بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
اللهُم َّصلِّ علٰى سَيِّدنا مُحَمّدٍ عبدِكَ وَنبيِّكَ ورسولِكَ النَّبيِّ الاُمِيّ وَعلٰى اٰلهِ وَصَحْبِهِ وسَلِّم تسليماً بقدرِ عظمةِ ذاَتِكَ في كـُلِّ وَقتٍ وَحيـنٍ
TERJEMAH KITAB
RISALATUL-QUSYAIRIYYAH
PENJELASAN
TENTANG
“TAHAPAN-TAHAPAN (MAQAMAT) PARA PENEMPUH JALAN SUFI”
41.
TATA ATURAN BEPERGIAN
Allah swt. berfirman :
“Dia-lah Tuhan yang menjadikan
kamu dapat berjalan di daratan dan (berlayar) di lautan.” (Qs. Yunus :22).
Riwayat dari Ibnu Umar r.a. bahwa
Rasulullah saw. apabila menaiki unta untuk bepergian, selalu bertakbir tiga
kali, kemudian membaca :
“Maha Suci Tuhan yang telah
menundukkan semua ini bagi kami, padahal kami sebelumnya tidak mampu
menguasainya. Dan sesungguhnya kami akan kembali kepada Tuhan kami.” (Qs.
Az-Zukruf : 13-4).
Kemudian dialnjutkan dengan doa :
“YA Allallh, sesungguhnya kami
bermohon kepada-Mu, agar dalam bepergian kami senantiasa dipenuhi kebajikan dan
takwa, melakukan perbuatan yang Engkau ridhai, dan mudahkanlah kami dalam
perjalanan kami. Ya Allah, Engkau-lah yang menjadikan Pendamping dalam
bepergian, sebagai Khalifah bagi keluarga dan harta. YA Allah, sesungguhnya aku
berlindung kepada-Mu dari kesukaran perjalanan, dan dari kebinasaan yang cepat,
dan dari keburukan pandang pada harta dan keluarga.” Apabila Nabi pulang,
selalu mengucapkan pada istri-istrinya, dan ditambah dengan doa : “(kami) orang
yang kembali, tergolong orang yang berTaubat, dan kepada Tuhan kami, sama-sama
memuji (H.r. Muslim).
Karena soal bepergian sering
disebut oleh Kaum Sufi, maka kami secara khusus membuat bab dalam Risalah ini,
mengingat masalah bepergian termasuk masalah besar bagi mereka. Tampaknya di
antara kaum Sufi sendiri terjadi perbedaan. Ada di antara mereka yang
memprioritaskan berdiam diri di rumah, daripada bepergian, kecuali dengan suatu
tujuan, seperti naik haji. Namun pada umumnya mereka lebih banyak diam di
rumah, seperti al-Junayd, Sahl bin Abdullah, Abi Yazid al-Birhamy, Abu Hafs dan
yang lain. Tetapi juga ada yang lebih senang bepergian. Hal demikian dilakukan
sampai akhir hayatnya, seperti Abu Abdullah al-Maghriby, Ibrahim bin Adham dan
yang lainnya. Rata-rata mereka bepergian pada awal masa mudanya, ketika
menjalani perilaku ruhani, kemudian akhirnya berdiam diri, tidak lagi pergi
pada akhir perjalanan ruhaninya, seperti yang dilakukan Sa’id bin Ismail
al-Hiry, Dulaf asy-Syibly dan yang lain. Masing-masing memiliki prinsip, dimana
tharikatnya mereka bangun.
Perlu diketahui, bahwa bepergian
itu ada dua macam : Pertama : pergi secara fisik, yaitu berpindah dari satu tempat
ke tempat lain. Dan kedua, bepergian secara ruhani, yaitu mendaki dari satu
tangga sifat ke sifat lain. Banyak orang yang memandang bepergian dengan fisik
mereka, dan sedikit sekali pandangan tentang bepergian melalui hati mereka.
Saya mendengar Syeikh Abu Ali
ad-Daqqaq r.a. berkata : “Ada seorang Syeikh dan kalangan Sufi di sebuah desa
di luar Naisabur. Ia memiliki beberapa karya tulis. Suatu ketika beberpa orang
bertanya padanya : ‘Apakah engkau bepergian, wahai syeikh?” Syeikh itu menjawab
: Bepergian di bumi atau bepergian ke langit?” Kalau bepergian di muka bumi,
tidak. Tapi kalau bepergian ke langit, memang benar.”
Saya juga mendengar Syeikh Abu
Ali berkisah : “Suatu hari, sebagian fakir datang padaku ketika aku di Marw. Si
fakir itu berkata padaku : “Aku telah menempah perjalanan jauh yang meletihkan,
hanya untuk menemuimu.’ Aku menjawab : Sebenarnya Anda cukup selangkah
saja, kalau Anda mau pergi dari dirimu sendiri.”
Kisah-kisah bepergian mereka
bermacam-macam, baik dalam ragam maupun tingkah laku mereka. Ahnaf al-Hamdani
berkata, : “Aku berada di tengah padang pasir dalam keadaan sendirian dan
sangat lelah, kemudian aku mengangkat tangan, sembari berdoa : “Ya Tuhan,
sungguh suatu saat yang letih, padahal aku datang untuk menjadi tamu-Mu.” Tiba-tiba
muncul intuisi dalam hatiku : “Siapa yang mengundang kamu.” Aku berkata : “Oh
Tuhan, adalah kerajaan yang termasuk di sana Thufaily.” Muncul kembali bisikan
dari belakangku. Aku menoleh, tiba-tiba ada seorang Badui di atas kendaraannya,
sambil berucap : “Hai orang ajam, mau ke mana kamu!” Kukatakan : “Menuju ke
Mekkah al Mukarramah, semoga Allah swt. menjaganya.” Si Badui itu berujar, :
“Apakah Allah mengundangmu?” Aku menjawab : “Aku tidak tahu.” Selanjutnya orang
itu berkata : “Bukanlah Allah swt. berfirman : ..... bagi orang yang sanggup
mengadakan perjalanan ke Baitullah?” (Qs. Ali Imran :97). Kukatakan padanya :
“Kerajaan kan luas termasuk Thufaily.” Tiba-tiba ia menyahut : “Wahai Thufaily,
ternyata adalah engkau. Apakah engkau berkenan untuk diantar unta?” Kujawab :
“Ya!” Lelaki Badui itu turun dari kendaraannya dan memberikan unta itu padaku,
dan berkata, : “Berjalanlah di atas unta.”
Sebagian para fakir berkata
kepada Muhammad al-Kattany : “Berilah aku wasiat.” Jawab al-Kattany : Tekunlah
kamu, agar setiap malam menjadi tamu masjid, dan kamu tidak mati kecuali di
antara dua tempat itu.”
Ali-al-Hushry berkata : “Sekali
duduk lebih baik dibanding seribu argumentasi. Yang dimaksud dengan sekali
duduk, adalah upaya cita-cita terkumpul menurut sifat penyaksian. Sepanjang
umurku, sungguh yang demikian lebih baik daripada seribu argumentasi menurut
sifat kegaiban.”
Muhammad bin Ismail al-Farghany
berkata : “Kami bepergian selama kira-kira duapuluh tahun, saya dan Abu Bakr
az-Zaqqaq serta Muhammad al-Kattany. Selama itu kami tak pernah bergaul atau
bercampur dengan sesama orang. Bila kami datang ke suatu negeri, --- kalau di
sana ada seorang syeikh – kami membei salam dan mengikuti majelisnya hingga
malam hari, kemudian kami kembali ke masjid. Semetara Muhammad al-Kattay selalu
shalat dari awal hingga akhir malam, mengkhatamkan Al-Qur’an. Sedangkan
Az-Zaqqaq duduk menghadap kiblat. Aku sendiri bertafakur, hingga dini hari.
Kami bersama shalat fajar, dengan lebih dahulu wudhu pada sepertiga malam
terakhir. Bila ada orang yang masih tidur, kami melihatnya.”
Ruwaym bin Ahmad ditanya mengenai
etika bepergian, katanya : “Hendaknya cita-citanya tidak melampaui langkahnya.
Bila di mana saja hatinya ingin berhenti, di sanalah tempat tinggalnya.”
Diriwayatkan dari Malik bin Dinar
yang berkata : “Allah swt. memberi wahyu kepada Musa as : “Ambillah dua sandal
dari besi, dan tongkat dari besi. Kemudian hentakkan di muka bumi, dan raihlah
kebajikan dan pelajaran, sampai kedua sandal menjadi robek dan tongkat terbelah.”
Dikatakan : “Muhammad bin Ismail
al-Maghriby senantiasa melancong disertai para murid-muridnya. Ketika sedang
ikhram, dan sudah tahalul dari ihramnya, ia ihram untuk berikutnya. Sementara
bajunya tak pernah kotor, kukunya tak pernah panjang, begitu pula rambutnya.
Sedangkan murid-muridnya berjalan di malam hari, dibelakangnya. Apabila salah
seorang di antara mereka ada yang menyimpang dari jalan yang dilalui, ia selalu
menegur : “Hai Fulan, sebelah kananmu, hai si Fulan! Sebelah kirimu. Ia pun
tidak pernah menjulurkan tangannya pada hal-hal yang bisa diraih oleh manusia.
Makanannya hanya kar tumbuh-tumbuhan yang diambil kemudian dipotong untuk
dimakan. Bahkan dikisahkan, bila ada teman yang berkta padanya : “Berdirilah.”
Ia selalu menjawab : “Kemana?” Maka ia tak punya teman.”
Seorang penyair berdendang :
Bila mereka minta bantuan
Tidaklah meminta orang yang
memanggil mereka
Di mana pun suatu peperangan
Ataukah di temepat manapun juga.
Diriwayatkan dari Abu Ali
ar-Ribathy, berkata : “Aku menemani Abdullah al-Maruzy, dan ia sedang memasuki
padang pasir tanpa bekal maupun kendaraan, sebelum aku menemaninya. Ketika aku
telah menemani, ia berkata kepadaku :
“Mana yang lebih Anda cintai,
Anda pimpinannya atau aku.”
“Tidak, aku lebih senang Anda
saja.” Kataku.
“Kalau begitu Anda harus patuh.”
“Ya” jawabku.
Kemudian ia mengambil keranjang
untuk ditempati bekal, lalu keranjang itu ia panggul di atas punggungnya. Bila
aku minta beban itu dengan kataku : “Mana, berikan keranjang itu, aku bawakan.”
Pintaku. Ia lantas menjawab : “Akulah pemimpin, dan Anda harus patuh.”
Tiba-tiba suatu malam turun hujan
hingga pagi. Hujan itu membasahi kepalaku, sementara kain penutup miliknya ia
bentangkan untuk menghalangi air hujan padaku. Aku berkata dalam hatiku : “ah,
celaka bila aku mati, padahal belum kukatakan padanya : “Engkaulah pemimpin!.”
Lalu ia berkata padaku : “Bila Anda bersahabt dengan orang lain, maka temanilah
ia seperti Anda melihat bagaimana aku menemanimu.”
Seorang pemuda datang pada Ahmad
bin Muhammad ar-Rudzbary. Ketika ia hendak keluar, ia berkata : “Syeikh
mengatakan sesuatu. “Hai anak muda, mereka tidak berkumpul karena janji, tidak
pula berpisah melalui musyawarah.”
Abu Abdullah an-Bashibainy
berkisah : “Aku mengembra selama tiga puluh tahun, tak pernah sekalipun aku
menambal pakaianku yang sobek. Aku juga tak pernah mampir ke suatu tempat yang
kuketahui, bahwa di tempat itu ada seorang teman. Aku tak pernah membiarkan
seseorang yang membawa beban, bila ia bersamaku.”
Ketahuilah, para sufi saling
menepati adab penghadiran jiwa melalui mujahadah. Kemudian mereka ingin
menyandarkan sesuatu pada mujahadah itu. Lalu mereka menyandarkan aturan-aturan
bepergian atau pengembaraan pada cara seperti itu, sebagai olah jiwa untuk
keluar dari segala hal yang dimaklumi, dan membawanya untuk berpisah dengan
segala pengetahuan, agar senantiasa hidup bersama Allah swt. tanpa
ketergantungan dan perantara. Dan mereka sama sekali tidak pernah meninggalkan
wirid-wiridnya sekalipun dalam masa pengembaraannya. Mereka berkata : “Kemurahan
diberikan pada orang yang bepergian karena darurat. Sedangkan kita,
tidak punya kesibukan sama sekali, dan tentunya tidak ada darurat dalam
bepergian kita.”
An-Nashr Abadzy berkata : “Sekali
waktu, aku pernah merasa tak tahan di padang pasir, sampai aku merasa putus
asa. Tiba-tiba mataku melihat rembulan di siang hari itu. Di sana tertulis ayat
:
“Maka, Allah akan memberi
kecukupan kepada mereka.” (Qs. Al-Baqarah :137).
Sejak saat itu, aku menjadi bebas
dan terbuka.”
Abu Ya’kub as-Susy berkata :
“Sorang musafir butuh empat hal dalam bepergiannya : ilmu sebagai
pertimbangannya; Wara’sebagai pagarnya; kerinduan yang membebaninya; dan akhlak
yang menjaganya.”
Dikatakan : “Bepergian
menggunakan kata sifr (tulisan), karena merupakan catatan dari akhlak para tokoh.”
Disebutkan : Ibrahim al-Khawwas
tidak pernah membawa beban dalam bepergiannya. Hanya saja ia tidak pernah
berpisah dengan jatum dan tempat air. Jarum untuk menjahit pakaiannya yan
robek, agar auratnya tertutup, sdangkan tempat air digunakan untuk wudhu. Untuk
itu pun ia tak pernah bergantung dan memberitahu oarng lain.”
Riwaya dari Abu Abdullah Razy
yang berkta : “Aku keluar dari Tharsus memakai sandal, bersama seorang teman.
Kami memasuki salah satu perkampungan Syam. Tiba-tiba seorang fakir datang kepadaku
dengan membawa sepatu, dan aku menolak untuk menerimanya. Temanku bertanya :
“Bukankah ini bisa dipakai, dan Anda kelihatan lelah, padahal toh, Anda telah
membuka (mencopo) sandal itu karena aku.” Aku katakan padanya : “Kenapa Anda
ini?”
Teman tadi bicara :
“Aku juga mencopot sandalku agar sama dengan Anda, dan menjaga hak
persahabatan.”
Dikatakan : “Ibrahim al-Khawwas
bepergian bersama tiga kelompok, dimana akhirnya mereka ssampai di sebuah
massjid pada suatu lembah. Mereka pun menginap di sana. Masjid itu tak
berpintu, sementara udara dingin mencekan mereka. Ketika dini hari bangun,
mereka melihat Ibrahim berdiri di sebuah pintu. Mereka bertanya : “mengapa
Ibrahim ada di sana? Beliau menjawab : “Aku khawatir jika kalian tercekam
kedinginan (sehingga aku berdiri untuk menghalangi udara).” Sungguh, Ibrahim
telah berdiri semalam suntuk di pintu itu.”
Dikishakan : “Muhammad al-Kattany
minta izin ibunya untuk pergi haji. Ibunya pun memberi izi. Di tengah padang
pasir bajunya terkena air kencing. Lalu ia mengatakan : “Sungguh, ini suatu
cela bagi keadaan batinku.” Kemudian ia kembali pulang. Ketika mengetuk pintu
rumahnya, ibunya menjawab. Setelah pintu dibuka, ia melihat ibunya duduk di
belakang pintu. Ia bertanya mengapa sang ibu duduk di sana. Ibunya menjawab :
“Sejak engkau keluar, aku bertekad untuk tidak beranjak dari tempat ini, sampai
aku melihatmu lagi.”
Ibrahim al-Qashshar berkata :
“Saya pergi selama tiga puluh tahun, dalam rangka mendekatkan agar manusia
peduli dengan para fakir.”
Seorang laki-laki ziarah ke
tempat Dawud ath-Tha’y. Orang itu berkata padanya : “Wahai Abu sulaiman, pada
diriku ada rasa yang bertentangan untuk menemuimu sejak beberapa waktu terakhir
ini.” Daud menjawab : “Tidak apa-apa. Bila tubuh tak bergerak, hati tentram,
maka pertemuan lebih gampang.”
Saya mendengar Abu Nashr
ash-Shufy r.a. berkata : “Aku keluar dari Selat Oman, ketika itu perutku terasa
lapar. Aku berjalan di pasar, sesampai di kedai makanan, di sana ada beberapa
makanan dan manisan. Lalu aku bermaksud minta tolong pada seseorang. Kukatakan
padanya : “Bisakah Anda membelikan barang ini untukku?” Lelaki itu menjawab :
“Mengapa?” Apakah aku punya tanggungan padamu?” Atau aku punya semacam uang?”
Aku menjawab : “Anda harus membelinya untukku.” Tiba-tiba ada seseorang yang
melihatku, sembari berkata : “Hai anak muda, tinggalkan dia. Orang yang wajib
membelikan apa yang kau mau adalah aku, bukan dia. Silahkan ambil
sekehendakmu.” Ia membelikan sesuai apa yang ku maui, dan orang itu pergi
begitu saja setelah itu.
Abul Husain al-Mishry berkata :
“Aku sepakat dengan asy-Syajary dalam suatu acara bepergian dari Tharablus.
Kami berjalan selama beberpa hari, tidak makan sedikitpun. Sejenak aku melihat
kambing jantan sudah dimasak. Aku mengambil dan memakannya. Tiba-tiba Syeikh
asy-Syajary berpaling kepadaku, sama sekali tidak berucap apa-apa. Lalu kubuang
saja makanan itu, karena aku melihat Syeikh tidak suka. Kemudian ia membuka
uang lima dinar buat kami. Kami memasuki suatu desa. Aku berkata dalam hati :
“Aku akan dibelikan sesuatu, tidak mustahil!.” Namun syeikh tetap berlalu dan
tidak berbuat apa-apa, sembari berkata : “Mungkin Anda akan berrkat, ‘Kita ini
berjalan dalam keadaan lapar, dan Anda tidak membelikan apa-apa buta kita,
begitu?” Kemudian di tengah jalan kami menjumpai orang Yahudi. Dan di sana pula
ada seseorang yang memiliki keluarga. Ketika kami masuk ke rumahnya, tampak
sekali mereka repot atas kedatangan kami. Kemudian uang itu diberikan pada
lelaki tadi, agar membelanjakan untuk kami dan keluarganya. Ketika kami sudah
keluar, syeikh itu berkata kepadaku : “Kemana wahai Abul Husein?” Aku menjawab
: “Aku berjalan bersamamu.” Beliau menjawab balik : “Tidak, Anda sebenarnya
mengkhianatiku ketika melihat kambing jantan (yang masak), dan Anda masih
menemaniku. Jangan begitu.” Lantas syeikh itu menolak untuk kutemani.”
Saya mendengar dari Muhammad
Abdullah asy-Syirazy yang berkata, bahwa ia mendengar langsung dari Abu Ahmad
ash-Shaghir, yang mendengar dari Abu Abdullah bin Khafif yang berkata : “Pada
saat awal perjalanan ruhaniku, sebagian para fakir menghadap kepadaku. Ia
melihat bekas kesedihan dan kelaparan pada mulutku. Kemudian aku dimasukkan ke
dalam rumahnya, dihidangi daging yang dimasak dengan kisyik. Sementara daging
itu mulai basi. Aku memakan roti remuk yang direndam, dan menjauhi daging
karena basinya. Lantas kau mengambil sesuap, dan memakan dengan hati yang
berat. Begitu juga ketika suapan kedua, terasa semakin berat hatiku. Si fakir
itu melihat keresahanku, dan wajhnya tampak berubah. Romanku juga ikut berubah
melihat perubahan roman si fakir itu. Aku lalu keluar meneruskan perjalanan.
Aku mengirim seseorng kepada ibuku agar membawa lembaran (kertas). Ibuku tidak
menolak, dan rela atas kepergianku. Aku pun berangkat ke Qadisiah bersama
kelompok orang-orang fakir. Kami memakan apa adanya yang ada pada kami, dan
kami terancam penderitaan. Akhirnya kami sampai ditengah kehidupan orang-orang
Arab, toh, kami tak mendapatkan apa-apa. Kami pun merasa menderita, hingga kami
ingin membeli anjing dari mereka dengan beberapa dinar dan memasaknya. Mereka
memberi sedikit dagingnya. Namun ketika aku akan memakannya, aku berpikir
sejenak tentang keadaanku. Tiba-tiba perasaanku mengatakan bahwa tindakanku
membuatnya tersiksas yang memalukan pada si fakir itu. Aku berTaubat dalam
hatiku. Dan si fakir terdiam, lantas memberi petunjuk jalan padaku. Aku pun
berlalu dari tempat itu, dan pergi berhaji. Ketika pulang, aku mohon maaf pada
si fakir tadi.”
Silahkan Bagikan Artikel ini
Mohon Maaf, Atas Ketidak Nyamanannya, Dengan adanya Shortener Di Link Download. Mohon Keridhoannya. Terima Kasih. Apabila kesulitan Download Silahkan buka/klik gambar (Cara Download) dibawah postingan. apabila masih kesulitan, silahkan copy paste link download yang ada kebrowser anda.*** Apabila ada link Download yg rusak/mati, mohon beritahu kami lewat komentar dibawah ini.
Related Posts :