بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
اللهُم َّصلِّ علٰى سَيِّدنا مُحَمّدٍ عبدِكَ وَنبيِّكَ ورسولِكَ النَّبيِّ الاُمِيّ وَعلٰى اٰلهِ وَصَحْبِهِ وسَلِّم تسليماً بقدرِ عظمةِ ذاَتِكَ في كـُلِّ وَقتٍ وَحيـنٍ
RAHASIA DI BALIK LAHIRNYA NAHDLATUL ULAMA
Teks Translit Pidato KH. As'ad Syamsul Arifin
(KH As’ad Syamsul Arifin adalah pelaku sejarah
berdirinya NU, beliaulah yang menjadi media penghubung dari KH. Kholil
Bangkalan yang memberi isyarat agar KH. Hasyim Asyari mendirikan Jam’iyah Ulama
yang akhirnya bernama Nahdlatul Ulama. Pidato ini awalnya berbahasa Madura dan
berikut adalah translit selengkapnya).
Assalamu’alaikum Wr. Wb. yang akan saya sampaikan
pada Anda tidak bersifat nasehat atau pengarahan, tapi saya mau bercerita
kepada Anda semua. ANDA suka mendengarkan cerita? (Hadirin menjawab: Ya).
Kalau suka saya mau bercerita. Begini
saudara-saudara. Tentunya yang hadir ini kebanyakan warga NU, ya? Ya? (Hadirin
menjawab: Ya).
Kalau ada selain warga NU tidak apa-apa ikut
mendengarkan. Cuma yang saya sampaikan ini tentang NU, Nahdlatul Ulama. Karena
saya ini orang NU, tidak boleh berubah-ubah, sudah NU. Jadi saya mau bercerita
kepada anda mengapa ada NU?
Tentunya muballigh-muballigh yang lain menceritakan
isinya kitab. Kalau saya tidak. Sekarang saya ingin bercerita tentang kenapa
ada NU di Indonesia, apa sebabnya? Tolong didengarkan ya, terutama para
pengurus, Pengurus Cabang, MWC, Ranting, kenapa ada NU di Indonesia.
Begini, umat Islam di Indonesia ini mulai kira-kira
700 tahun dari sekarang, kurang lebih, para auliya', pelopor-pelopor Rasulullah
Saw. ini yang masuk ke Indonesia membawa syariat Islam menurut aliran salah
satu empat madzhab, yang empat. Jadi, ulama, para auliya', para pelopor
Rasulullah Saw. masuk ke Indonesia pertama kali yang dibawa adalah Islam.
Menurut orang sekarang Islam Ahlussunah wal Jama’ah, syariat Islam dari
Rasulullah Saw. yang beraliran salah satu empat madzhab khususnya madzhab
Syafi'i. Ini yang terbesar yang ada di Indonesia.
Madzhab-madzhab yang lain juga ada. Ini termasuk
Islam Ahlussunah wal Jama’ah. Termasuk yang dibawa Walisongo, yang dibawa Sunan
Ampel, termasuk Raden Asmoro ayahanda Sunan Ampel, termasuk Sunan Kalijogo,
termasuk Sunan Gunung Jati. Semua ini adalah ulama-ulama pelopor yang masuk ke
Indonesia, yang membawa syariat Islam Ahlussunah wal Jama’ah.
Kira-kira tahun 1920, waktu saya ada di Bangkalan
(Madura), di pondok Kyai Kholil. Kira-kira tahun 1920, Kyai Muntaha Jengkebuan
menantu Kyai Kholil, mengundang tamu para ulama dari seluruh Indonesia. Secara
bersamaan tidak dengan berjanji datang bersama, sejumlah sekitar 66 ulama dari
seluruh Indonesia.
Masing-masing ulama melaporkan: “Bagaimana Kyai
Muntaha, tolong sampaikan kepada Kyai Kholil, saya tidak berani
menyampaikannya. ini semua sudah berniat untuk sowan kepada Hadhratus Syaikh.
Ini tidak ada yang berani kalau bukan Anda yang menyampaikannya.”
Kyai Muntaha berkata: “Apa keperluannya?”
“Begini, sekarang ini mulai ada kelompok-kelompok
yang sangat tidak senang dengan ulama Salaf, tidak senang dengan kitab-kitab
ulama Salaf. Yang diikuti hanya al-Quran dan Hadits saja. Yang lain tidak perlu
diikuti. Bagaimana pendapat pelopor-pelopor Walisongo karena ini yang sudah
berjalan di Indonesia. Sebab rupanya kelompok ini melalui kekuasaan pemerintah
Jajahan, Hindia Belanda. Tolong disampaikan pada Kyai Kholil.”
Sebelum para tamu sampai ke kediaman Kyai Kholil
dan masih berada di Jengkuban, Kyai Kholil menyuruh Kyai Nasib: “Nasib, ke
sini! Bilang kepada Muntaha, di al-Quran sudah ada, sudah cukup:
(يُرِيدُونَ أَن يُطْفِؤُواْ نُورَ اللّهِ
بِأَفْوَاهِهِمْ وَيَأْبَى اللّهُ إِلاَّ أَن يُتِمَّ نُورَهُ وَلَوْ كَرِهَ
الْكَافِرُونَ ﴿٣٢
“Mereka berkehendak memadamkan cahaya (agama) Allah
dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tidak menghendaki selain
menyempurnakan cahayaNya, walaupun orang-orang yang kafir tidak menyukai.” (QS.
at-Taubat ayat 32)
Jadi kalau sudah dikehendaki oleh Allah Ta'ala,
maka kehendakNya yang akan terjadi, tidak akan gagal. Bilang ya kepada
Muntaha.”
Jadi para tamu belum sowan sudah dijawab oleh Kyai
(Kholil). Ini karomah saudara, belum datang sudah dijawab keperluannya. Jadi
para ulama tidak menyampaikan apa-apa, Cuma bersalaman. “Saya puas sekarang”
kata Kyai Muntaha. Jadi saya belum sowan, sudah dijawab hajat saya ini.
Tahun 1921-1922 ada musyawarah di Kawatan
(Surabaya) di rumah Kyai Mas Alwi. Ulama-ulama berkumpul sebanyak 46, bukan 66.
Tapi hanya seluruh Jawa, bermusyawarah termasuk Abah saya (KH. Syamsul Arifin),
termasuk Kyai Sidogiri, termasuk Kyai Hasan almarhum, Genggong, membahas
masalah ini.
Seperti apa, seperti apa? Dari Barat Kyai Asnawi
Qudus, Ulama-ulama Jombang semua, Kyai Thohir. para Kyai berkata: “Tidak ada
jadinya, tidak ada kesimpulan.” Sampai tahun 1923, kata Kyai satu: “Mendirikan
Jamiyah (organisasi)”, kata yang lain: “Syarikat Islam ini saja diperkuat.”
Kata yang lain: “Organisasi yang sudah ada saja.”
Belum ada NU. (Sementara) yang lain sudah
merajalela. Tabarruk-tabarruk sudah tidak boleh. Orang minta berkah ke Ampel
sudah tidak boleh. Minta syafaat ke nenek moyang sudah tidak boleh. Ini sudah
tidak dikehendaki. Sudah ditolak semua oleh kelompok-kelompok tadi. Seperti apa
bawaan ini.
Kemudian ada satu ulama yang matur (menghadap) sama
Kyai: “Kyai, saya menemukan satu sejarah tulisan Sunan Ampel. Beliau menulis
seperti ini (Kyai As'ad berkata: “Kalau tidak salah ini kertas tebal. Saya
masih kanak-kanak. Belum dewasa hanya mendengarkan saja”): “Waktu saya (Sunan
Ampel Raden Rahmatullah) mengaji ke paman saya di Madinah, saya pernah pernah
bermimpi bertemu Rasulullah, seraya berkata kepada saya (Raden Rahmat): “Islam
Ahlussunah wal Jama’ah ini bawa hijrah ke Indonesia. Karena di tempat
kelahirannya ini sudah tidak mampu melaksanakan Syariat Islam Ahlussunah wal Jama’ah.
Bawa ke Indonesia.”
Jadi di Arab sudah tidak mampu melaksanakan syariat
Islam Ahlussunah wal Jama’ah. Pada zaman Maulana Ahmad, belum ada istilah
Wahabi, belum ada istilah apa-apa. Ulama-ulama Indonesia ditugasi melakukan
wasiat ini.
Kesimpulannya mari Istikharah. Jadi ulama berempat
ini melakukannya. Ada yang ke Sunan Ampel. Ada yang ke Sunan Giri. Dan ke
sunan-sunan yang lain. Paling tidak 40 hari. Ada 4 orang yang ditugasi ke
Madinah.
Akhirnya, tahun 1923 semua berkumpul, sama-sama
melaporkan. Hasil laporan ini tidak tahu siapa yang memegang. Apa Kyai Wahab,
apa Kyai Bisri. Insya Allah ada laporan lengkapnya. Dulu saya pernah minta sama
Gus Abdurrahman dan Gus Yusuf supaya dicari.
Sesudah tidak menemukan kesimpulan, tahun 1924,
Kyai (Kholil) memanggil saya. Ya saya ini. Saya tidak bercerita orang lain.
Saya sendiri. Saya dipanggil: “As'ad, ke sini kamu!”
Asalnya saya ini mengaji di pagi hari, dimarahi
oleh kyai, karena saya tidak bisa mengucapkan huruf Ra'. Saya ini pelat
(cadal). “Arrahman Arrahim…”
Kyai marah: “Bagaimana kamu membaca al-Quran kok
seperti ini? Disengaja apa tidak?!”
“Saya tidak sengaja Kyai. Saya ini pelat.”
Kyai kemudian keluar (Kyai Kholil melakukan
sesuatu). Kemudian esok harinya pelat saya ini hilang. Ini salah satu kekeramatan
Kyai yang diberikan kepada saya.
Kedua, saya dipanggil lagi: “Mana yang cedal itu?
Sudah sembuh cedalnya?”
“Sudah Kyai.”
“Ke sini. Besok kamu pergi ke Hasyim Asy’ari
Jombang. Tahu rumahnya?”
“Tahu.”
“Kok tahu? Pernah mondok di sana?”
“Tidak. Pernah sowan.”
“Tongkat ini antarkan, berikan pada Hasyim. Ini
tongkat kasihkan.”
“Ya, kyai.”
“Kamu punya uang?”
“Tidak punya, kyai.”
“Ini.”
Saya diberikan uang Ringgit, uang perak yang bulat.
Saya letakkan di kantong. Tidak saya pakai. Sampai sekarang masih ada. Tidak
beranak, tapi berbuah (berkah). Beranaknya tidak ada. Kalau buahnya banyak.
Saya simpan. Ini berkah. Ini buahnya.
Setelah keesokan harinya saya mau berangkat, saya
dipanggil lagi: “Ke sini kamu! Ada ongkosnya?”
“Ada kyai.”
“Tidak makan kamu? Tidak merokok kamu? Kamu kan
suka merokok?”
Saya dikasih lagi 1 Ringgit bulat. Saya simpan
lagi. Saya sudah punya 5 Rupiah. Uang ini tidak saya apa-apakan. Masih ada
sampai sekarang. Kyai keluar: “Ini (tongkat) kasihkan ya, (Kyai Kholil membaca
QS. Thaha ayat 17-21):
وَمَا تِلْكَ بِيَمِينِكَ يَا مُوسَى ﴿١٧﴾ قَالَ هِيَ عَصَايَ أَتَوَكَّأُ
عَلَيْهَا وَأَهُشُّ بِهَا عَلَى غَنَمِي وَلِيَ فِيهَا مَآرِبُ أُخْرَى ﴿١٨﴾
قَالَ أَلْقِهَا يَا مُوسَى ﴿١٩﴾ فَأَلْقَاهَا فَإِذَا هِيَ حَيَّةٌ تَسْعَى ﴿٢٠﴾
قَالَ خُذْهَا وَلَا تَخَفْ سَنُعِيدُهَا سِيرَتَهَا الْأُولَى ﴿٢١
“Apakah itu yang di tangan kananmu hai Musa?
Berkata Musa: “Ini adalah tongkatku, aku berpegangan padanya, dan aku pukul
(daun) dengannya untuk kambingku, dan bagiku ada lagi keperluan yang lain padanya.”
Allah berfirman: “Lemparkanlah ia, hai Musa!” Lalu dilemparkannyalah tongkat
itu, maka tiba-tiba ia menjadi seekor ular yang merayap dengan cepat. Allah
berfirman: “Peganglah ia dan jangan takut, Kami akan mengembalikannya kepada
keadaannya semula.”
Karena saya ini namanya masih muda. Masih gagah.
Sekarang saja sudah keriput. Gagah pakai tongkat dilihat terus sama
orang-orang. Kata orang Arab Ampel: “Orang ini gila. Muda pegang tongkat.”
Ada yang lain bilang: “Ini wali.”
Wah macam-macam perkataan orang. Ada yang bilang
gila, ada yang bilang wali. Saya tidak mau tahu, saya hanya disuruh Kyai. Wali
atau tidak, gila atau tidak terserah kamu.
Saya terus berjalan. Saya terus diolok-olok, gila.
Karena masih muda pakai tongkat. Jadi perkataan orang tidak bisa diikuti. Rusak
semua, yang menghina terlalu parah. Yang memuji juga keterlaluan. Wali itu, kok
tahu? Jadi ini ujian. Saya diuji oleh Kyai. Saya terus jalan.
Sampai di Tebuireng, (Kyai Hasyim bertanya): “Siapa
ini?”
“Saya, Kyai.”
“Anak mana?”
“Dari Madura, Kyai.”
“Siapa namanya?”
“As'ad.”
“Anaknya siapa?”
“Anaknya Maimunah dan Syamsul Arifin.”
“Anaknya Maimunah kamu?”
“Ya, Kyai”
“Keponakanku kamu, Nak. Ada apa?”
“Begini Kyai, saya disuruh Kyai (Kholil) untuk
mengantar tongkat.”
“Tongkat apa?”
“Ini, Kyai.”
“Sebentar, sebentar…”
Ini orang yang sadar. Kyai ini pintar. Sadar,
hadziq (cerdas). “Bagaimana ceritanya?”
Tongkat ini tidak langsung diambil. Tapi ditanya
dulu mengapa saya diberi tongkat. Saya menyampaikan ayat:
وَمَا تِلْكَ بِيَمِينِكَ يَا مُوسَى ﴿١٧﴾ قَالَ هِيَ عَصَايَ أَتَوَكَّأُ
عَلَيْهَا وَأَهُشُّ بِهَا عَلَى غَنَمِي وَلِيَ فِيهَا مَآرِبُ أُخْرَى ﴿١٨﴾
قَالَ أَلْقِهَا يَا مُوسَى ﴿١٩﴾ فَأَلْقَاهَا فَإِذَا هِيَ حَيَّةٌ تَسْعَى ﴿٢٠﴾
قَالَ خُذْهَا وَلَا تَخَفْ سَنُعِيدُهَا سِيرَتَهَا الْأُولَى ﴿٢١
“Apakah itu yang di tangan kananmu hai Musa?
Berkata Musa: “Ini adalah tongkatku, aku berpegangan padanya, dan aku pukul
(daun) dengannya untuk kambingku, dan bagiku ada lagi keperluan yang lain
padanya.” Allah berfirman: “Lemparkanlah ia, hai Musa!” Lalu dilemparkannyalah
tongkat itu, maka tiba-tiba ia menjadi seekor ular yang merayap dengan cepat.
Allah berfirman: “Peganglah ia dan jangan takut, Kami akan mengembalikannya
kepada keadaannya semula.”
"Alhamdulillah, Nak. Saya ingin mendirikan
Jam’iyah Ulama. Saya teruskan kalau begini. Tongkat ini tongkat Nabi Musa yang
diberikan Kyai Kholil kepada saya.”
Inilah rencana mendirikan Jam’iyah Ulama. Belum ada
Nahdlatul Ulama. Apa katanya? Saya belum pernah mendengar kabar berdirinya
Jam’iyah Ulama. Saya tidak mengerti.
Setelah itu saya mau pulang. “Mau pulang kamu?”
“Ya, Kyai.”
“Cukup uang sakunya?”
“Cukup, Kyai.”
“Saya cukup didoakan saja, Kyai.”
“Ya, mari. Haturkan sama Kyai, bahwa rencana saya
untuk mendirikan Jam’iyah Ulama akan diteruskan.”
Inilah asalnya Jam’iyatul Ulama.
Tahun 1924 akhir, saya dipanggil lagi oleh Kyai
Kholil: “As'ad, ke sini! Kamu tidak lupa rumahnya Hasyim?”
“Tidak, Kyai.”
“Hasyim Asy'ari?”
“Ya, Kyai.”
“Di mana rumahnya.”
“Tebuireng.”
“Dari mana asalnya?”
“Dari Keras (Jombang). Putranya Kyai Asy’ari
Keras.”
“Ya, benar. Di mana Keras?”
“Di baratnya Seblak.”
“Ya, kok tahu kamu?”
“Ya, Kyai.”
“Ini tasbih antarkan.”
“Ya, Kyai.”
Kemudian diberi uang 1 Ringgit dan rokok. Saya
kumpulkan. Semuanya menjadi 3 Ringgit dengan yang dulu. Tidak ada yang saya
pakai. Saya ingin tahu buahnya.
Terus, pagi hari Kyai keluar dari Langgar: “Ke
sini, makan dulu!”
“Tidak, Kyai. Sudah minum wedang dan jajan,”
“Dari mana kamu dapat?”
“Saya beli di jalan, Kyai”
“Jangan membeli di jalan! Jangan makan di jalan!
Santri kok makan di jalan?”
“Ya, Kyai.”
Saya makan di jalan dimarahami. Santri kok menjual
harga dirinya? Akhirnya saya ditanya: “Cukup itu?”
“Cukup, Kyai.”
“Tidak!”
Diberi lagi oleh Kyai. Dikasih lagi 1 Ringgit. Saya
simpan lagi. Kemudian tasbih itu dipegang ujungnya: “Ya Jabbar, Ya Jabbar, Ya
Jabbar. Ya Qahhar, Ya Qahhar, Ya Qahhar.” Jadi Ya Jabbar 1 kali putaran tasbih.
Ya Qahhar 1 kali putaran tasbih. Saya disuruh dzikir.
“Ini.”
Disuruh ambil. Saya tengadahkan leher saya. “Kok
leher?”
“Ya, Kyai. Tolong diletakkan di leher saya supaya
tidak terjatuh.”
“Ya, kalau begitu.”
Jadi saya berkalung tasbih. Masih muda berkalung
tasbih. Saya berjalan lagi, bertemu kembali dengan yang membicarakan saya dulu:
“Ini orang yang megang tongkat itu? Wah.. Hadza majnun.” Ada yang bilang
"wali", ya seperti tadi. Jadi saya tidak menjawab. Saya tidak bicara
kalau belum bertemu Kyai. Saya berpuasa. Saya tidak bicara, tidak makan, tidak
merokok, karena amanatnya Kyai. Saya tidak berani berbuat apa-apa. Sebagaimana
kepada Rasulullah, ini kepada guru. Saya tidak berani. Saya berpuasa. Saya
tidak makan, tidak minum tidak merokok. Tidak terpakai uang saya.
Ada yang narik: “Karcis! karcis!”
Saya tidak ditanya. Saya pikir ini karena tasbih
dan tongkat. Saya pura-pura tidur karena tidak punya karcis. Jadi selama
perjalanan 2 kali saya tidak pernah membeli karcis. Mungkin karena tidak
melihat saya. Ini sudah jelas keramatnya Kyai. Jadi Auliya' itu punya karomah.
Saya semakin yakin dengan karomah. Saya semakin yakin.
Saya lalu sampai di Tebuireng, Kyai (Hasyim) tanya:
“Apa itu?”
“Saya mengantarkan tasbih.”
“Masya Allah, Masya Allah. Saya diperhatikan betul
oleh guru saya. Mana tasbihnya?”
“Ini, Kyai.” (dengan menjulurkan leher).
“Lho?”
“Ini, Kyai. Tasbih ini dikalungkan oleh Kyai ke
leher saya, sampai sekarang saya tidak memegangnya. Saya takut su'ul adab
(tidak sopan) kepada guru. Sebab tasbih ini untuk Anda. Saya tidak akan berbuat
apa-apa terhadap barang milik Anda.”
Kemudian diambil oleh Kyai: “Apa kata Kyai?”
“Ya Jabbar, Ya Jabbar, Ya Jabbar. Ya Qahhar, Ya
Qahhar, Ya Qahhar.”
“Siapa yang berani pada NU akan hancur. Siapa yang
berani pada ulama akan hancur.” Ini dawuhnya.
Pada tahun 1925, Kyai Kholil wafat tanggal 29
Ramadhan. Banyak orang berserakan. Akhirnya pada tahun 1926 bulan Rajab
diresmikan Jam’iyatul Ulama. Ini sudah dibuat, organisasi sudah disusun.
Termasuk yang menyusun adalah Kyai Dahlan dari Nganjuk, yang membuat anggaran
dasar. Kemudian para ulama sidang lagi untuk mengutus kepada Gubernur Jenderal.
Ya, seperti itulah yang dapat saya ceritakan.
Nb. File rekaman diperoleh dari Gus Adib Mursyid,
MAg. pada Jum’at 23 Maret 2012 di atas Kapal Lawit (Pelni). Dialihbahasakan
oleh Kiai Ma'ruf
Khozin.
Silahkan Bagikan Artikel ini
Mohon Maaf, Atas Ketidak Nyamanannya, Dengan adanya Shortener Di Link Download. Mohon Keridhoannya. Terima Kasih. Apabila kesulitan Download Silahkan buka/klik gambar (Cara Download) dibawah postingan. apabila masih kesulitan, silahkan copy paste link download yang ada kebrowser anda.*** Apabila ada link Download yg rusak/mati, mohon beritahu kami lewat komentar dibawah ini.
Related Posts :