بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
اللهُم َّصلِّ علٰى سَيِّدنا مُحَمّدٍ عبدِكَ وَنبيِّكَ ورسولِكَ النَّبيِّ الاُمِيّ وَعلٰى اٰلهِ وَصَحْبِهِ وسَلِّم تسليماً بقدرِ عظمةِ ذاَتِكَ في كـُلِّ وَقتٍ وَحيـنٍ
Sejarah Hidup Muhammad saw.
Dalam buku “Sejarah Hidup Muhammad” ini Dr. Haekal
yang merangkaikan berbagai peristiwa dalam hidup Nabi Muhammad SAW
dalam komposisi dan gaya yang teratur dan kuat. Diterangkannya
alasan-alasan, maksud dan pertimbangannya dengan keterangan yang jelas
dan kuat sekali, membuat pembaca merasa puas dan lega, merasa ada gairah
dalam membaca, merasa sejuk hatinya karena dapat diyakinkan. Ia akan
terpengaruh, akan dipaksanya terus membaca dan takkan melepaskannya
sebelum selesai.
Dalam buku ini terdapat beberapa penyelidikan berharga di luar
penulisan biografi, tetapi yang ada hubungannya dengan soal itu yang
terbawa oleh adanya penguraian lebih luas dalam memberikan keterangan
itu.
Kata Pengantar
SEJAK
manusia berada di permukaan bumi ini, hasratnya ingin mengetahui segala
hukum dan kodrat alam yang terdapat di sekitarnya, besar sekali. Makin
dalam ia meneliti, makin tampak kepadanya kebesaran alam itu, melebihi
yang semula. Kelemahan dirinya makin tampak pula dan keangkuhannyapun
makin berkurang.
Demikianlah, Nabi yang membawa Islam itupun sama pula dengan alam
itu. Sejak bumi ini menerima cahaya Nabi, para ulama berusaha mencari
segi-segi kemanusiaan yang besar daripadanya, mencari nilai-nilai Asma
Allah dalam pemikirannya, dalam akhlaknya, dalam ilmunya. Dan kalaupun
mereka mampu mencapai pengetahuan itu seperlunya, namun sampai kini
pengetahuan yang sempurna belum juga mereka capai. Perjuangan yang
mereka hadapi masih panjang, jaraknya masih jauh, jalannyapun tak
berkesudahan.
Kenabian adalah anugerah Tuhan, tak dapat dicapai dengan usaha. Akan
tetapi ilmu dan kebijaksanaan Allah yang berlaku, diberikan kepada orang
yang bersedia menerimanya, yang sanggup memikul segala bebannya. Allah
lebih mengetahui di mana risalah-Nya itu akan ditempatkan. Muhammad
s.a.w. sudah disiapkan membawa risalah (misi) itu ke seluruh dunia, bagi
si putih dan si hitam, bagi si lemah dan si kuat. Ia disiapkan membawa
risalah agama yang sempurna, dan dengan itu menjadi penutup para nabi
dan rasul, yang hanya satu-satunya menjadi sinar petunjuk, sekalipun
nanti langit akan terbelah, bintang-bintang akan runtuh dan bumi inipun
akan berganti dengan bumi dan angkasa lain.
Kesucian para nabi dalam membawa risalah dan meneruskan amanat wahyu
itu, adalah masalah yang tak dapat dimasuki oleh kaum cendekiawan. Bagi
para nabi, sudah tak ada pilihan lain. Mereka menerima risalah dan
amanat, dan itu harus disampaikan, sesudah mereka diberi cap dengan
stempel kenabian. Tugas menyampaikan amanat demikian itu sudah menjadi
konsekwensi wajar bagi seorang nabi, yang tak dapat dielakkan. Akan
tetapi, tidak selamanya wahyu itu menyertai para nabi dalam tiap
perbuatan dan kata-kata mereka. Mereka juga tidak bebas dari kesalahan.
Bedanya dengan manusia biasa, Allah tidak membiarkan mereka hanyut dalam
kesalahan itu sesudah sekali terjadi, dan kadang mereka segera mendapat
teguran.
Muhammad s.a.w. telah mendapat perintah Tuhan guna menyampaikan
amanat itu, dengan tidak dijelaskan jalan yang harus ditempuhnya, baik
dalam cara menyampaikan risalah atau dalam cara, mempertahankannya.
Pelaksanaannya diserahkan kepadanya, menurut kemampuan akalnya,
pengetahuannya dan kecerdasannya, sebagaimana biasa dilakukan oleh kaum
cerdik-pandai lainnya. Kemudian datang wahyu memberikan penjelasan
secara tegas tentang segala sesuatu yang mengenai Zat Tuhan,
ke-EsaanNya, Sifat-sifatNya serta cara-cara beribadat. Tetapi tidak
demikian tata-cara kemasyarakatan, dalam keluarga, tentang desa dan
kota, tentang negara, baik yang berdiri sendiri atau yang terikat oleh
negara-negara lain.
Di
samping itu masih banyak sekali bidang lain yang harus diselidiki
sehubungan dengan kebesaran Nabi s.a.w. sebelum datangnya wahyu. Juga
tidak kurang kebesaran itu yang harus diselidiki sesudah datangnya
wahyu. Ia menjadi utusan Tuhan dan mengajak orang kepadaNya. Ia
melindungi ajakannya (dakwah) itu serta membela kebebasan para
penganjurnya. Ia menjadi pemimpin umat Islam, menjadi panglima
perangnya; ia menjadi mufti, menjadi hakim dan organisator seluruh
jaringan komunikasi dalam hubungan sesamanya dan antar-bangsa. Dalam
segala hal ia dapat menegakkan keadilan. Ia mempersatukan bangsa-bangsa
dan kelompok-kelompok itu, sesuai dengan yang dapat diterima akal sehat.
Ia telah memperlihatkan kemampuannya berpikir, ketenangannya serta
pandangannya yang jauh. Ia dapat memperlihatkan kecerdasannya serta
kemampuannya berpikir cepat dan tepat dengan keteguhan hati terhadap
setiap kata dan perbuatan. Ia telah menjadi sumber ilmu dan pengetahuan.
Ia menjadi lambang kefasihan, yang menyebabkan para ahli dalam bidang
itu harus takluk dan menundukkan kepala, mengakui kebesaran dan
kedahsyatannya. Akhirnya ia melepaskan dunia fana ini dengan rela hati
atas pekerjaannya, yang juga sudah mendapat kerelaan Allah dan kaum
Muslimin pula.
Semua segi itu perlu sekali dijadikan bahan studi dan perlu mendapat
pengamatan yang lebih teliti. Supaya semua segi itu dapat dilaksanakan
dengan baik, tentu tidak dapat dilakukan oleh hanya seorang saja. Bahkan
satu segi sajapun takkan dapat dicapai.
Sebagaimana terhadap sejarah hidup orang-orang besar umumnya, orang
biasanya suka menambahkan hal-hal yang tidak semestinya, demikian juga
terhadap sejarah hidup Muhammad s.a.w. –baik karena didorong oleh rasa
cinta dan maksud baik, ataupun karena didorong oleh rasa dengki dan
maksud jahat. Hanya bedanya dari biografi orang-orang besar itu ialah,
bahwa di sini tidak sedikit yang disertai dengan wahyu Ilahi dan jaminan
akan terpeliharanya Qur’an Suci, disamping tidak sedikit pula
keterangan-keterangan dari mereka yang hafal Qur’an daripada ahli-ahli
hadis yang dapat dipercaya. Atas landasan-landasan yang kuat itulah
penulisan sejarah harus didasarkan, dan dari situ pula para sarjana
harus mengambil sumber-sumber pemikiran dan penelitiannya. Kemudian lalu
membuat suatu analisa yang benar-benar ilmiah sifatnya, dengan melihat
suasana lingkungan dan milieu serta kepercayaan-kepercayaan, susunan
masyarakat dan adat-istiadat dari segala seginya yang berbagai ragam
itu.
Dalam
hal ini Dr. Haekal telah menyelesaikan karyanya, Hayat Muhammad,
tentang peri hidup Muhammad s.a.w. Dengan senang hati sekali saya telah
membaca sebagian buku itu sebelum seluruhnya selesai dicetak. Di
kalangan pembaca berbahasa Arab Dr. Haekal sudah cukup dikenal dengan
karya-karyanya yang tidak sedikit jumlahnya, sehingga tidak perlu lagi
rasanya diperkenalkan. Dia adalah seorang sarjana hukum dan ahli
filsafat. Posisi dan sifat jabatannya memungkinkan dia mengadakan
hubungan dengan kebudayaan lama dan kebudayaan modern. Dalam hal ini ia
telah dapat melaksanakan tugas itu sebaik-baiknya. Ia sering bertukar
pikiran dan berdiskusi mengenai masalah-masalah kepercayaan, pandangan
hidup, mengenai kaidah-kaidah sosial, politik dan sebagainya. Dengan
demikian ia berpikir lebih matang, pengalaman dan pengetahuannyapun
makin luas, pandangannya juga cukup jauh pula. Ia dapat mempertahankan
pendapatnya itu dengan logika dan argumentasi yang kuat , dengan gayanya
yang khas dan sudah cukup dikenal.
Dengan intelegensia dan kemampuan semacam itulah Dr. Haekal menulis bukunya itu. Dalam kata pengantarnya ia menyebutkan:
“Sungguhpun begitu saya tidak beranggapan, bahwa saya sudah sampai ke
tujuan terakhir dalam menyelidiki sejarah hidup Muhammad. Bahkan
barangkali akan lebih tepat bila saya katakan, bahwa saya baru dalam
taraf permulaan mengadakan penyelidikan dengan metoda ilmiah yang baru
dalam bahasa Arab ini.
Mungkin pembaca akan terkejut bila saya katakan, bahwa antara dakwah
Muhammad dengan metoda ilmiah modern mempunyai persamaan yang besar
sekali. Metoda ilmiah ini ialah mengharuskan kita –apabila kita hendak
mengadakan suatu penyelidikan– terlebih dulu kita membebaskan diri dari
segala prasangka, pandangan hidup dan kepercayaan yang sudah ada pada
diri kita, yang berhubungan dengan penyelidikan itu. Di situlah kita
memulai dengan mengadakan observasi dan eksperimen, mengadakan
perbandingan yang sistematis, kemudian baru dengan silogisma yang sudah
didasarkan kepada premisa-premisa tadi. Apabila semua itu sudah dapat
disimpulkan, maka kesimpulan demikian itu pun dengan sendirinya masih
perlu dibahas dan diselidiki lagi. Tetapi bagaimanapun juga ini sudah
merupakan suatu data ilmiah selama penyelidikan tersebut belum
memperlihatkan kekeliruan. Metoda ilmiah demikian ini ialah yang terbaik
yang pernah –dicapai umat manusia demi kemerdekaan berpikir. Metoda dan
dasar-dasar dakwah demikian inilah yang menjadi pegangan Muhammad”.
Bahwa metoda demikian ini adalah metoda Qur’an, hal itu sudah tidak
perlu diragukan lagi. Bagi Qur’an rasio harus menjadi juru penengah,
sedang yang harus menjadi dasar ilmu ialah pembuktiannya. Qur’an mencela
sikap meniru-niru buta dan mereka-reka yang hanya didasarkan pada
prasangka. “Dan bahwa prasangka itu tidak berguna sedikit pun terhadap
kebenaran”1 Mengkultuskan suatu kebiasaan, yang hanya karena dilakukan
oleh nenek moyang, juga dicela. Qur’an mengharuskan orang berdakwah itu
dengan pikiran yang bijaksana. Kekuatan mujizat Muhammad s.a.w. hanyalah
dalam Qur’an, dan mujizat ini sungguh rasionil adanya.
Sajak Bushiri2 berikut ini memang indah sekali:
Tidak sampai kita dicoba Yang akan meletihkan akal karenanya Sebab sayangnya kepada kita Kita pun tak ragu, kita pun tak sangsi.
Kalau cara pembahasan demikian ini merupakan suatu cara yang baru,
memang suatu hal yang tak dapat dielakkan. Dr. Haekal sudah bergaul
dengan ulama dan sarjana-sarjana lain dalam hal ini. Dan memang ini pula
cara Qur’an seperti sudah dikatakannya tadi. Dan memang itu pula yang
pernah ditempuh sarjana-sarjana Islam dahulu. Coba kita lihat misalnya
buku-buku ilmu kalam (teologi spekulatif); mereka menentukan, bahwa
kewajiban kita pertama ialah mengenal Tuhan (ma’rifatullah). Yang lain
berkata: Tidak. Yang pertama harus ditempuh ialah syak (skepsis). Lalu
tak ada jalan lain untuk mencapai ma’rifat (connaissance) itu kecuali
dengan pembuktian. Dan kalaupun itu dapat digolongkan ke dalam
pengertian syllogisma namun premisa-premisanya harus sudah pasti dan
dapat dirasakan, dan secara intuitif akhirnya dapat pula dipahami
berdasarkan pengalaman yang sempurna dan dapat dipastikan
sungguh-sungguh, seperti sudah biasa dikenal dalam logika. Setiap
kesalahan yang dapat menyusup ke dalam premisa-premisa itu atau ke dalam
bentuk penyusunannya, dapat merusak pembuktian tersebut.
Yang menempuh jalan demikian ini ialah Imam Ghazali. Dalam salah satu
bukunya ia mengatakan, bahwa terlebih dulu ia membebaskan diri dari
segala macam konsepsi. Kemudian baru ia berpikir dan menimbang kembali,
menyusun kembali lalu membuat beberapa perbandingan. Dikemukakannya
beberapa argumentasi, diujinya dan dianalisa. Dari semua itu kemudian ia
memperoleh petunjuk, bahwa Islam dan tuntunan yang diberikan menurut
konsepsi Islam adalah benar. Imam Ghazali melakukan ini guna
menghindarkan hal-hal yang bersifat taklid. Ia ingin membina keimanannya
itu atas dasar iman yang pasti, yang berlandaskan argumen dan
pembuktian, yakni iman yang kebenarannya sudah menjadi pegangan kaum
Muslimin tanpa ada khilafiah.
Juga dalam buku-buku ilmu kalam tidak sedikit kita jumpai kisah
abstraksi (pembebasan diri dari segala kepercayaan dan konsepsi) yang
sudah biasa dikenal dalam rukun iman itu, kemudian dibahas dan
ditinjaunya kembali. Abstraksi adalah cara yang sudah lama ada, juga
dengan cara-cara eksperimen dan penyelidikan sudah lama ada. Eksperimen
dan penyelidikan yang sempurna ialah hasil daripada suatu observasi.
Semua itu bagi kita bukan barang baru. Akan tetapi cara-cara lama ini,
baik dalam teori maupun praktek, yang subur di Timur hanyalah cara-cara
taklid dengan mengabaikan peranan rasio. Sesudah kemudian oleh orang
Barat dikeluarkan kembali dalam bentuk yang lebih matang sehingga dapat
dimanfaatkan –baik dalam teori ataupun praktek– kitapun lalu kembali
mengambil dari sana. Demikian juga dalam ilmu pengetahuan kita
menganggapnya sebagai sesuatu yang baru pula.
Ketentuan ilmiah dalam cara penyelidikan demikian ini sudah cukup
dikenal, baik yang lama maupun yang modern. Untuk sekedar mengetahui
memang mudah, tapi melaksanakannya itulah yang sulit. Orang tidak banyak
berselisih pendapat mengenai pengetahuan tentang hukum, misalnya.
Tetapi dalam melaksanakan ketentuan hukum itu, pendapat orang jauh
sekali berbeda-beda.
Membebaskan diri dari konsepsi, observasi dan eksperimen, induksi dan
deduksi, adalah kata-kata yang mudah. Akan tetapi bagi orang yang sudah
begitu jauh hanyut dalam beban warisan yang sudah mendarah daging,
dalam beban lingkungan, dalam rumah tangga, dalam desa, kota, negara
atau dalam sekolah, tekanan-tekanan kepercayaan yang sudah ada,
temperamen, kesehatan, penyakit serta segala macam nafsu, bagaimanakah
akan dengan mudah melaksanakannya? Di sinilah terletak penyakit itu,
dahulu dan sekarang. Itu pula sebab timbulnya bermacam-macam aliran dan
berubah-ubahnya pendapat, berpindah-pindah dari daerah ke daerah lain,
dari bangsa kepada bangsa lain. Seperti juga kaum wanita yang berganti
mode, filsafat dan peradaban pun berganti corak, generasi demi generasi.
Dan jarang sekali ada sesuatu yang tak lapuk di hujan tak lekang di
panas. Bahkan perubahan itu berjalan sesuai dengan kaidah-kadiah ilmu
pengetahuan yang sejak berabad-abad tidak pernah diragukan. Terhadap
teori relativitas misalnya, para sarjanapun goyah dan cepat-cepat
merombaknya. Pendapat-pendapat tentang patologi, tentang terapi, tentang
gizi, semua ini masih dalam proses yang berubah-ubah. Demikian juga
apabila kita perhatikan pelbagai macam produk otak manusia tidak pernah
stabil sebelum disertai pembuktian dengan syarat-syarat yang cukup.
Akan tetapi apa artinya semua ini meskipun sudah dilengkapi dengan
segala pembuktian, bila dibandingkan dengan yang lain, yang sudah penuh
dengan segala macam prasangka dan angan-angan, yang sudah sarat oleh
pikiran-pikiran yang sakit atau di bawah tekanan politik. Hal inilah
yang diketengahkan oleh para ulama dan sarjana yang gemar mengadakan
pertentangan dengan pihak lain, dengan melahirkan aliran-aliran dan
pendapat-pendapat demikian itu! Kekacauan pikiran ini mungkin akan
mengurangi semangat ulama atau sarjana-sarjana yang hanya
mendewa-dewakan akal semata. Dan pada waktunya akan mengalihkan
pandangan mereka kepada kebenaran dan keimanan, yakni wahyu yang
sebenarnya, yaitu Qur’an Suci dan Sunah yang sahih.
Baiklah, sekarang kita kembali kepada Dr. Haekal dan bukunya ini.
Beberapa ahli ilmu kalam mengatakan, bahwa dengan memperhatikan
astronomi dan anatomi jelas sekali menunjukkan sempurnanya kodrat Ilahi
tentang susunan alam ini. Dan sayapun memperkuat pendapat ini, bahwa
ilmu pengetahuan dan penemuan mengenai ketentuan-ketentuan serta segenap
rahasia alam semesta inipun akan menjadi pendukung agama, akan
memperdekat pikiran manusia menempuh jalan pengertian yang tadinya masih
kabur, yang tadinya masih di luar jangkauan otaknya. Akhirnya akan
dapat memahami, sejalan seperti yang difirmankan Tuhan: “Akan segera
Kami perlihatkan bukti-bukti Kami dalam segenap penjuru alam dan dalam
diri mereka sendiri, sehingga ternyata bagi mereka bahwa inilah
Kebenaran itu. Belum cukupkah, bahwa Tuhanmu menjadi Saksi atas
segalanya?3
Soal-soal elektro dan segala yang dihasilkannya seperti
penemuan-penemuan lainnya, membantu otak kita memahami adanya perubahan
benda kepada tenaga dan tenaga kepada benda. Demikian juga spiritualisma
telah banyak menerangkan hal-hal yang tadinya masih dipersengketakan;
ternyata ini membantu memahami adanya pembebasan ruh dan kemungkinan
terpisahnya ruh itu serta memahami kecepatan yang dimiliki ruh itu
menempuh jarak yang jauh. Dr. Haekal telah memanfaatkan hal ini dalam
mengartikan kisah Isra dengan cara yang agak baru. Rasanya akan terlalu
panjang saya bicara bila harus menguraikan faedah yang akan kita peroleh
dari buku Dr. Haekal ini. Cukuplah kalau saya sebutkan secara
keseluruhan saja. Orang akan melihat sendiri keindahannya, akan
menikmati sendiri hasil pikirannya yang didasarkan kepada bahan-bahan
yang otentik itu, didasarkan kepada pemikiran yang logis, yang didukung
oleh bawaan sewajarnya. Orang akan melihat bahwa Dr. Haekal sungguh
jujur dalam mencari kebenaran, keyakinan memenuhi kalbunya akan hidayah
dan nur yang dibawa dalam wahyu Muhammad, akan keindahan, kebesaran,
suri-teladan dan kemuliaan yang terdapat dalam biografi Nabi s.a.w. Ia
sudah yakin seyakin-yakinnya, bahwa agama yang dibawa Muhammad inilah
yang akan mengangkat umat manusia dari sarang kebalauan dan kebingungan,
yang akan mengangkat mereka dari kegelapan materi, dan menyinari mata
hati mereka dengan cahaya iman, mengantarkan mereka kepada Nur Ilahi.
Mereka akan menyadari betapa luas rahmat Tuhan yang meliputi segalanya
itu, betapa besar keagunganNya, seluruh langit dan bumi memuliakanNya
dan segala yang ada memuliakanNya; betapa besar kekuasaanNya, segala
yang ada menjadi kecil di hadapanNya.
Seperti dikatakannya: “Dengan melihat lebih jauh dari itu saya
berpendapat, penyelidikan demikian sudah seharusnya akan mengantarkan
umat manusia ke jalan peradaban yang selama ini dicarinya. Apabila pihak
Nasrani di Barat merasa dirinya terlampau besar akan mendapatkan cahaya
baru itu dari Islam dan dari Rasul, lalu menantikan cahaya itu akan
datang dari teosofi India dan dari pelbagai macam aliran di Timur Jauh
lainnya, maka orang-orang di Timurpun, baik umat Islam, Yahudi atau
Kristen, layak sekali bertindak mengadakan penyelidikan berharga ini,
dengan sikap yang bersih dan jujur, yakni satu-satunya cara yang akan
mencapai kebenaran.
Cara pemikiran Islam yang pada dasarnya adalah pemikiran ilmiah
menurut metoda modern dalam hubungan manusia dengan lingkungan hidup
sekitarnya, yang dari segi ini realistik sekali, berubah menjadi
pemikiran yang subyektif ketika masalahnya menjadi hubungan manusia
dengan alam semesta dan Pencipta alam”.
Dan katanya lagi: “Akan tetapi adanya gejala-gejala akan lenyapnya
paganisma yang sekarang menguasai dunia kita, mengemudikan kebudayaan
yang berkuasa sekarang (the ruling culture), tampak jelas sekali bagi
setiap orang yang mau mengikuti jalannya sejarah dan peristiwa-peristiwa
dunia. Apabila secara khusus dipelajari sungguh-sungguh sejarah hidup
Muhamnad itu sebagai Nabi serta ajaran-ajarannya, masanya serta revolusi
rohani yang terbesar ke seluruh dunia, barangkali gejala-gejala ini
akan makin jelas di depan mata dunia, bahwa masalah-masalah rohani ini
timbul dari pengaruh sebagai peninggalannya.”
Dan keyakinan ini diperkuat oleh kenyataan, bahwa apa yang sekarang
dapat dilihat dari perhatian pihak Barat terhadap penyelidikan
peninggalan-peninggalan Timur serta perhatian para sarjana mengadakan
studi tentang Islam dari segala seginya, tentang umat Islam masa kini
dan masa lampau serta kesadaran sebahagian mereka terhadap diri Nabi
s.a.w., ditambah pula oleh pengalaman yang memperkuat, bahwa kebenaran
pasti akan menang, –semua itu menunjukkan bahwa Islam akan mengembangkan
panjinya ke segenap penjuru dunia, dan orang yang kini sangat keras
memusuhinya, dia juga nanti yang akan menjadi orang paling bersemangat
membelanya, dan mereka yang tadinya masih asing itu akan menjadi kawan
seperjuangan pula. Sebagaimana pada mulanya Islam mendapatkan pembelaan
dari orang-orang asing (dari luar) lingkungan masyarakat tempat
kelahirannya, juga akhirnya orang-orang asing (luar) dari bahasa dan
tanah airnya itu yang akan membelanya. Islam telah dimulai secara asing
dan akan kembali asing seperti pada mulanya. Maka bahagialah orang-orang
yang asing itu!
Apabila Nabi s.a.w. adalah Nabi penutup dan takkan ada lagi di dunia
ini seorang penunjuk dan pembimbing lain sesudah dia, dan agamanyapun
agama yang sempurna sebagaimana ditegaskan oleh wahyu, maka tidak
mungkin keadaannya akan berhenti sampai di situ saja seperti selama ini.
Cahayanya pasti akan pudar oleh yang lain, sama halnya seperti
bintang-bintang yang jadi pudar oleh sinar matahari.
Dr. Haekal yang merangkaikan peristiwa-peristiwa itu satu sama lain
memang tepat sekali. Bukunya inipun ternyata disusun dalam komposisi dan
gaya yang teratur dan kuat. Diterangkannya alasan-alasan, maksud dan
pertimbangannya dengan keterangan yang jelas dan kuat sekali, membuat
pembaca merasa puas dan lega, merasa ada gairah dalam membaca, merasa
sejuk hatinya karena dapat diyakinkan. Ia akan terpengaruh, akan
dipaksanya terus membaca dan takkan melepaskannya sebelum selesai.
Dalam buku ini terdapat beberapa penyelidikan berharga di luar
penulisan biografi, tetapi yang ada hubungannya dengan soal itu yang
terbawa oleh adanya penguraian lebih luas dalam memberikan keterangan
itu.
Saya sudahi pengantar saya ini dengan ucapan Rasulullah –salam
baginya dan bagi keluarganya yang suci serta sahabat-sahabatnya: “Aku
berlindung kepada Nur WajahMu, yang telah menyinari kegelapan, dan
karenanya membawakan kebaikan bagi dunia dan akhirat – daripada
kemurkaanMu yang akan Kautimpakan kepadaku, atau kebencianMu yang akan
Kauturunkan kepadaku. KeridaanMu juga yang kuminta. Tak ada suatu daya
upaya kalau tidak dengan Allah.”
Syaikh Muhammad Mustafa al-Maraghi
(Rektor Magnificus Universitas Al-Azhar)
Tentang Pengarang: Muhammad Husain Haekal
SEJAK masa mudanya Haekal tidak pernah berhenti menulis; di samping
masalah-masalah politik dan kritik sastra ia juga menulis beberapa
biografi. Dari Kleopatra sampai kepada Mustafa Kamil di Timur, dari
Shakespeare, Shelley, Anatole France, Taine sampai kepada Jean Jacques
Rousseau dengan gaya yang khas dan sudah cukup dikenal. Setelah mencapai
lebih setengah abad usianya, perhatiannya dicurahkan kepada
masalah-masalah Islam. Ditulisnya bukunya yang kemudian sangat terkenal,
Hayat Muhammad (Sejarah Hidup Muhammad) dan “Di Lembah Wahyu”. “Dua
buku yang sungguh indah dan baru sekali dalam cara menulis sejarah hidup
Muhammad, yang kemudian dilanjutkan dengan studi lain tentang Abu Bakr
dan Umar. Suatu contoh bernilai, baik mengenai studinya atau cara
penulisannya. Ini merupakan masa transisi dalam hidupnya”, demikian
antara lain orang menulis tentang Haekal.
Pada mulanya Sejarah Hidup Muhammad ini telah menimbulkan reaksi
hebat dan kritik tajam di kalangan bangsa Mesir dan dunia Islam umumnya.
Tapi semua itu dihadapinya dengan tenang dan di mana perlu dijawabnya
dengan penuh tanggung jawab dan rasional sekali.
Dilahirkan di desa Kafr Ghanam bilangan distrik Sinbillawain di
propinsi Daqahlia, di delta Nil, Mesir, 20 Agustus 1888, Muhammad Husain
Haekal, setelah selesai belajar mengaji Qur’an di madrasah desanya ia
pindah ke Kairo guna memasuki sekolah dasar lalu sekolah menengah sampai
tahun 1905. Kemudian meneruskan belajar hukum hingga mencapai lisensi
dalam bidang hukum (1909). Selanjutnya ia meneruskan ke Fakultas Hukum
di Universite de Paris di Perancis, lalu dilanjutkan pula sampai
mencapai tingkat doktoral dalam ekonomi dan politik dan memperoleh Ph.
D. dalam tahun 1912 dengan disertai La Dette Publique Egyptienne. Dalam
tahun itu juga ia kembali ke Mesir dan bekerja sebagai pengacara di kota
Mansura, kemudian di Kairo sampai tahun 1922.
Semasa masih mahasiswa sampai pada waktu menjalankan pekerjaannya
sebagai pengacara, ia terus aktif menulis dalam harian-harian Al-Jarida
yang dipimpin oleh Ahmad Lutfi as Sayyid, As-Sufur dan Al-Ahram. Umumnya
ia menulis dalam masalah-masalah sosial dan politik, di samping juga
memberikan kuliah dalam bidang ekonomi dan hukum perdata (1917-22).
Tahun itu juga ia dipilih sebagai pemimpin redaksi harian As-Siasa
sebagai organ resmi Partai Liberal. Dalam tahun 1926 mendirikan mingguan
As-Siasa, yang dalam bidang kulturil besar sekali pengaruhnya ke
seluruh negara-negara Arab. Ia aktif dalam bidang jurnalistik sampai
tahun 1938.
Karya-karya Haekal menduduki tempat penting dalam
perpustakaan-perpustakaan berbahasa Arab. Penulisan novel modern dimulai
Haekal. Kemudian ia menulis serangkaian sejarah Islam dan biografi di
samping masalah-masalah politik. Buku-bukunya dalam sejarah Islam
merupakan sumber penting dalam studi keislaman.
Secara kronologis karya-karya Haekal adalah sebagai berikut: Zainab
(novel), 1914, Jean Jacques Rousseau (dua jilid), 1921-23; Fi
Auqat’l-Firaqh (“Diwaktu senggang”), 1925; “Asyarata Ayyam fis-Sudan”
1927; Tarajim Mishria wa Gharbia (“Biografi orang orang Mesir dan
Barat”), 1929; Waladi (“Anakku”), 1931; Thaurat’l-Adab, 1933 ; Hayat
Muhammad (“Sejarah Hidup Muhammad”), 1935; Fi Manzil’l-Wahy (“Di lembah
Wahyu”), 1937; Asy-Shiddiq Abu Bakr, 1942; Al Faruq ‘Umar (“‘Umar
ibn’l-Khattab”) (dua jilid). 1944-45; Mudhakkirat fis-Siasat’l-Mishria
(“Memoir tentang Politik Mesir”) (dua jilid), 1951-53; Hakadha Khuliqat,
1955; Al-Imbraturia al-Islamia wal-Amakin al-Mugaddasa fisy-Syarq’
l-Aushat (“Commonwealth Islam dan tempat-tempat Suci di Timur Tengah”)
(kumpulan studi), 1960; Asy-Syarq’ l-Jadid (kumpulan studi), 1963;
‘Uthman bin ‘Affan, 1964; Al-Iman, wal-Ma’rifa wal-Falsafa (“Tentang
Iman, Ma’rifat dan Filsafat”) (kumpulan studi), 1965; Qisas Mishria
(“Cerpen-cerpen Mesir”), 1969.
Novelnya Zainab, yang mengisahkan kehidupan petani Mesir, mula-mula
ditulisnya semasa ia masih mahasiswa di Paris, dan pada hari-hari libur
sebagian ditulisnya di London dan di Jenewa, Swis; telah dibuat film dan
dalam festival film internasional di Jerman (1952) Die Liebesromanze
der Zenab ini yang ditulisnya sebagai kenangan kepada tanah air dan
masyarakat di kampungnya, dalam dua kali pertunjukkan telah mendapat
sambutan yang luar biasa dan telah terpilih pula sebagai film yang
paling berhasil, dilukiskan sebagai “Egyptische Welturauffuhrung in
Berlin”.
Dalam tahun 1943 ia terpilih sebagai ketua Partai Liberal Konstitusi
(Liberal Constitutional Party), yang dipegangnya sampai tahun 1952.
Tahun 1938 ia menjabat Menteri Negara, kemudian Menteri Pendidikan,
lalu Menteri Sosial. Sesudah itu menjadi Menteri Pendidikan lagi dalam
tahun 1940 dan 1944. Pada permulaan tahun 1945 ia terpilih sebagai ketua
Majelis Senat sampai tahun 1950.
Berkali-kali mengetuai delegasi mewakili negaranya di PBB dan dalam
konperensi-konperensi internasional, dalam Interparliamentary Union dan
secara pribadi terpilih pula sebagai anggota panitia eksekutif lembaga
tersebut.
Beberapa buku dan disertasi tentang sejarah hidup Dr. Haekal telah
terbit, diantaranya: Beberapa studi tentang Dr. Haekal, oleh beberapa
penulis (1958).
- Mohammed Hussein Haekal, oleh Baber Johansen, sebuah thesis, Universitas Berlin, 1962.
- Dr. Mohammad Hussein Haekal, oleh Taha Wadi’, thesis, Universitas Kairo (Fakultas Sastra), 1965.
- Dr. Mohammed Hussein Haekal, oleh Charles Smith, sebuah thesis, Universitas Michigan, Amerika Serikat, 1968.
Dr. Haekal seorang pengarang yang produktif, baik dalam bidang
sastra, kemasyarakatan, maupun politik, yang disiarkan selama ia aktif
dalam jurnalistik. Banyak juga naskah-naskahnya yang belum disiarkan.
Kembali aktif menulis dalam harian-harian Al-Mishri, dan Al-Akhbar sejak 1953 hingga wafatnya.
Haekal meninggal pada 8 Desember 1956.
Pranala:
Silahkan Bagikan Artikel ini
Mohon Maaf, Atas Ketidak Nyamanannya, Dengan adanya Shortener Di Link Download. Mohon Keridhoannya. Terima Kasih. Apabila kesulitan Download Silahkan buka/klik gambar (Cara Download) dibawah postingan. apabila masih kesulitan, silahkan copy paste link download yang ada kebrowser anda.*** Apabila ada link Download yg rusak/mati, mohon beritahu kami lewat komentar dibawah ini.
Related Posts :