بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
اللهُم َّصلِّ علٰى سَيِّدنا مُحَمّدٍ عبدِكَ وَنبيِّكَ ورسولِكَ النَّبيِّ الاُمِيّ وَعلٰى اٰلهِ وَصَحْبِهِ وسَلِّم تسليماً بقدرِ عظمةِ ذاَتِكَ في كـُلِّ وَقتٍ وَحيـنٍ
Cinta
Al-Ghazali
Lalu perhatikan, sesudah itu, bagaimana Anda tidak mengakui adanya cinta kepada
Sang Maha Pencipta? Jika mata batin Anda tidak mampu menangkap dan mencermati
secara seksama terhadap kemuliaan dan kesempurnaan Sang Maha Pencipta dan tidak
mampu mencintai-Nya dengan kecintaan yang amat sangat, maka Anda jangan sampai
tidak mencintai pemberi nikmat dan yang berbuat baik kepada Anda!
Allah Swt. berfirman,
“Allah mencintainya dan mereka pun mencintai-Nya.” (Q.s. Al-Maidah: 54).
Dan firman-Nya pula:
“Katakanlah, ‘Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istrimu,
keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri
kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu
cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad dijalan-Nya, maka
tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.” (Q.s. At-Taubah: 24).
Rasulullah Saw. bersabda:
“Tidak beriman salah seorang di antara kalian hingga Allah dan Rasul-Nya lebih
ia cintai dari yang selainnya.” (H.r. Bukhari-Muslim).
Beliau juga bersabda,
“Cintailah Allah, karena Dia mengaruniakan nikmat kepada kalian, dan cintailah
aku, karena cinta kepada Allah Azza wa Jalla!” (Al-Hadis).
Abu Bakar As-Shiddiq r.a. berkata, “Barangsiapa merasakan kemurnian cinta
kepada Allah, hal itu mencegahnya untuk mencari kehidupan duniawi dan
menjadikan dirinya meninggalkan seluruh manusia.”
Hasan Al-Bashri berkata, “Orang yang
kenal Allah, pasti Allah mencintainya. Orang yang kenal dunia, ia pasti hidup
zuhud di dalamnya. Seorang Mukmin tidak terkecoh kecuali dia lalai, bila bertafakur
ia sedih dan pilu.”
Sebagian besar ahli kalam
(mutakallimun) tidak mengakui adanya cinta kepada Allah. Mereka
menginterpretasikannya dengan berkata, “Cinta Allah itu tidak ada artinya,
kecuali dengan melaksanakan perintah-perintah-Nya. Sebab, tiada sesuatu yang
menyerupai-Nya dan Dia tidak menyerupai sesuatu, dan Dia itu tidak sepadan
dengan naluri dan watak kita, bagaimana mungkin kita mencintai-Nya?Yang mungkin
bagi kita adalah mencintai siapa yang sejenis dengan kita, yakni sesama
manusia.”
Mereka terbelenggu oleh ketidaktahuan
mereka atas esensi banyak hal. Persoalan ini telah kami singkap dalam Bab
“AI-Mahabbah” pada kitab Al-Ihya’, silakan Anda merujuknya. Di sini kami batasi
dengan ringkasan dan intisarinya saja.
Setiap yang lezat, enak, itu digandrungi, disenangi dan dicintai. Maksud dari
kata “dicintai atau disenangi” adalah, jiwa cenderung kepadanya atau
digandrungi oleh jiwa. Kecenderungan yang amat kuat disebut keasyikan cinta.
Maksud dan kata “dibenci” adalah, jiwa
berpaling darinya, tidak menyenanginya, karena menjemukan dan menyakitkan. Rasa
benci atau keberpalingan yang amat sangat, disebut dendam.
Segala sesuatu yang Anda rasakan dengan segenap indera dan perasaan bisa
selaras dengan perasaan Anda, dan itu adalah sesuatu yang menyenangkan.
Sebaliknya, yang bertentangan dengan indera, selera dan perasaan Anda, itu
adalah sesuatu yang menyakitkan. Atau tidak sesuai, ataupun tidak bertentangan
dengan indera, atau selera Anda, itu adalah sesuatu yang tidak menyenangkan dan
tidak pula menyakitkan. Setiap yang menyenangkan pasti disukai, artinya, jiwa
yang terasang olehnya pasti cenderung dan menggandrunginya. Dan itu tidaklah
mustahil.
Senang atau enak itu mengikuti indera, sedangkan indera itu terdiri dari dua
macam: Indera lahir dan batin.
Indera lahir adalah pancaindera. Sudah
barangtentu kelezatan mata itu adalah ketika melihat keindahan-keindahan,
kelezatan yang dirasakan oleh telinga ketika mendengarkan alunan melodi yang
indah, sedangkan kelezatan rasa dan penciuman adalah ketika merasakan makanan
dan bau yang cocok. Sementara, kelezatan yang dirasakan oleh organ-organ tubuh
lainnya, ketika mengenakan sesuatu yang halus lagi menyenangkan. Semua itu
disenangi jiwa, atau jiwa itu gandrung kepadanya.
Indera batin adalah kehalusan (lathifah) yang terdapat di dalam kalbu;
kadang-kadang disebut akal-budi, kadang-kadang disebut cahaya, dan terkadang
pula disebut indera keenam.
Anda tidak perlu menilik dari kata-kata tersebut, sebab Anda akan mendapatkan
kesulitan, tapi perhatikanlah sabda Rasulullah Saw. berikut ini:
“Ada tiga perkara duniawi kalian yang
disenangkan kepadaku (aku menyenanginya), yaitu: wewangian, wanita, dan hal
yang paling menyenangkan bagiku, ketika salat.”
Anda tahu, bahwa pada wewangian dan wanita terdapat unsur untuk disentuh,
dicium dan dipandang. Sedangkan apa yang terdapat dalam salat tidak dapat
dirasakan atau diindera oleh pancaindera, tapi hanya dapat dirasakan atau
diindera oleh indera keenam yang terdapat dalam kalbu. Apa yang dirasakan dalam
salat tidak dapat diindera oleh orang yang tidak memiliki kalbu, sebab Allah
Swt. itu tertutup antara seseorang dan kalbunya.
Orang yang merasakan kelezatan hanya
terbatas dengan pancainderanya, dia itu adalah binatang, sebab binatang itu
merasakan hanya dengan pancaindera semata, sementara keistimewaan manusia dan
binatang adalah dibedakan dengan mata batin (al-bashiratul hatinah).
Kelezatan yang dirasakan oleh indera
lahir terjadi pada bentuk keindahan lahiriah, sedangkan kelezatan yang
dirasakan oleh indera batin (ruhani) terjadi pada bentuk keindahan ruhani
(batin).
Keindahan Batin
Barangkali Anda bertanya, “Apa yang dimaksud dengan bentuk keindahan ruhani?”
Jawabnya adalah persepsi saya tentang diri Anda. Yakni, bahwa dalam diri Anda
tidak merasakan rasa cinta kepada para Nabi, kepada para ulama dan para
sahabat. Anda pun tidak dapat membedakan antara raja yang adil, cerdik, berani,
perkasa, mulia dan menyayangi rakyatnya, dengan raja yang zalim, bodoh, kikir
dan keras.
Menurut persepsi saya, jika diceritakan
kepada Anda tentang kejujuran Abu Bakar, kelihaian politik Umar, kedermawanan
Utsman dan tentang keberanian Ali — semoga Allah meridhai mereka — niscaya Anda
sendiri tidak akan mendapatkan rasa simpati, senang dan cinta kepada para Nabi,
orang yang jujur, dan orang alim yang penuh dengan sifat-sifat mulia. Bagaimana
mungkin Anda mengingkari hal ini?
Padahal di antara manusia ada yang
mengikuti jejak pemimpin-pemimpin mazhabnya. Cinta mereka terhadap para
pemimpinnya itu mendorong pengorbanan jiwa dan harta demi membela mereka (para
pemimpin), dan rasa cinta mereka itu melampaui batas kecintaan yang amat
sangat.
Anda sendiri tahu, bahwa kecintaan Anda kepada mereka bukan karena bentuk lahir
mereka, bukan karena mereka rupawan, sebab Anda sendiri belum pernah melihat
paras muka mereka. Walaupun Anda pernah melihatnya, tapi Anda barangkaIi tidak
menganggapnya rupawan. Sungguhpun Anda menganggap baik, rupawan, padahal bentuk
lahir mereka - sebagaimana Anda saksikan, jelek, misalnya — namun sifat-sifat
luhur masih tetap ada, maka kecintaan kepada mereka pun tetap ada.
Ada tiga sifat penting yang akan Anda dapatkan setelah mengamati secara cermat
terhadap orang yang Anda cinta setelah dirinci panjang-lebar, yang tidak
mungkin termuat dalam buku ini — 1. Ilmu, 2. Kemampuan (kekuatan) dan 3. Bersih
dan cela.
Tentang ilmu, maksudnya adalah ilmu mereka tentang Allah Swt, para malaikat,
kitab-kitab dan para Rasul Allah, keajaiban-keajaiban alam semesta dan rahasia
ajaran para Nabi-Nya.
Yang dimaksudkan dengan kemampuan
adalah, kemampuan mereka menaklukkan hawa nafsu dan menggiringnya kejalan
lurus, serta kemampuan melaksanakan ibadat dengan siasat dan strategi mereka
sendiri, serta petunjuk pada kebenaran.
Tentang kebersihan dan cela adalah,
seperti terbebasnya ruhani mereka dari kebodohan, sifat kikir, dengki dan
akhlak-akhlak yang tercela. Juga integrasi ilmu yang sempurna dan kemampuan
menaklukkan hawa nafsu dengan akhlak mulia pada diri mereka. Itu merupakan
bentuk ruhani yang baik, suatu bentuk ruhani yang tidak dicapai atau dimiliki
oleh binatang dan tidak dimiliki oleh orang yang serupa dengan binatang, yang
hanya terbatas pada indera lahiriah.
Selanjutnya, jika Anda mencintai mereka
karena sifat-sifat yang terpuji semacam ini, padahal Anda tahu bahwa Nabi
Muhammad Saw. adalah figur yang jauh lebih lengkap dari sifat-sifat yang mereka
miliki, maka cinta Anda kepada beliau jauh lebih penting.
Berikutnya, silakan Anda alihkan
perhatian kepada Dzat yang mengutus Nabi Muhammad Saw, Penciptanya dan Yang
memberikan keistimewaan kepada beliau atas manusia dengan mengutusnya sebagai
Rasul — tentu Anda akan tahu, bahwa diutusnya para Nabi oleh Allah, merupakan
salah satu bentuk kebaikan dan ragam kebaikan-Nya. Kemudian, menisbatkan
kemampuan, ilmu dan kesucian mereka pada Ilmu, Kekuasan dan Kemahasucian Allah,
niscaya Anda akan tahu, bahwa tiada Yang Maha Suci selain Tuhan Yang Maha Esa,
dan bahwa selain Dia tidak lepas dari cacat dan kekurangan, bahkan kehambaan
(manusia kepada Allah Swt.) merupakan bentuk kekurangan terbesar yang dimiliki
manusia dari ragam bentuk kekurangan lainnya. Kesempurnaan macam apa bagi orang
yang tidak mampu tegak dengan sendirinya, tidak mampu menguasai dirinya, baik
itu berupa mati dan hidupnya, rezeki dan ajalnya?
Ilmu macam apa yang dimiliki oleh orang
yang kesulitan untuk mengetahui karakteristik batinnya, baik berupa wujud
kesehatan ruhani dan sakitnya ruhani, bahkan dia tidak mengetahui seluruh organ
ruhani berikut rincian dan ketentuan-ketentuan perwujudannya, ditambah lagi
tentang alam semesta?
Silakan hal ini Anda bandingkan dan nisbatkan kepada ilmu azali yang meliputi
seluruh yang ada, dari data-data yang tanpa batas jumlahnya sampai pada yang
seberat atom yang terdapat di langit dan di muka bumi.
Bandingkan dan nisbatkan pula pada
kekuasaan Sang Pencipta langit dan bumi, dimana tidak satu pun dari yang ada
keluar dari genggaman kekuasaan-Nya, baik itu dalam hal wujud, eksistensi dan
ketiadaannya.
Nisbatkan dan bandingkan pula kesucian
makhluk dari aneka cacat dengan kequdusan-Nya, niscaya Anda tahu bahwa
kesucian, kekuasaan dan ilmu hanyalah milik Tuhan Yang Maha Esa; kekuatan dan
kekuasaan yang dimiliki oleh selain Allah sekadar pemberianNya belaka.
“Dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah, melainkan apa yang
dikehendaki-Nya.” (Q.s. Al-Baqarah: 255).
“Dan tidaklah kamu diberi pengetahuan, melainkan sedikit.” (Q.s. Al-Isra’: 85).
Sekarang, mungkinkah Anda mengingkari bahwa sifat-sifat yang agung dan terpuji
itu disenangi atau dicintai? Atau Anda tidak mengakui, bahwa yang memiliki
sifat kemuliaan sempurna itu adalah Allah Swt.?
“Dan tidaklah kamu diberi pengetahuan, melainkan sedikit.” (Q.s. Al-Isra’: 85).
Sekarang, mungkinkah Anda mengingkari bahwa sifat-sifat yang agung dan terpuji
itu disenangi atau dicintai? Atau Anda tidak mengakui, bahwa yang memiliki
sifat kemuliaan sempurna itu adalah Allah Swt.?
Renungan Cinta
Lalu perhatikan, sesudah itu, bagaimana Anda tidak mengakui adanya cinta kepada
Sang Maha Pencipta?
Jika mata batin Anda tidak mampu menangkap dan mencermati secara seksama
terhadap kemuliaan dan kesempurnaan Sang Maha Pencipta dan tidak mampu
mencintai-Nya dengan kecintaan yang amat sangat, maka Anda jangan sampai tidak
mencintai pemberi nikmat dan yang berbuat baik kepada Anda! Anda jangan
sekali-kali lebih rendah dari seekor anjing, sebab anjing itu mencintai tuannya
yang selalu berbuat baik padanya!
Renungkan hal ini dalam kaitannya dengan jagat raya! Adakah seseorang yang
berbuat baik kepada Anda, selain Allah?
Apakah nasib, rasa lezat, rasa senang
menikmati sesuatu, dan kelahapan menikmati nikmat yang Anda miliki itu tidak
lain hanyalah Allah yang menciptakannya, memulai dan menetapkannya, serta
bukankah Dia yang menciptakan rasa berselera kepada nikmat-nikmat tersebut dan
rasa nyaman menikmatinya?
Renungkan pula tentang organ tubuh Anda dan kehalusan ciptaan Allah Swt. atas
diri Anda dengan organ-organ tersebut, agar Anda mencintai-Nya karena
kebaikan-Nya kepada Anda!
Jika Anda tidak mampu mencintai Allah sebagaimana para malaikat mencintai-Nya
karena kemahaindahan, kemahaagungan dan kemahasempurnaan-Nya, cukuplah Anda
menjadi orang awam saja.
Uraian di atas merupakan perwujudan dari sabda Rasulullah Saw, “Cintailah
Allah, karena Dia mengaruniakan nikmat kepada kalian, dan cintailah aku karena
cinta kepada Allah Azza wa Jalla!”
Anda bagaikan seorang budak berparas kurang menarik dalam kondisi demikian,
sebab budak yang berparas kurang menarik itu cinta dan bekerja untuk
mendapatkan upah (imbalan); sudah barang tentu kadar bertambah dan berkurangnya
cinta Anda bergantung pada bertambah dan berkurangnya kebaikan, dan ini
merupakan ragam cinta yang amat lemah. Yang sempurna adalah, orang yang
mencintai Allah karena keindahan dan kemahaterpujian sifat-sifat-Nya yang tidak
mungkin dapat disamai dan tiada dua-Nya. Itulah sebabnya, Allah menurunkan
wahyu kepada Nabi Daud as.:
“Bentuk kecintaan kepada-Ku yang paling baik adalah, orang yang menyembah-Ku
tanpa pamrih, bukan karena untuk memperoleh pemberian; tapi memenuhi hak
rububiyah itu sendiri.”
Dalam kitab Zabur dijelaskan, “Termasuk orang zalim adalah, orang yang
menyembah-Ku karena surga atau neraka. Kalau Aku tidak menciptakan surga dan
neraka, apakah Aku tidak pantas untuk ditaati?”
Suatu saat Nabi Isa as. melintasi sekelompok ahli ibadat, mereka telah
ber-khalwat untuk melakukan ibadat. “Kami takut pada api neraka dan
mengharapkan surga,” kata mereka.
“Anda sekalian takut pada makhluk dan Anda sekalian berharap padanya?” komentar
Nabi Isa as.
Selanjutnya beliau melewati sekelompok ahli ibadat lainnya.
“Kami menyembah-Nya sebagai rasa cinta dan pengagungan karena
kemahamuliaan-Nya.”
“Anda sekalian benar-benar para kekasih Allah, aku diperintahkan mukim bersama
kalian,” kata Nabi Isa as.
Cinta Orang Arif
Orang yang kenal Allah (al-arf) hanya cinta kepada Allah Swt. semata.
Apabila mencintai selain Allah, dia mencintainya demi dan karena Allah Swt.
Sebab, bisa terjadi seorang pecinta itu mencintai hamba orang yang dicintainya,
mencintai kerabat, negara, pakaian, anak angkat, karya dan ciptaannya, serta
setiap yang berasal darinya dan dikaitkan kepadanya.
Seluruh yang ada di alam semesta ini
adalah ciptaan Allah Swt. Seluruh makhluk adalah hamba Allah. Jadi, mencintai
seorang Rasul identik dengan mencintai-Nya, sebab beliau adalah seorang utusan
yang dicintai-Nya dan sekaligus merupakan kekasih-Nya. Lalu, mengapa harus
mencintai para sahabat? Karena mereka dicintai oleh Rasulullah Saw. dan mereka
pun mencintai beliau. Mereka berkhidmat dan tekun mematuhi beliau.
Cinta atau suka terhadap makanan,
karena dapat menguatkan tubuh yang dapat mengantarkan kepada orang yang
dicintainya. Mencintai dunia, semata karena merupakan bekal menuju Sang
Kekasih.
Ketika memandangi bunga-bunga,
sungai-sungai, cahaya dan keindahan-keindahan dengan penuh cinta, karena semua
itu adalah ciptaan Allah Swt. Semua itu (bunga-bunga, sungai-sungai, cahaya dan
keindahan) merupakan tanda-tanda keindahan dan kemuliaan-Nya, serta
mengingatkan akan sifat-sifat-Nya yang terpuji yang memang dicintai dan
disayangi.
Jika mencintai orang yang berbuat baik
kepada dirinya dan mencintai orang yang mengajarinya ilmu-ilmu agama, semata
karena dia itu merupakan perantara antara dirinya dan yang dicintainya (Allah),
yakni dalam menyampaikan ilmu dan hikmah-Nya kepada dirinya. Dia tahu bahwa
Allah-lah yang menakdirkan sang guru mengajari dan membimbingnya, menyuruhnya
untuk menginfakkan sebagian hartanya. Kalau tidak karena faktor-faktor yang
mendorong sang guru untuk mengajari dan membimbingnya serta menyuruhnya untuk
berinfak, tentu dia tidak melakukannya.
Orang yang paling banyak dan terbesar
dalam berbuat baik terhadap diri kita adalah Rasulullah Saw. Milik Allah-lah
segala keistimewaan, keutamaan dan anugerah dengan menciptakan dan mengutus
beliau; sebagaimana difirmankan-Nya:
“Dialah yang mengutus kepada kaum yang
buta huruf seorang Rasul di antara mereka, menyucikan mereka dan mengajarkan
kepada mereka kitab dan hikmah.” (Q.s. Al-Jumu’ah: 6).
Karena itu pula Allah swt. berfirman:
“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu
kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya.” (Q.s.
Al-Qashash: 56).
Coba Anda renungkan Surat Al-Fath dan firman Allah Swt. berikut ini:
“Dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, maka
bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya
Dia adalah Maha Penerima tobat.” (Q.s. An-Nashr: 2-3).
“Jika kalian menyaksikan banyak hamba Allah yang masuk ke dalam agama-Nya,“
sabda Rasul Saw, “maka ucapkanlah puja-puji kepada Allah, bukan
memuji-mujiku!”. Itu adalah pengertian tasbih dengan memuji Tuhannya. Jika
perhatian kalbu Anda terarah kepada diri dan usaha Anda, segeralah Anda meminta
ampunan kepada-Nya agar Dia memberi ampunan dan tobat. Hendaklah Anda tahu,
bahwa tidak ada sedikit pun campur tangan Anda dalam semua urusan.
Bertitik tolak dari hal inilah Umar bin
Khaththab r.a. ketika melihat surat Khalid bin Walid kepada Abu Bakar r.a.
setelah penaklukan kota Mekkah, (yang diantaranya berbunyi), “Dan Khalid, Sang
Pedang Allah yang terhunus kepada orang-orang musyrik, kepada Abu Bakar, Amirul
Mukminin.” Maka Umar r.a. berkata, “Karena pertolongan Allah kepada kaum
Muslim, Khalid memandang dirinya dan menyebutnya dengan Si Pedang Allah yang
terhunus kepada kaum musyrik.”
Andaikata dia mencermati kebenaran
sebagaimana mestinya, niscaya dia tahu bahwa kemenangan itu bukan karena
pedangnya. Namun Allah memiliki rahasia tersendiri dengan kemauan (iradat)Nya
dengan memenangkan Islam.
Karena itu, Allah menolong Islam dengan
satu getaran, yaitu getaran rasa takut yang diselinapkan ke dalam hati orang
kafir sehingga dia terpukul mundur, sementara yang lain pun melihatnya,
sehingga mereka mundur dan kekalahan pun tersebar luas. Khalid bin Walid dan
yang semisal, melihat kemenangan Islam karena keberanian dan ketajaman
pedangnya.
Sedang Umar r.a. dan orang-orang yang
jujur dengan kebenaran (as-shiddiqin) serta para auliya’ mencermati hakikat
persoalan yang sebenarnya. Beliau juga tahu bahwa Khalid bin Walid perlu
mengucapkan istighfar dan bertasbih dengan memuji Tuhannya jika menyaksikan hal
yang demikian itu, sebagaimana diperintahkan oleh Rasulullah Saw.
Jadi, motivasi cinta (mahabbah) itu
hanya dua: Pertama, ihsan. Kedua, puncak kemuliaan dan keindahan Allah yang
berwujud kesempurnaan kemahamurahan, hikmah, ketinggian, kemahakuasaan dan
kemahasucian Allah dari segala bentuk cacat dan kekurangan.
Tiada satu pun bentuk kebaikan dan
perlakuan baik, kecuali bersumber dari-Nya. Tidak ada kemuliaan, keindahan dan
kesucian kecuali milik-Nya. Seluruh kebaikan dan perilaku baik di alam semesta
ini hanyalah satu di antara bentuk kemahamurahan-Nya, yang diarahkan kepada
hamba-hamba-Nya dengan satu getaran, yang Dia ciptakan dalam kalbu seorang
muhsin.
Seluruh keindahan, gambar yang bagus,
bentuk-bentuk yang elok dan indah yang diindera oleh mata, pendengaran dan
penciuman di alam jagat ini tidak lain merupakan salah satu pengaruh dari
kekuasaan-Nya, itu merupakan sebagian dari nilai-nilai keindahan Diri-Nya.
Betapa
indahnya semua itu bagi orang yang menyaksikannya dalam alam musyahadah, dan
bukti-bukti yang pasti lagi memuaskan, bagaimana mungkin terbayang dia akan
berpaling kepada selain Allah Swt, atau mencintai selain Allah Swt.?
Rasa
lezat yang dialami oleh seorang yang ma’rifat kepada Allah di dunia, dengan
menelaah dan menyaksikan langsung keindahan hadirat ketuhanan (al-hadharat
ar-rububiyah), jauh lebih lezat dari segala bentuk kelezatan lainnya yang
terdapat di dunia. Karena kelezatan itu sesuai dengan kadar selera (keinginan)
dan kekuatan selera itu sesuai atau sepadan dengan yang diingini.
Sebagaimana makanan itu merupakan hal yang paling sesuai bagi tubuh, maka
sesuatu yang paling sesuai bagi kalbu adalah ma’rifat. Sebab, ma’rifat
merupakan santapan kalbu. Sedangkan yang paling memenuhi selera kalbu adalah
ruh Rabbani, seperti yang difirmankan oleh Allah Swt, “Katakanlah, ‘Ruh itu
termasuk urusan Tuhanku’.” (Q.s. Al-Isra’: 85).
Dan Allah Swt. berfirman, “Dan telah meniupkan ke dalamnya ruh (ciptaan)-Ku.”
(Q.s. Al-Hijr: 29, Shad: 72).
Dalam ayat ini Allah menisbatkan ruh kepada Diri-Nya. Ruh semacam itu tidak
dimiliki oleh binatang dan manusia yang penihalnya seperti binatang. Itu hanya
khusus bagi para Nabi dan wali. Karena itulah, Allah Swt. berfirman:
“Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al-Qur’an) dengan perintah Kami.
Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan
Al-Qur’an itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang Kami kehendaki di
antara hamba-hamba Kami.” (Q.s. Asy-Syura: 52).
Jadi,
hal yang paling sesuai bagi ruh semacam ini adalah ma’rifat.Karena yang paling
relevan bagi segala hal adalah karakteristiknya.
Karena
itu, suara yang merdu tidak sepadan dengan penglihatan (mata), sebab bukan
karakternya.
Karakter ruh manusia (ruhul insani) adalah ma’rifat tentang hakikat. Setiap apa
pun yang diketahui hakikatnya itu lebih mulia, mengetahui hakikat, tentu lebih
lezat rasanya. Dan tidak ada yang lebih mulia daripada mengenal (hakikat) Allah
dan (kerajaan) alam semesta-Nya.
Mengenal Allah, mengenal sifat-sifat dan Dzat-Nya, keajaiban-keajaiban kerajaan
jagat raya-Nya merupakan sesuatu terlezat bagi kalbu, karena kesenangan
tersebut merupakan kesenangan paling lezat. Karena itu, diciptakan paling ujung
setelah kesenangan lainnya.
Setiap
kesenangan yang diciptakan kemudian, Iebih lezat rasanya daripada kesenangan
yang diciptakan sebelumnya.
Kesenangan
yang diciptakan pertama kali adalah selera nafsu makan, kemudian, karenanya,
diciptakan nafsu seks. Maka nafsu makan ditinggalkan dan dianggap remeh, untuk
memenuhi kepentingan nafsu seks. Selanjutnya diciptakan nafsu dan keinginan
untuk berkuasa, untuk mendapatkan kehormatan atau jabatan, yang karenanya
meremehkan nafsu seks dan nafsu makan. Lalu diciptakan keinginan atau nafsu
ma’rifat (syahwatul ma’rfat) yang dapat mengatasi atau menguasai segala yang
ada (alam semesta), sehingga meremehkan keinginan untuk dapat berkuasa dan
mendapatkan kehormatan atau jabatan. Ini merupakan akhir yang sekaligus
keinginan duniawi paling kuat.
Anak
kecil tidak mengakui adanya nafsu seks. Dia terheran-heran terhadap orang yang
membebani dirinya dengan beban harus memenuhi biaya pernikahan demi nafsu seks
tersebut.
Jika
telah mencapai nafsu seks, seseorang terus menekuninya tanpa lagi mengingat
kehormatan, kedudukan dan kekuasaan; dan dia tidak ambil pusing terhadap
kekuatannya dalam memenuhi nafsu seks. Demikian pula dengan orang yang
kecanduan nafsu untuk memperoleh kehormatan dan kekuasaan, dia mengabaikan
kelezatan ma’rifat, karena belum diciptakannya kesenangan setelah kesenangan
berkuasa tersebut.
Nafsu
dan ambisi untuk memperoleh kehormatan dapat berakhir pada sakitnya kalbu,
hingga tidak dapat menerima keinginan ma’rifat terhadap Allah Swt, sebagaimana
rasa tubuh orang yang sakit, merusak selera makannya hingga ia menemui ajalnya.
Kadang-kadang nalurinya berbalik, sehingga ia menginginkan makan tanah dan
sesuatu yang berbahaya lainnya. ini adalah awal kematian.
Demikian halnya dengan penyakit kalbu, bisa saja berakhir pada batas-batas
tertentu yang bisa mengabaikan, membenci dan tidak mengakui ma’rifat; serta
tidak mcngakui orang-orang yang tekun menuju ma’rifat. Sehingga yang diketahui
dan dirasakannya sekadar kelezatan kekuasaan, makanan dan seksual. Dialah mayat
yang tidak mau diobati. Tentang orang yang semacam mi disebut dalam Al-Qur’an:
“Sesungguhnya Kami telah meletakkan tutupan di atas hati mereka, (sehingga
mereka tidak) memahaminya, dan (Kami letakkan pula) sumbatan di telinga mereka;
dan kendatipun kamu menyeru mereka kepada petunjuk, niscaya mereka tidak akan
mendapat petunjuk selama-lamanya.” (Q.s. Al-Kahfi: 57).
Tentang mereka juga dinyatakan:
“(Berhala-berhala itu) benda mati tidak hidup, dan berhala-berhala itu tidak
mengetahui bilakah penyembah-penyembahnya akan dibangkitkan.” (Q.s.An-Nahl:
21).
Kelezatan
Ma’rifat Wajah Allah Swt.
Sungguhpun rasa ma’rifat ini sangat lezat, tapi tidak bisa dibandingkan dengan
kelezatan memandang wajah Allah Yang Maha Mulia nanti di akhirat. Hal itu tidak
akan terbayangkan di dunia, karena suatu rahasia yang tidak mungkin tersingkap
saat sekarang.
Tidak
seyogyanya kata “memandang” di sini Anda pahami seperti orang awam dan para
teolog (mutakallimun) memahaminya, yang butuh arah pasti untuk menentukan tolok
ukur dan batasannya. Tentunya ini dari sudut pandang orang yang menekuni alam
nyata, yang tidak melampaui benda-benda yang dapat diindera, yang merupakan
sasaran indera kebinatangan.
Anda
harus memahami, bahwa hadirat ketuhanan (al-hadharat arrububiyah), bentuk dan
susunannya yang ajaib — berupa keindahan, keelokan, kebesaran, kemuliaan,
keagungan dan keluhuran, yang merindu dalam kalbu seorang ahli ma’rifat,
sebagaimana watak bentuk rupa alam inderawi, dalam indera Anda; walaupun Anda
menutup mata, tapi Anda seakan-akan melihatnya. Jika membuka mata, Anda
mendapatkan bentuk sesuatu yang diindera sama seperti bentuk rupa yang
difantasikan sebelum dibukanya mata, tidak berbeda sama sekali. Hanya saja —
dibandingkan dalam bentuk fantasi — bentuk rupa itu diindera dalam wujud yang
sangat jelas.
Demikian
pula seharusnya Anda tahu, bahwa mengindera sesuatu yang tidak masuk atau bukan
obyek fantasi dan indera, ada dalam dua tingkatan kejelasan yang berbeda.
Perumpamaan pertama dengan yang kedua identik dengan perumpamaan penglihatan
pada fantasi. Yang kedua merupakan puncak tersingkapnya tirai (kasyf) , yang
disebut penyaksian langsung (musyahadah) dan penglihatan langsung (ru’yah).
Hanya saja ru‘yah itu tidak disebut ru‘yah karena ada pada mata, sebab bila
diciptakan di atas dahi baru disebut ru’yah, akan tetapi itu merupakan puncak
kasyf Sebagaimana terpejamnya pelupuk mata merupakan tirai bagi penglihatan
mata. Maka kekeruhan nafsu merupakan tirai bagi puncak musyahadah. Karena
itulah, Allah berfirman:
“Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku.” (Q.s. Al-A’raaf: 143).
Dan firman-Nya, “Dia tidak dapat dicapai dengan penglihatan mata.” (Q.s.
Al-An’am: 103).
Jika tirai (hijab) ini telah tersingkap nanti setelah mati, maka ma’rifat itu
pasti berbalik menjadi musyahadah dengan sendirinya. Kadar musyahadah
masing-masing orang bergantung pada kadar ma’rifatnya; karenanya, rasa lezat
yang dialami para wali Allah Swt. itu lebih dibandingkan rasa lezat yang
dirasakan atau dialami oleh yang lain. Allah Swt. tajalli dan tampak bagi Abu
Bakar r.a. secara khusus dan tampak secara umum bagi manusia.
Demikian
pula, yang melihat-Nya hanyalah orang-orang arif, sebab ma’rifat merupakan awal
dari penglihatan, bahkan ma’rifat itulah yang dapat berubah menjadi musyahadah,
seperti berubahnya fantasi menjadi penglihatan mata. Karena itu, Dia tidak
butuh lawan banding. Rahasia tentang hal ini sangat panjang, silakan Anda
merujuk dan membacanya pada Bab “Al-Mahabbah” dalam kitab Al-Ihya’.
Tentu saja jika penglihatan mata Anda kepada yang Anda senangi, dan bila Anda
memandangnya dari sebuah tirai tipis pada saat awan kemerah-merahan, dan pada
saat kalajengking dan lalat besar
menyibukkan
dan menyengat dari balik pakaian Anda, maka penglihatan Anda jadi lemah.
Apabila secara tiba-tiba matahari terbit sekaligus, sehingga tirai tipis itu
sirna, kemudian lalat dan kalajengking itu menyingkir, lalu bara cinta yang
amat sangat itu menghunjam Anda, tentu rasa lezat yang amat sangat yang telah
digapai saat ini tidak bisa dibandingkan dengan yang sebelumnya. Demikianlah,
tidak ada yang bisa menyamai kelezatan pandangan mata, kecuali kelezatan
ma’rifat, bahkan ma’rifat itu jauh lebih lezat dan pandangan mata. Tirai tipis
itu adalah hati luar Anda, sedangkan kalajengking itu adalah kesibukan,
kesedihan dan kecenderungan pada kehidupan dunia. Bara cinta yang amat sangat
itu adalah rasa yang disebabkan oleh sirnanya kendala dan hal-hal yang
menghambat dan menyulitkan. Pancaran matahari adalah kesiapan mata kalbu untuk
menerima beban tajalli, yakni ketampakan yang sempurna. Dalam hidup ini, tidak
mungkin mata kelelawar dapat menahan sinar matahari.
Bahwa
kesenangan ma’rifatullah itu menjadi lemah karena berdesak-desakannya ragam
keinginan. Sebenarnya ma’rifatullah itu tersembunyi, semata karena kilauan
penampakan ma’rifat.
Suatu contoh adalah demikian, Anda tahu bahwa sesuatu yang paling jelas adalah
benda-benda yang dapat diindera, diantaranya adalah yang dapat dilihat dengan
penglihatan mata, juga cahaya yang menjadikan sesuatu jelas atau terang kepada
Anda. Selanjutnya, jika matahari itu terbit terus-menerus tanpa terbenam dan
tidak memiliki bayang-bayang, niscaya Anda tidak akan tahu wujud cahaya. Anda
melihat warna-warna, maka yang Anda lihat hanyalah warna merah, hitam dan
putih.
Jadi, cahaya dapat diketahui — dapat ditangkap oleh mata — bila matahari itu
terbenam, atau terdapat tirai yang menghalanginya, sehingga tampaklah ada
bayang-bayang, dan Anda akan tahu — dengan beraneka ragam situasinya karena
gelap dan terang — bahwa cahaya itu suatu hal yang bila ditampakkan pada aneka
warna, ia menjadi terlihat.
Apabila
Allah itu diproyeksikan secara gaib, atau terbayang, cahaya-cahaya
kekuasaan-Nya itu, ada tirai yang menghalangi segala sesuatu, tentu saja Anda
mengetahui adanya kesenjangan yang mendesak pada ma’rifat. Namun seluruh yang
ada, ketika sama-sama menyatakan penyaksian kemahatunggalan Sang Maha Pencipta
tanpa beda, maka persoalannya menjadi tersembunyi, dikarenakan pancaran
sinarnya yang sangat terang-benderang itu.
Andaikata
tergambar lenyapnya cahaya-cahaya kekuasaan-Nya dan langit dan bumi, tentu
semua itu (langit dan bumi) akan musnah. Pada saat itulah diketahui adanya
kesenjangan yang menuntut terwujudnya ma’rifat terhadap kekuasaan dan Yang
Kuasa.
Berikut
ini adalah contoh lain, di balik contoh mi terdapat rahasia-rahasia, di
dalamnya ada kekeliruan. Silakan Anda mencermatinya dengan sungguh-sungguh,
barangkali mampu memahami rahasia-rahasianya. Anda jangan merasa kacau dan
bingung pada posisi yang keliru, pada kekeliruan yang Anda dapatkan.
Diantaranya adalah kekeliruan orang yang berkata, “Dia ada di setiap tempat.
Namun setiap orang yang mencari-Nya ke suatu tempat atau ke sebuah arah, justru
akan tersesat dan hina.” Puncak penglihatannya kembali pada tindakan-tindakan
binatang yang dapat diindera, hanya saja tidak dapat melanipaui kondisi tubuh
dan hal-hal yang terkait dengannya.
Derajat
iman pertama adalah, kemampuan untuk melampauinya, di Situ manusia menjadi
manusia, terlebih lagi apabila menjadi manusia Mukmin.
Cinta
itu memiliki banyak indikasi, cukup panjang untuk mengalkulasikannya.
Diantaranya adalah, mendahulukan perintah Allah daripada hawa nafsu,
terwujudnya sikap takwa dengan wara’, menjaga aturan-aturan syariat.
Indikasi-indikasi
lainnya adalah, rasa rindu untuk bertemu Allah, lepas dari rasa takut mati,
kecuali dari segi memperlihatkan rasa rindu pada bertambahnya ma’rifat. Sebab,
lezatnya rasa musyahadah bergantung pada kadar kesempurnaan ma’rifat, dimana
ma’rifat merupakan permulaan atau awal dan musyahadah. Jadi, kadar musyahadah
itu berbeda-beda bagi masing-masing orang sesuai dengan perbedaan kadar
ma’rifatnya.
Indikasi
lainnya adalah, ridha terhadap ketetapan Allah, dengan posisi yang telah
ditentukan oleh Allah Swt. Agar tidak terpedaya oleh bisikan yang mengganggu
yang terlintas dalam dirinya, hingga ia mengira bahwa kesibukan itu merupakan
esensi cinta kepada Allah Swt. Makna ridha merupakan makna yang sangat mulia.
By: sufinews.com
Silahkan Bagikan Artikel ini
Mohon Maaf, Atas Ketidak Nyamanannya, Dengan adanya Shortener Di Link Download. Mohon Keridhoannya. Terima Kasih. Apabila kesulitan Download Silahkan buka/klik gambar (Cara Download) dibawah postingan. apabila masih kesulitan, silahkan copy paste link download yang ada kebrowser anda.*** Apabila ada link Download yg rusak/mati, mohon beritahu kami lewat komentar dibawah ini.
Related Posts :