بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
اللهُم َّصلِّ علٰى سَيِّدنا مُحَمّدٍ عبدِكَ وَنبيِّكَ ورسولِكَ النَّبيِّ الاُمِيّ وَعلٰى اٰلهِ وَصَحْبِهِ وسَلِّم تسليماً بقدرِ عظمةِ ذاَتِكَ في كـُلِّ وَقتٍ وَحيـنٍ
TERJEMAH KITAB
RISALATUL-QUSYAIRIYYAH
PENJELASAN
TENTANG
“TAHAPAN-TAHAPAN (MAQAMAT) PARA PENEMPUH JALAN SUFI”
36.
KEWALIAN
Allah swt. berfirman :
“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran
terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (Qs. Ynus : 62).
Diriwayatkan oleh Aisyah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda :
“Allah swt. berfirman : “Barangsiapa yang menyakiri seorang wali,
berarti telah memaklumkan perang terhadap-Ku melawan dia. Seorang hamaba bisa
mendekatkan diri kepada-Ku dengan melaksanakan kewajiban-kewajiban yang telah
Kuperintahkan kepadanya. Dia senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan
amalan-amalan sunnah sampai Aku mencintainya. Tak pernah Aku merasa ragu-ragu
melakukan sesuatu seperti keragguanku mencabut nyawa seorang hamba-Ku yang
beriman, karena dia tidak menyukai kematian dan Aku tak suka menyakiti hatinya;
tetapi maut itu adalah sesuatu yang tak bisa dihindarkan!.” (H.r. Ahmad, Hakim
dan Tirmidzi).
Kata wali mempunyai dua makna. Yang pertama berasal dari bentuk
fa’iil (subyek) dalam pengertian maf’ul (obyek). Artinya orang yang diambil
alih kekuasaannya oleh Allah swt. Sebagaimana telah difirmankan oleh-Nya :
:...... dan Dia mengambil alih urusan (yatawalla) orang-orang saleh.” (Qs.
Al-A’raf :196). Sejenakpun si wali tidak mengurusi dirinya.
Arti yang kedua berasal dari bentuk fa’iil dalam pengertian
penekanan (mubalaghah) dari faa’il. Yaitu orang yang secara aktif melaksanakan
ibadat kepada Allah dan mematuhi-Nya secara terus menerus tanpa diselingi
kemaksiatan. Kedua arti ini mesti ada pada seorang wali untuk bisa dianggap
sebagai wali yang sebenarnya, dengan menegakkan hak-hak Allah swt. atas dirinya
sepenuhnya, disamping perlindungan Allah swt. padanya, di saat senang maupun
susah.
Salah satu persayaratan seorang wali adalah bahwa Allah melindunginya
dari mengulangi dosa-dosa (mahfudz), seperti halnya salah satu persyaratan
seorang Nabi adalah bahwa dia terjaga dari segala dosa (ma’shum). Sipa pun yang
berbuat dengan cara yang menyimpang dari stariat Allah swt. berarti telah
tertipu.
Suatu ketika Abu Yazid al-Bisthamy berangkat untuk mencari seseorang
yang oleh orang-orang lain digambarkan sebagai seorang wali. Ketika sampai ke
masjid orang tersebut, dia lalu duduk dan menunggu orang tersebut keluar. Orang
itu pun keluar setelah meludah di dalam masjsid. Abu Yazid pun pergi begitu
saja tanpa memberi salam kepadanya, dan berkata : “Inilah orang yang tak bisa
dipercaya untuk melaksanakan adab yang benar seperti dinyatakan dalam hukum
Allah. Bagaimana mungkin dia bisa diandalkan untuk menjaga rahasia-rahasia
Allah swt.?”
Terdapat ketidakpercayaan di kalangan kaum Sufi mengenai apakah
diperbolehkan bagi seseorang untuk menyadari bahwa dirinya adalah seorang wali
atau bukan. Sebagian mereka mengatakan : “Hal itu tidak didperbolehkan. Sang
wali harus selalu instropeksi dirinya dengan pandangan penuh hina. Jika suatu
karamah terjadi melalui dirinya, dia merasa takut jika keadaan akhirnya
berlawanan dengan keadaan sekarang.” Para Sufi yang berpendapat seperti ini
menjadikan syarat kewalian, harus selaras dengan keteguhannya hingga akhir
hayat.
Akan tetapi, sebagian sufi mengatakan : “Boleh saja seorang wali
mengetahui bahwa dirinya adalah wali, dan kesetiaan pada kewalian sampai akhir
hayat sang wali bukanlah persyaratan untuk mencapai derajat kewalian di saat
ini.”
Jika kesetiaan seperti itu merupakan prasyarat untuk mencapai derajat kewalian,
bahwa seorang wali akan dianugerahi suatu karamah tertentu yang dengannya Allah
memberitahukan kepadaanya mengenai kepastian keadan akhirnya. Sebab,
kepercayaan terhadap karamah seorang wali adalah wajib. Yakni, walaupun ia
dipisahkan rasa takut akan keadaan akhirnya, namun sikapnya mengagungkan dan
memahabessarkan bisa meningkatkan kondisi batin secara lebih efektif daripada
banyaknya rasa takut itu sendiri.
Ketika Nabi saw. bersabda : “Sepuluh orang sahabtku akan berada di
surga.” Maka sepuluh orang itu sangat percaya kepada sabda Rasulullah saw. dan
mengetahui kepastian nasib mereka. Hal ini tidaklah membuat cacat keadaan
mereka. Sebab di antara syarat sahnya memahami secara benar mengenai kenabian
menuntut pemahaman mengenai definisi mukjizat, di samping itu juga pengetahuan
tentang hakikat karamah. Karena itu tidaklah mungkin bagi seorang wali,
manakala dia menyaksikan suatu karamah terjadi di depan matanya, tidak mungkin
ia tidak membedakan antara karamah dan lainnya. Jika menyaksikan hal seperti
itu, sang wali mengetahui bahwa dia berada di jalan yang benar.
Sang wali juga diperkenankan mengetahui realita yang akan datang dengan
tetap konsisten pada kekinian perilakunya. Dianugerahi pengetahuan ini sendiri
adalah suatu karamah. Ajaran tentang karamah wali adalah benar, sebagaimana
dipersaksikan oleh banyak riwayat Sufi. Di antara syeikh yang menyapakati hal
ini dan pernah saya jumpai adalah Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq.
Ibrahim bin Adham pernah bertanya kepada seseorang : “Apakah engkau
ingin menjadi wali Allah>” Dia menjawab : “Ya” Ibrahim bin Adham lalu
berkata : “Kalau begitu janganlah engkau menginginkan harta kekayaan duniawi
ataupun ukhrowi. Kosongkanlah dirimu untuk Allah swt. semata. Palingkanlah
mukamu kepada-Nya agar Dia berpaling kepadamu dan menjadikanmu wali-Nya.”
Yahya bin Mu’adz menggambarkan para wali sebagai berikut : “Mereka
adalah hamba-hamba yang berpakaian kesukacitaan jiwa setelah mengalami
penderitaan, dan yang memeluk ruhani setelah mujahadah ketika mereka mencapai
tahapan kewalian.”
Abu Yazid al-Bisthamy mengatakan : “Wali-wali Allah adalah
pengantin-pengantin-Nya, dan tak seorang pun yang boleh melihat para pengantin
selain mereka yang termasuk dalam keluarganya. Mereka ditabiri dalam ruang
khusus di hadirat-Nya oleh kesukacitaan jiwa (uns). Tak seorang pun yang
melihat mereka, baik di dunia ini maupun di akhirat.”
Saya mendengar Abu Bakr ash-Shaidalany, salah seorang yang saleh
menuturkan : “Suatu ketika aku berulangkali memperbaiki batu nisan makam Abu
Bakr at.Thamastany di pekuburan al-Hirah dan mengukir namanya pada nisan itu.
Namun tiba-tiba digali dan dicuri orang meskipun makam-makam yang lain tidak.
Karena bingung menghadapi hal ini, aku bertanya kepda Abu Ali ad-Daqqaq, yang
kemudian menjelaskan kepadaku : “Syeikh itu lebih suka tidak dikenal orang di
dunia ini, tapi engkau ingin memberinya batu nisan yang akan memperbaiki
kenangan kepadanya. Allah swt. tidak ingin kecuali tetap menyembunyikannya
sebagaimana keadaan dirinya yang lebih disukainya waktu hidupnya.”
Sa’id bin Salam al-Maghriby mengatakan : “Kadang-kadang seorang wali
termasyhur ke mana-mana, namun ia tidak akan tergoda oleh kemasyhurannya itu.”
An-Nashr Abadzy berkata : “Para wali tidak mengajukan tuntutan; mereka
justru merasa hina dan tersembunyi.” Dia juga mengatakan : “Pangkal perjalanan
para wali adalah langkah pertama para Nabi.”
Sahl bin Abdullah mengatakan : “Wali adalah dia yang selalu melakukan
perbuatannya selaras dengan Allah swt.”
Yahya bin Mu’adz menyatakan : “Seorang wali berbuat sesuatu tidak demi
riya’, tidak pula munafik. Betapa sedikitnya sahabat-sahabat seseorang yang
berwatak seperti itu!.”
Abu Ali al-Juzajany berkata : “Seorang wali adalah yang fana’ keadaannya
namun tetap dalam musyahadah akan Allah swt. Allah mengambil alih urusan-urusannya
hingga, dengan pengarahan itu, cahaya kewalian melimpah. Dia tidak tahu apa
tentang ddirinya sendiri, tak ada tempat berpijak selain Allah swt.”
Abu Yazid mengabarkan :”Jatah para wali yang sudah ditentukan berasal
dari empat Asma Allah. Masing-masing kelompok wali berbuat sesuai dengan salah
satu Asma tersebut : Al-Awwal (Yang Terdahulu), Al-Akhir (Yang Akhir),
Adz-Dzahir (Yang lahir) dan Al-Bathin (Yang batin). Manakala seorang Wlai fana’
dari nama-nama tersebut setelah memakainya, maka dialah manusia kamil yang
sempurna. Wali yang jatahnya beasal dari Asma Allah Adz-Dzahir akan menyaksikan
kekuasaan-Nya; Wali yag mendapatkan bagian dari Al-Bathin, akan menyaksikan
hal-hal yang mengalir dalam rahasia batin dari cahaya-Nya. Wali yang bagiannya
dari al-Awwal disebutkan dengan masa lampau; Wali yang namanya berasal dari
al-Akhir akan berhubungan dengan masa yang akan datang. Masing-masing diberi
keterbukaan menurut kemampuannya, kecuali wali yang telah dipilih oleh Alalh
swt. dan dipelihara untuk diri-Nya.”
Kata-kata Abu Yazid ini menunjukkan kelompok terpilih di antara
hamba-hamba Allah derajatnya lebih tinggi dari bagian-bagian ini, tidak hanya
sibuk dengan masa depan, atau pun masa lalu dalam benaknya, juga bukan karena
jalan-jalan ruhani yang telah dilewatinya. Demikian keadaan ruhani mereka yang
telah mencapai hakikat; mereka terhapus dari sifat-sifat makhluk.
Seperti difirmankan Allah swt. :
“Dan kamu mengira mereka itu bangun, padahal mereka tidur.” (Qs.
Al-Kahfi :18).
Yahyan bin Mu’adz mengatakan : “Seorang wali adalah wewangian Allah di
bumi, yang dicium banunya oleh pafa shiddiqin, hingga bau itu menyentuh
kalbunya, smapai mereka terbelenggu rindu pada Tuhannya. Ibarat mereka
senantiasa bertambah menurut derajat akhlaknya.
Muhammad al-Wasithy ditanya : “Bagaimana seorang wali dibesarkan dalam
kewaliannya?” Dia menjawab : “Pada awalnya, dia dibesarkan dengan ibdadatnya.
Untuk mencapai kematangannya, dia dibesarkan dengan tabir melalui
kelembutan-Nya. Kemudian Dia mengembalikan ke dalam sifat-sifatnya yang
terddahulu; dan akhirnya Dia menjadikannya menikmati rasa ketegauhannya dalam
waktu-waktunya.”
Dikatakan : “Tanda kewalian ada tiga : Disibukkan dengan Allah swt, dia
lari kepada Allah swt, dan dia hanya bercita-cita kepada Allah swt.”
Alh-Kharraz berkata : “Jika Allah swt. berkehendak mengangkat salah
seorang hamba-Nya menjadi wali, maka Dia akan membuka baginya pintu gerbang
dzikir kepada-Nya. Jia dia telah merasakan manisnya dzikir, maka Dia akan
membukakan baginya pintu kedekatan. Lantas dinaikan ke atas kesukacitaan
ruhani. Kemudian dia ditempatkan-Nya di atas tahta tauhid. Kemudian dibukakan
tabir dan dimasukan ke dalam rumah Ketunggalan. Disibakkan baginya Keagungan
dan Kebesaran Ilahi. Manakala matanya memandang Kebesaran dan Keagungan, ia tetap
tanpa dirinya. Pada saat seperti itu si hamba menjadi fana’. Setelah itu ia
akan berada di dalam perlindungan Allah swt, bebas dari keccenderungan dirinya
sendiri.”
Abu Turab an-Nakhsyaby mengatakan : “Manakala hati seorang menjadi terbiasa
berpaling dari Allah swt. maka kejadian itu diketahui oleh para wali Allah
swt.”
Dikatakan : “Salah sifat seorang wali adalah bahwa dia tak punya rasa
takut, sebab takut adalah suatu keadaan yang dibenci yang menempati di masa
datang. Atau menunggu kekasih yang hilang di masa lalu. Sedangkan wali adalah
anak waktunya, tak ada gambaran di depan hingga ia harus takut, atau tak ada
harapan, karena harapan itu sendiri adalah menunggu yang tercnta untuk datang,
atau bahkan yang dibenci kelak terbuka kedoknya. Hal itu juga berada di luar
lingkup masa kini. Sang wali juga tak pernah merasa sedih, sebab sedih adalah
penderitaan dalam waktu. Bagaimana mungkin orang yang telah merasakan cahaya
ridha dan tentramnya selaras dengan-Nya akan tertimpa kesedihan? Allah swt.
berfirman : “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran
pada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (Qs. Yunus :62).
Silahkan Bagikan Artikel ini
Mohon Maaf, Atas Ketidak Nyamanannya, Dengan adanya Shortener Di Link Download. Mohon Keridhoannya. Terima Kasih. Apabila kesulitan Download Silahkan buka/klik gambar (Cara Download) dibawah postingan. apabila masih kesulitan, silahkan copy paste link download yang ada kebrowser anda.*** Apabila ada link Download yg rusak/mati, mohon beritahu kami lewat komentar dibawah ini.
Related Posts :