mengamati dan melakukan refleksi dan
terbimbing menuju Sebab lewat akibat-akibat-Nya.dan proses itu akan cukup
membimbing setiap orang yagn pandai menuju dasar-dasar pengetahauan mendalam
yagn merupakan syarat bagi keselamatan dan kemajuan spiritual. Akan tetapi,
orang mungkin masih mengalami keraguan dalam keimanannya dan tidak mengalami pengembangan
inti wujudnya serta penyucian kalbu.
Kemudian Allah Swt. memilihi sebagian hamba-Nya.
Allah Swt. menampakkan diri-Nya kepada mereka lewat cahaya-Nya, sesuatu yang
tampak ssangat jelas bagi mereka. Dengan cahaya itu, mereka pergi menyusuri
jalan yang ditunjukkan dengan jelas oleh pengetahuan mendlam mereka
tentang-Nya. Mereka merenungkan sifat-sifat menakjubkan dan Nama-nama-Nya
dengan cara yang tidak pernah dilakukan oleh golongan pertama. Mereka memahami
keagungan kehadiran Ilahi dan cahaya-cahaya suci sedemikian sehingga tak dapat
dilakukan oeh orang-orang yang mencari bukti. Kepada orang-orang yang mencari
bukti inilah hamba-hamba terpilih itu mengatakan, “Mengapa engkau mencari informasi tentang apa
yang pada dasarnya tidak bisa dipaparkan? Kapan Dia Dia begitu tersembunyi
sehingga tidak ada bukti tentang-Nya?
Bagaimana mungkin Dia hilang dari kita sementara banyak jejak yang menuntuk
kita menuju kepada-Nya? Bisakah segala sesuatu selin Dia menjadi tampak dengan
cara di luar kekuatan alaminya sampai Di menampakkannya? Mana mungkin Dia yang
pada diri-Nya segala sifat diketahui bisa diketahui oleh sifat-sifat-Nya? Atau,
mana mungkin Dia yagn Wujud-Nya mendahului segala wujud lainnya bisa dibedakan
sebagai satu entitas khas? Dan bagaimana mungkin dengan sarana tidak memadai
Dia yang “lebih dekat ketimbang urat leher” (banding Qs. 50 : 16) bisa
dijangkau? Dan “Tidakkah cukup Tuhanmu, karena sesungguhnya Dia menyaksikan
segala sesuatu?” (Qs. 41 : 53).
Melalui pengetahuan mendalam tentang-Nya, mereka sampai
hanya pada nama-nama; disebabkan oleh transendensi-Nya, mereka tidak sampai
pada batas pujian dan pengagungan paling jauh. Namun mereka merenungkan Wujud
itu, dan bila segala sesuatu lainnya dibandingkan dengan-Nya hanyalah ketiadaan
semata, yang bila keabadian segala sesuatu lainnya ddibandingkan dengan-Nya
tidak berarti apa-apa, yang mengalaminya hanyalah kepalsuan, yang melihatnya
hanyalah ilusi, yagn mengingatnya hanyalah kelupaan, dan yang bertambahnya
hanyalah kekurangan. Demikianlah, mereka melihat dengan pandangan mata
keyakinan dan bukti yagn jelas keberanaran orang yang mengatakan, “Allah maujud
sebelum segala sesuatu, dan Dia maujud terpisah dari segala sesuatu yagn
bergantung kepada-Nya.”
Setelah mereka mencapai peringkat ini, mereka bisa
memahami Sang Raja Yang Maha Mengetahui. Dia bebaskan mereka dari perbudakan
menuju pengetahuan dan menyebabkan mereka mati terhadapat segala-galanya.
Relung kalbu mereka menjadi suci, dan Allah Swt. menampakkan diri kepada mereka
melalui Sifat-sifat dan Nama-nama-Nya
yang paling mulia. Dia beri mereka pengetahuan tentang apa yang
dikehendaki-Nya, sehingga mereka berlaku sebagai hamba di hadapan Tuannya.
Mereka beristirahat di tempat di maan Zat yang mengetahui setiap pemikiran
rahasia mereka mengawasi mereka. Mereka bergabung dalam barisan ibadah
bersama-sama orang-orang yang “membentuk shaf serta bertasbih memuji-Nya”
(bandingkan Qs. 37: 165-166). Mereka
mencapai tingkatan hamba paling mulia, dan bertasbih dengan lidah
keadaan spiritual mereka, seraya berkata, “ Betapa banyak hasrat kalbuku .....”
Dan betapa bahagianya mereka dipilih menjadi penghuni tempat orang-orang yang
dicintai, dengan “Akhir kehidupan indah.” (Qs. 3 : 14, 13 : 29), seperti diungkapkan dalam Umm
Al-Kitab.
4.
Perbedaan antara dua jalan dan metode-metodenya
ini bisa dengan gamblang dijelaskan dengan cara begini. Di dalam inti jalan
pertama dicarinya bukti oleh akal serta ketidakmampuan akal untuk memahami,
kecuali dengan penalaran analogis dan perbandingan. Yang demikian itu berlaku selama
dibimbing oleh pengkajian empiris. Akan tetapi, jalan kedua bertumpu pada
cahaya keyakinan, yang hanya dengan itu Kebenran Nyata tampak jelas. Itulah
sesuatu paling agung yang bisa turun dari langit ke dalam kalbu orang-orang
mukmin pilihan, yang dengan begitu memahami Kebenran Mistik Sifat-sifat dan
Nama-nama.
Setelah engkau memahami pendahuluan ini, engkau
akan memahami bahwa berbagai keberatan yang kau ajukan berkenaan dengan Syaikh
Abu Thalib runtuh dengan sendirinya. Masalah ini berkaitan erat dengan cara
berpikir yagn tidak ada hubungannya dengan pemahaman analogis atau tatanan
rasional. Selanjutnya, keberatan-keberatan itu berkaitan dengan cara berpikir
yang lebih luas, sebab pendekatannya terhadap masalah ini tidak melampaui
batas-batas akal.
Sekarang tentang pernyataan Abu Thalib, “Muslihat
Tuhan tak berkesudahan, sebab kehendak dan ketentuan-Nya juga tak terbatas.” Di
sini dia menyebutkan bahwa satu aspek dari pengetahuan, kalam, kehendak dan
keputusan Allah Swt. itu, tak dapat dipahami dan dimengerti. Karena itulah Nabi
dan Jibril takup kepada tipu daya Tuhan mereka yang Maha Kuasa dan Maha Tinggi,
sekalipun mereka memiliki keimanan kuat. Takut seperti inilah yang niscaya ada
pada diri kita. Hampir tak bisa dibayangkan untuk lepas dari rasa takut seperti
ini, sebab hal ini adalah salah satu syarat bagi keimanan dan pengetahuan
tentang Sifat-sifat dan Nama-nama hakiki Tuhan. Karena itu, semakin besar
pengetahuan kita tetnang Sifat-sifat dan Nama-nama, semakin takut kita jadinya.
Seperti dikatakan oleh salah seorang sufi, “Seorang yang meiliki penegtahuan
mendalam tentang Allah Swt. tidak akan merasa nyaman, dengan pengetahuan
seperti ini menggoncangkan rasa amannya. Hanya orang-orang berandalan saja yang
menganggap diri mereka aman dari tipu daya Tuhan.” (Qs 7:79). Dan seorang
lainnya mengatakan : “Takutlah keapda Tuhanmu sedemikian sehingga engaku
selamat dari segala hal, tapi waspadalah jangan sampai hatimu merasa aman dari
Allah Swt dalam hal terntu.” Dengan kata lain, tidak ada alasan untuk takut
kepada sesuatu, akan tetapi, seseorang tak bkal pernah merasa aman dari Allah
Swt.
Sesungguhnya makna lahiriah firman Allah “Aku
telah menjadikan kamu berdua aman” tidaklah dimaksudkan untuk menghilangkan
ketakutan mereka, sebab, makna yang tampak dari dari kata-kata itu tidak
menghilangkan kebutuhan batiniah akan sifat takut itu. Seperti telah dikatakan
oleh Syaikh Abu Thalib, pernyataan itu berlaku pada sifat khusus bahwa Allah
Swt. sudah menetapkan ketentuan dengan pengetahuan-Nya. Ini adalah satu aspek
dari transendensi kalam Allah, dan tak ada satu pun yang bertentangan
dengannya, sebab metode-metode rasional
tidak bisa menghalangi Allah dari mengatakan hal-hal yang tidak bisa
kita pahami. Dalam pembahasan ini, cobaan dan ujian Muhammad dan Jibril bersifat
mendidik bagi kita. Hal itu akan bermanfaat buat kita untuk mengamati keadaan
mereka dalam memperhatikan hakikat Sifat-sifat Ilahi, untuk mengetahui
bagaimana Allah mengubah keadaan hamba pilihan-Nya, seperti dalam ksiah Ibrahim
a.s.
Janji pengukuhan dari Allah sungguh masuk akal.
Tapi bagaimana melihat nuansa-nuansa itu? Selain itu, dalam pengalaman Muhammad
dan Jibril ada sesuatu yang menunjukkan kebergantungan penuh mereka kepada
Tuhan meraka yang Mahakuasa dan Mahatinggi. Tingkatan (maqam) ini – Allah
mengangkat Nabi-Nya ke tingaktan ini – dalam keadaan sebagian besar keadaannya,
adalah tingkatan yang tinggi dan mulia. Dan ini lebih sempurna ketimbang
memperlihatkan ketakbergantungan. Kefakiran lebih tepat bagi kondisi
penghambaan ketimbang ketakbergantungan, sebab, seperti dilukiskan oleh para
pemimpin sufi, ketakbergantungan adalah salah satu hak istimewa Allah.
Masalahnya adalah bahwa kedua makhluk terkasih (Muhammad dan jibril) bisa
memahami, lewat penyingkapan sifat ketakbergantungan dan pengalaman tentang
kebesaran dan keagungan-Nya dalam keadaan ini, bahwa apa yang dikehendaki Allah
dari mereka pada saat itu dalam mengakui kefakiran dan menyadari kerendahan dan
kelemahan. Itulah sebabnya Dia berurusan dan berbicara dengan mereka seperti yang
dilakukan-Nya.
Lebih jauh Abu Thalib mengatakan bahwa “Allah Swt
tidaklah dipaksa oleh aturan-aturan apa pun, dan tak ada kecaman-kecaman
manusia berlaku atas-Nya. Ini mengacu pada aspek lain dari transendensi esensi
Ilahi atas batasan-batasan kemakhlukan. Dia bertindak dan memiliki ekagungan
sempurna secara mutlak. Tak ada ketentuan apa pun yang mengikat-Nya, sebab
Dia-lah yang mengeluarkan ebrbagai ketentuan. Lalu bagaimana mungkin Dia
terikat oleh ketentuan atau terkena batasan,d an dengan demikian tak mampu
membuktikan secara penuh kebenaran-Nya dalam kata dan tindakan? Sebab, Dia-lah
yang menyatakan setiap orang tulus yang memiliki ketulusan, dan Dia-lah yang
memberikan kesadaran penuh tentang Kebenaran kepada setiap orang yang memiliki
kebenaran. Setiap perkataan-Nya adalah Kebenaran itu sendiri. Kebenaran Mistik
yang mengartikulasianya melampaui sekedar ungkapan lahiriah. Karena itu, jika
maknya tersembunyi dari kita atau maksudndya tak bisa kita pahami, maka Allah
Swt – kalau begitu – pasti bukan Tuha. Ini meruntuhkan kebenaran-kebenaran
terhadap apa yang dikatakan Syaikh Abu Thalib. Allah tidak mungkin bisa
dilukiskan tidak berwatak benar. Dengan demikian, yang kita dapatkan di sini
hanyalah kesulitan dalam memahami gaya ungkapan-Nya.
Abu Thalib selanjutnya mengatakan : “Jika
kata-kata berubah, maka Dia sendiri adalah pengganti kata-kata itu.” Dan
sebagainya. Ini adalah pernyataan logis dan luar biasa tentang makna keesaan
Ilahi yang tak mampu dipahami secara rasional. Allah tidak perlu, seperti dibayangkan
sebagian orang, minta izin untuk membatalkan apa yang telah dikatakan-Nya.
Aku tidak yakin akan kesahihan haids yang dikutip
Abu Thalib. Aku juga tak tahu ahli-ahli hadis mana yang meriwayatkannya. Akan
tetapi, Abu Thalib menguatkannya dengan padangannya bahwa karena hadis
mutawatir tidak bertentangan dengan Kitab Allah dan Sunnah Nabi, maka ia bisa
dipakai dan sahih, sekalipun ada keraguan tentang rantai periwayatannya. Baik
Ahmad ibn Hanbal maupun ‘Abd Al- Rahman ibn Mahdi dan yagn lainnya tidak menyebutkan
hadis ini dalam “Bab Ilmu.”
6.
Betapapun juga, aku berpendapat bahwa tak perlu
ada bukti penguat guna menjelaskan hadis itus serta menghilangkan keraguan
tentangnya. Sungguh mengherankan bahwa ada oran tak mau menerima hadis ini atas
dasar karena dia tak memahaminya serta yakin bahwa hadis itu tak masuk akal dan
berasal dari rantai periwayatan yagn tak sahih. Sesungguhnya, keimanan dan
keyakinan yang dipatrikan Allah Swt. pada Muhammad dan Jibril tidak bisa
diragukan lagi. Kedudukan tinggi dan kemuliaan mereka, dan diangkatnya mereka
ke tempat yang amat mulia, cukuplah membuktikan hal itu.
Ketakutan mereka akan tipu daya Allah bisa juga
dipahami sebagai masalah intelektual. Yang jelas pertanyaana dan jawaban itu
merupakan bentuk ucapan, dan itulah yang menjadikan masalah ini bisa dipahami.
Jawaban kita tentang hadis ini tak lain adalah jawaban yang selalu diberikan
berkenaan dengan kesulitan intelektual ini. Al-Ghazali membahas soal ini dan
mengomentari hadis ini dengan mengemukakan hadis lain tentang doa Nabi saw.
kepada Tuhannya pada waktu Perang Badar. “Jika Engkau menghancurkan barisan
pasukan ini, maka tak bakal ada seorang pun menyembah-Mu.” Beliau berdoa
seperti ini dalam kontek janji pertolongan dan kemenangan dari Allah Swt.
Maksud hadis ini dalam koleksi ini, dan komentar atasnya, sama dengan apa yagn
dikatakan tentang hadis eprtama, kecuali bahwa dalam haids pertama
karakteristik kefakiran tampak lebih jelas.
Kisah Musa a.s. dan ketakutannya setelah memiliki
keyakinan dan keimanan kuat, adalah variasi lain tentang tema pengetahuan
transenden, kalam, kehendak, dan ketentuan Allah Swt. serta tentang kebutuhan
nyata Musa akan Tuhannya, dan tentang kemuliaan kedudukannya. Inilah makna
pernyatan Syaikh Abu Thalib “Musa tidak merasa aman” sampai kalimat “karena
Musa memiliki pengetahuan mendalam tentang tipu daya tersembunyi-Nya dan
sifat-sifat terselubung-Nya.” Pengamatan Abu Thalib “dan adapun pengetahuan-Nya
tidak tunduk kepada ketentuans ejauh yagn di bawah ketentuan adalah sebentuk
paksaan. Allah-lah yagn emnang, namun seandainya Dia tunduk apda ketentuan,
maka Dia akan menjadi yagn diadili dan bakal menjadi yang dikalahkan. Tapi
Allah jauh di atas hal semisal itu.
7.
Maksud Allah yang kedua tidaklah, seperti engkau
bayangkan, memiliki pengertian seperti yagn pertama. Yang kedua jelas meliputi
salah satu rahasia Allah Swt. yagn mengakibatkan timbulnya kedamaian,
ketenangan, keyakinan, dan tiadanya ketakutan dalam diri Musa. Ini menunjukkan
kerahmanan dan kerahiman-Nya dalam menjalankan kehendak-Nya dalam diri Musa
a.s. Syaikh Abu Thalib memperhatikan ini ketika berkata : “Kemudian dia percaya
pada zat yagn tenagh berbicara kepadanya, sekalipun mula-mula dia tidak bisa
diam tenang.” Tidakkan engkau mengetahui sebagai Allah Swt. membawa Musa menuju
pemahaman lebih dalam tetang tujuan-Nya guna membuat dia aman, dengan
menggunakan sebuah kalimat yagn subyeknya diberi tekanan dan dengan menambahkan
kata-sandang tertentu pada predikatnya – dalam bentuk superlatif dan sesudah
subyek kata ganti yagn ditegaskan? Begitu banyak perbedaan lahiriah antara
kedua pernyataan itu.
Begitu pula, kisah Isa a.s. melukiskan
transendensi pengetahuan dan kalam Allah, dan menunjukkan perilaku yang tepat
dalam kedudukan itu yang tidak dapat dilukiskan oleh keindahan sastra dan
paparan yang runtut teratur. Yang demikian itu diamanatkan kepada guru-guru
yang dipilih Allah untuk menggunakannya. Karena itu, aku tidak akan mengulas
lebih jauh soal ini; dan aku memohon ampun kepada Allah Swt. atas apa yang tak
kulakukan. Sesungguhnya, tak ada seorang pun bisa benar-benar memahami
kedudukan yang telah aku uraikan itu, kecuali orang-orang pilihan yang telah
mengalaminya secara langsung. Dan aku pun benar-benar tak mampu memahaminya
juga, seperti halnya aorang lain.
Engkau menyinggung beberapa pernyataan Abu Bakr
Al-Khatib yang tidak sependapat dengan Abu Thalib mengenai pandangan-pandangan
kaum sufi tentang Sifat-sifat Ilahi. Pernyataan-pernyataan argumentatif itu
muncul sesudah pujian Abu Bakr atas Abu Thalib, dan sulit menjelaskan bagaimana
pertentangan dan pujian bisa berjlan seiring. Jika orang yang merasa keberatan
memaksudkan kata-katanya yang belakangan sebagai berarti bid’ah Abu Thalib,
seolah-olah dia berdebat dengan seseorang yang tidak setuju mengenai dasar
sifat-sifat, keabadiannya, hubungan timbal balik menyeluruhnya, atau
transendensinya, maka Abu Bakr pastilah tidak menyinggung-nyinggung soal itu.
Tak ada sesuatu pun yagn telah dikatakan Abu Thalib membenarkan kesimpulan
seperti itu. Lantas, bagaimana perbedaan pendapat Abu Bakr sesuai dengan
pujiannya kepada Abu Thalib, jika pada saat yang sama Abu Thalib pantas
menerima kecaman pedas atas keadaan spiritual dan kesalahannya, lebih daripada
dia layak beroleh pujian dan sanjungan Abu Bakr? Jika, sebaliknya, Abu Bakr
sekedar tidak setuju tanpa bermaksud menilai bahwa dia telah berbuat bid’ah,
seperti dalam debat damai antara kaum literalis dan spiritualis, maka ahal itu
bisa diterima, dan satu pihak pun tidak punya bukti meyakinkan untuk
menjatuhkan pihak lain.
Yang aku inginkan darimu adalah berhenti pada soal
yagn ada dalam kita Al-Khatib itu. Tulislah lengkap bagian itu, dan kirimkan
kepadaku agar aku bisa memepelajarinya. Aku senang engkau menggeluti ilmu-ilmu
ini dan mengkajinya, sekalipun engkau jauh dari rumah dan terpisah dari sanak
saudara dan lingkunganmu. Kokohkan pikiranmu dalam kajian itu dan tekunilah,
dan hasil-hasilnya bakal sangat bermanfaat bagimu.
8.
Engkau memerlukan pengajaran yagn maknanya bisa
dipahami sepenuhnya hanya lewat kecerdasan dan pengalaman, dan seseorang bisa
dipalingkan dari pengajaran itu hanya oleh kelalaian dan kepura-puraan. Inilah
bahaya-bahaya yang bakal engkau jumpai dalam proses belajar ini. Khusunya di
antara orang-orang yang memiliki salah satu dari tiga sifa ini : keangkuhan,
bid’ah, dan taqlid buta. Keangkuhan adalah laknat yang mencegah seseorang
memahami ayat-ayat dan peringatan-peringatan Ilahi. Bid’ah adalah kesalahan.
Melalui kesalahan ini keangkuhan menyebabkan seseorang jatuh ke dalam
kesulitan-kesulitan serius. Dan taqlid buta adalah belenggu yang mencegah
seseorang meraih kejayaan dan mencapai tujuan. Orang yang memiliki salah satu
dar sifat-sifat ini tunduk pada penilaian tak berarti dan berada dalam
pergulatan dan kekacauan terus menerus. Bagaimana jadinya dengan orang yang
dalam dirinya bergabung sifat-sifat itu.
Jangan biarkan dirimu dipengaruhi oleh orang-orang
seperti ini. Janganlah pergaulanmu dengan mereka menghalangimu dari proses
belajar ini, sehingga kesalahanmu menjadi lemah, dan pintu-pintu petunjuk serta
keberhasilan tertutup bagimu. Manakala salah seorang di antara orang-orang ini
mengemukakan berbagai argumen tak masuk akal atau mengaku berada dalam keadaan
atau maqm (kedudukan) tertentu. Maka akibatnya adalah penalaran sesat, dusta,
penipuan, dan angan-angan. Ini menggiurkan orang yang berbicara dan orang yang
mendengarkan, sebab mengaku membuat kaya setiap orang yang bodoh dan mudah
tertipu. Semuanya itu adalah kesombongan di atas kesombongan. Di dalamnya
dijumpai salah satu bukti paling meyakinkan ihwal keunggulan pengetahuan yagn
sudah aku bicarakan. Ia membuka pintunya hanya buat hamba yagn suci dan
bertakwa kepada Allah, dan menyingkapkan hijabnya hanya buat kalbu yang
bertobat dan dibersihkan dari berbagai padangan pertentangan yang dikemukakan
oelh bentuk-bentuk lain pengetahuan.
Karenanya, janganlah memandang pendukung hukum
lebih mampu ketimbang seseorang yang berasal dari mazhab Pengetahuan ini.
Sebab, pengetahuan eksoteris bertentangan sekali dengan Kebenaran Mistik. Ia
menutup ke arah perilaku tak benar dan kerusakan jalan hidupnya,d an puncaknya
adalah kehampaan membinasakan buat mereka yang terlibat di dalamnya.
Kaum sufi, sebaliknya, merenungkan apa yang
tersembunyi dari orang lain, dan menyadari sepenuhnya kebenaran-kebenaran yang
tidak dipahami orang lain. Mereka itu seperti orang-orang yang dikatakan oleh
penyair :
Malamku telah menjadi fajar cerah karena wajahmu,
Meski petang telah menampak ke angkasa.
Banyak orang tetap berada dalam malam mereka,
Sementara kami berada dalam pesona kecemerlangan
wajahmu.
9.
Seperti dikatakan Jibril : “Jangan menganggap
dirimu alim, sebab pengetahuan apra ulama hanyalah kecurigaan.” Manakala sebuah
eprtanyaan dilontarkan kepadamu, janganlah engkau deakti dengan gaya
intelektual semata. Sebaiknya engkau menanganinya dengan tenang,
mengesampingkan keberatan-keberatan rasional, sehingga kebenaran sederhananya,
yang bisa menenangkan kalbumu dan meluaskan inti wujudmu, bisa tersingkap
bagimu. Engkau memerlukan niat suci dan keinginan tulus guna mengejar
pengetahuan ini, sebab ia adalah pentetahuan mulia yang membawa sang hamba
menuju pengetahuan mendalam ihwal Rahmat-Nya. Melaluinya, sang hamba di bawa
menuju puncka pertemuan dengan-Nya bersama orang-orang pilihan dan
terkasih-Nya. Al-Junayd berkata : “Sekiranya akau tahu bahwa Allah memiliki
pengetahuan lebih mulia di kolong langit
ini ketimbang pengetahuan yang kita uraikan bersama-sama sahabat dan
saudara-saudara kita ini, aku baka segera lari mengejarnya.” Semuanya ini
ddiasarkan atas mencari perlindungan secara tulus, atas kesadaran akan
kebutuhan diri, atas doa terus menerus, dan atas penidadaan diri, di hadapan
Sang Raja Yang Mahaagung. Mulai sarana-sarana inilah inti wujud seseorang
berkembang dan berbagi rahasia bisa dibongkar. Dan tidak ada pertolongan dan
kekuatan kecuali dari Allah Swt.
Siapa saja yang menerima perintah ini dan
bertindak sesuai dengan rincian tersurat dan maksud-maksudnya, bakal beroleh
kebahagiaan di dunia ini dan di akhirat nanti, dan bakal beroleh kegembiraan.
Hanya saja, bila seseorang terus menerus menangguhkan dan menghindari
peringatan-peringatan berisi petunjuk, maka dia tidak bakal pernah bisa menyamai
orang-orang bijak dalm hal kebaikan. Marilah kita beroda kepada Allah, agar Dia
menerangi penglihatan kita dan menyucikan kalbu kita, sehingga dengan kemurahan
dan karunia-Nya. Dia melimpahkan rahmat kepada kita yang diberikan-Nya kepada
hamba-hamba-Nya.
Dan, yang
awal serta yang terakhir, semoga Allah melimpahkan shalawat dan salam atas
Junjungan kita Muhammad dan keluarganya.
Kembali ke Daftar Isi
Silahkan Bagikan Artikel ini
Mohon Maaf, Atas Ketidak Nyamanannya, Dengan adanya Shortener Di Link Download. Mohon Keridhoannya. Terima Kasih. Apabila kesulitan Download Silahkan buka/klik gambar (Cara Download) dibawah postingan. apabila masih kesulitan, silahkan copy paste link download yang ada kebrowser anda.*** Apabila ada link Download yg rusak/mati, mohon beritahu kami lewat komentar dibawah ini.
Related Posts :