بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
اللهُم َّصلِّ علٰى سَيِّدنا مُحَمّدٍ عبدِكَ وَنبيِّكَ ورسولِكَ النَّبيِّ الاُمِيّ وَعلٰى اٰلهِ وَصَحْبِهِ وسَلِّم تسليماً بقدرِ عظمةِ ذاَتِكَ في كـُلِّ وَقتٍ وَحيـنٍ
Adab berpakaian
Syeikh Abu Nashr as-Sarraj
Saya mendengar dari para jama`ah
syekh Abu Abdillah ash-Shubaihi berkata, “Kefakiran seorang fakir (Sufi) belum
bisa dibenarkan sehingga la keluar dari rasa memiliki. Ketika la sudah bisa
keluar dari seluruh rasa memiliki maka akan muncul suatu kedudukan. Oleh
karenanya, seyogyanya la menanggalkan kedudukannya sehingga tidak tersisa
kedudukan apapun. Ketika la mengorbankan kedudukannya maka yang tersisa adalah
kekuatan dirinya. Maka kekuatan dirinya pun harus dikorbankan untuk
teman-temannya dengan cara melayani kepada mereka dan berusaha demi kepentingan
mereka. Baru pada saat itulah kesuflannya bisa dlanggap benar.”
Saya mendengar Abu Abdillah
ar-Rudzabari berkata, “Muzhaffar al-Qirmisini masuk di Ramalah bersama seorang
panngeran. Mereka memiliki kedudukan terhormat di kalangan orang-orang kaya di
daerah tersebut. Maka mereka senantlasa mengorbankan kedudukannya dan
menginfakkan hartanya kepada para sufi hingga tak tersisa kedudukan apa pun di
mata slapa pun. Tidak seorang pun yang akan memberi mereka sesuatu dengan cara
meminta atau berhutang atau dengan gadai. Maka dalam kondisi demiklan waktu
mereka menjadi baik.”
Dikatakan pada Ibrahim bin Syaiban
al-Qirmisini - rahimahullah, “Bagaimana kondisi Muzhaffar al-Qirmisini dengan
dua lembar serpihan kain dan meminta serta melayani teman-temannya?” Maka ia
menjawab, “Ia telah mulai melangkah dalam futuwwah (kemurahan hati) hanya
karena Allah, sehingga ia tidak mau lagi ketinggalan satu langkah pun yang
telah dilakuan karena Allah.”
Ada sebagian kaum Sufi di Baghdad yang hampir tidak bisa makan kecuali dengan
meminta-minta. Kemudlan ia ditanya tentang alasan melakukan hal itu. Maka ia
menjawab, “Saya memilih hal itu sebab nafsu saya sangat tidak menyukainya.”
Ada seorang syekh Sufi terhormat
masuk sebuah negeri. Ia melihat seorang “murid” (pemula) yang nafsunya selalu
mengabulkan keinginannya untuk melakukan ketaatan, ibadah, kefakiran dan
mengurangi makan. Perilakunya ini membuatnya bisa diterima di masyarakat awam.
Kemudlan syekh Sufi tersebut berkata kepada si murid ini, “Semua yang telah
Anda lakukan itu tidak bisa dibenarkan (sah) kecuali bila Anda mau mengemis
sisa-sisa roti dari pintu ke pintu, dan Anda jangan makan apa pun kecuali dari
hasil Anda mengemis.”
Namun perintah guru Sufi itu terasa
berat bagi si murid dan ia tidak sanggup melakukannya. Ketika si murid ini
sudah lanjut usia, terpaksa meminta-meminta karena ia butuh. Dan ia sadar bahwa
hal itu merupakan hukuman atas ketidaktaatanya atas perintah guru di awal dalam
merambah Jalan Allah swt.
Syekh Abu Nashr as-Sarraj - rahimahullah - berkata: Syekh Sufi tersebut tidak
lain adalah Abu Abdillah al-Muqri’i, sedangkan syekh yang awal perjalanannya
diperintah mengemis adalah Abu Abdillah as-Sajazi - rahimahullah.
Saya mendengar cerita tentang seorang syekh dari para elite Sufi berpuasa,
sementara bekal untuk berbuka puasa harus mencari sisa-sisa roti dari pintu ke
pintu. Ia tidak mau makan makanan selain dari sisa-sisa roti tersebut hingga
malam kedua. Ternyata apa yang dilakukan syekh Sufi ini diketahui oleh seseorang,
lalu ia membawakan makanan ke tempat syekh Sufi tersebut. Namun ia tidak mau
makan dari makanan yang dibawakan seseorang, malah meninggalkan tempat yang
telah diketahui orang lain dan tidak pernah kembali lagi.
Dikisahkan dari Mumsyadz ad-Dinawari, bahwa suatu saat jamaah dari
teman-teman kaum fakir Sufi datang ke rumahnya. Kemudlan ia masuk pasar untuk
mengumpulkan sisa-sisa roti dari toko-toko yang ada di pasar yang kemudian ia
bagikan kepada teman-temannya yang datang.
Dikisahkan dari Bunan al-Hammal yang berkata, “Sama sekali saya tidak tahu
bahwa diriku adalah `tukang pukul’ kecuali dalam sekali kesempatan. Dimana saya
pernah melihat seorang fakir Sufi berpuasa. Setelah shalat Maghrib ia keluar ke
pasar dan meminta sesuap nasi dari setiap toko. Ketika merasa kenyang ia
kembali ke tempat tinggalnya. Suatu malam saya pernah membawanya. Saya meminta
dari orang-orang roti yang banyak, manis-manisan dan buah-buahan, sehingga
terkumpul dalam jumlah yang cukup banyak, kemudian saya berikan kepadanya.
Tatkala mau beranjak dari tempat itu ia berkata kepadaku, `Wahai syekh, apakah
ini seorang polisi?’ Saya menjawab, `Tidak! Saya ini Bunan al-Hammal.’ Kemudlan
ia melemparkan seluruh barang yang ia bawa ke wajahku sembari berkata, `Wahai
tukang pukul, apa yang Anda kerjakan ini hanya pekerjaan seorang polisi, dan
bukan pekerjaan seorang syekh. Sebab setiap orang yang Anda mengatakan
kepadanya, `Tolong berikan itu,’ la akan menyerahkan apa yang Anda inginkan’.”
Dikisahkan dari sebaglan murid-murid Sufi yang meminta makanan untuk
sahabat-sahabatnya dan ia makan bersama mereka. Sebaglan jamaah syekh mencela
tindakan itu dan berkata, “Engkau telah tertipu oleh nafsumu dan engkau
sebenarnya meminta untuk dirimu dan bukan untuk teman-temanmu. Sebab jika
engkau benar-benar meminta demi teman-temanmu dan kau benar mengorbankan dirimu
demi mereka tentu engkau tidak akan makan bersama mereka.”
Syekh Abu Nashr as-Sarraj - rahimahullah - berkata: Hukum orang yang
melakukan tindakan di atas, jika hal itu telah menjadi kebiasaannya, sementara
nafsunya telah cenderung menyukainya sebaiknya ditinggalkan. Dan barangsiapa
meminta karena benar-benar terpaksa maka hendaknya ia tidak mengambil kecuali
dari kebutuhan primer yang tidak bisa ditinggalkan. Jika ia diberi banyak,
hendaknya ia mengambil sekadar apa yang dibutuhkan dan sisanya diberikan kepada
orang lain.
Makan dengan cara meminta adalah lebih baik daripada makan dengan taqwa.
Seorang fakir yang terpaksa harus meminta maka tebusan (kaffarat)nya adalah
kejujurannya.
Ada sebaglan syekh Sufi selama berhari-hari tidak makan. Sedangkan la berada di
negeri asing. Ia hampir saja mati. Namun ia tak mau meminta-meminta. Kemudian
ditanya alasan mengapa ia tidak mau meminta? Maka ia menjawab, “Yang melarangku
meminta-meminta adalah sabda Rasulullah saw.:
‘Jika seorang pengemis itu benar-benar jujur maka orang yang menolaknya
tidak akan bahagia.’ (H.r. ath-Thabrani dengan sanad dha’if)
Saya tidak ingin ada seorang muslim yang menolakku kemudlan ia tidak bisa
bahagia, karena sabda Nabi tersebut.
by : sufinews.com
Silahkan Bagikan Artikel ini
Mohon Maaf, Atas Ketidak Nyamanannya, Dengan adanya Shortener Di Link Download. Mohon Keridhoannya. Terima Kasih. Apabila kesulitan Download Silahkan buka/klik gambar (Cara Download) dibawah postingan. apabila masih kesulitan, silahkan copy paste link download yang ada kebrowser anda.*** Apabila ada link Download yg rusak/mati, mohon beritahu kami lewat komentar dibawah ini.
Related Posts :