بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
اللهُم َّصلِّ علٰى سَيِّدنا مُحَمّدٍ عبدِكَ وَنبيِّكَ ورسولِكَ النَّبيِّ الاُمِيّ وَعلٰى اٰلهِ وَصَحْبِهِ وسَلِّم تسليماً بقدرِ عظمةِ ذاَتِكَ في كـُلِّ وَقتٍ وَحيـنٍ
Makna dan Hakikat Do'a
“Bagaimana mungkin permintaanmu yang
baru datang belakangan akan bisa mengubah anugerahNya yang terdahulu?”
Inilah ketegasan tauhid kita untuk memahami
hubungan antara doa dan takdir. Banyak para hamba Allah Swt yang merasa ada
kontradiksi yang mempengaruhi batin mereka, gara-gara belum tuntasnya antara
ikhtiar, doa dan takdir. Dengan sejumlah pertanyaan, apakah takdir itu bisa
diubah dengan doa dan usaha? Kalau bisa berarti Allah Swt tergantung pada
hambaNya. Kalau tidak bisa apakah makna dibalik perintah doa dan ikhtiar itu?
Dalam bahasa Sufistik, soal ikhtiar,
doa dan takdir dilihat dari dimensi hakikatnya. Bahwa secara hakikat, upaya dan
doa itu tidak akan menjadi sebab terwujudnya takdir, dan tidak akan mengubah
takdir. Mengapa demikian? Karena takdir Allah Swt, dengan semua ketentuanNya
telah mendahului ikhtiar dan doa kita. Bagaimana mungkin, sesuatu yang baru
(berupaya upaya dan doa kita) bisa mengubah sesuatu yang mendahului
(ketentuan Allah Swt)?
Jadi cara memahami hakikat doa
dan ikhtiar adalah:
Doa dan ikhtiar itu sesungguhnya
juga takdir.
Bila Allah Swt hendak memberi
anugerah seseorang, maka si hamba juga ditakdirkan dan diberi kemampuan untuk
berdoa dan berikhtiar.
Doa dan ikhtiar hanyalah tanda-tanda
takdir itu sendiri.
Allah memerintahkan kita berupaya
dan berdoa agar kita memahami bahwa kita sangat terbatas dan tak berdaya,
sehingga doa dan upaya adalah bentuk kesiapan kehambaan belaka agar kita siap
menyongsong takdirNya.
Aturan syariat mengharuskan kita
berikhtiar dan berdoa, karena syariat adalah aturan bagi keterbatasan manusia,
dengan bahasa dan tugas manusiawi (taklifi), maka seseorang akan berdoa dan
beriktiar dengan penuh kepasrahan dan kerelaan pada ketentuan dan pilihan
terbaikNya. Bukannya berdoa untuk memaksaNya mengubah takdirNya.
Maka Ibnu Athaillah menegaskan
dengan ucapan beliau:“Maha Besar (jauh) bila hukum AzaliNya harus disandarkan
pada sebab akibat yang baru.”
Allah Swt adalah sebab segalanya.
Dan segalanya bergantung semua kepada Allah Swt. Allah Swt tidak pernah menjadi
akibat; seperti akibat kita berdoa Allah menuruti apa yang kita mau, akibat
kita berusaha Allah mengubah takdirNya. Jauh dan Maha Suci dari hal-hal seperti
itu.
Berdoa kita lakukan semata untuk
‘ubudiyah, manifestasi kehambaan kita akan terwujud ketika kita berdoa. Sebab
dengan berdoa manusia merasa hina dina, merasa butuh, merasa tak berdaya dan
merasa lemah di hadapanNya. Dan itulah hakikat ubudiyah dibalik doa, agar kita
tetap menjaga rasa hina, rasa fakir, rasa tak berdaya dan rasa lemah. Karena
dengan nuansa seperti itu kita akan cukup bersama Allah, mulia bersamaNya,
mampu bersamaNya, kuat bersamaNya. Wallahu A’lam.
Silahkan Bagikan Artikel ini
Mohon Maaf, Atas Ketidak Nyamanannya, Dengan adanya Shortener Di Link Download. Mohon Keridhoannya. Terima Kasih. Apabila kesulitan Download Silahkan buka/klik gambar (Cara Download) dibawah postingan. apabila masih kesulitan, silahkan copy paste link download yang ada kebrowser anda.*** Apabila ada link Download yg rusak/mati, mohon beritahu kami lewat komentar dibawah ini.
Related Posts :